3 TAHUN BERLALU
POV DIANDRA.Air mataku pecah ketika aku memandang gerobak cilok yang sering Mas Rendi pakai untuk berjualan cilok keliling. Ada rasa menyesal di benakku ketika saat itu aku tinggalkan dia sendirian. Mungkin kalau aku tak meninggalkannya kala itu, aku akan mati bersama Mas Rendi atau mungkin Mas Rendi akan selamat bersama ku kalau aku tidak meninggalkannya sendirian pada saat itu.Mas, nyatanya sampai saat ini aku belum bisa melupakanmu, aku terlalu lemah tanpamu. Mas aku merindukanmu, apakah kau disana juga merindukanku.Rasanya aku ingin secepatnya menyusulmu ke alam sana. Kalau saja bunuh diri itu tidak dosa, maka akan aku lakukan. Kau pergi meninggalkan sejuta luka, kesiapan ku belum sempurna untuk kau tinggalkan begitu saja.Inilah yang membuatku hampir saja depresi, aku menyesali perkataan ku yang amat egois dan menyebalkan padamu. Ucapan yang keluar dari mulutku ini begitu kasar, kurang sopan bahkan tidak ada rasa hormat pada suami. Aku begitu menyasal Mas, dadaku rasanya sesak tatkala kini aku sadar pria yang menyayangiku dengan segenap jiwa harus pergi secepat ini.Andai waktu bisa ku ulang, alangkah aku ingin berbakti pada suamiku, aku ingin mengulang semuanya."Dian, boleh Emak masuk?" sahut Mak Jamilah dari balik pintu membuyarkan lamunanku.Aku langsung membuka pintu kamar yang telah tertutup rapat sejak tadi, semua itu ku lakukan agar Mak Jamilah tidak bawel, yang selalu memerintahku untuk makan."Ada apa Mak? Buka saja," kataku dengan wajah datar."Dian, tidak baik kamu terus berlarut dalam kesedihan, biarkan suamimu tenang di sana Nak, cukup kamu doakan dia, jangan sampai semua itu kamu jadikan beban dalam hidupmu Nak," tangis Mak Jamilah pecah ketika melihat Dian yang masih termenung memandangi gerobak cilok bekas sang suami dari balik jendela kamar."Mak, andai Mak tau, melupakan tak semudah membalikan telapak tangan. Bahkan aku sampai saat ini belum bisa melupakan Mas Rendi begitu saja, kisah cinta kami terlalu indah untuk dilupakan, bagiku Mas Rendi adalah nyawaku Mak," ungkapku menumpahkan isi hati ini."Tapi Nak, bukan harus begini caranya, kamu masih muda, masih banyak hal yang harus kamu lakukan. Waktumu di setiap menit, setiap detik, bahkan setiap nafasmu keluar itu sangat berharga. Apakah kamu tidak ingin menggunakan semua itu dengan lebih baik lagi."Mak Jamilah menghampiriku yang masih duduk di tepi ranjang sambil memandangi gerobak yang masih terparkir di halaman."Bersandarlah Nak, di pundak Emak," kata Mak Jamilah mempersilahkan pundaknya untuk kepalaku."Nak, kamu harus semangat menjalani hidup yang penuh dengan rintangan dan ujian ini, kalau kamu terus begini, termenung tanpa adanya rasa semangat, bagaimana dengan Emak. Apa kamu tidak kasihan pada Emak? Emak sedih Nak, lihat kamu begini. Emak berharap kamu mulai buka lembaran baru lagi ya?" papar Mak Jamilah sambil tangannya mengelus kepalaku.Sentuhan tangannya yang sudah keriput itu mampu memberiku kenyamanan, hingga aku pun tertidur pulas di bahu Mak Jamilah. Mataku terpejam seketika.Mungkin semua kata per kata yang diucapkan oleh Mak Jamilah benar, kalau saja aku terus begini berarti aku telah menyia-nyiakan sisa waktuku yang paling berharga.Maafkan aku Mak telah merepotkanmu selama ini, Maafkan aku juga dengan segala keegoisanku. Aku