"Halo?" Suara Aditya terdengar pelan namun jelas.
Hening. Tidak ada jawaban dari ujung sana, meski telpon darinya diangkat. Sabar. Satu kata yang entah dibisikkan oleh siapa saat itu, tiba-tiba terdengar di telinga Aditya dan juga hatinya. Selama satu menit, tidak ada suara yang terdengar. Aditya mulai menjauhkan ponsel dari telinganya saat terdengar suara berat di ujung sana.
"Masih ingat dengan nomor ini?" Nada suara yang didengarnya begitu dingin dan mengerikan, membuat Aditya sejenak merasa gugup dan takut. Ia baru menyadari jika sifat dingin dan mengintimidasinya, ternyata berasal dari sang papa.
Aditya bergeming. Ia tidak berniat untuk menjawab, karena takut misi yang sedang ia jalankan akan gagal sebelum waktunya.
"Apakah aku sedang berbicara dengan angin?" Kembali suara dingin Abraham menyentil telinga Aditya.
"Buang-buang w
Deg. Aditya langsung merasa lemas. Ia menatap Rudy, calon mertuanya dengan tatapan yang lemah. Ia sudah menduga dari awal, sejak ia memikirkan hal ini. Namun, meski dirinya sudah mempersiapkan perasaannya untuk menerima penolakan yang mungkin akan ia terima, rasa sedih masih tetap datang menghampirinya. Ia tahu jika dirinya hanya memiliki peluang satu persen dan dirinya menggantungkan harapannya pada kemungkinan yang hanya satu persen itu. Sekarang, harapan itu sudah meninggalkan dirinya. Sudah tidak ada lagi kesempatan untuknya bertemu Alleya dan memperbaiki kesalahannya. Aditya menguatkan hatinya. Ia berusaha tersenyum, meski hanya seulas senyum tipis yang ia bingkai di kedua sudut bibirnya. Ia sudah bisa menebak jawaban apa yang akan diberikan oleh kedua orang tua Alleya dan ia bisa memakluminya. Orang tua mana yang tidak sakit hati mengetah
Aditya membeku di tempatnya. Kata-kata Bima terdengar begitu menusuk telinganya. Tangannya pun mengepal. Bukan mencari sesuatu yang ingin ia pukul, namun lebih mengalirkan emosi yang perlahan menguasai dirinya. Tidak menolak tuduhan yang diberikan Bima padanya. "Apa lagi yang ingin kau lakukan pada Alleya? Masih belum cukup kamu mempermalukannya?" Langkah Bima semakin mendekat ke arah Aditya. Tangannya terus saja mengepal. "Bimaaa..." Suara Rita melembut berusaha meredakan emosi putra sulungnya. Ia melihat kedua tangan Bima yang sudah mengepal erat. Ia takut akan terjadi perkelahian di rumahnya, apalagi di sini ada Rudy yang jelas akan mengamuk jika melihat anaknya berkelahi, terlebih Aditya sudah meminta maaf sebelumnya kepada mereka. "Ma! Mama tidak tahu seperti apa si brengsek ini. Ia tega berduaan, bermesraan di depan Alleya, dan itu tidak hanya sekali. Ia sudah berkali
Jantung Aditya melompat-lompat hendak lepas dari tempatnya, membuatnya merasa lemas seketika hingga tanpa ia sadari tubuhnya melangkah mundur beberapa langkah ke belakang. "Siapa? Siapa yang akan melamar Alleya?" Kini giliran Rita yang menginterogasi Bima, dengan terbata-bata. Ia sangat terkejut. Siapa yang diam-diam menaruh hati pada putri semata wayangnya? Bima berdecak kesal. Meski dirinya tidak tahu apakah Bobby sudah mengungkapkan perasaannya pada Alleya atau belum, dan apakah lamaran itu di terima atau ditolak. Tapi, karena ia sangat ingin menjatuhkan mental Aditya maka ia mengatakan hal yang belum pasti kebenarannya. "Teman SMA Alleya dulu, Ma. Pegusaha muda yang merintis usahanya sendiri dan kini usahanya berkembang pesat. Anaknya baik dan selalu perhatian pada Alleya. Mungkin kalau Bima mengajaknya bermain kemari, Papa dan Mama akan ingat orangnya seperti apa?"
