Ada yang salah dalam diri Jamal.
Bahkan Arjuna sampai bisa menyadarinya. Dia sudah bete untuk kesekian kali karena harus memanggil nama bos sekaligus kakak jadi-jadiannya itu karena kehilangan fokus. Ini sudah kali kelima dia memanggil tapi tak ada respons sama sekali.
"Kak Jamal!" Arjuna terpaksa harus menggetok meja atasannya itu.
Jamal segera sadar. Dia kembali dari acara melamunnya dan mengangkat kedua alis. "Ada apa?"
"Setelah aku menerangkan banyak hal dari A sampai Z, Kakak cuma tanya ada apa?" Sungguh Arjuna sakit hati sekali tidak diperhatikan seperti ini oleh kakaknya. Dia sudah bersemangat empat lima untuk menyiapkan segala kebutuhan rapat dengan perusahaan dari Kanada malah mendapatkan timbal balik
Hari ini ada pelajaran olah raga di kelas Jevano. Sebenarnya tidak hanya kelasnya saja, satu angkatannya juga. Maka dari itu, setelah melakukan game dan olah raga wajib per kelas, dia dan keempat temannya berkumpul jadi satu di bawah salah satu pohon taman di pinggiran lapangan."Ke kantin, yuk," ajak Rani yang menyandarkan kepalanya di bahu kanan Jevano."Lo aja kali yang ke sana. Gue masih capek. Olah raga apaan suruh muter lapangan sepuluh kali. Itu mau hukum kita atau bikin kita pingsan?" Haikal menggerutu. Di antara anak-anak Pak Jonathan, yang paling ogah dengan oleh raga, ya, si bontot ini. Kakak-kakaknya saj aseperti gapura kabupaten. Apalagi kakak pertamanya, Harsa.Syahid mengusak rambut Haikal kasar dan diakhiri dengan mendorong kepala temannya itu dari
Jamal merapikan semua berkas yang telah dia tanda tangani. Dia menghubungi Arjuna san menyuruh pria itu untuk datang ke ruangannya."Ada apa, Kak?" tanya Arjuna sambil mendekati meja Jamal."Aku pulang sekarang. Ada jadwal luar yang harus aku kerjakan."Buru-buru Arjuna mengecek kalender yang ada di smarwatch miliknya. Dia mengerutkan dahi. "Enggak ada jadwal. Kakak mau ke mana emang?" tanyanya heran. Seingatnya dia juga tidak merangkapkan jadwal rahasia Jamal di kalender bayangannya yang tidak tersinkronkan dengan penyimpanan awan.Senyum Jamal mengembang. "Jadwal ini hanya untuk aku, kok." Dia terkekeh saat melihat Arjuna kebingungan. "Aku akan pergi dengan keluargaku ke resort yang akan kita kunjungi besok Senin. Aku akan melihat-lihat bagaimana keadaan dan dekorasi di sana. Lumayan juga. Sudah lama aku tidak pergi bersama keluarga."Arjuna memutar bola matanya. "Yang benar saja. Padahal itu akan bisa jadi jadwal date kita berdua."Menden
Jamal mengepalkan tangannya erat. Matanya menatap tajam kepada wanita yang ada di depannya ini. "Kamu sengaja ke sini dan memata-matai kami, kan?"Bunga mengangkat kedua alisnya. Dia menyuap es krim yang tadinya dipesan Jamal untuk anaknya. "Wah, kamu terlalu menganggap serius hidupmu, Mas."Jamal muak. Dia merasa dipermainkan. "Apa lagi mau kamu, Bunga? Tidak cukup kamu kemarin mengajakku ke hotel dan hampir membuat rumor di antara kita berdua. Kamu tahu kalau begitu, karir kamu akan hancur.""Karir kita berdua, Mas Jamal Sayang." Bunga mengoreksi kalimat Jamal dengan santainya. Entah apa yang ada di pikiran wanita itu. Di saat masa depannya terancam seperti ini, dia malah bisa tersenyum dengan lebar. "Aku tidak peduli."