mencintai Mas Rendi bukan berarti aku harus memikirkan orang yang telah tiada.Tangis Mak Jamilah semakin luruh saat melihat aku tertidur di sandaran pundaknya.Mak Jamilah teringat bahwa Alina -sahabatku waktu SMA sudah menunggunya sejak tadi.Mak Jamilah menyelipkan rambutku pada sela telingaku, sambil membangunkan ku dengan pelan dari sandaran bahunya."Nak, ada temanmu kesini, sejak tadi dia ingin bertemu katanya. Kamu temui dia ya, pasti dia rindu terhadapmu.""Alina Mak?" tebakku.Tiada sahabat yang paling baik dan selalu menemani saat duka maupun duka selain Alina sahabatku waktu SMA dulu.Alina sosok wanita cerdik, pintar dan juga dari golongan orang berada, tapi walaupun Alina terlahir dari orang kaya raya dan terpandang di kampungnya tak sedikitpun ada rasa sombong dan angkuh pada wanita itu. Bahkan dia mau berteman denganku, padahal aku hanyalah orang miskin, bahkan hanya sekedar makan saja keluargaku terlalu kepayahan. Apalagi sejak kepergian suamiku untuk selamanya, aku semakin bingung dengan cara apa bisa membantu Emak.Sejak aku menikah dengan Mas Rendi, aku dan Alina sempat tidak bertemu, lantaran Alina kuliah di dikota, dan kini kuliahnya telah usai. Ia telah kembali ke kampung lagi, walaupun ia telah lulus kuliah tapi tidak ada sikap sombong padanya, dia tetap menjadi wanita yang ramah dan sopan pada siapapun.Dan kini Alina ke rumahku, pasti untuk mengucapkan bela sungkawa atas kepergian suamiku."Silahkan Nak masuk," perintah Mak Jamilah pada Alina yang masih mematung di balik pintu kamar."Terimakasih Mak," kata Alina sambil memutar knop pintu kamar.Aku menoleh ke arah Alina, wanita yang saat ini berada di hadapanku, nasibnya amat beruntung sekali, dia tampak lebih cantik dan putih, rambut panjang terurai rapi.Alina melemparkan senyuman padaku, akan tetapi bibirku terasa masih berat untuk melakukan hal itu."Boleh aku duduk di sampingmu?" tanya Alina."Boleh Al, duduklah." Aku mempersilahkan Alina duduk di tepi ranjang bersamaku.Aku masih fokus terhadap gerobak cilok yang sering Mas Rendi pake untuk jualan cilok, gerobak itu kini terlihat kumuh dan berdebu."Katanya suamimu meninggal dulu gara-gara korban tabrak lari ya? Kok bisa sih, mungkin orang itu punya masalah dengan suamimu, atau gimana Dian?" tanya Alina penasaran dengan cerita terjadinya kecelakaan tragis Mas Rendi 3 tahun silam."Semuanya gara-gara aku Lin, andaikan aku waktu itu tidak cemburu terhadap Sari dan tidak berlari menyebrang jalan. Mungkin saat ini Mas Rendi masih bersamaku, semuanya salah aku Lin, semuanya aku yang salah, dan akhirnya Mas Rendi tertabrak mobil berwarna merah merona lantaran menyelamatkan diriku. Tapi kalau saja orang yang mempunyai mobil itu bertanggung jawab atas perbuatannya mungkin Mas Rendi akan tertolong, namun nyatanya dia malah kabur begitu saja, meninggalkan suamiku yang terbengkalai lemah," lirih Dian begitu menyesali diri."Apa! Mobil warna merah?" Alina terkejut kala aku menyebutkan mobil warna merah."Apa kamu tau yang punya mobil itu Al?" tanyaku heran.Alina terdiam sesaat, saat aku sudah tak sabar menunggu jawaban yang keluar dari mulutnya."Ti-tidak Dian, lagipula mobil berwarna merah 'kan banyak di dunia ini," ungkap Alina."Aku pikir kamu tau," lirihku datar.Memang benar ungkapan Kania, mobil berwarna merah di dunia ini