"Sulit sekali membongkar jaringan Roy dan Olly, sampai kini kedua orang ini bak hilang di telan bumi,”Komjen Sutomo menghela nafas, sambil menatap Gibran yang hari ini berkunjung ke ruang kerjanya, sekaligus bertanya progres penyelidikan kematian kedua ortunya.Sutomo juga sebut, semua tempat yang di sebut dua anak buah Olly yang dulu di tangkap dan kini sedang jalani hukuman sudah didatangi. Namun hasilnya nihil..!Gibran pun pulang dengan kecewa, sudah lebih 9 bulan pasca kematian kedua orang tuanya, kepolisian belum bisa mengaitkan dengan keterlibatan Roy dan Olly.Kedua orang musuh besarnya ini pun masih sulit di lacak keberadaannya. Ini yang bikin dia penasaran.Inilah juga salah satu faktor yang membuat Gibran makin berubah dari sifat aslinya, dia mulai sinis dengan siapapun.Saat keluar dari ruangan sang Kabaresrim ini, dia sempat menatap lama ajudan Komjen Sutomo, sang ajudan cantik berpangkat Bripda ini sampai salting di tatap pemuda tampan ini.Begitu berselisihan, dengan n
Begitu duduk di kursi kerjanya, Gibran kaget saat telponnya berdering, ternyata yang call Masri, adiknya.Langsung dia angkat, ada rasa kangen lama tak bertemu adiknya yang lebih tampan dari dia.Gibran selalu kangen kalau menatap wajah Masri, wajah adiknya ini mengingatkannya dengan Rachel, ibu kandung mereka yang berwajah lembut dan jelita.“Heeii brother, lohh wajah kamu kok agak item, berat sekali yaa latihannya di sana? Waah kepala kamu plontos..?” Gibran langsung menyapa adiknya sambil tertawa senang, melihat Masri sehat wal afiat.“Lumayan Bang, latihan fisik saban hari, rata-rata hampir 3,5 jam, lanjut pelajaran di kelas, kadang hingga malam!” sahut Masri ikutan tertawa kecil.“Pantas badan kamu makin kokoh dan berotot. Kapan liburan dan ada waktu pulanglah?” ajak Gibran dan sebut Syifa serta Dyan selalu menanyakan dirinya.“Kan belum setahun bang, baru juga 10 bulanan, tunggu 2 bulan lagi, ada waktu libur selama 2 minggu, aku pasti akan pulang ke Jakarta. Aku juga kangen deng
Setelah selesaikan tanda tangan, barulah Gibran meminta Irina panggil tamu tersebut ke ruangannya. Inilah gaya angkuh seorang Gibran, baginya kalau orang yang perlu dengannya, kudu menunggu.Bukan dia yang menunggu, tak suka silahkan out dari kantornya.“Selamat sore pa Gibran Harnady, tak ku sangka Anda dalam usia semuda ini sudah jadi bos besar perusahaan ini,” puji Sherman berbasa-basi, saat bersalaman dengan Gibran.Gibran lalu mempersilahkan Sherman dan dua asisten cantiknya duduk. “Ada keperluan apa pa Sherman?” Gibran langsung saja bertanya tanpa mau berbasa-basi.“He-he luar biasa, anda mirip sekali tuan Tommy Harnady, tanpa mau banyak basa-basi. Begini tuan Gibran, saya punya lahan tambang emas di Sulawesi. Nah saya mau cari investor untuk lakukan tambang emas itu!”“Saya tak main tambang emas, kalau batubara dan timah ya, itu pun saya bukan operator, hanya beli sahamnya!” sahut Gibran cepat.“Nahh, justru itu, saya ingin ajak tuan Gibran main saham emas ini. Saya yakin untun
“Macet…!” cetus Gibran mengagetkan Atiqah yang tak sadar sedang mengaguminya di sampingnya.Derasnya hujan menyebabkan jalanan tergenang air di mana-aman. Akibatnya banyak mobil berhenti dan macetlah jalanan yang mereka lewati.“Maaf, jadi ngerepotin Abang,” kali ini Atiqah merasa bersalah, Gibran menoleh lalu senyum sendiri.“Setidaknya aku nggak bete sendirian kejebak macet,” goyun Gibran, coba memecah kekakuan keduanya, dari tadi Atiqah sepertinya susah di ajak ngomong.Ucapan Gibran sukses bikin Atiqah senyum kecil sambil meletakan kedua tangannya di dada, mengurangin bete.“Bang…bagaimana rasanya menghilangkan rasa nyesek di dada, setelah Abang kehilangan kedua ortu Abang?” tiba-tiba Atiqah ajukan pertanyaan, Gibran kaget dan kembali menoleh wajah cantik jelita ini.Gibran menghela nafas, dia yang tadi membuka pembicaraan soal ortunya, kini dia yang benaran nyesek sendiri. Ingat ortunya, menimbulkan luka di hatinya.“Butuh waktu Atiqah, apalagi aku bukan tipikal orang yang suka c
