ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B
Edi kembali bersama segerombolan warga dengan mimik berang. Oh, jadi ini yang dimaksud Edi, tidak perlu mengotori tangan."Itu, kamar yang ujung, A'," sahut Edi, menunjukkan kamar di mana Resty dan selingkuhannya berada di dalamnya. Warga yang tadi datang bersama Edi pun masuk ke pekarangan kontrakan. "Biar mereka yang ngasih pelajaran. Ngapain ngotor-ngotorin tangan? Kita nonton aja," bisik Edi seraya menggandengku, "ayo!" Kami menyusul di belakang, menyaksikan apa yang akan dilakukan warga terhadap mereka. Tanpa basa-basi, pintu yang ternyata tidak terkunci itu dibuka. "Astaghfirullah ...." Serempak semuanya beristighfar. Membuatku penasaran, sekaligus deg-degan luar biasa. Kuhela napas yang tiba-tiba menjadi sangat berat.Edi menepuk punggungku, "sabar, Fan! Gak pa-pa, 'kan, aku panggil warga?" Aku hanya mampu mengangguk seraya menggigit bibir bawah.Suasana semakin riuh, ketika selingkuhan Resty diseret keluar dalam keadaan tanpa sehelai benang. Kemudian dikeroyok disertai sumpah serapah. Di dalam, suara wanita yang lima tahun ini menjadi teman hidupku terdengar menangis menjerit-jerit. Allohu Akbar!Seumur hidup, baru kali ini aku menyaksikan kejadian seperti ini langsung di depan mata. Dan ini terjadi pada istriku. Hasrat untuk menghajar selingkuhan Resty sejak tadi diba-tiba menguap entah ke mana. Lemas rasanya. Ah, apakah sebagai lelaki, aku tergolong lemah?Tubuh ini langsung merinding tak karuan. Berbagai rasa bergejolak tak tentu arah di dalam dada. Menimbulkan panas dan nyeri yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Yang pasti, sebagai seorang suami, aku sudah gagal mendidik istri.Warga yang lain mulai berdatangan, berbondong-bondong menonton. Mungkin karena mendengar keributan yang terjadi. Seorang laki-laki setengah baya yang disinyalir merupakan pengurus setempat, beserta reng-rengannya melerai warga yang tengah mengeroyok laki-laki tak beradab itu untuk tidak main hakim sendiri."Bawa ke rumah saya, biar diurus di sana," ucap laki-laki yang tadi melerai.Maka, Resty diseret keluar dengan kondisi yang masih berantakan. Wajahnya sembab, tubuh polosnya ditutupi kain jarik. Sungguh memprihatinkan! Hatiku nelangsa dibuatnya. Nelangsa pada nasib diri sendiri, juga teringat pada Salsa.Terbersit rasa menyesal mempermalukan Resty seperti ini. Bukan karena kasihan padanya. Bukan! Namun, khawatir berimbas pada mental Salsa di masa depan. Ya Rabb ... lagi-lagi aku bertindak gegabah menuruti nafsu, tanpa memikirkan sebab dan akibat."Hubungi orang tuanya! Suruh ke sini!" perintah pria itu lagi."Kalau yang wanita, dia punya suami, Pak. Itu suaminya di belakang," ucap salah satu warga, seraya menunjuk ke arahku.Semua orang menatap ke arahku. Begitu pun Resty. Sehingga tatapan kami seketika bertemu. Aku menatapnya dalam. Beberapa jenak, ia terpaku. Tak lama berjalan cepat membelah kerumunan. Lalu bersujud memeluk kakiku seraya menangis pilu. "Paah ... ampun! Maafin mama, Pa," lirihnya di sela isakan.Aku menghela napas dalam, seraya menengadah dan memejamkan mata. Berharap bisa mengurangi sesak yang begitu pengap di dada, juga menahan agar bulir bening tak jatuh ke pipi. Aku ... jijik sekali melihatnya. Muak!"Tak perlu minta ampun. Aku tidak akan menghajarmu," lirihku bergetar. Kulepaskan jaket, dan menutupi bagian pundaknya yang terbuka. Bodohnya, aku merasa masih tidak rela tubuh polosnya ditonton banyak orang. Lalu beringsut melepaskan kakiku yang dipeluknya erat. "Paaa ...." Tangisnya