Byuur!
Satu gelas air mendarat di wajahku, alangkah aku terkejut saat kulihat Emak sudah siap dengan tangan memegang gelas yang masih berisi air setengahnya lagi."Maaf Dian, Emak sudah lancang mengguyur dengan air ini, lantaran kamu susah sekali di bangunkan, jadi Emak terpaksa ambil air untuk menyemburkan pada mukamu," papar Emak penuh permohonan.Entah disengaja atau tidak, yang jelas memang aku kalau di bangunkan tidur suka susah dari dulu juga, pantas saja Mas Rendi waktu pertama kali menikah sering marah-marah tak jelas."Tidak apa Mak," kataku pasrah sambil mengelap wajah dengan selimut yang saat ini ku pakai."Emak minta tolong kamu hubungi Mang Odang, Emak mau ngojek. Kaki Emak pegal-pegal sekali Dian," ungkap Mak Jamilah sambil memijat kakinya.Aku terharu saat mendengar keluh kesah nenek tua itu, pasti kakinya sudah mulai lemah karena dimakan usia, makannya jadi pegal-pegal seperti itu."Baik Mak, aku Whatsap dulu ya," kataku sambil mengutak-ngatik benda pipih yang selalu menemaniku sepanjang hari.Mak Jamilah duduk di tepi ranjang, menunggu balasan dari Mang Odang.Ku tatap postur tubuh yang telah keriput dimakan usia itu, kasihan sekali Emak, dia harus mencari pundi rupiah seorang diri, di saat nenek seusianya telah beristirahat, tapi Emak masih berusaha banting tulang cari uang.Terpikir dengan badanku yang sehat serta kuat ini. Ucapan Alina benar sampai kapan aku terus begini. Bagaimana mau ada kemajuan kalau hanya tidur, duduk sambil melamun memikirkan suamiku yang jelas telah tiada.Kasihan sekali Emak. Baiklah mulai dari sekarang aku akan coba membantunya dengan cara kerja apapun."Mak kalau Mak sedang tidak enak badan, lebih baik Mak libur aja dulu. Suara Emak juga serak gitu, mungkin Emak terkena flu," ujarku."Mak gak papa Dian, Emak kuat kok. Mak sehat, tuh lihat tubuh Emak masih sehat begini," jawab Emak sambil melenggak lenggokan tubuhnya yang sudah kurus kerempeng.Teriris hati ini, mungkin tubuhnya sudah terlalu kelelahan, ditambah melihatku yang selalu saja bersedih membuatnya menjadi menambah beban pikiran.Astagfirullah haladzim, apa yang aku lakukan ini telah salah. Kini aku akan lebih bersemangat untuk hidup."Dian gimana Mang Odang? Apa dia sudah membalas pesanmu?""Sudah Mak, bentar lagi dia kesini menjemput."***Setelah kepergian Emak untuk bekerja, akupun keluar kamar karena perutku yang sudah keroncongan.Rumah tampak berantakan sekali, biasanya Emak pulang kerja selalu membereskannya. Kasihan sekali, sudah kerja, di rumah pun harus disambut banyak kerjaan. Aku yang masih muda malah terus menerus di kelilingi kesedihan. Betapa bodohnya aku.Ketika aku membuka tudung saji, yang kulihat hanya ada nasi kotak 1 box."Tumben Emak beli nasi kotak untukku, biasanya dia menanak nasi sendiri biar irit," gumamku seraya memakan nasi kotak tersebut dengan lahap.Kali ini tanganku mulai mengambil cucian piring yang kotor, satu persatu kubersihkan dan di bereskan semua pekerjaan rumah. Setidaknya ketika Emak nanti pulang dia bisa beristirahat dengan tenang.Ku lap keringat yang menetes di dahi, alangkah lelahnya mengerjakan pekerjaan rumah ini. Pantas saja Emak sering pegal, ternyata aku pun yang masih muda merasa capek tiada tara.Setelah semua pekerjaan