"Inalilahi wainalilahi rojiun," ucap Paman Dude ketika sudah selesai menyentuh pergelangan tangan Rendi.
Wanita muda berparas cantik itu menjerit histeris, menangis terisak-isak tak terima jika sang suami telah pergi untuk selama-lamanya.Dian memeluk jasad sang suami begitu erat di pangkuannya. Sambil mencium pipi suami yang amat di sayanginya untuk yang terakhir kali.Dian begitu syok tak terima jika sang suami yang amat dicintainya harus dinyatakan meninggal dunia.Akhirnya Dian pun tak kuasa, ia lemah dan jatuh pingsan.Tak percaya nasib suaminya begitu tragis, kalau saja hari ini tidak ada Sari si janda kembang itu mungkin Dian pun tak akan menjadi janda di tinggal mati.***Di tengah kerumunan tetangga dan kerabat dari Emak Jamilah yang sedang melayad rumah duka, terlihat Diandra yang masih terbujur kaku di atas ranjang. Wanita muda itu masih belum sadarkan diri, sedangkan sang nenek sudah berusaha agar cucu satu-satunya terbangun kembali.Wanita paruh baya itu mengusap pipinya yang telah basah dengan cairan yang terus luruh dari pelupuk. Hari ini baginya teramat sakit, hatinya begitu hancur. bagaimana tidak, suami Diandra telah meninggal dunia dan Diandra sampai detik ini belum sadarkan diri."Kasihan sekali Dian ya Mak, baru saja menikah, sudah jadi janda lagi," bisik Bu Marni yang terharu melihat keadaan itu.Mak Jamilah mengambil air dingin lalu ia berdoa memohon agar cucunya cepat sadarkan diri. Sebab tak kuasa kalau harus ditinggalkan. Tiada lagi yang selalu menemani hari-harinya selain Dian.'Ya Allah sadarkanlah cucuku, aku tak sanggup kalau harus kehilangan dia. Aku mencoba ikhlas untuk kehilangan Rendi -suami cucuku tapi aku belum sanggup kalau kehilangan Dian,' ungkap batin Mak Jamilah berdoa, dari lubuk hatinya yang paling dalam ia memohon agar secepatnya Dian di sadarkan.Setelah itu Mak Jamilah meniupkan pada air yang saat ini sedang di genggaman tangan yang telah keriput itu.Mak Jamilah mengeluskan pelan air tersebut pada kening dan seluruh badan cucunya, berharap doanya di Kabul oleh yang Maha Kuasa.Setelah beberapa menit akhirnya tubuh Dian bergerak pelan."Mas Rendi, Mas Rendi." Hanya nama itu yang pertama kali keluar dari mulut Dian. Membuat Mak Jamilah dan ibu-ibu yang lainnya menjadi iba dan terharu."Alhamdulillah Mak, Dian sadar. Tapi Dian panas sekali, mungkin karena terlalu syok makannya jadi demam begini," ujar salah seorang tetangga Mak Jamilah, Bu Syaidah manusia yang paling alim sekampung."Alhamdulillah," ucap Mak Jamilah amat terharu, "Terimakasih Ya Allah.""Nak bangun," perintah Mak Jamilah sambil terus mengeluskan air pada wajah Dian yang masih bergumam menyebut nama sang suami.Dengan pelan wanita muda itu membuka mata, dia mulai celingukan mencari keberadaan sang suami yang tak ada disisinya lagi.Dian berusaha bangkit dari rebahnya dibantu juga oleh Bu Saidah yang masih menemani Mak Jamilah."Mak, Mas Rendi mana?" tanya Dian begitu pilu, membuat Mak Jamilah tak kuasa untuk menjawab semuanya yang telah terjadi."Bukankah kamu sudah tau Dian? Kalau suamimu sudah pergi untuk meninggalkan kita selamanya," ungkap Bu Saidah membantu menjawab pertanyaan Dian."Dian pikir yang terjadi pada Mas Rendi itu hanya mimpi semata Mak! Apakah