banyak. Tapi plat nomornya sampai saat inipun aku masih ingat, dan aku tidak akan pernah melupakan kejadian pada saat itu, kejadian di mana hari-hariku telah dihancurkan olehnya. Dengan berat hati aku harus kehilangan separuh jiwaku."Makannya kamu harus sehat, harus semangat untuk hidup Dian, kalau kamu kuat, kamu cari siapa orang yang mempunyai mobil merah itu, lalu kamu balaskan dendammu kepadanya. Jangan biarkan hidupnya tenang di dunia ini, karena kamupun butuh waktu lama untuk memulihkan hatimu yang hancur itu," papar Alina mencoba menyemangati ku, bukan maksudnya untuk menghasut ku ke lobang yang salah, hanya saja agar aku kembali bersemangat."Kamu benar Al, aku harus sehat serta harus kuat, aku akan cari dia dimanapun berada, aku akan menghancurkan hidupnya kembali," sahutku sambil kedua tangan mengepal erat disisi.Aku menghela nafasku dengan pelan. Hatiku terasa tenang saat aku tidak memendamnya dalam hati sendirian."Dian, kamu masih ingat 'kan dengan Intan yang tidak bisa bicara itu?" tanya Alina.Aku hanya menganggukan kepala, "Masih, memangnya kenapa?""Dia tidak bisa bicara, tapi dia bisa menjalani hidup di dunia yang penuh derama dan lika-liku ini, walaupun hinaan serta cemoohan menghadang tapi Intan tidak pernah putus asa.""Lalu? Apa hubungannya?""Maksudku apalagi kamu yang normal, hidup sempurna mempunyai organ tubuh yang komplit dan masih kuat dalam melakukan aktivitas, masa iya kamu mau termenung di dalam kamar sambil memikirkan suamimu yang telah pergi? Lihat Mak Jamilah, ia sudah tua, apa kamu tega membiarkan seorang nenek tua mencari nafkah untuk makan kamu yang jelas-jelas masih sehat," tutur Alina memberi motivasi.Penuturan Alina ada benarnya. Mau sampai kapan aku terus begini, menjalani hidup tanpa arah tujuan."Ayolah semangat! Tunjukan pada Mak Jamilah bahwa kamu bisa membahagiakannya," kata Kania memberi semangat."Sebenarnya kamu beruntung Dian, kamu mempunyai Mak Jamilah yang menyayangimu lebih dari apapun. Kamu tatap aku." Aku dan Alina saling berpandangan, "Aku memang mempunyai harta banyak, bapakku seorang pengusaha, tapi apa? Dengan berat hati aku harus kehilangan ibu kandungku, dan kini aku tinggal bersama ibu tiriku yang jahat. Tak ada kasih sayang yang tulus yang mereka berikan untukku, mereka hanya fokus dengan adik yang terlahir dari rahim ibu tiriku. Bahkan papahku terkadang lupa bahwa dia mempunyai aku. Dulu aku sempat ingin menjadi kamu, karena apa? Karena kamu mempunyai Mak Jamilah, seorang nenek yang mengurusmu dengan penuh kasih sayang yang tulus. Kamu lebih beruntung dariku Dian," Alina menumpahkan isi hatinya yang paling dalam, wanita itu begitu sendu.Ternyata bukan hanya aku yang terpuruk di dunia ini tapi Alina pun sama. Ya Allah maafkan aku selama ini menggunakan waktu sama sekali tidak ada gunanya.Akhirnya aku dan Alina saling berpelukan, kami menumpahkan air mata sama-sama.Terimakasih sahabat karena mu aku tau arti kehidupan ini, tidak ada hidup yang sempurna di dunia ini. Yang sempurna hanyalah milik Allah SWT.Kami berdua menangis sejadi-jadinya, saling menumpahkan rasa sakit yang kami pendam. Ternyata berbagi kisah dengan sahabat itu bisa membuat hati merasa tenang dibanding kita memendamnya seorang diri.Byuur! Satu gelas air mendarat di wajahku, alangkah aku terkejut saat kulihat