rumah beres, diriku mulai mengambil beras di dalam wadah yang biasanya Emak simpan.Saat ku cari di tempat biasa, akan tetapi wadah beras itu tak ditemukan.Badanku terasa lelah, akhirnya aku beristirahat dengan duduk di lantai, tak sengaja melihat wadah beras yang sejak tadi ku cari.Tangan ini mulai mengambil dan membuka tutup wadah tersebut. Namun, saat ku pandangi dengan gamang isinya telah tiada.Pantas saja Emak tidak mau berhenti kerja ternyata ini alasannya, sudah tidak ada bekal untuk makan lagi.Aku semakin terharu dan menyesal saat berlalu dalam kesedihan, sedangkan nenekku kelelahan mencari sesuap nasi. Cucu macam apa aku ini.Hatiku mulai gundah, harus apa yang kulakukan untuk membantu Emak. Saat aku bersandar di di balik tembok tak sengaja mata ini melirik gerobak cilok peninggalan Mas Rendi.Mungkin kalau aku perbaiki dan dibersihkan pasti akan bisa dipakai lagi.Ku tatap gerobak yang telah lama tidak dipakai itu, memang terlihat kumuh dan banyak debu. Betapa banyak kenangan pada gerobak ini."Mas, aku pakai gerobak mu ya, semoga aku bisa lebih sukses lagi seperti cita-cita kita dulu," gumamku seraya mengelap dengan air untuk membersihkan debu yang menempel pada gerobak tersebut.***"Dian! Dian!," seru Emak yang baru saja pulang, tepatnya jam 5 sore.Mak Jamilah tergopoh saat melangkah Hendak kerumah."Apa sih Mak teriak-teriak?""Dian gerobak cilok kenapa bersih sekali. Kamu mau menjualnya? Memangnya siapa yang minat? Pasti yang mau beli yang memandikannya ya?" cerocos Mak Jamilah penuh pertanyaan."Enak aja mau di jual!""Terus mau kamu apakan?""Dian mau jualan Mak, 'kan kata Emak Dian gak boleh berlarut dalam kesedihan Mak, makannya besok Dian mau mulai jualan cilok keliling bantuin Emak," kataku sambil mengukir senyuman."Yang bener kamu Dian, kamu tak lagi bermimpi 'kan?""Dian bener banget Mak, Dian mau bantu Emak cari duit lagi," kataku meyakinkan."Alhamdulillah, terimakasih Ya Allah kini cucuku sudah bersemangat lagi," ungkap Emak begitu sumringah saat melihat aku yang mulai pulih dari keterpurukan.Aku memeluk tubuh kurus Emak, wanita paruh baya yang sudah dimakan usia, begitu bahagia seraya bibirnya terus mengukir senyum indah.'Mak, aku janji senyuman di bibir Emak tidak akan pernah pudar lagi,' batinku seraya masih memeluk wanita tua itu dengan penuh kasih sayang."Dian Emak belum beli beras, kamu belikan ya ke warung. Nanti kita mau makan apa?" perintah Mak Jamilah sambil menyodorkan uang berwarna hijau."Emak cuma punya uang segini, kamu beli saja 2 kilo ya," ujar Mak Jamilah.Ku ambil uang berwarna hijau itu, uang itu terlihat jelek yang diambil dari BH emak barusan.Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, "Uang lecek dan lusuh begini emang masih laku Mak?""Mak tidak punya uang lagi, hanya itu yang tersisa. Kamu coba saja dulu, kalau misalnya tidak laku, kamu ngutang dulu sana," perintah Mak Jamilah."Baik Mak, kalau begitu aku berangkat dulu ya," pamitku seraya pergi keluar rumah.Sekarang suasana kampung ini sedikit jauh berbeda setelah aku lebih suka mengurung diri.Tampak lebih indah dari sebelumnya, ditambah pemandangan persawahan yang mulai menguning membuat suasana pemandangan menjadi indah dan bebas dari polusi udara.Rasanya