semakin lirih dan menyedihkan.Aku merogoh hape, dan mendial nomer dengan nama kontak "A' Samsul" dia adalah kakak iparku. Kakak tertua Resty yang selalu didewasakan di keluarganya. Tak berapa lama, A' Samsul mengangkat teleponku."Hallo, Assalamualaikum. Ada apa, Fan?" jawab suara di seberang sana."Waalaikum salam, A'. Bisa datang ke sini sekarang sama Bapak?"Aku pun memberikan alamat lengkap di mana sekarang kami berada bersama kekacauan ini. Biarlah keluarganya sendiri yang mengurus dan memberinya pelajaran. Aku tak sanggup berada lebih lama di sini. Hanya membuat hati semakin perih, bagai tersayat-sayat, kemudian ditaburi garam."Ada apa? Kenapa itu yang nangis kayak suara Resty?" "Iya, itu makanya.""Sekarang Aa ke sana!" Sambungan telepon pun tertutup."Sebentar lagi, kakak ipar dan mertua saya ke sini. Biar mereka yang urus. Saya permisi!" sahutku, pada warga yang masih ramai berkerumun dan menatap kami dengan ... entah."Papa, jangan pergi! Mama minta maaf, Pa!" Tak kupedulikan tangis dan teriakan Resty. Aku bergegas mengajak Edi segera pulang. Tak sanggup lagi menahan gejolak di dada yang semakin menyiksa. ______"Fan, gak pa-pa, 'kan?" tanya Edi, saat aku turun dan menyerahkan helm. "Gak. Insyaallah enggak," sahutku sambil tersenyum kaku."Ntar aku abis Maghrib ke sinilah, temenin ngobrol," ujar bujang lapuk itu seraya menepuk lengan."Rencananya, sore mau antar barang-barang Resty ke Purbaratu. Nanti kalau udah balik, aku kabarin kamulah.""Hah? Serius?" Edi nampak terkejut. "Ya, aku minta dia buat jadi istriku ke orang tuanya secara baik-baik, mengembalikannya pun harus dengan cara baik-baik pula.""Salut! Tapi, maksudku, udah bulat mau pisah? Apa gak dipikir dulu? Jangan ngambil keputusan waktu lagi emosi begini.""Gak ada maaf buat suatu perselingkuhan, Edi. Apalagi yang dilakukan oleh seorang istri. Harusnya dia dirajam sampai mati. Harga diriku sebagai lelaki dan kepala keluarga sudah diinjak-diinjak."Edi mendengkus kasar, "ya, bener. Aku permisi pulang, ya. Telepon saja kalau ada apa-apa. Jangan sungkan."Aku hanya mengangguk dan masuk ke dalam setelah Edi berlalu dengan motornya."Papa!" Salsa memanggilku. Berdiri di ambang pintu. Lantas berlari menghampiri. Kusambut dengan senyum hangat dan menggendongnya masuk ke rumah. "Dari tadi, Salsa nanyain terus, Kang. Nagih diajak jalan-jalan," ucap Mira."Besok kita main, ya, Nak. Hari ini, papa sibuk sekali.""Ah, Papa jangan bohong lagi," rajuknya seraya mengadah menatapku.Melihatnya, aku semakin merasa sedih dan terpukul. Kenapa semua ini terjadi pada rumah tanggaku? Kenapa harus ibu dari anakku? Keputusan untuk mengizinkan Resty bekerja adalah kesalahanku yang sangat fatal. Seharusnya, sebagai suami dan kepala rumah tangga, aku bisa bersikap tegasSemua karena aku begitu mencintai dan memanjakannya. Tak mampu menolak setiap apa yang dikehendaki Resty. Namun, jika jalannya tidak demikian, aku tidak akan tahu, kualitas Resty, juga seberapa kadar kesetiannya. Nol besar!"Papa janji," ucapku seraya berusaha tersenyum. Tidak! Aku tidak boleh memperlihatkan kesedihan dan keterpukulanku di depan Salsa.Memasuki kamar tidur kami, kuraih koper besar di atas lemari. Kumasukkan baju-baju Resty dengan penuh amarah terpendam dan perasaan hancur. Tak kusangka akhirnya akan seperti ini. Istriku yang polos dan manja, tega-teganya mengkhianati dengan sehina-hinanya. Tanganku seketika terkepal. Dengan nafsu dan emosi yang sudah meluap-luap hingga dada naik turun, kutinju tembok dengan kekuatan penuh.Air mata yang sejak tadi kutahan-tahan akhirnya meluap dan meluncur juga. Air mata pertama setelah, entah berapa lama terakhir aku menangis. Aku sangat hancur. Aarrghh! B*ngsat!