Aditya tercekat. Ia merasa tidak percaya dengan yang baru saja didengarnya. Abraham, papanya, sama sekali tidak percaya jika dirinya sudah meminta maaf pada kedua orang tua Alleya dan juga dengan Alleya sendiri. Apa yang harus aku lakukan? Sebegitu bencikah papa padaku sekarang?
Aditya tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Menguatkan hatinya untuk terus menyimak perbincangan orang tuanya. Ia penasaran sekaligus ingin mengetahui apa maksud kedatangan orang tua Alleya.
"Benar kamu tidak mau mempercayai omonganku, Bram?" Rudy kembali menyentak kalbu Abraham, yang benaknya terisi bayangan Aditya yang masih bersikukuh untuk ke luar dari rumahnya demi bersama dengan Nara, wanita yang berhasil menguasai pikiran Aditya.
Abraham hanya duduk diam. Pandangannya menerawang ke langit malam.
Ponsel Rudy tiba-tiba berdering. Alleya menelpon dirinya s
Aditya terbelalak, begitu juga dengan Lisa, Rita dan Rudy. Mereka tidak mengira jika Abraham akan mengajukan persyaratan seperti itu. Terlebih lagi Aditya. Dirinya baru saja meminta maaf kepada Alleya dan memohon pada gadis itu, agar bersedia memberinya satu kesempatan untuk mengulang semuanya dari awal lagi. Apa yang akan Alleya katakan jika ia mengajak Alleya menikah bulan depan? Aditya menelan air liurnya sendiri. Apa-apaan sih, Papa ini? Sebenarnya apa yang sedang ada di kepala papanya? "Kenapa diam? Kamu tidak berani menerima persyaratan Papa?" Abraham menatap dalam Aditya. "Papa sudah bisa menebaknya. Kamu tidak serius saat meminta kesempatan pada Alleya." "Bukan begitu, Pa. Hanya saja..." "Hanya saja kamu nggak berani, kan?" Abraham mengejek Aditya. "Papa!" seru Lisa. Ia bergegas menghampiri suaminya
Sendok yang berada di tangan Alleya terjatuh. Ia tidak pernah membayangkan jika Aditya akan memiliki pemikiran seperti itu, pemikiran yang sempat terlintas di benaknya namun tidak pernah ia bayangkan jika Aditya pun memiliki pemikiran yang sama. Alleya membungkukkan tubuhnya untuk mengambil sendok yang terjatuh tadi. Kegugupan menyelimuti dirinya, dan sikapnya yang gugup ini tidak lepas dari pengamatan Aditya. "Ayo, kita makan! Keburu dingin nanti nasinya," ujar Alleya berusaha kembali bersikap biasa. Tanpa menunggu persetujuan dari Aditya, ia melahap makanan yang ada di hadapannya, mengabaikan Aditya yang bergeming dan masih terus menatapnya. "Apa kau takut?" tanya Aditya tiba-tiba setelah sekian menit mengawasi sikap gugup Alleya. Alleya menatap Aditya lalu mengangkat kedua bahunya, kembali menyantap makan siangnya. "Aku akan melakukan itu hanya jika kau tidak membe
"Apa kau tahu bagaimana rasanya ditolak?" Pertanyaan Bobby semakin menyudutkan Joe. Pria itu diam, tidak lagi menjawab pertanyaan Bobby. Sejujurnya, yang sebenarnya kalah sebelum bertarung adalah dirinya. Selama ini, Joe belum pernah sekali pun mengungkapkan perasaannya pada Alleya. Ia hanya menunjukkan lewat perhatiannya yang terkadang berlebihan terhadap Alleya, termasuk menjadi pelindung Alleya selama mereka duduk di bangku SMA. Ketakutannya adalah ketika Alleya justru akan menjauhi dirinya alih-alih tersanjung atas perhatiannya. Ia lebih memilih untuk mencari posisi aman. Asal Alleya selalu berada di dekatnya atau bersedia berteman dengannya. Bobby menghela nafas. "Aku sudah berkali-kali ditolak Alleya, dan yang terakhir kali dia mengancamku, tidak akan pernah sudi bertemu lagi denganku dan tidak akan pernah mengingatku sebagai temannya. Ia mencintaiku tapi bukan sebagai seorang pria dewasa namu
Aditya gelagapan. Sekujur tubuhnya terasa dingin, dan dengan terengah-engah pria muda itu tersadar dari tidurnya, dalam keadaan basah kuyup. "Sudah sadar atau belum?" Abraham berdiri tepat di samping Aditya yang menatap dirinya dengan sorot mata aneh. "Jika belum sadar juga, akan papa ambilkan air lagi, biar mandi sekalian." Abraham menelisik wajah putranya. Jadi tadi apa? Hanya mimpi? Benarkah hanya mimpi? Aditya mengedarkan pandangannya sekali lagi, untuk lebih meyakinkan dirinya sendiri, jika apa yang dilihat dan didengarnya tadi hanya bunga mimpi dari tidur singkatnya. Aditya menarik nafas lega. "Pa!" panggil Aditya seraya bangkit dari tidurnya. Pria paruh baya itu menatap garang Aditya. "Kenapa? Mau Papa siram satu ember air lagi?" Teriakan heboh Aditya saat putranya tidur tadi, membuatnya naik pitam. Baga