aku malu sekali ketika orang pada memandangku, mungkin mereka heran denganku yang baru saja keluar rumah. Setidaknya 3 tahun lamanya aku terpuruk dan memilih mengurung diri.Saat sudah sampai di warung juragan Dingkul, juragan yang amat kaya di kampung ku ini, selain kaya juga Bu Haji Salma sangat sombong dan angkuh. Itupun aku tau dari Emak kalau pulang belanja.Tatkala aku masuk kedalam warung yang amat besar ini, aku kembali di kejutkan dengan cahaya yang terpancar dari wajah seorang pria muda. Wajahnya begitu tampan juga meneduhkan, bahkan ia juga alim. Kopiah yang melekat di kelapanya menambah ketampanan serta kealimannya.Degh!Jantung ini kembali berpacu, dekupannya tak bisa ku kendalikan saat mata ini mulai memandang wajah pria yang kini ku hampiri.Kalau gak salah itu Paisal, dia adik kelasku waktu SMA, bahkan pernah menembakku waktu kami sama-sama masih sekolah SD, tapi ku tolak cintanya karena dia ingusan membuatku ilfil, pokoknya beda dengan penampilannya sekarang, kini pria itu lebih rapi dan juga manis.Ahh, tiba-tiba Paisal menatapku saat aku mulai mendekatinya.Matanya begitu berbinar, senyum yang ia lemparkan kepadaku membuat seluruh tubuh ini gemetar.Andai sekarang dia menembakku pasti aku sudah jungkir balik di buat olehnya."Teh mau beli apa?" Suara itu terkesan merdu.Mendengar suaranya saja membuat telingaku betah di sini."Aku mau beras Sal, 2 kg saja," jawabku sedikit agak malu-malu babi. Eh malu-malu kucing keleus.Pria itu mengantongi 2 kg beras, lalu memberikannya kepadaku, hingga tangan kamipun bersentuhan, ah dada ini semakin dak-dik-duk saja.Hampir saja jantungku akan copot di perdaya olehnya, padahal Paisal tak melakukan apa-apa."Sal kamu sudah pulang ya?" tanyaku mencoa mengakrabi pria yang saat ini telah berada di hadapanku.Kebetulan Paisal kuliah di Jakarta, makannya wajahnya terurus dan gak seperti dulu, jangan sampai deh berbalik, aku yang mencintainya.Mencintai sih boleh, tapi kalau untuk menikah sepertinya aku tidak Sudi lagi, lantaran kejadian kemarin tak bisa ku lupa dan membuat hati ini semakin membekas."Kuliah Paisal sudah beres Teh, tinggal nunggu wisuda.""Oh gitu ya, selamat ya Sal," kataku memberi ucapan selamat sambil merogoh uang yang ku selipkan di saku celana tadi.Duh aku malu juga kalau sampai Paisal melihat uang pemberian dariku, mana Emak memberikannya uang lecek dan sobek, malah sudah di tambal dengan lakban hitam, mana lakbannya hitam lagi, jadi kesannya makin jelek aja di uang.Jujur aja aku tak berani memberikannya bisa mampus nih, gimana ya?Tiba-tiba Bu Salma -ibu dari Paisal datang, bisa semakin runyam kalau uang ini tidak di berikan.Terpaksa deh uang jelek itu harus ku berikan, tapi di terima gak ya, uangnya sudah tak layak juga. Tapi kalau aku ngutang, sudah pasti aku akan kena sembur. Akhirnya aku bimbang dan hanya garuk-garuk kepala yang amat gatal, kaya monyet yang bingung mau makan buah kelapa.Tanganku bergetar memberikan lembaran uang pada pria yang amat tampan itu, kalau saja aku tau bukan dia yang akan muncul di warung ini, pasti aku mencari pinjeman dulu sama tetangga, sekarang tidak ada pilihan lain lagi deh, "Ini uangnya."Ada rasa takut juga kalau uangnya di tolak karena alasan jelek, sudah