Aditya masih menjabat erat tangan pria perlente di depannya. Tampan, tapi masih lebih tampan aku ketimbang dia, Aditya memuji dirinya sendiri. Ia meletakkan piring makannya di meja, lalu dengan cepat membawa pinggang ramping Alleya menempel tubuhnya. Alleya yang menyadari aura yang tidak bersahabat dari Aditya, terpaksa mengangkat wajahnya.
"Halo, Joe." Sapa Alleya sambil tersenyum tipis.
Pria perlente yang bernama Joe itu, terkesiap melihat wajah Alleya. Dengan cepat ia melepas jabat tangannya dengan Aditya, lalu sibuk mengamati wajah Alleya.
"Ada apa dengan wajahmu? Apa yang terjadi dengan wajah cantikmu?" seru Joe pelan. Ia tidak menyangka gadis cantik yang sudah menawan hatinya sejak ospek hari pertama dulu, berubah menjadi rusak seperti sekarang ini. Joe dan Bobby, adalah duo tampan di sekolah Alleya dulu. Mereka memperebutkan Alleya, tapi tidak perna
"Siapa dia, Al?" Suara Aditya begitu tidak enak didengar. Alleya tidak tahu harus menjawab apa. Aditya menunggu jawaban dari gadis itu. Ia berjalan mendekat ke tempat Alleya, yang masih berbaring sambil memegang erat selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. "Apakah ada sesuatu di antara kalian dulu dan masih berlanjut hingga sekarang?" tebak Aditya. Alleya tetap bergeming. Ia malas menceritakan kisah masa sekolahnya, khususnya yang bersangkutan dengan Joe. Ada sedikit rasa penyesalan yang tertinggal di hatinya setiap kali mengingat sosok Joe. Pria tertampan di sekolahnya, yang selalu saja memata-matai setiap gerak geriknya. Alleya merasa gerah? Tidak. Ia sangat menikmati perhatian Joe saat itu, mungkin bila ia boleh jujur, rasa itu masih ada hingga sekarang. Saat Joe menyapanya di meja makan, ia tidak berani bergerak, karena ia takut Joe akan merasa kecew
Aditya melepaskan gendongannya. Meski topeng buruk rupa masih dikenakan Alleya, namun, aura Alleya tetaplah mampu menarik perhatian orang-orang di sekelilingnya, termasuk Aditya, hingga akhirnya Aditya tidak dapat menahan dirinya untuk mencium Alleya. Sebuah ciuman ringan darinya untuk Alleya. Aditya melangkah meninggalkan Alleya yang masih memegang bibirnya. Gadis berkuncir kuda itu, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Bukankah tadi ia sedang bertemu dengan hantu? Tapi mengapa justru sosok Aditya yang ia lihat pertama kali saat membuka matanya? Dan ciuman? Apakah benar ia baru saja mendapatkan sebuah ciuman? Dari hantu atau dari Aditya? Alleya berlari-lari kecil, berusaha mengejar Aditya yang sudah cukup jauh meninggalkan dirinya. Acara jogging belum dimulai tapi dirinya sudah berolahraga duluan. "Kaaaak!" Seru Alleya, berusaha menghentikan langkah Aditya yang kian menjauh
"Kau cemburu?" Aditya mengulangi pertanyaannya. "Tsk. Untuk apa cemburu. Sah-sah saja jika Kakak cuci mata, melihat cewek-cewek cantik di sekitar Kakak. Kan cuma ngeliatin aja, nggak yang berbuat macam-macam. Jadi, ya buat apa Al cemburu?" "Serius?" Aditya merasa sedikit kecewa. Ia berharap Alleya mengatakan cemburu, tapi apa mau dikata, gadis itu ternyata tidak termakan jebakannya. Justru dirinya yang kini merasa kesal jika menemukan pria lain, yang mencuri-curi pandang ke arah Alleya. Serasa ingin menancapkan kelima jarinya ke mata orang itu, agar tidak lagi melirik-lirik ke Alleya. Apa yang membuat pria-pria itu masih saja memperhatikan Alleya? Dilihat dari wajah saja, Alleya yang sedang dalam penyamarannya, jelas bukan seorang gadis yang berparas cantik. Namun, tingkah laku, pembawaan dan aura ceria yang keluar dari seorang Alleya-lah, yang mungkin menjadikan dirinya menarik di
