Dewi mengangguk dan bilang baru saja lulus SMP, Gibran dan Dewi selisih 5 tahunan usianya. Dewi kaget juga, mobil yang dia naiki sebuah mobil jenis sport mewah.Walaupun tinggal di Medan dan agak masuk ke kampung, namun Dewi tahulah yang mana mobil mewah dan yang mana mobil biasa.Saat duduk di jok mobil ini pun, Dewi sudah merasa serba salah. Gibran sampai menenangkan Dewi, agar bersikap santai saja.Iba hatinya melihat Dewi yang sebenarnya cantik, tapi pakaiannya sederhana sekali. Hingga kecantikannya tak begitu menonjol. “Kamu telpon kakek dan nenekmu, agar mereka tak khawatir, bilang sudah bertemu Abang di Jakarta!” Gibran sambil pegang setiran minta remaja belia ini kontak orang terdekatnya.Dewi terdiam dan bilang…tak punya pulsa. Gibran tersenyum getir, kasian sekali dengan Dewi ini. Selain kehabisan ongkos, ponselnya juga ponsel jadul.Untung saja Dewi langsung ke kampusnya, andai Dewi tak punya alamat ini, Gibran tak bisa membayangkan, apa yang akan menimpa gadis manis ini d
Dua Hari kemudian...!Kembali Dewi terbelalak, saat naik private jet mewah milik Gibran, kali ini mereka terbang langsung ke Palembang, untuk cari di mana keberadaan Aldy Harnady, adiknya.Tak henti-hentinya Dewi berselfong ria dengan gembira, Gibran dan Hilman membiarkan gadis abege ini. Hilman pun turut bersimpati dengan gadis yatim piatu ini. Hilman yang menemani ke Palembang sampai bercanda ke Gibran, agar jangan sampai tergoda dengan si anak angkat, yang memang manis dan bak Renita saat muda.Apalagi setelah Dewi kenakan pakaian yang dia beli di sebuah mal mewah di Jakarta. Aura kecantikannya mulai terlihat."Semprol kamu, masa anak bekas kekasih sendiri aku embat juga. Aku sudah berniat akan jadikan dia anak angkat," sungut Gibran, hingga Hilman terbahak.Hilman sudah melihat wajah Renita di ponsel Dewi dan dia mengakui Dewi memang sangat mirip ibunya.Dengan mobil yang dipinjami dari kantor cabang milik papanya di Palembang, Gibran dan Hilman serta Dewi tak mau buang waktu.M
Namun bukan itu yang jadi perhatian Gibran, tapi dia melihat ada lelaki lain yang ikut bergabung. Ketiganya terlihat berbicara serius sambil menuju ke lobby apartemen itu.“Rasa-rasanya aku kenal dengan pria yang baru datang itu…!”Gibran duduk termenung di dalam mobilnya yang sengaja dia parkir di depan apartemen ini sambil mengingat-ingat.“Ahhh…iya, astagaa…inilah bangsat yang menembak aku dulu di mobil,” hampir terlonjak Gibran dari mobilnya.Pemuda ini tentu saja tak pernah melupakan sampai kapanpun penembak dirinya. Sehingga dalam waktu singkat, dia kini sudah ingat wajah orang yang menemui Bonita dan teman prianya tersebut.Seorang pria dengan wajah dingin dan sepertinya sudah sangat profesional dengan kerjaannya sebagai penembak jitu atau pembunuh bayaran.Kini kecurigaannya menampakan hasil, penembak dirinya ada hubungannya dengan Bonita. Gibran pun mulai berpikir keras untuk bisa menangkap basah penembak itu.Terutama untuk bikin perhitungan, andai saat itu dia tak refleks m
Namun Gibran akhirnya kehilangan jejak, buruannya manfaatkan malam hari dan juga banyaknya gang yang berbelok-belok untuk kabur. Sehingga Gibran kehilangan jejak dan tak bisa mengejarnya lagi.Namun wajah orang itu tak bakal Gibran lupakan, karena orang itu adalah pria yang dekat dengan Bonita.Gibran pun terdiam sambil redakan nafasnya yang ngos-ngosan. Saat melihat ada bapak-bapak yang jualan rokok dan air mineral, Gibran pun ambil sebuah dan meminumnya, lalu menghela nafas panjang.Gibran menelpon Sonu, pengawal ayahnya yang juga mantan anggota kepolisian, lalu ceritakan apa yang terjadi, mulai di apartemen hingga aksi kejar-kejaran.“Baik tuan muda, tenang saja, aku akan bereskan soal ini secepatnya!” sahut Sonu, yang langsung berkoordinasi dengan kepolisian, untuk bereskan korban di apartemen tersebut.Setelah membayar minumannya dan tak mengambil kembaliannya, Gibran pun beranjak dari sana.“Om…mau cari orang yang lari tadi yaa..?”Mendengar suara ini, Gibran otomatis berbalik.