Gibran hadiri undangan makan siang Tuan Sherman di sebuah hotel mewah, pria setengah tua ini dengan hangat menyambut pemuda ini, yang datang hanya berdua dengan Sonu, pengawal pribadinya.Tempat makan malam ini sangat eksklusife. Selain mewah, tempat ini juga agaknya memang khusus di boking Sherman buat menjamu Gibran.Gibran sempat melirik, ada satu kamar mewah yang tersedia di tempat ini. Sebagai pria petualang, Gibran sudah paham, tempat itu bisa dipakai kapanpun. Dalam artian negative, yakni buat kencan, tanpa perlu boking kamar lagi."Hmm...agaknya si Sherman tahu sifatku," batin Gibran, tanpa sadar senyum sendiri.Di depan mereka juga ada alat-alat band, organ dan gitar, juga alat music buat nge-Dj. Sebuah ruangan eksklusife yang pastinya sangat mahal dan tak sembarangan orang bisa memboking tempat ini.Karena sewa perjamnya puluhan jutaan, komplet dengan hiburannya.Sherman kembali bersama dengan dua asisten cantiknya, Sandra dan Monica, yang seperti dulu saat berkunjung ke kan
Seorang wanita muda sedang aseek menyabit rumput untuk ternaknya, aseek menyabit rumput, tak menyadari dia dekat dengan sosok tubuh yang tertelungkup, tak jauh dari rumput yang di potong.“Astagaa….ini mayatkahhhhh…!” saking kagetnya wanita ini sampai terlonjak dari tempatnya.Tapi wanita desa yang masih muda ini agaknya bukan tipikal orang penakut, dia dengan pelan-pelan mendekat lagi.Lalu dengan ujung ranting menowel-nowel tubuh yang tertelungkup itu dengan pakaian sobek-sobek tersebut.Saat itu dia makin terperanjat, tubuh ini terlihat masih bergerak, terutama dadanya, tanda orang ini masih hidup tapi dalam kondisi pingsan.Dia lalu setengah berlari sambil memanggil pertolongan. Tak lama dia balik lagi dengan seorang pria tua dan seorang anak kecil laki-laki berusia 6-7 tahunan.“Hmm…siapa orang ini, dia agaknya pingsan, lengan dan kakinya patah, sebentar aku ikat dulu dengan ranting, baru kita gotong pelan-pelan ke rumah!” si kakek tua ini ternyata tangkas dan kuat, dia memotong
Gibran sempat bertanya apakah saat menemukannya, ada melihat ponsel, dompet…serta senjatanya. Baik Norah ataupun Kakek Telo bilang tak menemukan itu, entah di mana tercecernya.“Baju kamu sobek-sobek, juga celanamu, mungkn tercecer entah di mana, kami hanya menemukan arloji yang masih bertahan di lenganmu, senjata? Apakah kamu ini aparat Gibran?” kakek Telo memandang Gibran curiga.Gibran langsung menggeleng. “Itu senjata berizin kek, bukan senjata ilegal…nanti kalau aku sembuh, aku akan coba cari kelak di mana aku ditemukan Norah pertamakali. Moga nggak jauh tercecernya!”“Nanti aku bantu mencarinya tuan Gibran,” sahut Norah, Gibran pun mengangguk dan kembali ucapkan terima kasihnya.Hari-hari pun di lalui Gibran untuk sembuhkan luka-lukanya. Dia hanya mengaku seorang pengusaha biasa, yang punya musuh terkait bisnisnya.Gibran tentu tak mengaku secara spesifik siapa dia sesungguhnya.Setelah 5 hari, barulah Gibran tahu, kalau Norah ini sebenarnya seorang janda muda tanpa anak. Suamin
Badan Norah yang hanya sedada Gibran cukup gesit jalan di hutan, kadang dia tersenyum melihat Gibran sering tertinggal dan terpaksa menunggu.Barulah Gibran sadar, si janda mungil ini sangat cantik dan manis kalau sudah senyum begitu, walaupun pakaian yang dikenakannya sederhana, tanpa riasan make up apapun. Penampilan Norah apa adanya dan itulah daya tariknya.Bibir Norah merah alami, kulitnya juga putih bersih, biarpun kukunya tak lentik, karena selalu dipotong pendek.Tapi tangannya bersih dan kokoh, terbiasa kerja keras di kebun dan di hutan menyabit rumput untuk mencari makanan sapi dan kambing peliharaannya.Gibran pun berpakaian sederhana, pinjaman dari kakek Telo. Walaupun agak sesak, tapi lumayan sebagai pelindung ditubuhnya.Pakaiannnya sebelumnya sobek dan tak bisa dipakai lagi, juga jaskulnya. Gibran seolah petani berbadan kokoh, dengan pakaian begitu.Wajahnya yang dulu bengkak-bengkak kini sudah mulus dan kembali ke wujud aslinya. Diam-diam Norah kagum juga melihat ketam