ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B Ingin rasanya kususul dan kuhajar laki-laki tak punya harga diri yang membonceng istriku itu. Namun, aku harus buat strategi dulu untuk membongkar kebusukan Resty. Menghajarnya sekarang hanya mengotori tangan dan mempermalukan diri sendiri. Tidak! Aku tidak boleh terlihat sebagai laki-laki malang yang tersakiti.Tahan, Irfan!Resty harus merasakan akibat setimpal atas pengkhianatannya padaku. Perempuan tidak tau diuntung! Jal*ng! Kurang apa aku sebagai suami? Sejak menikah, selalu kuperlakukan ia bak ratu. Apa pun keinginannya selalu kupenuhi. Selama ini, ia kuberi kebebasan menikmati buah dari kerja kerasku merintis usaha dari 0 saat masih melajang. Sekarang ... ini balasannya? Shit!Dengan dada bergemuruh menahan amarah, aku membalikan motor dan kembali ke rumah."Udah balik lagi, Kang?" tanya Mira saat aku pulang."Iya. Mana Salsa?""Lagi makan, Kang. Baru bangun, dia," jawab Mira sambil menyapu teras.Mira memang sudah seperti keluarga sendiri. Ia be
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*BEdi kembali bersama segerombolan warga dengan mimik berang. Oh, jadi ini yang dimaksud Edi, tidak perlu mengotori tangan."Itu, kamar yang ujung, A'," sahut Edi, menunjukkan kamar di mana Resty dan selingkuhannya berada di dalamnya. Warga yang tadi datang bersama Edi pun masuk ke pekarangan kontrakan. "Biar mereka yang ngasih pelajaran. Ngapain ngotor-ngotorin tangan? Kita nonton aja," bisik Edi seraya menggandengku, "ayo!" Kami menyusul di belakang, menyaksikan apa yang akan dilakukan warga terhadap mereka. Tanpa basa-basi, pintu yang ternyata tidak terkunci itu dibuka. "Astaghfirullah ...." Serempak semuanya beristighfar. Membuatku penasaran, sekaligus deg-degan luar biasa. Kuhela napas yang tiba-tiba menjadi sangat berat.Edi menepuk punggungku, "sabar, Fan! Gak pa-pa, 'kan, aku panggil warga?" Aku hanya mampu mengangguk seraya menggigit bibir bawah.Suasana semakin riuh, ketika selingkuhan Resty diseret keluar dalam keadaan tanpa sehelai benang. Kem
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya dari dalam. Tak lama, ia menyembul dari balik pintu dengan wajah yang sembab."Ma," ucapku, seraya mencium takzim tangannya.Mama langsung salah tingkah, "Aa." Kemudian seketika menangis meraung dan merunduk ke arahku. Segera kutahan dengan memeluknya. "Jangan begitu, Ma," ucapku parau."Mama malu sekali dengan kelakuan si Resty, A' Irfan. Huhuhuhu maafkan Mama sudah gagal didik anak." Kalimat-kalimat yang dilontarkan Mama benar-benar menyentuh relung hatiku yang paling dalam.Betapa kelakuan Resty sudah menyakiti banyak pihak. Bukan hanya aku dan Salsa tapi, juga keluarganya. Terutama Mama. Beliau pasti sangat kecewa dan malu.Selama ini, aku selalu bersikap adil, pada mertua maupun orang tuaku yang tinggal Emak. Seperti tahun lalu, aku memberangkatkan Emak bersama kedua orang tua Resty untuk umroh. Mereka senang bukan main. Karena memang itu impian mereka. Terutama orang tua Resty. Karena Emak sudah kubera
