Jevano menoleh ke belakang. Dia tadi mendengar ada seseorang yang memanggilnya. Akan tetapi, saat dia periksa, tak ada siapa pun yang ada di sana. Hanya ada beberapa siswa Delta Pelita yang baru datang dan turun dari mobil mereka. Kepalanya sempat celingukan, mungkin orang yang memanggilnya itu tertutup oleh kendaraan, tapi tetap saja dia tidak mendapati ada orang yang menghadapnya sama sekali.
Kepala pemuda itu miring sedikit. Dia akhirnya memutuskan kalau tadi dia mungkin salah dengar. Langkahnya diteruskan. Tatapannya tidak awas karena masih memikirkan intuisinya yang dia yakin benar. Dia tadi juga merasa kalau ada yang sedang mengawasinya. Dia yakin hampir seratus persen.
"Jangan bengong!" Seseorang merangkul pundak Jevano dan hampir melilit lehernya.
Pemuda itu meno
Jamal terdiam di tempat saat merasakan tubuhnya direngkuh dengan erat oleh wanita yang baru saja dia temui itu. Untuk sekian detik, dia merasakan getaran di seluruh tubuhnya. Getaran yang sama seperti saat dia direngkuh oleh wanita yang dia cintai dulu. Getaran yang sama yang selalu membuatnya nyaman berada dalam pelukannya di masa lalu. Getaran yang sama yang membuatnya bisa memiliki anak manis nan pintar bernama Jevano.Sejatinya, semuanya juga sama. Dia sedang dipeluk oleh wanita yang sama dengan wanita yang membuatnya jatuh cinta untuk pertama kalinya. Wanita yang telah memenangkan dirinya dan membuatnya memilih jalannya sendiri untuk berpisah dengan keluarga besarnya."Senang bertemu denganmu lagi, Sayang." Wanita itu berbisik di telinga Jamal.Suara itu tetap
"Pulang sama siapa lo?" tanya Haikal basa basi saat dia dan Jevano beriringan berjalan di lobi gedung pertama Delta Pelita. Dia merangkul Jevano yang terlihat lebih diam daripada biasanya. Tidak enak saja kalau dia ikut-ikutan diam juga."Bunda." Jevano menjawab dengan suara rendah. "Katanya Bunda bakalan jemput gue bareng pak sopir. Enggak tahu, Bunda sekarang doyan banget jemput, padahal udah dilarang sama Ayah."Haikal menepuk-nepuk lengan atas Jevano. "Itu namanya Bunda lo dah kangen antar jemput anaknya. Nikmatin aja, Jev. Selagi lo masih punya sosok ibu."Jevano mengangguk. Ucapan Haikal tadi sebenarnya sempat membuatnya tertegun. Dia memilih untuk diam dan menuruti apa yang dikatakan oleh temannya itu daripada memperpanjang percakapan mereka tentang sosok ibu. Hai
Malam hari tiba.Jevano harus menambal jadwal belajarnya yang sempat tertunda tadi karena menempel ke bundanya. Padahal, tadi dia sengaja untuk tidak belajar karena ingin libur, mumpung ayahnya belum pulang. Dia akan menggunakan waktu selepas makan malam dengan bermain game. Akan tetapi, ayahnya malah pulang cepat dan mendapatinya tidak belajar. Walhasil, dia sekarang harus tetap benar-benar belajar kalau tidak mau ayahnya memergoki dan memberinya pendisiplinan.Sedangkan itu, Jamal sedang duduk di samping Juwita di atas kasur. Dia sedang membaca buku tentang bisnis terbitan terbaru. Istrinya baru saja dari kamar mandi. Wanita itu sudah tiga kali ini bolak balik kamar mandi. Dengan sigap, Jamal membantu Juwita untuk memosisikan diri di atas kasur dengan nyaman. "Hati-hati, sayang."