benar Mak, Mas Rendi meninggal, Mak dan Bu Saidah pasti bohong 'kan? Kalian lagi ngerjain Dian, lantaran mau bikin surprise ulang tahun Dian 'kan. Dian tau kok," ungkap Dian seraya air mata yang tak hentinya mengalir ke pipi.Seharusnya hari ini adalah hari spesial baginya, akan tetapi malah sebaliknya. Di hari ulang tahunnya ini Dian malah harus kehilangan orang yang amat di cintainya.Dian menggelengkan kepala sebab tak percaya dengan hari ini, wanita berhidung mancung itu berharap bahwa semuanya hanyalah mimpi semata. Akan tetapi ini nyata adanya."Mak, katakan kalau Mas Rendi tidak meninggal?!" ungkap Dian penuh penekanan.Mak Jamilah hanya menggelengkan kepala iya mengiyakan apa yang memang sudah menjadi takdir."Suamimu telah beres dikuburkan Nak, tadi kamu tak sadarkan diri terlalu lama, dan kalau menunggu kamu sadar pun, pasti kamu tak kuasa melihat pemakaman suamimu sendiri," papar Bu Hajah Karmila mengingatkan."Tidak! Suamiku tidak meninggal! Kalian semua bohong!" Tangis isak Dian tidak bisa di ingatkan. Hati istri mana yang bisa menerima jika suami yang amat dicintainya harus pergi dahulu meninggalkannya seorang diri."Eling Nak (sadar). Ini sudah guratan takdir dari Gusti Allah bahwa kalian harus berpisah secepat ini, sekarang kamu shalat ashar Nak. Doakan Rendi, ikhlaskan suamimu pergi, agar dia bisa tenang di alam sana. Menangis tidak akan membuat suamimu bahagia disana. Sabar ya Nak, semoga Allah memberimu kesabaran yang luar biasa," tutur Mak Jamilah mencoba menyadarkan sang cucu yang masih tidak terima dengan kepergian sang suami yang sangat cepat itu."Benar kata Mak Jamilah, lebih baik kamu berdoa memohon pengampunan agar dosa suamimu dimaafkan dan semoga Rendi tenang dialam sana," ujar Bu Saidah.Dengan berat hati Dian bangkit dari duduknya, walaupun badannya kini terasa lemas, namun bagaimanapun caranya shalat ashar adalah kewajiban, jadi ia harus melaksanakan terlebih dahulu.Mak Jamilah tersenyum kecil ketika melihat cucunya mau melaksanakan sholat, setidaknya Dian masih kuat untuk menghadapi kenyataan yang begitu pahit ini.Setelah Dian melaksanakan shalat, ia masih betah duduk di hamparan sajadah sambil menengadahkan kedua tangannya. Maka saat itu juga bulir-bulir bening mengalir tanpa permisi."Ya Allah aku mohon, ampuni dosa suamiku, tempatkan dia di tempat yang paling indah di surga-Nya. Semoga amal ibadahnya diterima. Amin." Pada saat Dian mengucapkan Amin, saat itu juga air matanya semakin deras.Jika saja takdir bisa di tukar, lebih baik Dian harus kehilangan nyawanya sendiri, dari pada harus kehilangan nyawa suami yang amat disayanginya itu. Pernikahannya terlalu indah untuk ditinggalkan. Namun, apalah daya kami umat manusia hanya bisa tabah dan pasrah, semuanya hanya Allah yang mengatur. Kalau di ibaratkan kita hanya jadi pemeran, bukan sutradara."Dian kamu makan dulu, jangan biarkan cacing di perutmu kelaparan kasihan mereka," ajak Mak Jamilah.Dian menoleh pelan pada kediaman sang nenek yang masih di ambang pintu menunggunya. Matanya yang keriput itu terlihat bengkang lantaran telah tak hentinya menangis.Wanita yang Dian anggap sebagai ibunya itu telah tua, jika saja melihat Dian selalu terpuruk seperti ini pasti Mak pun akan