Dua hari tak bertemu mas Fajar, batinku seolah hampa. Ada rasa yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Hari ini, adalah hari yang telah aku janjikan untuk bertemu mbak Ratna. Entah mengapa, aku mulai menyayangi mbak Ratna seperti mbak sendiri. Aku pun bersiap, dan kemudian memberikan arahan seperti biasa kepada karyawan restoranku. Aku juga tidak mau ada pikiran yang negatif dari mereka, karna aku sering bepergian. Setelah kurasa sudah klop, aku pun segera pergi. Grabcar pesananku pun tiba di depan halaman restoran sekaligus rumahku. Iya, aku bukan tak punya uang buat beli mobil pribadi untukku. Tapi, aku hanya ingin menyisihkan sejumlah uang untuk kuberikan pada Deta kelak. Dan aku sudah mengalihkan sejumlah uang ke deposito, atas nama Deta. Bagaimanapun, Deta telah lama tak pernah ku rawat. Tak pernah lagi memasak untuknya, tak pernah membelainya sebagai anak semata wayangku. Ini wajar aku lakukan untuk menebus rasa bersalah ku padanya. Tak lama perjalanan yang ku tempuh,
Bab 30Pov RiyadiRirin mual, dan tambah lemas. Aku tak mau terjadi apa-apa dengannya. Ya Allah, sembuhkanlah Ririn. Kuatkan dia, kembalikan kesehatannya. Aku berkali-kali membatin memohon kesembuhan untuk Ririn, calon istriku. "Rin, pokoknya sekarang juga kita ke rumah sakit ya? Aku gak mau terjadi apa-apa dengan kamu. Badan kamu lemah," saranku, sambil merangkul tubuh Ririn ke posisi duduk. "Gak usah pake tanya-tanya Riyadi, pokoknya kita bawa sekarang Nak. Takutnya nanti, Ririn kenapa-kenapa, gimana?" desak ibu, sambil memijit punggung Ririn. "Terserah kamu Mas, aku merasa tambah lemah sekarang. Tolong Mas ke kamar, ambilin dompet Ririn sama perlengkapan Ririn ya Mas?" pinta Ririn, dengan nada lemah. Ya, Ririn memang memiliki riwayat asam lambung. Sedikit saja salah makan, akan berdampak buruk bagi lambungnya. Tapi, aku yakin kok Ririn pasti sembuh. Aku segera menuju kamar atas persetujuan Ririn. Dan segera menyiapkan segala perlengkapan untuk di rumah sakit. Jujur saja, aku ta
Setelah tiga hari di rawat, Ririn sudah bisa pulang ke rumah dengan sehat. Dan harus jaga pola makan yang teratur, dan jangan melanggar pantangan makanan. Dari dulu, aku sangat tidak suka dengan penyakit yang berkaitan dengan lambung. Karena sangat menyiksa, dan sering terjadi komplikasi. Tapi, syukurlah aku tidak mempunyai riwayat penyakit lambung. Hanya yang ringan-ringan saja. "Ibu mau masak dulu untuk siang ya? Kamu istirahat aja dulu. Ibu nanti nyusul istirahat kalau udah selesai masak," ucap ibu, setelah sampai di rumah. "Iya Bu, aku kangen masakan buatan Ibu. Tapi jangan yang di pantang kan untuk Ririn ya Bu?" seru Ririn sambil tersenyum riang. "Aman tuh Rin, nanti Ibu yang atur. Biar kamu bisa juga makan tanpa masalah," goda ibu, sambil menggoyangkan kuali di tangannya. "Makasih loh Bu, udah mau repot ngerawat Ririn. Ririn janji pasti akan menyayangi Ibu sampai kapan pun," ucap Ririn sambil berjalan kearah ibu, kemudian memeluk tubuh ibu yang sudah tua. "Ya udah, kamu isti