______Selepas Maghrib, sebelum pergi, kuantarkan Salsa ke rumah orang tuaku yang masih satu kampung. Biar dia menginap dulu bersama Emak. Aku perlu waktu untuk menenangkan diri di saat hancur seperti ini. Dan melihat wajah polos Salsa membuatku terus diliputi kesedihan dan rasa bersalah."Kamu mau ke mana, Fan?" tanya Ibu seraya melihat ke arah mobilku. "Resty mana?" lanjutnya.Aku menghela napas berat, "Irfan titip Salsa malam ini, ya, Mak. Irfan ada perlu.""Ada apa? Ngobrol sama Emak!" ucapnya nampak khawatir.Begitulah, seorang Ibu selalu peka dengan apa yang terjadi pada anaknya. "Nanti Irfan cerita."_______Suasana terasa hening saat aku sampai di depan kediaman mertua. Motor Resty terparkir di halaman. Setelah mengumpulkan nyali, aku masuk dan mengetuk pintu."Assalamualaikum ...."ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya dari dalam. Tak lama, ia menyembul dari balik pintu dengan wajah yang sembab."Ma," ucapku, seraya mencium takzim tangannya.Mama langsung salah tingkah, "Aa." Kemudian seketika menangis meraung dan merunduk ke arahku. Segera kutahan dengan memeluknya. "Jangan begitu, Ma," ucapku parau."Mama malu sekali dengan kelakuan si Resty, A' Irfan. Huhuhuhu maafkan Mama sudah gagal didik anak." Kalimat-kalimat yang dilontarkan Mama benar-benar menyentuh relung hatiku yang paling dalam.Betapa kelakuan Resty sudah menyakiti banyak pihak. Bukan hanya aku dan Salsa tapi, juga keluarganya. Terutama Mama. Beliau pasti sangat kecewa dan malu.Selama ini, aku selalu bersikap adil, pada mertua maupun orang tuaku yang tinggal Emak. Seperti tahun lalu, aku memberangkatkan Emak bersama kedua orang tua Resty untuk umroh. Mereka senang bukan main. Karena memang itu impian mereka. Terutama orang tua Resty. Karena Emak sudah kubera
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*BBelum terlalu malam saat aku pulang dari rumah orang tua Resty. Melewati rumah emak, lampu ruang tengah masih menyala. Sepertinya Emak belum tidur. Setelah Bapak meninggal, kemudian aku menikah dan pisah rumah, Emak hanya tinggal berdua dengan adik semata wayangku, Rizky. Namun, kini, pemuda 21 tahun itu sedang menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.Tidak mudah bagi kami bisa sampai di titik ini. Bapak meninggal tanpa meninggalkan harta benda lain kecuali rumah butut berdinding anyaman bambu. Bahkan juga hutang besar bekas membiayai pengobatan Almarhum saat sakit keras. Saat itu, Rizky masih kecil. Aku setelah tamat SMA sempat bekerja sebagai kasir di sebuah minimarket. Membantu Emak yang saat itu berjualan sarapan pagi di depan rumah. Kemudian, setelah kontrak habis, dan tidak diperpanjang, aku nekad jualan cilok. Seperti pekerjaan Bapak semasa hidup. Emak yang membuat, dan aku yang menjualnya keliling. Sangat jarang pemuda seusiaku mau-maunya
"Salsa badannya panas sekali, Fan," sahut Nenek cemas. "Apa?" Aku bergegas ke kamar Emak di mana Salsa berbaring. Gadis kecilku menceracau tak jelas dengan bibir bergetar dan mata setengah tertutup. Seperti biasa, Salsa kalau demam selalu membuat panik."Nak, ini papa, Sayang," lirihku seraya mengusap dahinya. "Panas sekali, Mak!" lanjutku seraya menoleh pada Emak."Ya, makanya Emak panik, tad denger dia ngerang-ngerang.""Salsa, Sayang. Ini papa," ucapku lagi, dengan lembut di telinganya."Mama ... Mama ...," lirihnya membuatku semakin merasa nelangsa. "Emak parutin bawang merah campur minyak kelapa, ya. Bentar."Aku hanya mengangguk seraya menghela napas berat. Ada-ada saja. Di saat situasi begini, bisa-bisanya Salsa sakit. Tuhan benar-benar sedang menguji. Astaghfirullah. Aku harus selalu waras demi Salsa."Mama ... gendong!" lirih Salsa. Kini mulai terisak. Aku menyugar rambut dengan gusar. Dengan perasaan panik tak karuan, kugendong Salsa. Berusaha membuatnya senyaman mungkin