Aditya melangkah cepat, menyusul Alleya ke kamarnya. Sebenarnya dirinya tidak tahu ke mana Alleya pergi. Ia mencoba mengikuti kata hati, yang menyuruhnya untuk mendatangi kamar Alleya. Langkah panjang Aditya akhirnya berhenti tepat di depan pintu kamar Alleya. Karena ia memegang kunci cadangan yang kemarin disertakan juga oleh panitia, maka ia tidak perlu mengetuk pintu kamar bernomor 417. Diketuknya pintu sebanyak tiga kali, sebagai pertanda saja jika dirinya hendak masuk ke dalam kamar. Ketika dirinya masuk, sama sekali tidak tampak sosok Alleya. ia berjalan mendekati balkon kamar hotel, mencoba melihat ke bawah, mencari sosok Alleya di sana. Tiba-tiba terdengar suara guyuran air dari dalam kamar mandi, membuat Aditya kembali masuk ke dalam kamar. "Al! Alleya!" Ia mencoba memanggil nama calon istrinya. Ia hanya ingin memastikan, jika Alleya benar-benar yang ada di dalam kamar mandi. Ia jadi
Aditya memandang sekilas pria yang baru saja mengajaknya bicara, sebelum dirinya mengijinkan pria itu duduk di sampingnya. "Alleya gadis yang menarik, bukan?" Joe membuka pembicaraan. Aditya diam, menyimak. "Datang terlambat di hari pertama, hahaha... Hanya Alleya yang berani. Waktu itu, aku yang menjadi ketua pelaksana, sedangkan Bobby sebagai wakil ketua," kenang Joe sambil terus menatap Alleya. "Gadis pemberani. Tidak takut dibully gadis-gadis lain, yang tampak iri karena berhasil merebut perhatian Bobby ,yang terkenal kaku dan ketus." "Jika gadis lain akan berusaha merayu agar hukuman mereka diperingan, berbeda dengan Alleya, yang sportif. Ia akan menerima hukuman jika ia memang salah, tapi jika ia tidak merasa melakukan kesalahan, ia tidak takut untuk mengajukan keberatan, meski harus be
Alleya mengganti pakaiannya dengan gaun untuk pesta, yang sudah ia bawa dari rumah. Aditya menelponnya sesaat sebelum ia berangkat ke rukonya. Setelah melepas topeng dan membiarkan kulit wajahnya menghirup udara selama sepuluh menit, Alleya bergegas mencuci muka lalu mulai mengenakan topengnya kembali dan merias tipis topeng itu, layaknya wajah sendiri. Ketika ia sedang merapikan tatanan rambutnya, pintu ruangannya terbuka. Aditya masuk tanpa mengetuk pintu. Pria itu kini sudah berdiri di belakang Alleya. Ia langsung mengambil body mist yang hendak disemprotkan Alleya ke gaunnya. "Tidak perlu banyak-banyak, secukupnya saja. Biar tidak menarik perhatian berlebih dari orang-orang di sekitarmu." Aditya menekan pump botol kecil berwarna pink, menyemprotkan empat kali semprotan ke gaun Alleya. -0- Suasana di sebuah gedung tampak begitu m