ikut frustasi sama seperti Dian."Baik Mak, tapi Dian mau melipat dulu mukena. Mak tunggu saja bersama ibu-ibu yang lainnya," sahut Dian sambil melepas mukena yang telah melekat menutupi tubuhnya.Dian menyimpan kembali mukena itu pada lemari kamarnya yang biasa Dian simpan di tempatnya.Pada saat menyimpan mukena, lagi-lagi Dian harus melihat fotonya bersama sang suami di masa dulu.Pipi yang sempat beberapa saat mengering karena di lap. Akhirnya air mata luruh kembali bersama rasa sesak di dada."Mas, mengapa secepat ini kamu harus meninggalkan aku. Aku pikir kita akan secepatnya punya anak. Mas kamu pernah bilang sama aku, kalau kamu akan menjagaku dan selalu menemaniku. Tapi nyatanya apa? Kamu malah pergi lebih dulu," ungkap Dian begitu sendu sambil tangan memegang foto."Dian ayo makan," ajak Mak Jamilah ketika Dian masih belum menghampirinya.Mak Jamilah khawatir kalau cucunya di tinggalkan sendiri, maka dari itu ia akan terus bawel dan selalu menemaninya."Iya Mak sebentar," kata Dian sambil menyimpan lagi foto bersama suaminya itu.Dian melangkah dengan penuh kesedihan untuk menghampiri Mak Jamilah yang terus memaksanya agar makan."Makan ya Nak, kasihan perutmu sudah terus berbunyi dari tadi," papar Mak Jamilah."Mak nanti antar aku ke makam Mas Rendi ya?"Mak Jamilah hanya menganggukkan kepala saat cucunya meminta permintaan yang amat sederhana.***Di gundukkan tanah yang masih memerah ini, Dian berharap suaminya tenang di alam sana. Dian janji, bahwa al fatihah selalu ia kirimkan untuknya setiap saat, setiap jam bahkan Mungkin setiap detik.Dian membuka tutup botol Aqua yang di bawanya, lalu menyiram gundukan tanah merah tersebut dengan air bening. Ia selalu berharap bahwa semuanya hanyalah mimpi, akan tetapi wanita muda itu harus sadar dan lebih sabar lagi bahwa Rendi memang telah tiada.'Andai kamu tau bahwa hatiku hancur berkeping-keping. Rasanya aku tak bisa hidup tanpamu, rasanya sakit, bagaikan terperosok dalam jurang yang amat dalam lalu di cabik-cabik oleh belati berkarat,' batin Dian merintih.Dian menatap nama yang terpampang di batu nisan. Semoga suaminya bahagia disana, doa nya selalu menyertai Rendi.Dian menghela nafas yang terasa berat . Tak kuasa bila ia terus disini memandangi nama di batu nisan itu."Mak, ayo kita pulang."Setelah menaburi bunga pada gundukan tanah yang masih merah itu, semakin Dian merasakan nyeri yang teramat dalam."Sabar ya Dian. Semoga kamu kuat menghadapi semua ini. Mak tau kamu wanita yang kuat, yang tangguh dan kamu bisa menjalankan hidup tanpa suamimu itu," papar Mak Jamilah menasehati sang cucu."Mak aku menyesal. Dulu aku selalu teledor padanya, bahkan untuk mencium tanganya saja aku malas karena aku terlalu fokus dengan ponsel sebab selalu sibuk main game, dan selalu bangun tidur kesiangan. Aku menyesal Mak. Rendi pria yang terbaik yang aku kenal," ungkap Dian ketika mengenang almarhum suami.3 TAHUN BERLALUPOV DIANDRA.Air mataku pecah ketika aku memandang gerobak cilok yang sering Mas Rendi pakai untuk berjualan cilok keliling. Ada rasa menyesal di benakku ketika saat itu aku tinggalkan dia sendirian. Mungkin kalau aku tak meninggalkannya kala itu, aku akan mati bersama Mas Rendi atau mungkin Mas Rendi akan