Sebuah pesan whatsapp pun masuk ke ponselku, sore ini. Aku segera membuka, dan membaca pesan yang ternyata dari Julia. ["Assalamu'alaikum Mas Riyadi, ada di mana sekarang? Kebetulan aku mau ke rumah ..."]Segera aku berlari menjumpai Ririn, untuk memberitahukan kabar ini. Karena aku yakin, inilah kabar yang kami tunggu-tunggu. "Ririn sayang, coba lihat nih. Ada chat whatsapp dari Julia, katanya mau ke rumah sekarang. Gimana ya?" tanyaku, sambil menunjukkan ponselku padanya. "Balas aja Mas, suruh ke sini. Kita ngumpul di sini aja deh," jawab Ririn, dengan ceria. "Iya deh, tapi gak papa kan Rin?" tanyaku balik. "Loh Mas kok nanya gitu sih, bentar lagi kalau kita nikah ,,, rumah Ririn juga jadi rumahnya Mas juga. Kok jadi gitu sih nanyanya?" jawabnya, simpel dan bermakna. "Ya udah Mas balas ya?" saranku, sambil menuliskan sesuatu di sana. ["Waalaikumsalam Julia, Mas sama Ibu dan Deta sekarang di rumah Ririn. Ririn sedang sakit, kamu bisa ke sini ya? Entar kita shareloc aja," pesan
"Assalamu'alaikum, Julia, Ibu datang Nak," ucap ibu mertua, setelah sampai di depan pintu, dengan sedikit berteriak. "Waalaikumsalam Bu, mari masuk. Apa Mbak Neti gak ikut?" tanya Julia istriku, sedikit ketus. Sambil membuka pintu rumah. "Gak Julia, Mbakmu hanya ngantar aja tadi di depan. Ada kerjaan katanya," jawab ibu mertuaku, seraya duduk di sofa depan televisi. "Oh gitu, Ibu lama gak di rumah Julia?" tanyanya lagi, sambil menuju dapur untuk membuatkan teh. "Gak juga Julia, palingan juga besok udah pulang ke rumah Neti. Ibu mesti jaga anaknya Neti, kasihan kalo Ibu berlama-lama. Neti sibuk," jawab ibu mertuaku, sembari memberi pengertian kepada Julia. "Ibu ini, pilih kasih. Giliran di rumah Mbak Neti, Ibu bisa betah, tiba di rumah Julia, Ibu seperti injak bara api. Coba nih Bu, seminggu aja di sini. Cucu Ibu juga kangen. Bukan hanya anaknya Mbak Neti aja yang butuh Ibu," cerocos Julia, sambil berdiri dengan tangan berlipat di dada. "Apaan sih Nak, Ibu bukan gak sayang sama a
"Ini ... poto siapa Julia! Kok bisa ada poto lelaki lain di ponselmu, apa kamu sedang selingkuh," bentakku sambil menggenggam ponselnya dengan gemetar. "Eh, anu, bukan Mas. Itu hanya lewat di beranda facebookku, aku juga gak kenal," sahut istriku sambil merampas ponselnya dari tanganku. Tanpa basa-basi Julia mengutak-atik ponselnya, aku sebenarnya sudah curiga kalau Julia ada apa-apa di belakangku. Karena mengingat ada ibu mertua di rumah, aku mengalah. Aku tak mau ibu tersinggung dengan masalah kami. Aku sengaja menepis semua pikiran negatif dari hatiku. Dan aku tak lagi menanggapinya. Karna tiba-tiba saja Julia menangis, supaya aku percaya bahwa ia tidak sedang berbohong. "Sumpah deh Mas, aku gak ngapa-ngapain. Itu hanya lewat di berandaku, namanya juga sosmed. Jadi apa aja bisa lewat gitu aja," ungkapnya sembari menggenggam tanganku. "Untuk kali ini Mas mempercayaimu Julia. Tapi kalo suatu saat kamu ketahuan sama Mas, mungkin Mas gak akan maafkan," tandasku dengan tatapan jauh
"Loh mana Julia tau, HP kan punya Ibu. Kok tanya Julia sih Bu!" bentak Julia, sambil merampas ponsel milik ibu. "Ya makanya Ibu tanya, biar kamu lihat dulu Nak," sahut ibu mertuaku, sambil mengikuti Julia yang berjalan. Julia mengutak-atik ponsel ibu sambil berjalan menuju ruang tamu, tadinya Julia sedang membersihkan diri. Tak biasanya, Julia kelihatan sudah mandi sebelum pulang. Ah, mungkin mandi di rumah Bu ustadzah. Aku pun tak bisa lagi memejamkan mata, dan menyusul mereka di ruang tamu. Aku menanyakan perihal yang terjadi, tapi Julia masih bisa menjawab dengan sempurna. "Ada apa sih Julia, kok malam gini ada yang telepon Ibu?" tanyaku, sambil duduk di samping ibu mertuaku. "Ini nih Mas, mungkin penipuan yang minta-minta uang. Untung Ibu langsung kasih tau, kalau gak Ibu pasti terhipnotis," jawab Julia, masih dengan mengutak-atik ponsel ibu mertuaku. "Ya Alloh, kemarin itu memang di kampung Ibu juga ada kejadian kayak gitu. Tapi udah sempat ngirim uang, semua keluarganya d