Alleya masuk ke dalam ruangannya. Jam di ruangannya menunjukkan angka dua. Gadis itu menata mejanya, memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia segera mengganti gaunnya dengan pakaian kasual, yang selalu ia sediakan di ruangannya, untuk berjaga-jaga jika suatu saat ia perlu mengganti pakaiannya seperti sekarang ini. Alleya melepas topengnya. Berjalan ke luar dari ruangan dengan wajah aslinya, dengan sedikit polesan bedak dan lipstick tipis di bibirnya. "Nia, Aku pulang lebih dulu. Jika ada yang datang mencariku, katakan aku ada urusan ke luar kota. Jangan hubungi ponselku untuk beberapa hari. Aku yang akan menghubungimu." Alleya memberi pesan khusus kepada asistennya. "Oh iya, aku sudah menghubungi sopir papa. Aku ganti mobil. Nanti kau berikan kunci ini padanya. Paham?" Asistennya mengangguk paham dan Alleya pun segera keluar dari rukonya melewati pintu belakang. Ia mengenda
Mobil Aditya perlahan memasuki halaman luas rumah keluarga Rudy. Ia membunyikan klakson sekali sebagai tanda jika mereka sudah berada di depan rumah. Pintu utama terbuka, tampaklah sosok Rita berjalan ke luar, tersenyum hangat menyambut kedatangan mereka."Bawa apa ini?"seru Rita heboh saat Lisa mengangsurkan sebuah paperbag berukuran besar kepada Rita. "Bukan apa-apa. Hanya sedikit oleh-oleh hasil panen dari desa," jawab Lisa merendah, lalu terkekeh sendiri. Rita memanggil putri semata wayangnya untuk membantu membawakan bingkisan dari calon besannya. Alleya yang sudah tahu akan ada tamu dari keluarga Abraham ke luar dan terkejut mendapati Aditya berdiri di belakang calon mertuanya.Rita dan Lisa terlibat perbincangan seru sedangkan Alleya dan Aditya, hanya duduk diam di meja makan. Mereka sibuk dengan ponsel masing-masing. Sesekali Aditya
"Apan sih? Pagi-pagi gini sudah membicarakan hal yang sangat membosankan! Cari topik lain kenapa?" Aditya menggerutu. Dirinya malas sekali jika sang istri mulai membicarakan hal yang sama setiap pagi. Sebenarnya Aditya sendiri sudah mulai memikirkan permintaan papanya itu. Melihat Abraham yang kian hari kian terlihat lelah, membuat Aditya mulai memikirkan permintaan sang papa. Akan tetapi, dirinya masih tetap diam, tidak mengatakan apa pun kepada Alleya maupun Abraham."Ya sudah, kalau tidak bersedia. Jika suatu hari papa marah besar padamu karena aku jatuh sakit akibat kelelahan, aku tidak akan lagi membantumu. Dan jika sampai mama juga ikut mengutukmu karena sudah membahayakan calon pewaris perusahaannya, aku juga tidak akan mencegahnya," ujar Alleya bangkit dari duduknya lalu meletakkan sesuatu di atas meja riasnya.Apa maksudnya? Aditya menatap kepergian Alleya. Ia mengikuti gerak-gerik Alleya, dan gerakan All
Pintu kamar VIP itu terbuka secara perlahan. Alleya menatap ke arah pintu kamar yang sudah terbuka setengah, menanti penampakan sosok yang masih berdiri di luar. Alleya menatap Aditya yang melangkah pelan memasuki kamar rawat inap Abraham. Kedua netra pria itu, menatap Alleya yang kala itu tampak begitu bingung."Ada apa?" Bisik Aditya begitu pria itu berdiri tepat di samping Alleya. Saat Alleya hendak menceritakan hal yang tengah terjadi, tiba-tiba suara sinis Abraham menyentil telinga Aditya."Hmm, kemana saja kamu? Sudah selesai mengurusi pacar modelmu itu? Rubah betina tak tahu diri!"Aditya memandang Alleya dengan ekspresi bingung. Alleya mengedikkan kedua bahunya, sama-sama tidak mengerti dengan semua yang sedang terjadi di ruangan itu."Selamat Pagi, Pa! Sudah lebih baik dari kemarin kan?" Aditya mengabaikan pertanyaan Abraham, berjalan ke sisi kanan pembaring
