Jamal mengepalkan tangannya erat. Matanya menatap tajam kepada wanita yang ada di depannya ini. "Kamu sengaja ke sini dan memata-matai kami, kan?"
Bunga mengangkat kedua alisnya. Dia menyuap es krim yang tadinya dipesan Jamal untuk anaknya. "Wah, kamu terlalu menganggap serius hidupmu, Mas."
Jamal muak. Dia merasa dipermainkan. "Apa lagi mau kamu, Bunga? Tidak cukup kamu kemarin mengajakku ke hotel dan hampir membuat rumor di antara kita berdua. Kamu tahu kalau begitu, karir kamu akan hancur."
"Karir kita berdua, Mas Jamal Sayang." Bunga mengoreksi kalimat Jamal dengan santainya. Entah apa yang ada di pikiran wanita itu. Di saat masa depannya terancam seperti ini, dia malah bisa tersenyum dengan lebar. "Aku tidak peduli."
Selama di resort, Jamal melalui malam-malamnya dengan sangat indah. Tak ada pikiran tentang Bunga lagi dan dia dipenuhi dengan Juwita. Ah, lebih tepatnya dia memenuhi Juwita. Jevano juga tampak sangat antusias mengajak istrinya yang sedang hamil tua itu untuk berjalan-jalan, melihat pemandangan alam yang tersedia. Dia seperti mempunyai asisten untuk menjaga Juwita di siang hari. Kalau malam, biar dia yang mengurus istrinya. Urusan plus plus.Jevano memesan es krim vanila caramel kesukaannya di stan yang dikunjungi Jamal kemarin. Bahkan selama tiga hari ini, si bocah itu sudah membeli es krim vanila latte berkali-kali. Mungkin sehari bisa lebih dari tiga kali. Padahal suhu resort yang berada di pegunungan ini cukup menggigit kulit. Tapi, demi es krim vanila yang enak, Jevano rela pakai jaket dan kaos tambahan.Jamal melihat an
Hellen menggandeng tangan Juwita saat mereka sudah keluar dari mobil. Dua wanita itu berjalan beriringan. Tangan kiri Hellen digunakan untuk menenteng kursi roda yang dilipat. Kursi roda yang dibawanya sangat ringan, tidak seperti kursi roda yang lain.Juwita memantapkan dirinya dulu sebelum bertanya kepada Hellen. Banyak yang berseliweran di dalam pikirannya. Apa yang dikatakan oleh direktur tempat sahabatnya itu bekerja? Saat berkendara tadi, Hellen juga tidak mengatakan apa-apa. Dia jadi kepikiran sendiri."Kak," panggil Hellen menyadarkan lamunan Juwita yang menatap sahabatnya itu dengan kosong."Apa?" Wajah wanita itu berubah total. Dia berseri sekali.Hellen menghela napas panjang. "Gue pengin liburan tapi eng
Jevano duduk di sofa ruang tengah rumah sambil menunduk dalam. Wajahnya babak belur dan penuh dengan lebam. Ujung bibir kanannya sobek.Di sampingnya ada Juwita yang sedari tadi terlihat cemas. Tangan wanita itu mengelus pundak Jevano lembut. Dadanya masih berdebar kencang melihat keadaan anaknya yang kacau. Bahkan kancing atas seragam anaknya itu lepas."Cerita ke Bunda, Jevano. Kamu berantem sama siapa di sekolah?" Tak ada lelah Juwita bertanya demikian. Bahkan dia mengajukan pertanyaan yang sama dari sejak menjemput anaknya tadi. Tak kunjung ada jawaban dari anaknya. "Jev, tolong jawab Bunda." Tangannya menggenggam tangan Jevano dengan erat.Jevano menatap kosong lantai yang ada di hadapannya. Sakit yang dirasakan oleh kulitnya tidak seberapa dibandingkan