Aditya menggenggam erat kemudinya. Bayangan seorang pria melintas di benak Aditya, membuatnya menggeram dan semakin mengeratkan genggamannya pada kemudi di depannya. Joey, gumamnya setengah menggeram. Kedua alis hitamnya nyaris menyatu, giginya bergemelatuk, menahan emosinya. Namun, menit berikutnya bayangan pria lain datang mengganggu benaknya. Bobby? Mungkinkah pria berkulit putih dengan lesung pipi di pipi kirinya? Jantung Aditya berdetak semakin kencang dan tidak beraturan. Kedua tangannya kini mencengkeram kemudi yang sejak tadi digenggamnya dengan kuat. Pria-pria itu. Mana diantara keduanya yang sedang berupaya keras mendekati Alleya? Aditya ke luar dari mobilnya, membanting keras pintu dan melangkahkan kakinya ke pinggir. Mengeluarkan sebatang cerutu dari balik kantong jaketnya. Ia tidak pernah menghisap cerutu, kecuali jika sudah tidak bisa lagi mengontrol emosinya. Dihi
Ryan melirik ke arah Alleya yang ternyata sedang menatap tajam ke arahnya. Harus kasih jawaban apa nih? Ryan meneruskan kegiatannya sambil mencari cara untuk menjawab pertanyaan Alleya. Kepalanya buntu, tidak kunjung menemukan kalimat-kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan Alleya. "Kak!!!" Alleya kembali memanggil nama kakak keduanya, yang sekarang tengah berjalan cepat meninggalkan Alleya. Ryan memang sempat mendengar Bima menyebut-nyebut nama Bobby beberapa hari yang lalu, ketika mereka tengah berdikusi tentang hubungan adik mereka dan Aditya. Saat itu Bima pernah mengatakan, akan mengenalkan Alleya pada seorang temannya. Ryan sempat menyatakan keberatannya. Ia tidak menyetujui ide Bima, mengingat Alleya sedang berusaha menenangkan perasaannya. Namun, saat itu Bima bersikeras dan Ryan tidak mau ikut-ikut. Ia, meski merasa sebal dengan Aditya, tapi ia tidak berani mencampuri urusa
Suara yang terdengar barusan, benar-benar mengejutkan Aditya. Ia tidak mengira jika panggilan yang masuk berasal dari nomor yang beberapa menit lalu sempat ia hubungi. "Itu..." Aditya bingung. Mendadak kepalanya buntu, memikirkan jawaban apa yang akan diberikannya pada sang papa. "Ternyata selama ini kamu masih saja berhubungan dengan rubah betina itu,huh? Apa yang kamu lihat dari dirinya? Apa kamu belum sadar juga jika ia sudah mempermainkanmu selama ini?" Abraham murka. Ia sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi. Kebodohan putranya benar-benar membuatnya naik pitam. "Bukan... Bukan begitu, Pa. Ini semua tidak seperti yang Papa pikirkan dan bayangkan." Aditya berusaha memberi penjelasan kepada Abraham. "Papa kira kamu akan memberikan kabar baik pada Papa, tapi ternyata, Papa justru mendengar sendiri percakapan kalian." Detik berikutnya, Abraham memutuskan telpo
Bobby mengambil duduk di seberang Alleya dan Rudy. Tak berapa lama, Bima menyusul duduk di sofa tepat di sebelah Rudy. Alleya memutar-mutarkan bola matanya. Kesal? Jelas. Sebal? Sangat. Mengapa pada datang kemari sih? Alleya menggerutu tidak jelas. Ia masih belum bisa memaafkan kelancangan kakak sulungnya, dan sekarang tanpa memberi tahu dirinya, kakaknya itu datang dengan mengajak pria yang hendak dijodohkan dengan diriya. "Ada apa kemari? Nggak ada kerjaan apa?" Suara ketus Alleya membuat Bima mengernyit tidak senang. "Al!" Seru Bima. "Tidak sopan." "Tidak sopan mana antara Alleya dengan Kakak? Menceritakan rahasia adiknya sendiri ke orang lain?" "Tapi, Al... Niat Kakak'kan baik. Dari pada kamu dengan si pengacara oon itu..." Bima membela dirinya. "Dari mana Kakak tahu kalau apa yang Kakak lakukan itu akan membuat hidup Al lebih
Alleya terperangah mendengar ucapan Bobby. Pria ini sudah gila. Ia menggelengkan kepalanya berulang. "You are insane! Totally insane." Alleya menatap Bobby sekilas, memutar tubuhnya membelakangi hingga sekarang dirinya membelakangi Bobby. Bobby terkekeh. "Kamu benar. Aku memang gila. Aku harus menjadi gila dulu agar kamu tahu jika aku ingin memiliki hubungan lebih dari sekedar temen denganmu, Al." Alleya kembali menghadapkan tubuhnya ke arah Bobby. "Tsk. Kamu ini. Berapa lama kamu mengenal aku? Berapa kali aku memberikan jawaban yang sama denganmu? Apa kamu tidak juga paham?" "Mengapa? Mengapa tidak bisa? Apa yang kau lihat darinya? Apa kurangnya aku dibanding dia?" "Sebentar. Kita tidak sedang membicarakan Aditya di sini. Aku hanya memintamu untuk tidak ikut gila seperti kakakku." "Aku tidak membenci Adit