Emosiku kembali memuncak. Kesabaran sudah di ambang batas. Tanpa memedulikan keberadaan Emak, juga Salsa yang tergolek lemah, kurebut mangkok berisi bubur di tangan Resty, menaruhnya bersamaan dengan bungkusan yang dibawa ke atas nakas."Pa ...," gumamnya begitu pelan. "Ikut aku!" Kutarik ia keluar hingga terseret-seret."Irfan, hey!" Tak kupedulikan suara Emak memanggil.Setelah beberapa langkah dari kamar, kuhenrak ia dengan keras hingga terpelanting dan membentur tembok. Ia tertunduk dengan wajah sembab berurai air mata. Sepertinya, sejak kemarin Resty tak berhenti menangis.Malu dan menyesal pastinya kalau aku jadi dia. Kalau dia masih punya malu, sih. Hina!"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku dingin."Aku cuma mau ngurusin Salsa, Pa. Dia sa---""Panggil aku Irfan saja!" potongku cepat. Kutatap wajahnya tajam. "Aku bisa urus anakku sendiri!" sambungku dengan penekanan."Dia butuh aku, A'. Kamu mau jauhin anak kamu dengan ibunya sendiri? Tega, kamu!" ujarnya seraya terisak. Aku tega?
"Ma," bisikku mesra. Kuciumi pipi mulus Resty dengan gejolak yang sudah menggebu."Apa, sih, Pa? Aku ngantuk banget. Capek," lirih Resty manja. Matanya masih terpejam.Aku mendengkus kasar. "Ayolah, Ma. Bentar aja. Mumpung Salsa udah tidur." Aku masih berusaha merayu."Ah, aku capek banget. Besok pagi udah harus berangkat kerja," tolaknya seraya menepis pelukanku.Lagi-lagi, Resty menolak ajakanku untuk memadu kasih. Padahal, pasti dia tahu, menolak permintaan suami untuk itu dosanya sangat besar. Dia berubah setelah memutuskan untuk bekerja. Alasannya capeklah, malaslah, frekuensi datang bulannya juga jadi semakin sering. Menyebalkan sekali. Inilah yang membuatku menolak keras mengijinkannya untuk bekerja. Lagipula, penghasilanku sebagai bos cilok lebih dari cukup untuk memanjakan anak istri.Namun, karena dia terus memaksa dengan wajah imutnya yang menggemaskan, apa boleh buat, akhirnya aku luluh juga. Alasannya, Resty merasa bosan di rumah terus. Hingga akhirnya, sekarang aku meny
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B Ingin rasanya kususul dan kuhajar laki-laki tak punya harga diri yang membonceng istriku itu. Namun, aku harus buat strategi dulu untuk membongkar kebusukan Resty. Menghajarnya sekarang hanya mengotori tangan dan mempermalukan diri sendiri. Tidak! Aku tidak boleh terlihat sebagai laki-laki malang yang tersakiti.Tahan, Irfan!Resty harus merasakan akibat setimpal atas pengkhianatannya padaku. Perempuan tidak tau diuntung! Jal*ng! Kurang apa aku sebagai suami? Sejak menikah, selalu kuperlakukan ia bak ratu. Apa pun keinginannya selalu kupenuhi. Selama ini, ia kuberi kebebasan menikmati buah dari kerja kerasku merintis usaha dari 0 saat masih melajang. Sekarang ... ini balasannya? Shit!Dengan dada bergemuruh menahan amarah, aku membalikan motor dan kembali ke rumah."Udah balik lagi, Kang?" tanya Mira saat aku pulang."Iya. Mana Salsa?""Lagi makan, Kang. Baru bangun, dia," jawab Mira sambil menyapu teras.Mira memang sudah seperti keluarga sendiri. Ia be