selamat bersama ku kalau aku tidak meninggalkannya sendirian pada saat itu.Mas, nyatanya sampai saat ini aku belum bisa melupakanmu, aku terlalu lemah tanpamu. Mas aku merindukanmu, apakah kau disana juga merindukanku. Rasanya aku ingin secepatnya menyusulmu ke alam sana. Kalau saja bunuh diri itu tidak dosa, maka akan aku lakukan. Kau pergi meninggalkan sejuta luka, kesiapan ku belum sempurna untuk kau tinggalkan begitu saja.Inilah yang membuatku hampir saja depresi, aku menyesali perkataan ku yang amat egois dan menyebalkan padamu. Ucapan yang keluar dari mulutku ini begitu kasar, kurang sopan bahkan tidak ada rasa hormat pada suami. Aku begitu menyasal Mas, dad
Byuur! Satu gelas air mendarat di wajahku, alangkah aku terkejut saat kulihat Emak sudah siap dengan tangan memegang gelas yang masih berisi air setengahnya lagi."Maaf Dian, Emak sudah lancang mengguyur dengan air ini, lantaran kamu susah sekali di bangunkan, jadi Emak terpaksa ambil air untuk menyemburkan pada mukamu," papar Emak penuh permohonan.Entah disengaja atau tidak, yang jelas memang aku kalau di bangunkan tidur suka susah dari dulu juga, pantas saja Mas Rendi waktu pertama kali menikah sering marah-marah tak jelas."Tidak apa Mak," kataku pasrah sambil mengelap wajah dengan selimut yang saat ini ku pakai."Emak minta tolong kamu hubungi Mang Odang, Emak mau ngojek. Kaki Emak pegal-pegal sekali Dian," ungkap Mak Jamilah sambil memijat kakinya.Aku terharu saat mendengar keluh kesah nenek tua itu, pasti kakinya sudah mulai lemah karena dimakan usia, makannya jadi pegal-pegal seperti itu."Baik Mak, aku Whatsap dulu ya," kataku sambil mengutak-ngatik benda pipih yang selalu
Tanganku bergetar memberikan lembaran uang pada pria yang amat tampan itu, kalau saja aku tau bukan dia yang akan muncul di warung ini, pasti aku mencari pinjeman dulu sama tetangga, sekarang tidak ada pilihan lain lagi deh, "Ini uangnya."Ada rasa takut juga kalau uangnya di tolak karena alasan jelek, sudah pasti aku malu, sudah seperti di tolak cinta rasanya pasti nyeri."Terimakasih Teh, apa gak sekalian aja sama nomor Whatsap nya?" goda Paisal.Untung matanya tidak meneliti uang ku berikan, alhasil aku terbebas dari rasa maluku dan rasa takutku akan di tolak."Paisal! Kamu jangan main-main dengan janda! Apalagi janda itu suaminya telah mati," tegur Bu Salma pada Paisal sekaligus menyindirku.Pantesan kata Emak mulutnya kayak tutup langseng bolong, eh ternyata bukan sekedar tutup langseng tapi sekalian sama tutup panci yang telah jelek."Paisal sana pergi kedalam, kalau sudah, ngapain masih ngobrol! Buang-buang waktu saja," gerutu Bu Salma.Aku pun yang masih terpaku dengan berat ha
Akhirnya aku pasrah dan duduk manis ku kursi depan, bersebelahan dengan Juragan Dingkul yang penampilannya sudah om-om berkumis baplang dan berkepala botak. Pokoknya serem sekali.Seiring lajunya mobil dengan kecepatan yang menurutku amat pelan. Pandangan Juragan Dingku terus saja melirik padaku, memang aku merasa tak nyaman dan gelisah. Ada rasa takut dan keringat pun bercucuran membasahi dahi."Pak Juragan, bisa gak kalau itu mata liatnya kesonoh. Bukan Lian ke saya terus, nanti kalau nabrak tronton 'kan berabe juga. Mana mobil juragan rusak dan aku bisa mati mendadak, aku tidak mau pokoknya aku gak mau mati sekarang, masih muda ini. Masih banyak cowok-cowok yang menungguku di luar sana," umpatku di sela rasa takutku."Neng Dian tenang saja, jangan takut begitu karena mati, 'kan di sebelah Neng Dian ada Abang.""Ih ogah situ lebih mirip malaikat pencabut nyawa, aye takut banget.""Masa iya si Neng, Abang mirip malaikat pencabut nyawa, kayaknya lebih mirip Raffi Ahmad deh.""Busyet R
