Aditya menggenggam erat kemudinya. Bayangan seorang pria melintas di benak Aditya, membuatnya menggeram dan semakin mengeratkan genggamannya pada kemudi di depannya. Joey, gumamnya setengah menggeram. Kedua alis hitamnya nyaris menyatu, giginya bergemelatuk, menahan emosinya. Namun, menit berikutnya bayangan pria lain datang mengganggu benaknya. Bobby? Mungkinkah pria berkulit putih dengan lesung pipi di pipi kirinya?
Jantung Aditya berdetak semakin kencang dan tidak beraturan. Kedua tangannya kini mencengkeram kemudi yang sejak tadi digenggamnya dengan kuat. Pria-pria itu. Mana diantara keduanya yang sedang berupaya keras mendekati Alleya? Aditya ke luar dari mobilnya, membanting keras pintu dan melangkahkan kakinya ke pinggir. Mengeluarkan sebatang cerutu dari balik kantong jaketnya. Ia tidak pernah menghisap cerutu, kecuali jika sudah tidak bisa lagi mengontrol emosinya.
Dihi
Ryan melirik ke arah Alleya yang ternyata sedang menatap tajam ke arahnya. Harus kasih jawaban apa nih? Ryan meneruskan kegiatannya sambil mencari cara untuk menjawab pertanyaan Alleya. Kepalanya buntu, tidak kunjung menemukan kalimat-kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan Alleya. "Kak!!!" Alleya kembali memanggil nama kakak keduanya, yang sekarang tengah berjalan cepat meninggalkan Alleya. Ryan memang sempat mendengar Bima menyebut-nyebut nama Bobby beberapa hari yang lalu, ketika mereka tengah berdikusi tentang hubungan adik mereka dan Aditya. Saat itu Bima pernah mengatakan, akan mengenalkan Alleya pada seorang temannya. Ryan sempat menyatakan keberatannya. Ia tidak menyetujui ide Bima, mengingat Alleya sedang berusaha menenangkan perasaannya. Namun, saat itu Bima bersikeras dan Ryan tidak mau ikut-ikut. Ia, meski merasa sebal dengan Aditya, tapi ia tidak berani mencampuri urusa
Suara yang terdengar barusan, benar-benar mengejutkan Aditya. Ia tidak mengira jika panggilan yang masuk berasal dari nomor yang beberapa menit lalu sempat ia hubungi. "Itu..." Aditya bingung. Mendadak kepalanya buntu, memikirkan jawaban apa yang akan diberikannya pada sang papa. "Ternyata selama ini kamu masih saja berhubungan dengan rubah betina itu,huh? Apa yang kamu lihat dari dirinya? Apa kamu belum sadar juga jika ia sudah mempermainkanmu selama ini?" Abraham murka. Ia sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi. Kebodohan putranya benar-benar membuatnya naik pitam. "Bukan... Bukan begitu, Pa. Ini semua tidak seperti yang Papa pikirkan dan bayangkan." Aditya berusaha memberi penjelasan kepada Abraham. "Papa kira kamu akan memberikan kabar baik pada Papa, tapi ternyata, Papa justru mendengar sendiri percakapan kalian." Detik berikutnya, Abraham memutuskan telpo
Bobby mengambil duduk di seberang Alleya dan Rudy. Tak berapa lama, Bima menyusul duduk di sofa tepat di sebelah Rudy. Alleya memutar-mutarkan bola matanya. Kesal? Jelas. Sebal? Sangat. Mengapa pada datang kemari sih? Alleya menggerutu tidak jelas. Ia masih belum bisa memaafkan kelancangan kakak sulungnya, dan sekarang tanpa memberi tahu dirinya, kakaknya itu datang dengan mengajak pria yang hendak dijodohkan dengan diriya. "Ada apa kemari? Nggak ada kerjaan apa?" Suara ketus Alleya membuat Bima mengernyit tidak senang. "Al!" Seru Bima. "Tidak sopan." "Tidak sopan mana antara Alleya dengan Kakak? Menceritakan rahasia adiknya sendiri ke orang lain?" "Tapi, Al... Niat Kakak'kan baik. Dari pada kamu dengan si pengacara oon itu..." Bima membela dirinya. "Dari mana Kakak tahu kalau apa yang Kakak lakukan itu akan membuat hidup Al lebih