Emak sudah siap dengan tangan memegang gelas yang masih berisi air setengahnya lagi."Maaf Dian, Emak sudah lancang mengguyur dengan air ini, lantaran kamu susah sekali di bangunkan, jadi Emak terpaksa ambil air untuk menyemburkan pada mukamu," papar Emak penuh permohonan.Entah disengaja atau tidak, yang jelas memang aku kalau di bangunkan tidur suka susah dari dulu juga, pantas saja Mas Rendi waktu pertama kali menikah sering marah-marah tak jelas."Tidak apa Mak," kataku pasrah sambil mengelap wajah dengan selimut yang saat ini ku pakai."Emak minta tolong kamu hubungi Mang Odang, Emak mau ngojek. Kaki Emak pegal-pegal sekali Dian," ungkap Mak Jamilah sambil memijat kakinya.Aku terharu saat mendengar keluh kesah nenek tua itu, pasti kakinya sudah mulai lemah karena dimakan usia, makannya jadi pegal-pegal seperti itu."Baik Mak, aku Whatsap dulu ya," kataku sambil mengutak-ngatik benda pipih yang selalu
Tanganku bergetar memberikan lembaran uang pada pria yang amat tampan itu, kalau saja aku tau bukan dia yang akan muncul di warung ini, pasti aku mencari pinjeman dulu sama tetangga, sekarang tidak ada pilihan lain lagi deh, "Ini uangnya."Ada rasa takut juga kalau uangnya di tolak karena alasan jelek, sudah pasti aku malu, sudah seperti di tolak cinta rasanya pasti nyeri."Terimakasih Teh, apa gak sekalian aja sama nomor Whatsap nya?" goda Paisal.Untung matanya tidak meneliti uang ku berikan, alhasil aku terbebas dari rasa maluku dan rasa takutku akan di tolak."Paisal! Kamu jangan main-main dengan janda! Apalagi janda itu suaminya telah mati," tegur Bu Salma pada Paisal sekaligus menyindirku.Pantesan kata Emak mulutnya kayak tutup langseng bolong, eh ternyata bukan sekedar tutup langseng tapi sekalian sama tutup panci yang telah jelek."Paisal sana pergi kedalam, kalau sudah, ngapain masih ngobrol! Buang-buang waktu saja," gerutu Bu Salma.Aku pun yang masih terpaku dengan berat ha
Akhirnya aku pasrah dan duduk manis ku kursi depan, bersebelahan dengan Juragan Dingkul yang penampilannya sudah om-om berkumis baplang dan berkepala botak. Pokoknya serem sekali.Seiring lajunya mobil dengan kecepatan yang menurutku amat pelan. Pandangan Juragan Dingku terus saja melirik padaku, memang aku merasa tak nyaman dan gelisah. Ada rasa takut dan keringat pun bercucuran membasahi dahi."Pak Juragan, bisa gak kalau itu mata liatnya kesonoh. Bukan Lian ke saya terus, nanti kalau nabrak tronton 'kan berabe juga. Mana mobil juragan rusak dan aku bisa mati mendadak, aku tidak mau pokoknya aku gak mau mati sekarang, masih muda ini. Masih banyak cowok-cowok yang menungguku di luar sana," umpatku di sela rasa takutku."Neng Dian tenang saja, jangan takut begitu karena mati, 'kan di sebelah Neng Dian ada Abang.""Ih ogah situ lebih mirip malaikat pencabut nyawa, aye takut banget.""Masa iya si Neng, Abang mirip malaikat pencabut nyawa, kayaknya lebih mirip Raffi Ahmad deh.""Busyet R