“Namaku Feni dan ini Vina, kami awalnya di janjikan akan diberi pekerjaan sebagai waitress di sebuah pub kelas atas. Tak tahunya malah di suruh melayani tamu hidung belang. Kami menolak lalu di sekap di sana, sudah 3 hari kami di kamar itu!” Feni mengenalkan diri dan temannya ini, sekaligus sebutkan alasan kenapa mereka sampai di sekap dua orang itu.“Kalian masih muda-muda, apakah kalian ini masih pelajar..?” Gibran kaget juga, mereka ini korban perdagangan orang.“Nggak, aku sudah 24 tahun, kalau Feni 18 tahun!” kali ini Vina yang menyahut. Kembali Gibran terkaget-kaget, Vina yang di pikirnya masih muda, justru sudah 24 tahunan.“Wajah kalian kayak masih pelajar saja,” puji Gibran, keduanya langsung tersenyum malu-malu.“Om…eh mas, kalau ada kenalan keluarga Harnady, tolong sampaikan hati-hati!” sela Feni spontan, hingga Gibran terperanjat.“Maksudnya hati-hati…bagaimana Feni?” Gibran langsung bertanya penasaran, hatinya mulai tak enak. “Jadi gini mas, saat di sekap, aku dan Vin
“Tak aneh Om, mereka juga pengedar obat-obatan terlarang,” kini Vina ikutan bicara sambil membongkar belanjaannya. Lalu dengan entengnya mulai mencoba pakaian yang dia beli.Uangnya..? Pastinya dari Gibran, yang kasian melihat keduanya tak memiliki pakaian, kecuali yang di badan saat dia bawa ke sini tadi malam.“Vina, ke toilet lah, masa kamu mau ganti pakaian di sini,” tegur Feni, saat melihat Vina mau melepas seluruh pakaiannya di depan dia dan Gibran. Vina tertawa dan bilang maaf, lalu dia masuk ke toilet.Setelah berganti pakaian, Vina secara mengejutkan bilang mau pulang, karena khawatir ortunya mencari dia, setelah 4 hari ini tak ada kabar berita darinya.Gibran buru-buru cabut dompetnya dan menyerahkan uang hingga 3 juta buat gadis ini.“Ini uang buat ongkos pulang, hati-hati yaa, yang akan datang jangan sembarangan terima tawaran orang tak di kenal untuk kerja!” Gibran menasehati Vina, bak ayah nasehati anaknya.Banyaknya persoalan yang ia hadapi saat ini membuat Gibran seola
Feni dan Gibran bukan satu malam bersama di hotel ini, tapi sampai 3 malam, setelahnya diapun mengantar wanita ini kembali ke kosnya.“Kita masih banyak waktu Feni, nekt time aku pasti akan menemui kamu lagi,” bisik Gibran, sambil mengecup bibir Feni, sesaat setelah sampai di depan kos-kosan wanita ini.“Iya sayang, tapi jangan keseringan yahh, ntar punyaku melar kayak punya anak 5 orang saja,” canda Feni sambil mencubit hidung mancung pemuda ini.Sambil bilang punya dia berasa masih ada yang mengganjal di kedua paha putih mulusnya.Gibran tersenyum saja dengan goyunan Feni. Sesaat dia ingat, inilah yang dulu sering diucapkan mendiang Renita, yang bilang semakin hari belalainya makin membesar saja, seiring bertambahnya usianya.Feni apalagi, dia bahagia bukan main, Gibran dengan royal sudah mentransfer hingga 1 miliar ke rekeningnya.Feni sampai berseloroh, dia akan istirahat sampai berbulan-bulan dengan pemberian pemuda royal ini.Andai tak ingat keselamatan keluarganya, Gibran masih
Gibran kini menyusuri jalan menuju ke arah sebuah vila, sesuai petunjuk ponsel canggihnya.Dia jalankan perlahan-lahan motornya sambil melihat-lihat kawasan puncak, yang masih berada di kawasan Mega Mendung dan arah jalan mulai menanjak.Hampir satu jam Gibran muter-muter kawasan ini, karena dia tak begitu hapal kawasan ini. Namun berkat petunjuk di ponselnya, Gibran bisa tahu lokasinya.Gibran sempat meraba pistolnya yang masih terisi peluru, setelah adu tembak dengan dua penjahat sebelumnya.Gibran pun akhirnya ke sebuah vila yang lumayan mewah, tanda darurat di ponselnya menunjukan ke alamat vila yang berjarak 50 meteran dari tempatnya saat ini.Gibran lalu menyembunyikan motornya dan kini dengan langkah berindap-indap menuju ke vila ini. Sikapnya tetap waspada, sesuai ajaran Letkol Suryo, agar tetap hati-hati saat bertemu musuh.Dari jarak 25 meteran, Gibran melihat ada 3 orang terlihat aseek merokok di teras vila ini dan terkadang bersenda gurau.Tanda ponselnya menunjukan di sin