"Te- Temen lamaku Mas, waktu masih gadis dulu. Orangnya baik, ramah, dan pekerja keras. Ini ada juga baju baru untuk Mas dan Deta, Ibu juga. Sekali-sekali kok Mas, lagian Julia kan gak ngeluarin uang. Itu aja kok sewot sih Mas," celetuk Julia, tanpa merasa bersalah. "Tapi Julia, Mas perlu tau kalo kamu itu mau kemana. Acara apa, kan bisa kamu kasih tau lewat hp. Biasanya juga gitu kan," sergahku, sambil berdiri di depan Julia. "Apaan sih Mas, itu aja jadi masalah buat Mas. Aku juga gak pake uang yang Mas kasih tempo hari, ini tuh semua pemberian teman lamaku. Ngerti!" gertak nya, sambil menerobos masuk ke dalam kamar. "Julia, buat Mas gak masalah kalau kamu pake uang asal untuk keperluan yang penting dan sesuai waktu dong Julia. Ini, kamu sampai malam baru pulang. Ngapain aja?" protesku, sambil berdiri di depan pintu kamar. "Ah, terserah. Susah ngomong sama Mas, hidup itu perlu refresing. Bukan di rumah aja, ngabisin waktu!" suara Julia mulai meninggi. Ku lihat ibu sedang berdiri
Sebuah pesan whatsapp pun masuk ke ponselku, sore ini. Aku segera membuka, dan membaca pesan yang ternyata dari Julia. ["Assalamu'alaikum Mas Riyadi, ada di mana sekarang? Kebetulan aku mau ke rumah ..."]Segera aku berlari menjumpai Ririn, untuk memberitahukan kabar ini. Karena aku yakin, inilah kabar yang kami tunggu-tunggu. "Ririn sayang, coba lihat nih. Ada chat whatsapp dari Julia, katanya mau ke rumah sekarang. Gimana ya?" tanyaku, sambil menunjukkan ponselku padanya. "Balas aja Mas, suruh ke sini. Kita ngumpul di sini aja deh," jawab Ririn, dengan ceria. "Iya deh, tapi gak papa kan Rin?" tanyaku balik. "Loh Mas kok nanya gitu sih, bentar lagi kalau kita nikah ,,, rumah Ririn juga jadi rumahnya Mas juga. Kok jadi gitu sih nanyanya?" jawabnya, simpel dan bermakna. "Ya udah Mas balas ya?" saranku, sambil menuliskan sesuatu di sana. ["Waalaikumsalam Julia, Mas sama Ibu dan Deta sekarang di rumah Ririn. Ririn sedang sakit, kamu bisa ke sini ya? Entar kita shareloc aja," pesan
Setelah tiga hari di rawat, Ririn sudah bisa pulang ke rumah dengan sehat. Dan harus jaga pola makan yang teratur, dan jangan melanggar pantangan makanan. Dari dulu, aku sangat tidak suka dengan penyakit yang berkaitan dengan lambung. Karena sangat menyiksa, dan sering terjadi komplikasi. Tapi, syukurlah aku tidak mempunyai riwayat penyakit lambung. Hanya yang ringan-ringan saja. "Ibu mau masak dulu untuk siang ya? Kamu istirahat aja dulu. Ibu nanti nyusul istirahat kalau udah selesai masak," ucap ibu, setelah sampai di rumah. "Iya Bu, aku kangen masakan buatan Ibu. Tapi jangan yang di pantang kan untuk Ririn ya Bu?" seru Ririn sambil tersenyum riang. "Aman tuh Rin, nanti Ibu yang atur. Biar kamu bisa juga makan tanpa masalah," goda ibu, sambil menggoyangkan kuali di tangannya. "Makasih loh Bu, udah mau repot ngerawat Ririn. Ririn janji pasti akan menyayangi Ibu sampai kapan pun," ucap Ririn sambil berjalan kearah ibu, kemudian memeluk tubuh ibu yang sudah tua. "Ya udah, kamu isti