"Juragan semakin hari semakin tampan dan juga kaya saja, memang dia juragan yang palih sempurna di kampung kita, tidak hanya baik dan juga gagah tapi juga ramah suka bagi-bagi uang," celoteh tetanggaku Pak Umar.Hampir saja kumis baplang juragan Dingkul beralih ke pada Ceu Saodah.Aku bingung harus melakukan apa, tubuhku masih terkurung di dalam mobil Juragan Dingkul, sedangkan Juragan Dingkul sudah keluar untuk menemui keramayan tetanggaku sama sekalian mau bagi-bagi uang, lantaran banyak sekali yang memujinya."Dasar orang aneh, di puji-puji saja langsung di bagi uang, giliran ngutak ke warung gak di perbolehkan. Manusia apa yang seperti itu," gumamku lirih masih berdiam diri di dalam mobil.Ketika semua tetangga sedang berkumpul karena akan di bagi uang oleh Juragan Dingkul, akhirnya aku punya peluang untuk bisa keluar dari perangkap mobil ini.Ku buka pintu mobil ini secara perlahan di barengi dengan sehati-hati mungkin, semoga saja mereka tidak ada yang melihatku bahkah tidak ada
"Misi!" seru seorang pria paruh baya bertubuh kekar dan berwajah seram serius, pokoknya kaya Kang Komar di preman pensiun deh."Iya Pak, ada apa? Atau mau beli cilok?"sahutku ramah terhadapnya."Mau beli cilok gimana! Ini tempat saya, kamu gak lihat saya pedagang juga, saya bawa gerobak juga ini!" ketusnya.Aku menelan saliva dengan susah payah, kala mendengar sentakannya, ku pikir bapak yang barusan akan membeli cilok."Ini lapak saya, biasanya saya dagang disini! Sana kamu pergi dan cari lapak lain saja," tegasnya sambil mengusirku.Aku mengusap dada yang terasa sesak ini. Lagi-lagi aku dapat semburan dari orang, kalau di rasa-rasa hari pertama berdagang kok apes banget sih, pagi kena semprot ibu-ibu, sekarang malah di semprot sama Bapak-bapak. Nanti sore apa lagi.Begini amat jadi pedagang kecil udah jam 10 siang tapi cilok ini belum laku satupun.Ada rasa mengeluh dengan semua ini, tapi mau gimana lagi aku harus menjadi wanita kuat, sama seperti Emak, walaupun Emak udah tua tapi wa
"Semuanya gara-gara Lo, gue yang jadi korban," lirih pria itu.Ku ulurkan tanganku untuk membantunya berdiri, "Nanti gue obati, sekarang Lo ikut gue dulu."Dia hanya menuruti keinginanku. Tak ada kata-kata lagi yang terucap diantara kami, akhirnya aku memapah pria yang tak ku kenal sama sekali untuk kembali ke gerobak cilok ku."Lo tunggu disini, nanti gue ambilkan obat merah sama kapas sama sekalian lebam lo gue lapin ya biar gak biru dan membengkak," kataku sambil mengambil barang untung disiapkan.Tak berselang lama, aku mengelap beberapa luka lebam di dahi dan juga bagian tubuh lain, gak parah juga sih, tapi kayaknya sakit.Tak terasa mata kami saling berpandangan, hampir saja jantungku terbang akan copot dari tempatnya."Nih lap sendiri, Lo pake acara Mandang gue segala lagi. Gue jadi teplek nih," ku lemparkan lap basah itu pada wajahnya."Gila Lo, cewe galaknya minta ampun. Kaya ibu tiri gaya Lo.""Suka-suka gue,lain Lo pake acara mandangin, emang sih gue ini cantik tapi Lo liha
"Haris apa yang kamu lakukan dengan wanita itu?!" Suara hentakan itu tiba-tiba menyembur dari dalam mobil seseorang.Emang sih kalau di pikir-pikir di tempat umum pake acara peluk-pelukan, emang dasar kamu kelewatan rindu jadinya di tepi jalan aja serasa di hotel bintang lima."Siapa itu?" lirihku bertanya pada Haris."Itu tanteku dia akan marah kalau melihat aku dengan wanita. Kamu pergi ya, nanti dia suka marah. Cepat pergi ya disini." Haris berbisik di telingaku.Aku bahkan melongo terheran saat mendengar paparan Haris. Kok bisa sih seorang Tante marah ketika keponakannya yang sudah dewasa berada di pelukan wanita. Apa karena kami sedang berada di tepi jalan?"Baiklah." Aku mendorong rodaku dengan cepat sambil segera berlari menjauhi kediaman Haris.Ketika sudah sampai di rumah dadaku naik turun dengan nafas yang masih ngos-ngosan.Mata Emak melotot ketika melihatku."Kenapa kamu ngos-ngosak gitu kaya orang yang sekarat aja Dian? Kamu di kejar badak atau di kejar setan sih? Narik n