Selama di resort, Jamal melalui malam-malamnya dengan sangat indah. Tak ada pikiran tentang Bunga lagi dan dia dipenuhi dengan Juwita. Ah, lebih tepatnya dia memenuhi Juwita. Jevano juga tampak sangat antusias mengajak istrinya yang sedang hamil tua itu untuk berjalan-jalan, melihat pemandangan alam yang tersedia. Dia seperti mempunyai asisten untuk menjaga Juwita di siang hari. Kalau malam, biar dia yang mengurus istrinya. Urusan plus plus.Jevano memesan es krim vanila caramel kesukaannya di stan yang dikunjungi Jamal kemarin. Bahkan selama tiga hari ini, si bocah itu sudah membeli es krim vanila latte berkali-kali. Mungkin sehari bisa lebih dari tiga kali. Padahal suhu resort yang berada di pegunungan ini cukup menggigit kulit. Tapi, demi es krim vanila yang enak, Jevano rela pakai jaket dan kaos tambahan.Jamal melihat an
Hellen menggandeng tangan Juwita saat mereka sudah keluar dari mobil. Dua wanita itu berjalan beriringan. Tangan kiri Hellen digunakan untuk menenteng kursi roda yang dilipat. Kursi roda yang dibawanya sangat ringan, tidak seperti kursi roda yang lain.Juwita memantapkan dirinya dulu sebelum bertanya kepada Hellen. Banyak yang berseliweran di dalam pikirannya. Apa yang dikatakan oleh direktur tempat sahabatnya itu bekerja? Saat berkendara tadi, Hellen juga tidak mengatakan apa-apa. Dia jadi kepikiran sendiri."Kak," panggil Hellen menyadarkan lamunan Juwita yang menatap sahabatnya itu dengan kosong."Apa?" Wajah wanita itu berubah total. Dia berseri sekali.Hellen menghela napas panjang. "Gue pengin liburan tapi eng
Jevano duduk di sofa ruang tengah rumah sambil menunduk dalam. Wajahnya babak belur dan penuh dengan lebam. Ujung bibir kanannya sobek.Di sampingnya ada Juwita yang sedari tadi terlihat cemas. Tangan wanita itu mengelus pundak Jevano lembut. Dadanya masih berdebar kencang melihat keadaan anaknya yang kacau. Bahkan kancing atas seragam anaknya itu lepas."Cerita ke Bunda, Jevano. Kamu berantem sama siapa di sekolah?" Tak ada lelah Juwita bertanya demikian. Bahkan dia mengajukan pertanyaan yang sama dari sejak menjemput anaknya tadi. Tak kunjung ada jawaban dari anaknya. "Jev, tolong jawab Bunda." Tangannya menggenggam tangan Jevano dengan erat.Jevano menatap kosong lantai yang ada di hadapannya. Sakit yang dirasakan oleh kulitnya tidak seberapa dibandingkan
"Tadi temennya Jevano udah ke atas, Bi?" tanya Juwita saat melihat Bi Tika di dapur. Dia menghampiri wanita itu setelah menenangkan diri di kamar."Sudah." Bi Tika terdiam sejenak. "Hmm, Maharani itu pacarnya Den Bagus Jevano?" tanyanya berpikir.Juwita hanya tersenyum. "Kenapa Bibi berpikir kayak gitu?""Ya, jarang aja ada cewek main ke sini. Sekalinya main, malah diajak ngamar.""Bibi!" Mata Juwita melotot. Dia jadi ikutan kepikiran hal yang tidak-tidak kalau begini. Dengan langkah yang pasti, dia pun menaiki tangga dan menuju kamar anaknya. Setengah dari dirinya percaya kalau Jevano memintanya untuk memanggil Rani bukan karena anaknya mau macam-macam. Setengah lagi dari dirinya malah kepikiran karena omongan Bi T
Juwita baru saja kembali dari kafe. Dia hendak menuju ruangannya untuk meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda. Setelah itu, dia akan menjemput Jevano bersama sopirnya. Dia mencoba untuk tidak memikirkan apa yang dia lihat tadi. Bahkan dia ingin sekali mengabaikan apa yang dikatakan oleh sahabatnya.Tadi, Hellen menggenggam erat tangannya. Dia tahu bahwa sahabatnya itu sedang bersunggung-sungguh. Namun, dia hanya ingin menenangkan dirinya dan tidak berpikir terlalu jauh tentang apa yang dia lihat tadi."Tapi, lo percaya apa enggak, semua yang lo lihat bener, Kak. Yang sama Pak Jamal itu model profesional yang emang lagi diincar. Dia ada di agensi Bu Diyanah." Hellen menatap mata sahabatnya dengan serius.Juwita tersenyum. "Mereka punya proyek, Hellen. Gue juga tahu