Aditya memutar badannya, menghadap ke arah asal suara yang menyerukan namanya barusan. Sosok cantik Alleya memaku tatapan Aditya. Gelayar aneh merambat halus namun pasti, memenuhi relung hatinya. Seulas senyum terbit di kedua ujung bibir Aditya. Sekali lagi, ia mengucap syukur dalam hati, karena memiliki istri yang begitu cantik seperti Alleya. Suara pantofel setinggi lima sentimeter yang membungkus apik kedua kaki Alleya, menggema di ruangan itu. "Bagaimana, Papa?" tanya Alleya sesaat setelah dirinya tiba di depan Aditya dan keningnya dikecup Aditya dengan penuh perasaan. Alleya berusaha menekan dan mengendalikan dirinya yang rasa-rasanya ingin melompat dan melayang saat itu juga, mendapatkan perlakuan manis dan romantis dari Aditya. Senyum manis mengembang sedikit kaku, menutupi kegugupannya. Aditya bergeming tanpa mengalihkan pandangannya dari Alleya. "Sudah berhasil melewati masa kritis
"Berapa peluang pasien hidup, Dok?" Aditya berusaha meredam emosinya. Pria muda itu belum siap jika saat ini ia harus kehilangan salah satu dari orang tuanya. Masih banyak yang perlu ia lakukan untuk memperbaiki hubungannya dengan sang papa. Dokter Irfan tidak langsung menjawab. Pria tinggi berkulit putih dengan kacamata tanpa frame yang bertengger sempurna di hidung mancungnya, menatap Abraham yang sedang tertidur begitu pulas. Aditya sungguh tidak sabar menunggu jawaban meluncur mulus dari bibir tipis sang dokter. Jantungnya tidak bisa diam, berdegup tak beraturan, membuat dirinya berada jauh dari kata nyaman. Dalam sekali tarikan nafas, dokter muda itu, yang usianya terpaut tidak begitu jauh dengan Aditya, menjawab singkat pertanyaan Aditya. "Sembilan puluh persen." Mata Aditya terbelalak. Tidak percaya dengan indera pendengarannya, Aditya kembali memastikan jawaban sang dokter. Ia
Aditya terbangun dari tidur lelapnya ketika suara teriakan Lisa yang memanggil namanya menggema dari lantai bawah. Ia segera bergegas turun dari pembaringannya, mengambil mantel tidur, mengenakannya sambil berjalan tergesa ke luar dari kamar. Berbagai bayangan buruk melintas dibenaknya, membuat langkahnya semakin ia percepat. Setengah berlari Aditya menuruni anak tangga, menuju ke kamar kedua orang tuanya. Diketuknya pintu kamar orang tuanya. "Ma! Mama! Ini Aditya, Ma! Buka pintunya, Ma!" Aditya setengah berteriak sambil terus mengetuk pintu kamar di depannya. "Masuk, Nak! Papa...." Suara Lisa terdengar masih terisak. Tanpa menunggu lama, Aditya langsung masuk ke dalam kamar itu, menatap sekeliling, mencari sosok yang baru saja disebut oleh mamanya. Tidak ada. Ke mana papa? "Papa di mana, Ma? Ada apa dengan Papa, Ma?"suara Aditya sed