pasti aku malu, sudah seperti di tolak cinta rasanya pasti nyeri."Terimakasih Teh, apa gak sekalian aja sama nomor Whatsap nya?" goda Paisal.Untung matanya tidak meneliti uang ku berikan, alhasil aku terbebas dari rasa maluku dan rasa takutku akan di tolak."Paisal! Kamu jangan main-main dengan janda! Apalagi janda itu suaminya telah mati," tegur Bu Salma pada Paisal sekaligus menyindirku.Pantesan kata Emak mulutnya kayak tutup langseng bolong, eh ternyata bukan sekedar tutup langseng tapi sekalian sama tutup panci yang telah jelek."Paisal sana pergi kedalam, kalau sudah, ngapain masih ngobrol! Buang-buang waktu saja," gerutu Bu Salma.Aku pun yang masih terpaku dengan berat ha
Akhirnya aku pasrah dan duduk manis ku kursi depan, bersebelahan dengan Juragan Dingkul yang penampilannya sudah om-om berkumis baplang dan berkepala botak. Pokoknya serem sekali.Seiring lajunya mobil dengan kecepatan yang menurutku amat pelan. Pandangan Juragan Dingku terus saja melirik padaku, memang aku merasa tak nyaman dan gelisah. Ada rasa takut dan keringat pun bercucuran membasahi dahi."Pak Juragan, bisa gak kalau itu mata liatnya kesonoh. Bukan Lian ke saya terus, nanti kalau nabrak tronton 'kan berabe juga. Mana mobil juragan rusak dan aku bisa mati mendadak, aku tidak mau pokoknya aku gak mau mati sekarang, masih muda ini. Masih banyak cowok-cowok yang menungguku di luar sana," umpatku di sela rasa takutku."Neng Dian tenang saja, jangan takut begitu karena mati, 'kan di sebelah Neng Dian ada Abang.""Ih ogah situ lebih mirip malaikat pencabut nyawa, aye takut banget.""Masa iya si Neng, Abang mirip malaikat pencabut nyawa, kayaknya lebih mirip Raffi Ahmad deh.""Busyet R
"Juragan semakin hari semakin tampan dan juga kaya saja, memang dia juragan yang palih sempurna di kampung kita, tidak hanya baik dan juga gagah tapi juga ramah suka bagi-bagi uang," celoteh tetanggaku Pak Umar.Hampir saja kumis baplang juragan Dingkul beralih ke pada Ceu Saodah.Aku bingung harus melakukan apa, tubuhku masih terkurung di dalam mobil Juragan Dingkul, sedangkan Juragan Dingkul sudah keluar untuk menemui keramayan tetanggaku sama sekalian mau bagi-bagi uang, lantaran banyak sekali yang memujinya."Dasar orang aneh, di puji-puji saja langsung di bagi uang, giliran ngutak ke warung gak di perbolehkan. Manusia apa yang seperti itu," gumamku lirih masih berdiam diri di dalam mobil.Ketika semua tetangga sedang berkumpul karena akan di bagi uang oleh Juragan Dingkul, akhirnya aku punya peluang untuk bisa keluar dari perangkap mobil ini.Ku buka pintu mobil ini secara perlahan di barengi dengan sehati-hati mungkin, semoga saja mereka tidak ada yang melihatku bahkah tidak ada
"Misi!" seru seorang pria paruh baya bertubuh kekar dan berwajah seram serius, pokoknya kaya Kang Komar di preman pensiun deh."Iya Pak, ada apa? Atau mau beli cilok?"sahutku ramah terhadapnya."Mau beli cilok gimana! Ini tempat saya, kamu gak lihat saya pedagang juga, saya bawa gerobak juga ini!" ketusnya.Aku menelan saliva dengan susah payah, kala mendengar sentakannya, ku pikir bapak yang barusan akan membeli cilok."Ini lapak saya, biasanya saya dagang disini! Sana kamu pergi dan cari lapak lain saja," tegasnya sambil mengusirku.Aku mengusap dada yang terasa sesak ini. Lagi-lagi aku dapat semburan dari orang, kalau di rasa-rasa hari pertama berdagang kok apes banget sih, pagi kena semprot ibu-ibu, sekarang malah di semprot sama Bapak-bapak. Nanti sore apa lagi.Begini amat jadi pedagang kecil udah jam 10 siang tapi cilok ini belum laku satupun.Ada rasa mengeluh dengan semua ini, tapi mau gimana lagi aku harus menjadi wanita kuat, sama seperti Emak, walaupun Emak udah tua tapi wa