"Tadi temennya Jevano udah ke atas, Bi?" tanya Juwita saat melihat Bi Tika di dapur. Dia menghampiri wanita itu setelah menenangkan diri di kamar."Sudah." Bi Tika terdiam sejenak. "Hmm, Maharani itu pacarnya Den Bagus Jevano?" tanyanya berpikir.Juwita hanya tersenyum. "Kenapa Bibi berpikir kayak gitu?""Ya, jarang aja ada cewek main ke sini. Sekalinya main, malah diajak ngamar.""Bibi!" Mata Juwita melotot. Dia jadi ikutan kepikiran hal yang tidak-tidak kalau begini. Dengan langkah yang pasti, dia pun menaiki tangga dan menuju kamar anaknya. Setengah dari dirinya percaya kalau Jevano memintanya untuk memanggil Rani bukan karena anaknya mau macam-macam. Setengah lagi dari dirinya malah kepikiran karena omongan Bi T
Juwita baru saja kembali dari kafe. Dia hendak menuju ruangannya untuk meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda. Setelah itu, dia akan menjemput Jevano bersama sopirnya. Dia mencoba untuk tidak memikirkan apa yang dia lihat tadi. Bahkan dia ingin sekali mengabaikan apa yang dikatakan oleh sahabatnya.Tadi, Hellen menggenggam erat tangannya. Dia tahu bahwa sahabatnya itu sedang bersunggung-sungguh. Namun, dia hanya ingin menenangkan dirinya dan tidak berpikir terlalu jauh tentang apa yang dia lihat tadi."Tapi, lo percaya apa enggak, semua yang lo lihat bener, Kak. Yang sama Pak Jamal itu model profesional yang emang lagi diincar. Dia ada di agensi Bu Diyanah." Hellen menatap mata sahabatnya dengan serius.Juwita tersenyum. "Mereka punya proyek, Hellen. Gue juga tahu
Makan malam kali ini terasa sangat sepi sekali. Jevano yang biasanya akan membuka pembicaraan, hanya diam dan memakan hidangan yang telah disiapkan oleh Bi Tika. Dia hanya makan, tidak menikmati sama sekali rutinitas yang seharusnya menjadi favoritnya karena formasi keluarganya sekarang lengkap.Jamal juga diam. Saat ingin membuat percakapan dengan anaknya, bocah itu terlihat tidak minat dan hanya menjawab sekedarnya. Itu adalah salah satu cara Jevano untuk menyampaikan bahwa dia tidak sedang ingin diajak bicara. Lagi pula, Juwita tadi juga sudah mengatakan padanya tentang Jevano yang habis berantem. Dia ingin bertanya lebih, tapi mengurungkan niatnya saat sang istri menatapnya, berisyarat untuk tidak meneruskan pertanyaannya."Aku selesai. Pamit dulu." Jevano membawa piringnya ke washtafel dan membiarkannya di sana. Biasanya
Jamal sudah berniat dari kemarin malam untuk mengantarkan Juwita dan Jevano. Akan tetapi Jevano malah pergi duluan dan sekarang dia harus pergi juga. Arjuna meneleponnya untuk segera ke kantor karena sudah ada klien dari Kanada yang menunggunya di sana. Mau tidak mau, Jamal harus meninggalkan Juwita sendirian pergi ke butik."Hati-hati, Jae." Juwita mengusap pundak suaminya setelah diberi kecupan singkat di bibir. Sebenarnya dia ingin berbicara serius dengan Jamal tadi, tapi niatnya harus diurungkan karena pekerjaan Jamal yang menuntut.Dengan berat hati Jamal berpamitan dan mengendarai mobilnya. Bayangan buket bunga yang didapat Juwita kemarin masih membekas di benaknya. Apakah Juwita menyembunyikan sesuatu darinya? Bunga bilang kalau paket darinya akan menjadi surprise bagi Juwita. Apakah dia hanya bersangka buruk saja kepa
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.