Bab 30Pov RiyadiRirin mual, dan tambah lemas. Aku tak mau terjadi apa-apa dengannya. Ya Allah, sembuhkanlah Ririn. Kuatkan dia, kembalikan kesehatannya. Aku berkali-kali membatin memohon kesembuhan untuk Ririn, calon istriku. "Rin, pokoknya sekarang juga kita ke rumah sakit ya? Aku gak mau terjadi apa-apa dengan kamu. Badan kamu lemah," saranku, sambil merangkul tubuh Ririn ke posisi duduk. "Gak usah pake tanya-tanya Riyadi, pokoknya kita bawa sekarang Nak. Takutnya nanti, Ririn kenapa-kenapa, gimana?" desak ibu, sambil memijit punggung Ririn. "Terserah kamu Mas, aku merasa tambah lemah sekarang. Tolong Mas ke kamar, ambilin dompet Ririn sama perlengkapan Ririn ya Mas?" pinta Ririn, dengan nada lemah. Ya, Ririn memang memiliki riwayat asam lambung. Sedikit saja salah makan, akan berdampak buruk bagi lambungnya. Tapi, aku yakin kok Ririn pasti sembuh. Aku segera menuju kamar atas persetujuan Ririn. Dan segera menyiapkan segala perlengkapan untuk di rumah sakit. Jujur saja, aku ta
Dua hari tak bertemu mas Fajar, batinku seolah hampa. Ada rasa yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Hari ini, adalah hari yang telah aku janjikan untuk bertemu mbak Ratna. Entah mengapa, aku mulai menyayangi mbak Ratna seperti mbak sendiri. Aku pun bersiap, dan kemudian memberikan arahan seperti biasa kepada karyawan restoranku. Aku juga tidak mau ada pikiran yang negatif dari mereka, karna aku sering bepergian. Setelah kurasa sudah klop, aku pun segera pergi. Grabcar pesananku pun tiba di depan halaman restoran sekaligus rumahku. Iya, aku bukan tak punya uang buat beli mobil pribadi untukku. Tapi, aku hanya ingin menyisihkan sejumlah uang untuk kuberikan pada Deta kelak. Dan aku sudah mengalihkan sejumlah uang ke deposito, atas nama Deta. Bagaimanapun, Deta telah lama tak pernah ku rawat. Tak pernah lagi memasak untuknya, tak pernah membelainya sebagai anak semata wayangku. Ini wajar aku lakukan untuk menebus rasa bersalah ku padanya. Tak lama perjalanan yang ku tempuh,
"Baik Julia, aku akan bersikap baik sama Azizah. Aku akan anggap dia sebagai anakku sendiri. Kamu jangan khawatir ya? Apapun pasti aku lakuin untuk kamu," ungkapnya, dengan bibir tersenyum manis. "Oh ya Mas, setelah perlengkapan Nabilla siap, kita harus cepat ke rumah sakit. Takutnya perawatnya udah jenuh, yok?" usulku, kemudian di anggukkan sama mas Fajar. Segera kubantu Azizah membereskan perlengkapan Nabilla, begitu juga dengan pakaian dan susu formula untuk Nabilla. Tampak Azizah begitu bersemangat melakukan tugasnya. Dengan telaten dan penuh kesabaran ia menimang bayi kecilnya mas Fajar. Ia perlahan mengusap kepala Nabilla. Aku jadi bangga punya keponakan yang sangat bijak. Insya Allah, Azizah betah dan baik ke depannya. Amin. "Julia, ayo kita berangkat ke rumah sakit. Nabilla sudah sangat anteng dengan Azizah. Aku ingin bilang sama Ratna kalau Nabilla sudah berada di tangan yang pas," ajak mas Fajar dengan bersemangat. "Oke, sekarang kita berangkat. Aku juga gak bisa lama-la
Akankah aku yang akan mengurus bayinya mas Fajar? Aku belum sanggup untuk mengurus seorang bayi, apalagi sekarang aku sedang merintis usaha baruku. Mana mungkin aku bisa mengambil alih tugas mbak Ratna sebagai ibunya. Bukan maksudku untuk mengelak, tapi aku masih ingin fokus dengan usahaku. Terlihat mas Fajar suntuk dengan pikirannya, dan tentunya berkaitan dengan kondisi anaknya. Ia enggan memintaku untuk mengurus bayinya, sungguh! Aku belum sanggup. "Julia, bisakah kamu mencarikan untuk bayiku pengasuh?" tanya mas Fajar, sambil duduk terpaku. "Nanti aku carikan Mas, insya Allah. Aku akan usahakan yang terbaik untuk anakmu Mas," ucapku memberikan semangat. "Makasih Julia, Mas sudah gak bisa berfikir normal. Mana Mas harus memperhatikan dan mengurus Ratna, nyusul lagi keadaan anakku yang memang harusnya sudah di rumah, Mas stress banget sayang. Mas gak tau harus apa," keluhnya, sambil tertunduk layu. "Udah Mas gak usah terlalu stress, ingat kerjaan Mas. Kalau Mas sakit, siapa ya