"Semuanya gara-gara Lo, gue yang jadi korban," lirih pria itu.Ku ulurkan tanganku untuk membantunya berdiri, "Nanti gue obati, sekarang Lo ikut gue dulu."Dia hanya menuruti keinginanku. Tak ada kata-kata lagi yang terucap diantara kami, akhirnya aku memapah pria yang tak ku kenal sama sekali untuk kembali ke gerobak cilok ku."Lo tunggu disini, nanti gue ambilkan obat merah sama kapas sama sekalian lebam lo gue lapin ya biar gak biru dan membengkak," kataku sambil mengambil barang untung disiapkan.Tak berselang lama, aku mengelap beberapa luka lebam di dahi dan juga bagian tubuh lain, gak parah juga sih, tapi kayaknya sakit.Tak terasa mata kami saling berpandangan, hampir saja jantungku terbang akan copot dari tempatnya."Nih lap sendiri, Lo pake acara Mandang gue segala lagi. Gue jadi teplek nih," ku lemparkan lap basah itu pada wajahnya."Gila Lo, cewe galaknya minta ampun. Kaya ibu tiri gaya Lo.""Suka-suka gue,lain Lo pake acara mandangin, emang sih gue ini cantik tapi Lo liha
"Haris apa yang kamu lakukan dengan wanita itu?!" Suara hentakan itu tiba-tiba menyembur dari dalam mobil seseorang.Emang sih kalau di pikir-pikir di tempat umum pake acara peluk-pelukan, emang dasar kamu kelewatan rindu jadinya di tepi jalan aja serasa di hotel bintang lima."Siapa itu?" lirihku bertanya pada Haris."Itu tanteku dia akan marah kalau melihat aku dengan wanita. Kamu pergi ya, nanti dia suka marah. Cepat pergi ya disini." Haris berbisik di telingaku.Aku bahkan melongo terheran saat mendengar paparan Haris. Kok bisa sih seorang Tante marah ketika keponakannya yang sudah dewasa berada di pelukan wanita. Apa karena kami sedang berada di tepi jalan?"Baiklah." Aku mendorong rodaku dengan cepat sambil segera berlari menjauhi kediaman Haris.Ketika sudah sampai di rumah dadaku naik turun dengan nafas yang masih ngos-ngosan.Mata Emak melotot ketika melihatku."Kenapa kamu ngos-ngosak gitu kaya orang yang sekarat aja Dian? Kamu di kejar badak atau di kejar setan sih? Narik n
"Makannya Dian kamu harus segera punya calon suami yang baik dan benar dari sekarang, terus punya anak, kalau kamu sudah punya anak baru Emak tenang," ungkapnya Mak Jamilah."Entah lah Mak, aku belum kepikiran itu, yang jelas saat ini di pikiran Dian, Dian hanya ingin membahagiakan Emak dulu. Urusan pria itu belakangan, kalau sudah sukses kalah Dian kagak kawin juga gak papa, Dian tinggal sewa pembantu untuk mengurus Dian dan Emak," ujar Dian."Gak boleh gitu Nak, pamali. Menikah itu ibadah."***Hari ini jualanku lumayan laku beberapa biji, padahal masih pagi sekali, ada rasa haru dan juga bahagia, kini aku bisa merasakan hasil usaha dari keringatku sendiri. Dulu saat ada suamiku, minta apapun selalu maksa kalau ada kemauan. Tapi kini aku sadar kalau cari uang itu tidak gampang.Maafkan aku Emak dan Mas Rendi, dosaku terlalu banyak pada kalian, aku adalah beban terberat untuk kalian. Walaupun aku belum sempat berbakti pada suamiku."Woy besti kenapa Lo melow banget sih hari ini, pera