"Makannya Dian kamu harus segera punya calon suami yang baik dan benar dari sekarang, terus punya anak, kalau kamu sudah punya anak baru Emak tenang," ungkapnya Mak Jamilah."Entah lah Mak, aku belum kepikiran itu, yang jelas saat ini di pikiran Dian, Dian hanya ingin membahagiakan Emak dulu. Urusan pria itu belakangan, kalau sudah sukses kalah Dian kagak kawin juga gak papa, Dian tinggal sewa pembantu untuk mengurus Dian dan Emak," ujar Dian."Gak boleh gitu Nak, pamali. Menikah itu ibadah."***Hari ini jualanku lumayan laku beberapa biji, padahal masih pagi sekali, ada rasa haru dan juga bahagia, kini aku bisa merasakan hasil usaha dari keringatku sendiri. Dulu saat ada suamiku, minta apapun selalu maksa kalau ada kemauan. Tapi kini aku sadar kalau cari uang itu tidak gampang.Maafkan aku Emak dan Mas Rendi, dosaku terlalu banyak pada kalian, aku adalah beban terberat untuk kalian. Walaupun aku belum sempat berbakti pada suamiku."Woy besti kenapa Lo melow banget sih hari ini, pera
Hati gelisah tak menentu, kemana lagi Jali harus mencari istrinya yang hingga kini belum pulang. Sedangkan setahu Jali, Dian tidak punya sahabat ataupun kerabat lagi selain emaknya sendiri, kalau ke rumah Alina mana mungkin, sudah lama mereka tidak akur disebabkan memperebutkan cinta seorang Rojali. "Dian, Dian Lo di mana?" gumam Jali sembari pikirannya terus mencari. Padahal diluar hujan amat deras ditambah suasana terang pun sebentar lagi akan menjadi gelap. Jali menunggu di teras rumah. Sesekali pria bertubuh tinggi itu melihat ponsel, dan menghubungi istrinya akan tetapi masih tidak ada jawaban."Percuma kamu menunggu wanita itu sampai kapanpun sebab dia tidak akan balik lagi kesini," kata Bu Janita yang hendak menemani Jali."Ma, apa Mama tau Dian kemana? Mana mungkin Mama tidak tau seharian ini Dian dirumah bersama Mama?" tanya Jali dengan tatapan kosong itu. "Mama tidak tau apapun Jali!" selalu itu yang terlontar dari jawaban sang Mama.Sebentar lagi adzan magrib akan berkum
Setelah kepulangan Jali dari kantor untuk menggantikan Bu Janita kerja. Lantaran Bu Janita hari ini tidak bisa masuk dikarenakan kepalanya yang terasa pening sebab terlalu memikirkan pernikahan sang anak.Jali melenggang gontai sembari matanya terus melirik ke arah ruangan kamar dan juga semua penjuru ruangan. Disisi lain dia mencari sang istri yang tak terlihat batang hidungnya sama sekali. Hatinya bertanya dimanakah istrinya. Akan tetapi pikirannya langsung menjawab positif bahwa sang istri sedang keluar atau memasak di dapur. Setelah beberapa saat rebahan di kamar, Jali pun merasa terheran. Biasanya kalau Jali baru pulang, jam segini paling istrinya ada di kamar. Akan tetapi kali ini tidak terlihat sama sekali.Dengan rasa penasaran yang memuncak pria berhidung mancung itu melenggang menuju lanttai bawah. Ia mencari di setiap penjuru ruangan dilihatnya secara saksama, namun tak ada sosok sang istri yang terlihat melainkan ada sang Mama yang sedang sibuk dengan ponsel di tangannya.