Emosiku kembali memuncak. Kesabaran sudah di ambang batas. Tanpa memedulikan keberadaan Emak, juga Salsa yang tergolek lemah, kurebut mangkok berisi bubur di tangan Resty, menaruhnya bersamaan dengan bungkusan yang dibawa ke atas nakas."Pa ...," gumamnya begitu pelan. "Ikut aku!" Kutarik ia keluar hingga terseret-seret."Irfan, hey!" Tak kupedulikan suara Emak memanggil.Setelah beberapa langkah dari kamar, kuhenrak ia dengan keras hingga terpelanting dan membentur tembok. Ia tertunduk dengan wajah sembab berurai air mata. Sepertinya, sejak kemarin Resty tak berhenti menangis.Malu dan menyesal pastinya kalau aku jadi dia. Kalau dia masih punya malu, sih. Hina!"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku dingin."Aku cuma mau ngurusin Salsa, Pa. Dia sa---""Panggil aku Irfan saja!" potongku cepat. Kutatap wajahnya tajam. "Aku bisa urus anakku sendiri!" sambungku dengan penekanan."Dia butuh aku, A'. Kamu mau jauhin anak kamu dengan ibunya sendiri? Tega, kamu!" ujarnya seraya terisak. Aku tega?
"Salsa badannya panas sekali, Fan," sahut Nenek cemas. "Apa?" Aku bergegas ke kamar Emak di mana Salsa berbaring. Gadis kecilku menceracau tak jelas dengan bibir bergetar dan mata setengah tertutup. Seperti biasa, Salsa kalau demam selalu membuat panik."Nak, ini papa, Sayang," lirihku seraya mengusap dahinya. "Panas sekali, Mak!" lanjutku seraya menoleh pada Emak."Ya, makanya Emak panik, tad denger dia ngerang-ngerang.""Salsa, Sayang. Ini papa," ucapku lagi, dengan lembut di telinganya."Mama ... Mama ...," lirihnya membuatku semakin merasa nelangsa. "Emak parutin bawang merah campur minyak kelapa, ya. Bentar."Aku hanya mengangguk seraya menghela napas berat. Ada-ada saja. Di saat situasi begini, bisa-bisanya Salsa sakit. Tuhan benar-benar sedang menguji. Astaghfirullah. Aku harus selalu waras demi Salsa."Mama ... gendong!" lirih Salsa. Kini mulai terisak. Aku menyugar rambut dengan gusar. Dengan perasaan panik tak karuan, kugendong Salsa. Berusaha membuatnya senyaman mungkin
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*BBelum terlalu malam saat aku pulang dari rumah orang tua Resty. Melewati rumah emak, lampu ruang tengah masih menyala. Sepertinya Emak belum tidur. Setelah Bapak meninggal, kemudian aku menikah dan pisah rumah, Emak hanya tinggal berdua dengan adik semata wayangku, Rizky. Namun, kini, pemuda 21 tahun itu sedang menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.Tidak mudah bagi kami bisa sampai di titik ini. Bapak meninggal tanpa meninggalkan harta benda lain kecuali rumah butut berdinding anyaman bambu. Bahkan juga hutang besar bekas membiayai pengobatan Almarhum saat sakit keras. Saat itu, Rizky masih kecil. Aku setelah tamat SMA sempat bekerja sebagai kasir di sebuah minimarket. Membantu Emak yang saat itu berjualan sarapan pagi di depan rumah. Kemudian, setelah kontrak habis, dan tidak diperpanjang, aku nekad jualan cilok. Seperti pekerjaan Bapak semasa hidup. Emak yang membuat, dan aku yang menjualnya keliling. Sangat jarang pemuda seusiaku mau-maunya
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya dari dalam. Tak lama, ia menyembul dari balik pintu dengan wajah yang sembab."Ma," ucapku, seraya mencium takzim tangannya.Mama langsung salah tingkah, "Aa." Kemudian seketika menangis meraung dan merunduk ke arahku. Segera kutahan dengan memeluknya. "Jangan begitu, Ma," ucapku parau."Mama malu sekali dengan kelakuan si Resty, A' Irfan. Huhuhuhu maafkan Mama sudah gagal didik anak." Kalimat-kalimat yang dilontarkan Mama benar-benar menyentuh relung hatiku yang paling dalam.Betapa kelakuan Resty sudah menyakiti banyak pihak. Bukan hanya aku dan Salsa tapi, juga keluarganya. Terutama Mama. Beliau pasti sangat kecewa dan malu.Selama ini, aku selalu bersikap adil, pada mertua maupun orang tuaku yang tinggal Emak. Seperti tahun lalu, aku memberangkatkan Emak bersama kedua orang tua Resty untuk umroh. Mereka senang bukan main. Karena memang itu impian mereka. Terutama orang tua Resty. Karena Emak sudah kubera