"Diandra! Apa yang kamu lakukan?! Kamu sudah kelewatan batas ya, kenapa kamu berbuat kasar pada Jali!" gerutu Alina ketika aku berbuat kasar pada pacarnya itu.Menurutku ada hal lebih pantas lagi untuk pria yang tak cukup satu wanita, Jadi tak lain seorang playboy dan pria bajingan. Alangkah aku membenci pria yang seperti itu."Asal kamu tau Lin, kalau jadi punya wanita lain, dan bukan pacaran dengan kamu saja," ungkapku menegaskan perihal siapa Jali yang sebenarnya.Namun Alina masih kelihatan bimbang dan tak percaya dengan ucapanmu barusan.Jadi menelan salivanya dengan susah payah kala aku membongkar semua rahasia terbesarnya pada Alina. Dada pria itu terlihat naik turun dengan nafas yang emosi."Memangnya kamu tau dari mana?!" tanya Alina serius."Waktu itu dia bersama wanita yang bernama Rindu. Dan wanita itu memanggil Jali dengan sebutan sayang. Berarti sudah pasti kalau wanita itu adalah pacarnya Jali. Kalau kamu tidak percaya kamu bisa tanyakan pada pacarmu yang menurutmu pang
Hati gelisah tak menentu, kemana lagi Jali harus mencari istrinya yang hingga kini belum pulang. Sedangkan setahu Jali, Dian tidak punya sahabat ataupun kerabat lagi selain emaknya sendiri, kalau ke rumah Alina mana mungkin, sudah lama mereka tidak akur disebabkan memperebutkan cinta seorang Rojali. "Dian, Dian Lo di mana?" gumam Jali sembari pikirannya terus mencari. Padahal diluar hujan amat deras ditambah suasana terang pun sebentar lagi akan menjadi gelap. Jali menunggu di teras rumah. Sesekali pria bertubuh tinggi itu melihat ponsel, dan menghubungi istrinya akan tetapi masih tidak ada jawaban."Percuma kamu menunggu wanita itu sampai kapanpun sebab dia tidak akan balik lagi kesini," kata Bu Janita yang hendak menemani Jali."Ma, apa Mama tau Dian kemana? Mana mungkin Mama tidak tau seharian ini Dian dirumah bersama Mama?" tanya Jali dengan tatapan kosong itu. "Mama tidak tau apapun Jali!" selalu itu yang terlontar dari jawaban sang Mama.Sebentar lagi adzan magrib akan berkum
Setelah kepulangan Jali dari kantor untuk menggantikan Bu Janita kerja. Lantaran Bu Janita hari ini tidak bisa masuk dikarenakan kepalanya yang terasa pening sebab terlalu memikirkan pernikahan sang anak.Jali melenggang gontai sembari matanya terus melirik ke arah ruangan kamar dan juga semua penjuru ruangan. Disisi lain dia mencari sang istri yang tak terlihat batang hidungnya sama sekali. Hatinya bertanya dimanakah istrinya. Akan tetapi pikirannya langsung menjawab positif bahwa sang istri sedang keluar atau memasak di dapur. Setelah beberapa saat rebahan di kamar, Jali pun merasa terheran. Biasanya kalau Jali baru pulang, jam segini paling istrinya ada di kamar. Akan tetapi kali ini tidak terlihat sama sekali.Dengan rasa penasaran yang memuncak pria berhidung mancung itu melenggang menuju lanttai bawah. Ia mencari di setiap penjuru ruangan dilihatnya secara saksama, namun tak ada sosok sang istri yang terlihat melainkan ada sang Mama yang sedang sibuk dengan ponsel di tangannya.