Kasihan benar mbak Ratna, Ya Allah berikan kekuatan untuk mbak Ratna. "Dokter! Dokter! Tolong, cepat tangani istri saya Dok. Saya gak mau istri saya kenapa-kenapa," teriak mas Fajar, panik. Tanpa sadar, aku pun tiba-tiba saja iba melihat reaksi mas Fajar. Secara spontan aku merangkulnya, sambil menatap mbak Ratna yang sudah tak sadarkan diri. "Ratna ... Kamu harus kuat sayang. Kamu gak boleh pergi sayang, kamu harus sembuh biar kita kumpul lagi Ratna. Mas mohon," pekik mas Fajar, histeris banget. "Mas, yang sabar dong. Kok kamu jadi lemah gini, apa kamu lupa kalau kita punya Allah. Mas gak pergi sholat?" tiba-tiba saja kalimat itu terlontar dari bibir ini. Mas Fajar mematung, ia baru sadar akan kata-kata yang baru saja aku ucapkan. Kemudian ia, berdiri dan meraih jemari mbak Ratna. Ia menangis, dan memeluk tubuh lemah istrinya yang masih cantik itu. Entah apa yang ia bisikkan di telinga mbak Ratna. Dasar laki-laki, setelah diambang kematian di situlah mereka sadar akan kebejatann
Aku diam seribu bahasa, bingung akan bagaimana. Antara penasaran dan ingin cuek. Tapi Mas Fajar masih saja dengan sikap yang dingin, tanpa ekspresi hangat seperti dulu. Dia berdiri mematung di hadapanku, sambil menatap kosong padaku. Ingin rasanya menanyakan lebih dulu, gerangan mas Fajar begitu. Tapi, aku tahan agar tak terlalu menunjukkan kekhawatiranku padanya. "Julia ... Mas gak tau mau mulai pembicaraan denganmu dari mana. Tapi bisa kamu lihat, Mas sekarang sedang dalam problem." tutur mas Fajar, dengan wajah layu. "Terus ... Hubungannya dengan Julia apa?" tanyaku, pura-pura tidak mengerti. "Julia, tolong mengertilah sama Mas. Mas sekarang mengkhawatirkan Ratna, dia terkena kanker stadium tiga. Dan sedang menjalani kemoterapi, Mas mohon temani Mas. Kasih semangat buat Mas dong sayang ..." mas Fajar mulai menjelaskan sambil meraih tanganku. "Kok kamu aneh ya Mas? Istri sakit keras, bisa-bisanya Mas minta semangat dari aku. Apa Mas gak kasihan sama Mbak Ratna? Jangan egois don
Mas Fajar memang keterlaluan, bisa-bisanya dia menggantung harapanku tanpa memikirkan perasaanku. Ia sengaja menjanjikan hal yang membuatku terangkat ke awan, dan akhirnya ingin menghempaskan jika tidak mau menuruti keinginannya. Sebenarnya bukan aku tak mau menikah dan menjadi istri keduanya. Tapi aku masih ingin mempunyai rumah dan harta yang lain tanpa sepengetahuannya. Aku mau menyisihkannya untuk Deta, suatu saat nanti. Kemudian aku membalas pesan whatsapp dari mas Fajar, yang aku perkirakan hanya menggertak saja. ["Kalau itu yang Mas mau, aku bisa apa. Mungkin Mas tak sepenuhnya mencintai aku, untuk saat ini kita gak usah ketemu dulu Mas. Aku bingung, karena ada juga lelaki yang menginginkan aku,"] send. Kalimat yang kubuat asal-asalan, untuk serangan balik. Setelahnya, aku pulang dari kafe karena muak dengan sikap mas Fajar yang sengaja mempermainkan perasaanku. Setelah aku menaiki grabcar pesananku, kembali aku memeriksa pesan yang aku kirim tadi. Akhirnya udah centang dua