"Juragan semakin hari semakin tampan dan juga kaya saja, memang dia juragan yang palih sempurna di kampung kita, tidak hanya baik dan juga gagah tapi juga ramah suka bagi-bagi uang," celoteh tetanggaku Pak Umar.Hampir saja kumis baplang juragan Dingkul beralih ke pada Ceu Saodah.Aku bingung harus melakukan apa, tubuhku masih terkurung di dalam mobil Juragan Dingkul, sedangkan Juragan Dingkul sudah keluar untuk menemui keramayan tetanggaku sama sekalian mau bagi-bagi uang, lantaran banyak sekali yang memujinya."Dasar orang aneh, di puji-puji saja langsung di bagi uang, giliran ngutak ke warung gak di perbolehkan. Manusia apa yang seperti itu," gumamku lirih masih berdiam diri di dalam mobil.Ketika semua tetangga sedang berkumpul karena akan di bagi uang oleh Juragan Dingkul, akhirnya aku punya peluang untuk bisa keluar dari perangkap mobil ini.Ku buka pintu mobil ini secara perlahan di barengi dengan sehati-hati mungkin, semoga saja mereka tidak ada yang melihatku bahkah tidak ada
"Misi!" seru seorang pria paruh baya bertubuh kekar dan berwajah seram serius, pokoknya kaya Kang Komar di preman pensiun deh."Iya Pak, ada apa? Atau mau beli cilok?"sahutku ramah terhadapnya."Mau beli cilok gimana! Ini tempat saya, kamu gak lihat saya pedagang juga, saya bawa gerobak juga ini!" ketusnya.Aku menelan saliva dengan susah payah, kala mendengar sentakannya, ku pikir bapak yang barusan akan membeli cilok."Ini lapak saya, biasanya saya dagang disini! Sana kamu pergi dan cari lapak lain saja," tegasnya sambil mengusirku.Aku mengusap dada yang terasa sesak ini. Lagi-lagi aku dapat semburan dari orang, kalau di rasa-rasa hari pertama berdagang kok apes banget sih, pagi kena semprot ibu-ibu, sekarang malah di semprot sama Bapak-bapak. Nanti sore apa lagi.Begini amat jadi pedagang kecil udah jam 10 siang tapi cilok ini belum laku satupun.Ada rasa mengeluh dengan semua ini, tapi mau gimana lagi aku harus menjadi wanita kuat, sama seperti Emak, walaupun Emak udah tua tapi wa
"Semuanya gara-gara Lo, gue yang jadi korban," lirih pria itu.Ku ulurkan tanganku untuk membantunya berdiri, "Nanti gue obati, sekarang Lo ikut gue dulu."Dia hanya menuruti keinginanku. Tak ada kata-kata lagi yang terucap diantara kami, akhirnya aku memapah pria yang tak ku kenal sama sekali untuk kembali ke gerobak cilok ku."Lo tunggu disini, nanti gue ambilkan obat merah sama kapas sama sekalian lebam lo gue lapin ya biar gak biru dan membengkak," kataku sambil mengambil barang untung disiapkan.Tak berselang lama, aku mengelap beberapa luka lebam di dahi dan juga bagian tubuh lain, gak parah juga sih, tapi kayaknya sakit.Tak terasa mata kami saling berpandangan, hampir saja jantungku terbang akan copot dari tempatnya."Nih lap sendiri, Lo pake acara Mandang gue segala lagi. Gue jadi teplek nih," ku lemparkan lap basah itu pada wajahnya."Gila Lo, cewe galaknya minta ampun. Kaya ibu tiri gaya Lo.""Suka-suka gue,lain Lo pake acara mandangin, emang sih gue ini cantik tapi Lo liha