"Saya beri kamu 2 pilihan, kamu mau pergi dari rumah ini secara diam-diam tanpa sepengetahuan jali atau kamu mau bercerai dengan anak saya? Sebab saya tidak rela anak saya harus bersanding denganmu."Wanita setengah baya itu memberikan dua pilihan yang membuat nafas Diandra sesak. Awalnya Dian sangat enggan dan menolak untuk membuka mulut lantas pilihan tersebut sangat susah untuk dipilih. Bu Janita melangkah mengelilingi kediaman menantunya yang saat ini masih berdiri, mematung dengan pikiran yang melayang jauh entah kemana. "Cepat bicara?! Kesabaran saya sudah habis, saya benar-benar marah dan benci sama kamu Dian, andai saya tau kalau kamu itu wanita miskin yang memang matre mungkin saya tidak akan pernah mau menjodohkan kamu. Nyatanya saya hanya di bohongi oleh wajah polos yang kamu miliki!"Begitu geram Bu Janita memaksa Dian untuk memilih salah satu pilihan yang membuat Dian tidak sanggup untuk memilih. Dian terdiam mematung dengan deraian air mata yang terus saja berlinang mem
"Tadinya aku menikahi Dian atas di dasari karena paksaan Mama dan juga aku ingin membuat Haris cemburu, tapi nyatanya malah aku yang mulai menyukai Dian Ma, aku mohon jangan biarkan aku berpisah dengannya lagi Ma," ungkap Jali. Akan tetapi Bu Janita sangat kecewa dengan kedua pasangan itu terutama pada sang menantu yang tega membohonginya dan mau dibayar oleh Jali. Seharusnya Dian tidak harus melakukan itu demi sebuah uang."Tapi Mama sudah terlanjur kecewa sama kamu dan istri kamu! Jangan-jangan sekarang juga kamu membohongi Mama lagi kalau kamu mempunyai perasaan pada Dian. Pokoknya Mama tidak mau percaya dengan kamu Jali. Dan Mama tidak suka melihat Dian, terserah kamu, kalau kamu tidak mau pergi dari sini kamu ceraikan istri kamu yang murahan itu! Mama sangat eneg lihatnya. Masih banyak perempuan di luar sana yang lebih istimewa dan mempunyai harga diri," sahut Bu Janita dengan emosi yang meluap. Ia begitu kecewa saat tau bahwa pernikahan sang anak adalah pernikahan bayaran. Bah
"Sayang aku mau ke kamar duluan ya kalau kamu mau disini dulu."Jali melenggang ke lantas 2 menaiki tangga untuk menyimpan tas besar yang saat ini Dian bawa. Kali ini Dian membawa beberapa foto dan juga barang kesayangannya yang sempat ia simpan di rumah Emak.Padahal wanita muda berbulu mata lentik itu masih merasakan betah dirumah masa kecilnya dulu. Akan tetapi Jali memaksanya untuk pulang ikut bersamanya.Aku terpaku di ruangan utama, kaki Dian rasanya pegal sekali walaupun Dian baru saja menaiki mobil saat datang kesini."Berani juga ya kamu datang lagi kesini! Gak tau malah banget! Sudah menjadi pengganggu suami mertuanya, eh malah balik lagi. Kalau aku sih malas banget! Malu banget! Mau ditaruh dimana muka yang cantik ini, Dasar pengganggu suami orang. Eh bukan suami orang lebih tepatnya suami mertua sendiri! Menanti macam apa?!" Ledekan pedas itu sudah sering Dian dengan, dan suara yang meledek Dian pun tak lain adalah wanita yang pernah mewarnai kehidupan suaminya."Eh Rindu
"Jangan sebut istriku murahan Ma. Dian kamu yakin 'kan tidak bermaksud menggoda Haris? Sekarang kamu katakan di hadapan kami semua kalau kamu tidak bersalah," titah Jali sembari memandang sang istri penuh rasa bersalah sebab sebelumnya ia septa tak percaya."Iya, aku sama sekali tak mencintai siapapun terkecuali suamiku sendiri," ungkap Dian.Wanita muda cantik terkejut tatkala sang suami kini mulai mempercayainya, dengan senang hati Dian memeluk Jali di hadapan semua anggota keluarganya membuat Emak Jamilah seketika terharu melihat adegan sepasang sejoli yang tak ingin dipisahkan itu.Dian pun tak menyangka kalau akhirnya dia bisa lagi memeluk tubuh sang suami dengan erat setelah permasalahan yang hampir saja membuat dirinya dan Jali berpisah untuk selamanya.Mak Jamilah tersenyum penuh kebahagiaan yang tiada Tara, ia ikut senang dengan kehadiran Jali yang datang disaat waktu begitu tepat."Sayang pokoknya aku gak mau tau, Jali dan Dian harus bercerai, mereka tidak boleh disatukan, s