Alleya terperangah mendengar ucapan Bobby. Pria ini sudah gila. Ia menggelengkan kepalanya berulang. "You are insane! Totally insane." Alleya menatap Bobby sekilas, memutar tubuhnya membelakangi hingga sekarang dirinya membelakangi Bobby. Bobby terkekeh. "Kamu benar. Aku memang gila. Aku harus menjadi gila dulu agar kamu tahu jika aku ingin memiliki hubungan lebih dari sekedar temen denganmu, Al." Alleya kembali menghadapkan tubuhnya ke arah Bobby. "Tsk. Kamu ini. Berapa lama kamu mengenal aku? Berapa kali aku memberikan jawaban yang sama denganmu? Apa kamu tidak juga paham?" "Mengapa? Mengapa tidak bisa? Apa yang kau lihat darinya? Apa kurangnya aku dibanding dia?" "Sebentar. Kita tidak sedang membicarakan Aditya di sini. Aku hanya memintamu untuk tidak ikut gila seperti kakakku." "Aku tidak membenci Adit
Aditya terus saja menghujani pertanyaan pada si penelpon yang kini justru diam membisu. "Siapa kau?" Aditya kembali melihat ke layar ponselnya. "Temui aku di tempat yang dulu kau menerima begitu banyak pukulan dari orang terdekat Alleya. Jam tujuh malam." Kemudian telpon itu mati. Aditya terus memanggil-manggil si penelpon namun telpon itu sudah mati. Ia berusaha menghubungi balik si penelpon tapi nomor itu sudah tidak aktif. Aditya mengumpat kesal. Siapa penelpon itu? Dari mana dirinya tahu nomor telponnya. "Erlin." "Siap, Pak. Ada perintah?" Erlin dengan sigap menjawab panggilan atasannya dan kini sudah berdiri bersiap di depan meja Aditya. "Apakah nanti malam ada jadwal makan malam dengan klien?" "Sebentar, Pak. Saya lihat di buku agenda dulu."
"Aku sudah berusaha mencarimu, tapi tampaknya kamu sangat sibuk belakangan ini." Aditya menatap Alleya yang masih saja menghindari tatapannya. Situasi mereka saat ini sangat canggung, tidak leluasa untuk menyelesaikan salah paham mereka. "Aku pikir, kita perlu waktu khusus agar kita bisa lebih bebas untuk berbicara. Maksudku, aku ingin menjelaskan semuanya padamu, dan terlebih lagi..." "Tidak perlu. Aku rasa tidak perlu." Alleya langsung memotong perkataan Aditya yang belum selesai. "Itu sangat perlu untuk dijelaskan. Aku tidak ingin masalah yang ada menggantung dan akan menjadi penghambat urusan kita ke depannya. Mari kita selesaikan semuanya dengan kepala dingin, tanpa melibatkan emosi sedikitpun." Aditya menatap dalam tepat ke manik mata Alleya. Kali ini, Alleya merasa enggan untuk berdebat. "Lain waktu. Aku akan membuat jadwal khusus a
"Untuk apa kamu datang kemari?" Suara ketus Alleya menyapa Aditya. Rudy perlahan bangkit. "Yang dicari sudah datang. Om tinggal dulu." Aditya bediri dan mengangguk lalu kembali duduk di kursinya. "Al?" Aditya merasa salah tingkah. Ia idak mengira jika Alleya masih enggan untuk menemui dirinya. Ia pikir Alleya sudah mulai kembali menerima keberadaannya. Peringatan dari kakak Alleya kemarin ternyata terbukti. Gadis yang ia anggap lemah dan mudah diajak kompromi, ternyata begitu sulit untuk dijinakkan. Aditya melihat wajah Alleya yang tampak aneh menurutnya. Bukan wajah, lebih tepatnya, mata gadis itu tidak seperti biasanya. "Bisa tidak kita jalan-jalan sebentar. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu?" Alleya mendengus. Entah mengapa dirinya merasa sangat kesal. Ingin rasanya mengusir pria di depannya, tapi di sudut hatinya ada sedikit rasa
Pramusaji mengetuk pintu ruang sebelum masuk dan mulai meletakkan semua pesanan Alleya. Aditya dan Alleya terdiam membisu, menunggu pramusaji menyelesaikan tugasnya. Setelah pramusaji ke luar dari ruangan itu, Aditya memulai penjelasannya. "Pertama, Alleya. Aku minta maaf. Kakak minta maaf. Hari itu, Kakak membiarkanmu pulang sendiri. Kakak sangat menyesal. Kakak baru sadar jika Kakak sudah melakukan hal yang sangat tidak terpuji, membiarkanmu pulang sendiri. Maaf karena hari itu juga Kakak mengabaikanmu. Percayalah, begitu mengetahui dirimu sudah tidak ada lagi di gedung itu, Kakak langsung bergegas mencarimu dan menyusulmu ke ruko, tapi kamu tidak ada." Alleya menggerutu dalam hati. Menyesal? Tapi mengapa malah keterusan sama cewek itu? "Hari-hari selanjutnya Kakak terus berusaha menunggumu di depan ruko, tapi kamu tidak pernah ada. Menurut asistenmu itu, kamu sedang ada uru