Ada yang salah dalam diri Jamal.Bahkan Arjuna sampai bisa menyadarinya. Dia sudah bete untuk kesekian kali karena harus memanggil nama bos sekaligus kakak jadi-jadiannya itu karena kehilangan fokus. Ini sudah kali kelima dia memanggil tapi tak ada respons sama sekali."Kak Jamal!" Arjuna terpaksa harus menggetok meja atasannya itu.Jamal segera sadar. Dia kembali dari acara melamunnya dan mengangkat kedua alis. "Ada apa?""Setelah aku menerangkan banyak hal dari A sampai Z, Kakak cuma tanya ada apa?" Sungguh Arjuna sakit hati sekali tidak diperhatikan seperti ini oleh kakaknya. Dia sudah bersemangat empat lima untuk menyiapkan segala kebutuhan rapat dengan perusahaan dari Kanada malah mendapatkan timbal balik
Hari ini ada pelajaran olah raga di kelas Jevano. Sebenarnya tidak hanya kelasnya saja, satu angkatannya juga. Maka dari itu, setelah melakukan game dan olah raga wajib per kelas, dia dan keempat temannya berkumpul jadi satu di bawah salah satu pohon taman di pinggiran lapangan."Ke kantin, yuk," ajak Rani yang menyandarkan kepalanya di bahu kanan Jevano."Lo aja kali yang ke sana. Gue masih capek. Olah raga apaan suruh muter lapangan sepuluh kali. Itu mau hukum kita atau bikin kita pingsan?" Haikal menggerutu. Di antara anak-anak Pak Jonathan, yang paling ogah dengan oleh raga, ya, si bontot ini. Kakak-kakaknya saj aseperti gapura kabupaten. Apalagi kakak pertamanya, Harsa.Syahid mengusak rambut Haikal kasar dan diakhiri dengan mendorong kepala temannya itu dari
Jamal merapikan semua berkas yang telah dia tanda tangani. Dia menghubungi Arjuna san menyuruh pria itu untuk datang ke ruangannya."Ada apa, Kak?" tanya Arjuna sambil mendekati meja Jamal."Aku pulang sekarang. Ada jadwal luar yang harus aku kerjakan."Buru-buru Arjuna mengecek kalender yang ada di smarwatch miliknya. Dia mengerutkan dahi. "Enggak ada jadwal. Kakak mau ke mana emang?" tanyanya heran. Seingatnya dia juga tidak merangkapkan jadwal rahasia Jamal di kalender bayangannya yang tidak tersinkronkan dengan penyimpanan awan.Senyum Jamal mengembang. "Jadwal ini hanya untuk aku, kok." Dia terkekeh saat melihat Arjuna kebingungan. "Aku akan pergi dengan keluargaku ke resort yang akan kita kunjungi besok Senin. Aku akan melihat-lihat bagaimana keadaan dan dekorasi di sana. Lumayan juga. Sudah lama aku tidak pergi bersama keluarga."Arjuna memutar bola matanya. "Yang benar saja. Padahal itu akan bisa jadi jadwal date kita berdua."Menden
Jamal mengepalkan tangannya erat. Matanya menatap tajam kepada wanita yang ada di depannya ini. "Kamu sengaja ke sini dan memata-matai kami, kan?"Bunga mengangkat kedua alisnya. Dia menyuap es krim yang tadinya dipesan Jamal untuk anaknya. "Wah, kamu terlalu menganggap serius hidupmu, Mas."Jamal muak. Dia merasa dipermainkan. "Apa lagi mau kamu, Bunga? Tidak cukup kamu kemarin mengajakku ke hotel dan hampir membuat rumor di antara kita berdua. Kamu tahu kalau begitu, karir kamu akan hancur.""Karir kita berdua, Mas Jamal Sayang." Bunga mengoreksi kalimat Jamal dengan santainya. Entah apa yang ada di pikiran wanita itu. Di saat masa depannya terancam seperti ini, dia malah bisa tersenyum dengan lebar. "Aku tidak peduli."
Selama di resort, Jamal melalui malam-malamnya dengan sangat indah. Tak ada pikiran tentang Bunga lagi dan dia dipenuhi dengan Juwita. Ah, lebih tepatnya dia memenuhi Juwita. Jevano juga tampak sangat antusias mengajak istrinya yang sedang hamil tua itu untuk berjalan-jalan, melihat pemandangan alam yang tersedia. Dia seperti mempunyai asisten untuk menjaga Juwita di siang hari. Kalau malam, biar dia yang mengurus istrinya. Urusan plus plus.Jevano memesan es krim vanila caramel kesukaannya di stan yang dikunjungi Jamal kemarin. Bahkan selama tiga hari ini, si bocah itu sudah membeli es krim vanila latte berkali-kali. Mungkin sehari bisa lebih dari tiga kali. Padahal suhu resort yang berada di pegunungan ini cukup menggigit kulit. Tapi, demi es krim vanila yang enak, Jevano rela pakai jaket dan kaos tambahan.Jamal melihat an
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.