Rudy menghempaskan ponselnya ke atas kasur, setelah gagal menghubungi Abraham berulang kali. Awas kau, Abraham! Beraninya kau mengabaikan telpon dariku. Akan kubuat kau menyesal! Dengan berjalan cepat, ia meraih kunci mobil yang tadi ia letakkan di atas meja rias Rita. Ia sudah bertekad mendatangi rumah Abraham, untuk meminta penjelasan lebih lanjut mengenai perkataannya di telpon barusan. Gerakan Rudy yang terburu-buru menarik perhatian Rita yang saat itu sedang menikmati acara favoritnya di televisi. "Pa! Papa mau ke mana? Kok buru-buru begitu?" "Papa mau ke luar sebentar, Ma." Rudy tidak mengurangi kecepatan jalannya, membuat Rita semakin penasaran. "Papa!" seru Rita dengan suara sedikit menyentak. "Papa lihat jam nggak? Mau bertamu ke rumah siapa malam-malam begini, Pa?" Rita menatap curiga pada suaminya itu. "Jangan-jangan Papa pun
Alleya bergeming dengan detak jantung melompat-lompat tidak karuan. Matanya tidak berani berpindah dari jempol kakinya yang saling terkait satu sama lain. Aku harus jawab apa??? Tangan Aditya melambai ke atas, memanggil pelayan untuk membawakan pesanannya, sejenak mengabaikan Alleya yang masih saja sibuk dengan jempol kakinya. Aditya mengalihkan perhatiannya kembali pada Alleya setelah menyelesaikan pesanannya. "Apa masih ada pertanyaan?" Suara Aditya yang diucapkan dengan nada biasa saja, terdengar begitu keras di gendang telinga Alleya hingga dirinya sedikit terlonjak kaget. "Biasa aja, Sayang." Duh. Penderitaan Alleya ternyata masih berlanjut. Aditya sepertinya sengaja menggoda Alleya. Ia tersenyum tipis, menikmati rona wajah Alleya yang berubah menjadi merah jambu, begitu mendengar kata sapaan yang baru saja ia ucapkan. Sumpah demi apa
Alleya terus saja mengumpat di waktu yang tersisa menjelang kedatangan Abraham sekeluarga. Ia dengan tidak rela akhirnya membantu sang mama mempersiapkan hidangan ala kadarnya, untuk menyambut kedatangan tamu tak direncanakan itu. Sebal? Perasaannya dipenuhi dengan rasa itu. Sangat sebal malah. Andai ia punya satu kesempatan untuk menganiaya pria itu, maka ia akan memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya. Apa yang sebenarnya ada di kepala Balok Es itu? Mengapa tiba-tiba dia kebelet kawin begini? Apakah pacarnya sudah menolak ajakannya untuk menikah? Karena pacarnya menolak diajak menikah terus dia mengajakku untuk menikah? Begitu? Loh, lah kok enak banget ini orang? Dikiranya sini cewek murahan? Cewek murahan yang gampang digombalin ?? Alleya terus saja menghujamkan pisaunya ke atas daging yang teksturnya sudah tidak beraturan lagi. "Al, Mama kira itu sudah cukup kecil, jangan teru
Alleya terus saja memelototi Aditya. Belum puas rasanya jika ia belum membuat perhitungan dengan pria itu. Rasa kesalnya karena pernikahan mereka akan dilangsungkan tiga minggu lagi, benar-benar mencapai puncaknya. Ingin rasanya ia langsung menerkam pria yang duduk tidak jauh dari tempatnya. Namun sayang, dirinya tidak kunjung mendapat kesempatan itu. Aditya bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Alleya kemudian duduk setengah berjongkok, tepat di hadapan Alleya. Aditya menarik tangan Alleya yang sengaja disembunyikan gadis itu di samping tubuhnya. "Keluarkan tanganmu!" Desak Aditya, tidak sabaran. "Untuk apa? Apa yang sedang kau lakukan?" Alleya menarik tangan kanannya yang berhasil diraih Aditya. Rita yang melihat polah Alleya merasa gemas sendiri. "Diam sebentar, Al. Aditya sedang mengukur jarimu, untuk cincin kawin kalian nanti." Alleya