"Saya beri kamu 2 pilihan, kamu mau pergi dari rumah ini secara diam-diam tanpa sepengetahuan jali atau kamu mau bercerai dengan anak saya? Sebab saya tidak rela anak saya harus bersanding denganmu."Wanita setengah baya itu memberikan dua pilihan yang membuat nafas Diandra sesak. Awalnya Dian sangat enggan dan menolak untuk membuka mulut lantas pilihan tersebut sangat susah untuk dipilih. Bu Janita melangkah mengelilingi kediaman menantunya yang saat ini masih berdiri, mematung dengan pikiran yang melayang jauh entah kemana. "Cepat bicara?! Kesabaran saya sudah habis, saya benar-benar marah dan benci sama kamu Dian, andai saya tau kalau kamu itu wanita miskin yang memang matre mungkin saya tidak akan pernah mau menjodohkan kamu. Nyatanya saya hanya di bohongi oleh wajah polos yang kamu miliki!"Begitu geram Bu Janita memaksa Dian untuk memilih salah satu pilihan yang membuat Dian tidak sanggup untuk memilih. Dian terdiam mematung dengan deraian air mata yang terus saja berlinang mem
"Tadinya aku menikahi Dian atas di dasari karena paksaan Mama dan juga aku ingin membuat Haris cemburu, tapi nyatanya malah aku yang mulai menyukai Dian Ma, aku mohon jangan biarkan aku berpisah dengannya lagi Ma," ungkap Jali. Akan tetapi Bu Janita sangat kecewa dengan kedua pasangan itu terutama pada sang menantu yang tega membohonginya dan mau dibayar oleh Jali. Seharusnya Dian tidak harus melakukan itu demi sebuah uang."Tapi Mama sudah terlanjur kecewa sama kamu dan istri kamu! Jangan-jangan sekarang juga kamu membohongi Mama lagi kalau kamu mempunyai perasaan pada Dian. Pokoknya Mama tidak mau percaya dengan kamu Jali. Dan Mama tidak suka melihat Dian, terserah kamu, kalau kamu tidak mau pergi dari sini kamu ceraikan istri kamu yang murahan itu! Mama sangat eneg lihatnya. Masih banyak perempuan di luar sana yang lebih istimewa dan mempunyai harga diri," sahut Bu Janita dengan emosi yang meluap. Ia begitu kecewa saat tau bahwa pernikahan sang anak adalah pernikahan bayaran. Bah
"Sayang aku mau ke kamar duluan ya kalau kamu mau disini dulu."Jali melenggang ke lantas 2 menaiki tangga untuk menyimpan tas besar yang saat ini Dian bawa. Kali ini Dian membawa beberapa foto dan juga barang kesayangannya yang sempat ia simpan di rumah Emak.Padahal wanita muda berbulu mata lentik itu masih merasakan betah dirumah masa kecilnya dulu. Akan tetapi Jali memaksanya untuk pulang ikut bersamanya.Aku terpaku di ruangan utama, kaki Dian rasanya pegal sekali walaupun Dian baru saja menaiki mobil saat datang kesini."Berani juga ya kamu datang lagi kesini! Gak tau malah banget! Sudah menjadi pengganggu suami mertuanya, eh malah balik lagi. Kalau aku sih malas banget! Malu banget! Mau ditaruh dimana muka yang cantik ini, Dasar pengganggu suami orang. Eh bukan suami orang lebih tepatnya suami mertua sendiri! Menanti macam apa?!" Ledekan pedas itu sudah sering Dian dengan, dan suara yang meledek Dian pun tak lain adalah wanita yang pernah mewarnai kehidupan suaminya."Eh Rindu
"Jangan sebut istriku murahan Ma. Dian kamu yakin 'kan tidak bermaksud menggoda Haris? Sekarang kamu katakan di hadapan kami semua kalau kamu tidak bersalah," titah Jali sembari memandang sang istri penuh rasa bersalah sebab sebelumnya ia septa tak percaya."Iya, aku sama sekali tak mencintai siapapun terkecuali suamiku sendiri," ungkap Dian.Wanita muda cantik terkejut tatkala sang suami kini mulai mempercayainya, dengan senang hati Dian memeluk Jali di hadapan semua anggota keluarganya membuat Emak Jamilah seketika terharu melihat adegan sepasang sejoli yang tak ingin dipisahkan itu.Dian pun tak menyangka kalau akhirnya dia bisa lagi memeluk tubuh sang suami dengan erat setelah permasalahan yang hampir saja membuat dirinya dan Jali berpisah untuk selamanya.Mak Jamilah tersenyum penuh kebahagiaan yang tiada Tara, ia ikut senang dengan kehadiran Jali yang datang disaat waktu begitu tepat."Sayang pokoknya aku gak mau tau, Jali dan Dian harus bercerai, mereka tidak boleh disatukan, s