Aditya terus menatap Alleya yang masih berusaha melepas pernak-pernik yang menempel pada kepalanya. Dirinya masih tidak percaya dengan yang kenyataan yang ia terima hari ini. Selama ini, Alleya telah membohonginya. Gadis itu telah menyembunyikan wajah cantiknya di balik sebuah topeng buruk rupa, dan hal itu, telah berhasil mengecohnya. Aditya melangkah mendekat ke tempat Alleya yang hendak membersihkan wajahnya dari make up yang masih menempel di wajahnya. Ia menghentikan langkah kakinya, ketika Alleya bangkit dari duduknya, berjalan menuju toiletries lalu mulai membasuh wajahnya dengan sabun muka. Lima menit kemudian, Alleya kembali duduk di depan meja rias dan mulai membersihkan sisa make up yang masih tertinggal di wajahnya. Tatapan Aditya terus saja mengikuti kemana saja gadis itu bergerak. Ia mulai kembali melangkah mendekat ke arah Alleya. Kini, ia telah berdiri tepat di belakang gadi
"Khilaf?" Sekali lagi Lisa mengulangi pertanyaannya. "Apa maksudnya itu, Dit?" Lisa berjalan mendekat Aditya dengan langkah yang sedikit sempoyongan. Dirinya masih terkejut dengan pernyataan putra semata wayangnya itu. "Ah, Mama! Maksud Aditya bukan begitu. Aditya ingin memajukan tanggal pernikahannya. Tidak usah menunggu tanggal 9, tapi langsung dimajukan minggu depan saja, tanggal 2." Alleya semakin terkejut. "Ngomong apa sih?? Mana boleh seperti itu? Butuh persiapan dan rencana matang. Ini bukan hanya ngucap ijab aja terus selesai. Nggak seperti itu." Alleya mati-matian menolak ide Aditya yang menurutnya sangat gila itu. "Boleh!" Ucapan Rudy membuat Alleya tambah merana. Ia tidak mengira jika sang papa justru menyutujui ide Aditya, si Balok Es. "Papa! Kok Papa setuju sih? Kan nggak mungkin bisa..." sanggahan Alleya terputus dengan kalimat Rudy berikutnya
Nafas Alleya memburu. "Pengacara nggak ada akhlak! Main nyosor aja... Nggak punya sopan santun!" Teriakan Alleya terdengar Nara hingga wanita itu ke luar dari ruang keluarga, mendekat ke arah Aditya dan Alleya yang berdiri saling berhadapan, dengan jarak yang begitu dekat. Nara yang sejak tadi sudah sangat penasaran dengan penampilan Alleya yang namanya sempat disebut Aditya, terkejut ketika pandangannya jatuh di wajah Alleya. Apa?!! Gadis seperti ini yang akan menikah dengan Aditya? Wajah begitu buruk, sangat jauh dari wajahnya, mengapa bisa memenangkan hati Aditya dan kedua orang tuanya? Nara semakin terkejut, ketika ingatannya membawa dirinya ke pertemuan dengan Alleya beberapa waktu lalu di warung soto, ketika ia dan Aditya sedang sarapan pagi bersama. Saat itu Alleya juga tidak sendiri. Gadis itu datang bersama seorang pria yang tidak kalah tampan dengan Aditya. "Ka-Kauu, All-leya?" Nara benar-benar tid
Rudy memacu mobilnya dengan kecepatan yang lumayan. Semula hanya Rita yang merasa khawatir berlebih. Namun, ketika dirinya sendiri mencoba menghubungi sahabat masa kecilnya itu, dan tidak juga mendapat tanggapan, membuat dirinya mulai merasa cemas. Ryan memilih untuk pulang terlebih dulu, dan akan datang lagi setelah ada kepastian tanggal pernikahan adiknya. Sepanjang perjalanan, Rita terus mecoba menghubungi Lisa, meski respon yang ia terima tidak berubah. Berulang kali dirinya melirik Alleya, berharap putrinya itu berhasil menghubungi Aditya, tapi kenyataannya tetap sama. "Tenang, Ma. Sebentar lagi kita akan sampai di rumah Abraham. Sebentar lagi, Papa akan menghujani pria itu dengan beratus pukulan, karena sudah berani membuat kita semua khawatir." Mobil Rudy akhirnya, berhenti tepat di depan gerbang bercat putih yang tinggi menjulang. Pintu gerbang itu terbuka, me