"Haris apa yang kamu lakukan dengan wanita itu?!" Suara hentakan itu tiba-tiba menyembur dari dalam mobil seseorang.Emang sih kalau di pikir-pikir di tempat umum pake acara peluk-pelukan, emang dasar kamu kelewatan rindu jadinya di tepi jalan aja serasa di hotel bintang lima."Siapa itu?" lirihku bertanya pada Haris."Itu tanteku dia akan marah kalau melihat aku dengan wanita. Kamu pergi ya, nanti dia suka marah. Cepat pergi ya disini." Haris berbisik di telingaku.Aku bahkan melongo terheran saat mendengar paparan Haris. Kok bisa sih seorang Tante marah ketika keponakannya yang sudah dewasa berada di pelukan wanita. Apa karena kami sedang berada di tepi jalan?"Baiklah." Aku mendorong rodaku dengan cepat sambil segera berlari menjauhi kediaman Haris.Ketika sudah sampai di rumah dadaku naik turun dengan nafas yang masih ngos-ngosan.Mata Emak melotot ketika melihatku."Kenapa kamu ngos-ngosak gitu kaya orang yang sekarat aja Dian? Kamu di kejar badak atau di kejar setan sih? Narik n
Hati gelisah tak menentu, kemana lagi Jali harus mencari istrinya yang hingga kini belum pulang. Sedangkan setahu Jali, Dian tidak punya sahabat ataupun kerabat lagi selain emaknya sendiri, kalau ke rumah Alina mana mungkin, sudah lama mereka tidak akur disebabkan memperebutkan cinta seorang Rojali. "Dian, Dian Lo di mana?" gumam Jali sembari pikirannya terus mencari. Padahal diluar hujan amat deras ditambah suasana terang pun sebentar lagi akan menjadi gelap. Jali menunggu di teras rumah. Sesekali pria bertubuh tinggi itu melihat ponsel, dan menghubungi istrinya akan tetapi masih tidak ada jawaban."Percuma kamu menunggu wanita itu sampai kapanpun sebab dia tidak akan balik lagi kesini," kata Bu Janita yang hendak menemani Jali."Ma, apa Mama tau Dian kemana? Mana mungkin Mama tidak tau seharian ini Dian dirumah bersama Mama?" tanya Jali dengan tatapan kosong itu. "Mama tidak tau apapun Jali!" selalu itu yang terlontar dari jawaban sang Mama.Sebentar lagi adzan magrib akan berkum
Setelah kepulangan Jali dari kantor untuk menggantikan Bu Janita kerja. Lantaran Bu Janita hari ini tidak bisa masuk dikarenakan kepalanya yang terasa pening sebab terlalu memikirkan pernikahan sang anak.Jali melenggang gontai sembari matanya terus melirik ke arah ruangan kamar dan juga semua penjuru ruangan. Disisi lain dia mencari sang istri yang tak terlihat batang hidungnya sama sekali. Hatinya bertanya dimanakah istrinya. Akan tetapi pikirannya langsung menjawab positif bahwa sang istri sedang keluar atau memasak di dapur. Setelah beberapa saat rebahan di kamar, Jali pun merasa terheran. Biasanya kalau Jali baru pulang, jam segini paling istrinya ada di kamar. Akan tetapi kali ini tidak terlihat sama sekali.Dengan rasa penasaran yang memuncak pria berhidung mancung itu melenggang menuju lanttai bawah. Ia mencari di setiap penjuru ruangan dilihatnya secara saksama, namun tak ada sosok sang istri yang terlihat melainkan ada sang Mama yang sedang sibuk dengan ponsel di tangannya.