Pagi ini langit amatlah mendung ditemani rintikan hujan membasahi genting dan juga halaman semuanya nampak basah. Dian yang kala itu sedang termenung, berharap hadirnya kedatangan seseorang, tapi mungkin semuanya hanya bayangan semata. Mata mungkin suaminya datang kesini."Dian ayo makan," titah Mak Jamilah tatkala sang cucu malah tak bergeming sama sekali. Mak Jamilah pun mengambil tindakan dengan mengambilkan nasi pada piring kosong milik Dian. "Mak, gak usah repot-repot, Dian sedang malas makan, nanti saja makannya ya," sahut Dian sembari menolak sepiring nasi putih yang disodorkan Mak Jamilah."Dian kamu kemana?" seru Mak Jamilah pada sang cucu yang tiba-tiba saja gegas bangkit meninggalkan meja makan.Mak Jamilah pun nampak bingun dengan keadaan semua ini. Dian kembali duduk di ruang utama sembari matanya terus saja memandangi air hujan yang semakin siang semakin deras. Percikan kerinduan mulai terasa, nyatanya jauh dari sang suami membuatnya sangat terpuruk. Padahal baru saj
"Dian, kamu kenapa Nak, kenapa harus menangis? Apa yang sedang terjadi? Kenapa kamu kesini sendiri? Suamimu mana?" Pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut nenek tua yang telah keriput dimakan usia. Emak Jamila begitu kaget saat melihat keadaan sang cucu yang telah menangis tersedu-sedu. Mata lentik Dian kini berubah menjadi bengkak disertai warna merah."Mak Dian di fitnah oleh Haris dan bude Meri, mereka menuduh Dian berselingkuh, padahal aku sama sekali tidak melakukan hal keji itu, apalagi saat ini statusku istri orang. Mana berani aku melakukan itu," tak hentinya wanita muda itu menangis.Dian memeluk tubuh sang nenek, walaupun air matanya tak henti terus saja luruh. Dengan perlahan Mak Jamilah mengelus bahu Dian dengan telapak tangan begitu lembut."Kita masuk Nak, bicarakan di dalam saja, tidak enak kalau orang lain melihat kamu sedang menangis begini," sahut Mak Jamilah sembari memapah tubuh Dian yang nampak lemas itu.Mak Jamila membawa cucunya masuk kedalam rumah dan me
"Apa maksud kalian dengan semua ini?!" tiba-tiba saja Bu Janita bersama Jali datang sembari melotot.Bagi Janita hari ini adalah hari yang terburuk, rasanya seperti si sambar gledek disiang bolong. Menantu kesayangannya berselingkuh dengan suami muda yang amat dicintainya.Janita memperlihatkan sebuah gambar, yang memang mambuat Dian dan Haris tentu saja terlonjak kaget, gambar yang di perlihatkan Janita, yakni gambar saat Haris mencium Diandra tadi.Mata Dian melirik bergantian pada kediaman bude Meri, wanita berparas cantik itu yakin bahwa Foto itu pemberian dari bude Meri, pantas saja ia merasa bahwa ada sinar Blige ponsel pada saat Haris hampir saja menodainya."Ma, tadi Haris mau melukai aku makannya dia menciumi secara paksa, tadi aku sudah coba melawan akan tetapi tanganku tak bisa melawan dan memberontak," ungkapku tergopoh menjelaskan pada sang mertua.Akan tetapi sepertinya Bu Janita tak percaya sama sekali sebab ia membaca pesan dari bude Meri bahwa Diandra menggoda Haris -