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*BEdi kembali bersama segerombolan warga dengan mimik berang. Oh, jadi ini yang dimaksud Edi, tidak perlu mengotori tangan."Itu, kamar yang ujung, A'," sahut Edi, menunjukkan kamar di mana Resty dan selingkuhannya berada di dalamnya. Warga yang tadi datang bersama Edi pun masuk ke pekarangan kontrakan. "Biar mereka yang ngasih pelajaran. Ngapain ngotor-ngotorin tangan? Kita nonton aja," bisik Edi seraya menggandengku, "ayo!" Kami menyusul di belakang, menyaksikan apa yang akan dilakukan warga terhadap mereka. Tanpa basa-basi, pintu yang ternyata tidak terkunci itu dibuka. "Astaghfirullah ...." Serempak semuanya beristighfar. Membuatku penasaran, sekaligus deg-degan luar biasa. Kuhela napas yang tiba-tiba menjadi sangat berat.Edi menepuk punggungku, "sabar, Fan! Gak pa-pa, 'kan, aku panggil warga?" Aku hanya mampu mengangguk seraya menggigit bibir bawah.Suasana semakin riuh, ketika selingkuhan Resty diseret keluar dalam keadaan tanpa sehelai benang. Kem
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B Ingin rasanya kususul dan kuhajar laki-laki tak punya harga diri yang membonceng istriku itu. Namun, aku harus buat strategi dulu untuk membongkar kebusukan Resty. Menghajarnya sekarang hanya mengotori tangan dan mempermalukan diri sendiri. Tidak! Aku tidak boleh terlihat sebagai laki-laki malang yang tersakiti.Tahan, Irfan!Resty harus merasakan akibat setimpal atas pengkhianatannya padaku. Perempuan tidak tau diuntung! Jal*ng! Kurang apa aku sebagai suami? Sejak menikah, selalu kuperlakukan ia bak ratu. Apa pun keinginannya selalu kupenuhi. Selama ini, ia kuberi kebebasan menikmati buah dari kerja kerasku merintis usaha dari 0 saat masih melajang. Sekarang ... ini balasannya? Shit!Dengan dada bergemuruh menahan amarah, aku membalikan motor dan kembali ke rumah."Udah balik lagi, Kang?" tanya Mira saat aku pulang."Iya. Mana Salsa?""Lagi makan, Kang. Baru bangun, dia," jawab Mira sambil menyapu teras.Mira memang sudah seperti keluarga sendiri. Ia be
"Ma," bisikku mesra. Kuciumi pipi mulus Resty dengan gejolak yang sudah menggebu."Apa, sih, Pa? Aku ngantuk banget. Capek," lirih Resty manja. Matanya masih terpejam.Aku mendengkus kasar. "Ayolah, Ma. Bentar aja. Mumpung Salsa udah tidur." Aku masih berusaha merayu."Ah, aku capek banget. Besok pagi udah harus berangkat kerja," tolaknya seraya menepis pelukanku.Lagi-lagi, Resty menolak ajakanku untuk memadu kasih. Padahal, pasti dia tahu, menolak permintaan suami untuk itu dosanya sangat besar. Dia berubah setelah memutuskan untuk bekerja. Alasannya capeklah, malaslah, frekuensi datang bulannya juga jadi semakin sering. Menyebalkan sekali. Inilah yang membuatku menolak keras mengijinkannya untuk bekerja. Lagipula, penghasilanku sebagai bos cilok lebih dari cukup untuk memanjakan anak istri.Namun, karena dia terus memaksa dengan wajah imutnya yang menggemaskan, apa boleh buat, akhirnya aku luluh juga. Alasannya, Resty merasa bosan di rumah terus. Hingga akhirnya, sekarang aku meny