"Saya beri kamu 2 pilihan, kamu mau pergi dari rumah ini secara diam-diam tanpa sepengetahuan jali atau kamu mau bercerai dengan anak saya? Sebab saya tidak rela anak saya harus bersanding denganmu."Wanita setengah baya itu memberikan dua pilihan yang membuat nafas Diandra sesak. Awalnya Dian sangat enggan dan menolak untuk membuka mulut lantas pilihan tersebut sangat susah untuk dipilih. Bu Janita melangkah mengelilingi kediaman menantunya yang saat ini masih berdiri, mematung dengan pikiran yang melayang jauh entah kemana. "Cepat bicara?! Kesabaran saya sudah habis, saya benar-benar marah dan benci sama kamu Dian, andai saya tau kalau kamu itu wanita miskin yang memang matre mungkin saya tidak akan pernah mau menjodohkan kamu. Nyatanya saya hanya di bohongi oleh wajah polos yang kamu miliki!"Begitu geram Bu Janita memaksa Dian untuk memilih salah satu pilihan yang membuat Dian tidak sanggup untuk memilih. Dian terdiam mematung dengan deraian air mata yang terus saja berlinang mem
"Tadinya aku menikahi Dian atas di dasari karena paksaan Mama dan juga aku ingin membuat Haris cemburu, tapi nyatanya malah aku yang mulai menyukai Dian Ma, aku mohon jangan biarkan aku berpisah dengannya lagi Ma," ungkap Jali. Akan tetapi Bu Janita sangat kecewa dengan kedua pasangan itu terutama pada sang menantu yang tega membohonginya dan mau dibayar oleh Jali. Seharusnya Dian tidak harus melakukan itu demi sebuah uang."Tapi Mama sudah terlanjur kecewa sama kamu dan istri kamu! Jangan-jangan sekarang juga kamu membohongi Mama lagi kalau kamu mempunyai perasaan pada Dian. Pokoknya Mama tidak mau percaya dengan kamu Jali. Dan Mama tidak suka melihat Dian, terserah kamu, kalau kamu tidak mau pergi dari sini kamu ceraikan istri kamu yang murahan itu! Mama sangat eneg lihatnya. Masih banyak perempuan di luar sana yang lebih istimewa dan mempunyai harga diri," sahut Bu Janita dengan emosi yang meluap. Ia begitu kecewa saat tau bahwa pernikahan sang anak adalah pernikahan bayaran. Bah
"Sayang aku mau ke kamar duluan ya kalau kamu mau disini dulu."Jali melenggang ke lantas 2 menaiki tangga untuk menyimpan tas besar yang saat ini Dian bawa. Kali ini Dian membawa beberapa foto dan juga barang kesayangannya yang sempat ia simpan di rumah Emak.Padahal wanita muda berbulu mata lentik itu masih merasakan betah dirumah masa kecilnya dulu. Akan tetapi Jali memaksanya untuk pulang ikut bersamanya.Aku terpaku di ruangan utama, kaki Dian rasanya pegal sekali walaupun Dian baru saja menaiki mobil saat datang kesini."Berani juga ya kamu datang lagi kesini! Gak tau malah banget! Sudah menjadi pengganggu suami mertuanya, eh malah balik lagi. Kalau aku sih malas banget! Malu banget! Mau ditaruh dimana muka yang cantik ini, Dasar pengganggu suami orang. Eh bukan suami orang lebih tepatnya suami mertua sendiri! Menanti macam apa?!" Ledekan pedas itu sudah sering Dian dengan, dan suara yang meledek Dian pun tak lain adalah wanita yang pernah mewarnai kehidupan suaminya."Eh Rindu
"Jangan sebut istriku murahan Ma. Dian kamu yakin 'kan tidak bermaksud menggoda Haris? Sekarang kamu katakan di hadapan kami semua kalau kamu tidak bersalah," titah Jali sembari memandang sang istri penuh rasa bersalah sebab sebelumnya ia septa tak percaya."Iya, aku sama sekali tak mencintai siapapun terkecuali suamiku sendiri," ungkap Dian.Wanita muda cantik terkejut tatkala sang suami kini mulai mempercayainya, dengan senang hati Dian memeluk Jali di hadapan semua anggota keluarganya membuat Emak Jamilah seketika terharu melihat adegan sepasang sejoli yang tak ingin dipisahkan itu.Dian pun tak menyangka kalau akhirnya dia bisa lagi memeluk tubuh sang suami dengan erat setelah permasalahan yang hampir saja membuat dirinya dan Jali berpisah untuk selamanya.Mak Jamilah tersenyum penuh kebahagiaan yang tiada Tara, ia ikut senang dengan kehadiran Jali yang datang disaat waktu begitu tepat."Sayang pokoknya aku gak mau tau, Jali dan Dian harus bercerai, mereka tidak boleh disatukan, s