Pagi ini langit amatlah mendung ditemani rintikan hujan membasahi genting dan juga halaman semuanya nampak basah. Dian yang kala itu sedang termenung, berharap hadirnya kedatangan seseorang, tapi mungkin semuanya hanya bayangan semata. Mata mungkin suaminya datang kesini."Dian ayo makan," titah Mak Jamilah tatkala sang cucu malah tak bergeming sama sekali. Mak Jamilah pun mengambil tindakan dengan mengambilkan nasi pada piring kosong milik Dian. "Mak, gak usah repot-repot, Dian sedang malas makan, nanti saja makannya ya," sahut Dian sembari menolak sepiring nasi putih yang disodorkan Mak Jamilah."Dian kamu kemana?" seru Mak Jamilah pada sang cucu yang tiba-tiba saja gegas bangkit meninggalkan meja makan.Mak Jamilah pun nampak bingun dengan keadaan semua ini. Dian kembali duduk di ruang utama sembari matanya terus saja memandangi air hujan yang semakin siang semakin deras. Percikan kerinduan mulai terasa, nyatanya jauh dari sang suami membuatnya sangat terpuruk. Padahal baru saj
"Dian, kamu kenapa Nak, kenapa harus menangis? Apa yang sedang terjadi? Kenapa kamu kesini sendiri? Suamimu mana?" Pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut nenek tua yang telah keriput dimakan usia. Emak Jamila begitu kaget saat melihat keadaan sang cucu yang telah menangis tersedu-sedu. Mata lentik Dian kini berubah menjadi bengkak disertai warna merah."Mak Dian di fitnah oleh Haris dan bude Meri, mereka menuduh Dian berselingkuh, padahal aku sama sekali tidak melakukan hal keji itu, apalagi saat ini statusku istri orang. Mana berani aku melakukan itu," tak hentinya wanita muda itu menangis.Dian memeluk tubuh sang nenek, walaupun air matanya tak henti terus saja luruh. Dengan perlahan Mak Jamilah mengelus bahu Dian dengan telapak tangan begitu lembut."Kita masuk Nak, bicarakan di dalam saja, tidak enak kalau orang lain melihat kamu sedang menangis begini," sahut Mak Jamilah sembari memapah tubuh Dian yang nampak lemas itu.Mak Jamila membawa cucunya masuk kedalam rumah dan me
"Apa maksud kalian dengan semua ini?!" tiba-tiba saja Bu Janita bersama Jali datang sembari melotot.Bagi Janita hari ini adalah hari yang terburuk, rasanya seperti si sambar gledek disiang bolong. Menantu kesayangannya berselingkuh dengan suami muda yang amat dicintainya.Janita memperlihatkan sebuah gambar, yang memang mambuat Dian dan Haris tentu saja terlonjak kaget, gambar yang di perlihatkan Janita, yakni gambar saat Haris mencium Diandra tadi.Mata Dian melirik bergantian pada kediaman bude Meri, wanita berparas cantik itu yakin bahwa Foto itu pemberian dari bude Meri, pantas saja ia merasa bahwa ada sinar Blige ponsel pada saat Haris hampir saja menodainya."Ma, tadi Haris mau melukai aku makannya dia menciumi secara paksa, tadi aku sudah coba melawan akan tetapi tanganku tak bisa melawan dan memberontak," ungkapku tergopoh menjelaskan pada sang mertua.Akan tetapi sepertinya Bu Janita tak percaya sama sekali sebab ia membaca pesan dari bude Meri bahwa Diandra menggoda Haris -