Pagi ini langit amatlah mendung ditemani rintikan hujan membasahi genting dan juga halaman semuanya nampak basah. Dian yang kala itu sedang termenung, berharap hadirnya kedatangan seseorang, tapi mungkin semuanya hanya bayangan semata. Mata mungkin suaminya datang kesini."Dian ayo makan," titah Mak Jamilah tatkala sang cucu malah tak bergeming sama sekali. Mak Jamilah pun mengambil tindakan dengan mengambilkan nasi pada piring kosong milik Dian. "Mak, gak usah repot-repot, Dian sedang malas makan, nanti saja makannya ya," sahut Dian sembari menolak sepiring nasi putih yang disodorkan Mak Jamilah."Dian kamu kemana?" seru Mak Jamilah pada sang cucu yang tiba-tiba saja gegas bangkit meninggalkan meja makan.Mak Jamilah pun nampak bingun dengan keadaan semua ini. Dian kembali duduk di ruang utama sembari matanya terus saja memandangi air hujan yang semakin siang semakin deras. Percikan kerinduan mulai terasa, nyatanya jauh dari sang suami membuatnya sangat terpuruk. Padahal baru saj
"Dian, kamu kenapa Nak, kenapa harus menangis? Apa yang sedang terjadi? Kenapa kamu kesini sendiri? Suamimu mana?" Pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut nenek tua yang telah keriput dimakan usia. Emak Jamila begitu kaget saat melihat keadaan sang cucu yang telah menangis tersedu-sedu. Mata lentik Dian kini berubah menjadi bengkak disertai warna merah."Mak Dian di fitnah oleh Haris dan bude Meri, mereka menuduh Dian berselingkuh, padahal aku sama sekali tidak melakukan hal keji itu, apalagi saat ini statusku istri orang. Mana berani aku melakukan itu," tak hentinya wanita muda itu menangis.Dian memeluk tubuh sang nenek, walaupun air matanya tak henti terus saja luruh. Dengan perlahan Mak Jamilah mengelus bahu Dian dengan telapak tangan begitu lembut."Kita masuk Nak, bicarakan di dalam saja, tidak enak kalau orang lain melihat kamu sedang menangis begini," sahut Mak Jamilah sembari memapah tubuh Dian yang nampak lemas itu.Mak Jamila membawa cucunya masuk kedalam rumah dan me
"Apa maksud kalian dengan semua ini?!" tiba-tiba saja Bu Janita bersama Jali datang sembari melotot.Bagi Janita hari ini adalah hari yang terburuk, rasanya seperti si sambar gledek disiang bolong. Menantu kesayangannya berselingkuh dengan suami muda yang amat dicintainya.Janita memperlihatkan sebuah gambar, yang memang mambuat Dian dan Haris tentu saja terlonjak kaget, gambar yang di perlihatkan Janita, yakni gambar saat Haris mencium Diandra tadi.Mata Dian melirik bergantian pada kediaman bude Meri, wanita berparas cantik itu yakin bahwa Foto itu pemberian dari bude Meri, pantas saja ia merasa bahwa ada sinar Blige ponsel pada saat Haris hampir saja menodainya."Ma, tadi Haris mau melukai aku makannya dia menciumi secara paksa, tadi aku sudah coba melawan akan tetapi tanganku tak bisa melawan dan memberontak," ungkapku tergopoh menjelaskan pada sang mertua.Akan tetapi sepertinya Bu Janita tak percaya sama sekali sebab ia membaca pesan dari bude Meri bahwa Diandra menggoda Haris -