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*BBelum terlalu malam saat aku pulang dari rumah orang tua Resty. Melewati rumah emak, lampu ruang tengah masih menyala. Sepertinya Emak belum tidur. Setelah Bapak meninggal, kemudian aku menikah dan pisah rumah, Emak hanya tinggal berdua dengan adik semata wayangku, Rizky. Namun, kini, pemuda 21 tahun itu sedang menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.Tidak mudah bagi kami bisa sampai di titik ini. Bapak meninggal tanpa meninggalkan harta benda lain kecuali rumah butut berdinding anyaman bambu. Bahkan juga hutang besar bekas membiayai pengobatan Almarhum saat sakit keras. Saat itu, Rizky masih kecil. Aku setelah tamat SMA sempat bekerja sebagai kasir di sebuah minimarket. Membantu Emak yang saat itu berjualan sarapan pagi di depan rumah. Kemudian, setelah kontrak habis, dan tidak diperpanjang, aku nekad jualan cilok. Seperti pekerjaan Bapak semasa hidup. Emak yang membuat, dan aku yang menjualnya keliling. Sangat jarang pemuda seusiaku mau-maunya
"Salsa badannya panas sekali, Fan," sahut Nenek cemas. "Apa?" Aku bergegas ke kamar Emak di mana Salsa berbaring. Gadis kecilku menceracau tak jelas dengan bibir bergetar dan mata setengah tertutup. Seperti biasa, Salsa kalau demam selalu membuat panik."Nak, ini papa, Sayang," lirihku seraya mengusap dahinya. "Panas sekali, Mak!" lanjutku seraya menoleh pada Emak."Ya, makanya Emak panik, tad denger dia ngerang-ngerang.""Salsa, Sayang. Ini papa," ucapku lagi, dengan lembut di telinganya."Mama ... Mama ...," lirihnya membuatku semakin merasa nelangsa. "Emak parutin bawang merah campur minyak kelapa, ya. Bentar."Aku hanya mengangguk seraya menghela napas berat. Ada-ada saja. Di saat situasi begini, bisa-bisanya Salsa sakit. Tuhan benar-benar sedang menguji. Astaghfirullah. Aku harus selalu waras demi Salsa."Mama ... gendong!" lirih Salsa. Kini mulai terisak. Aku menyugar rambut dengan gusar. Dengan perasaan panik tak karuan, kugendong Salsa. Berusaha membuatnya senyaman mungkin
Emosiku kembali memuncak. Kesabaran sudah di ambang batas. Tanpa memedulikan keberadaan Emak, juga Salsa yang tergolek lemah, kurebut mangkok berisi bubur di tangan Resty, menaruhnya bersamaan dengan bungkusan yang dibawa ke atas nakas."Pa ...," gumamnya begitu pelan. "Ikut aku!" Kutarik ia keluar hingga terseret-seret."Irfan, hey!" Tak kupedulikan suara Emak memanggil.Setelah beberapa langkah dari kamar, kuhenrak ia dengan keras hingga terpelanting dan membentur tembok. Ia tertunduk dengan wajah sembab berurai air mata. Sepertinya, sejak kemarin Resty tak berhenti menangis.Malu dan menyesal pastinya kalau aku jadi dia. Kalau dia masih punya malu, sih. Hina!"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku dingin."Aku cuma mau ngurusin Salsa, Pa. Dia sa---""Panggil aku Irfan saja!" potongku cepat. Kutatap wajahnya tajam. "Aku bisa urus anakku sendiri!" sambungku dengan penekanan."Dia butuh aku, A'. Kamu mau jauhin anak kamu dengan ibunya sendiri? Tega, kamu!" ujarnya seraya terisak. Aku tega?
Emosiku kembali memuncak. Kesabaran sudah di ambang batas. Tanpa memedulikan keberadaan Emak, juga Salsa yang tergolek lemah, kurebut mangkok berisi bubur di tangan Resty, menaruhnya bersamaan dengan bungkusan yang dibawa ke atas nakas."Pa ...," gumamnya begitu pelan. "Ikut aku!" Kutarik ia keluar hingga terseret-seret."Irfan, hey!" Tak kupedulikan suara Emak memanggil.Setelah beberapa langkah dari kamar, kuhenrak ia dengan keras hingga terpelanting dan membentur tembok. Ia tertunduk dengan wajah sembab berurai air mata. Sepertinya, sejak kemarin Resty tak berhenti menangis.Malu dan menyesal pastinya kalau aku jadi dia. Kalau dia masih punya malu, sih. Hina!"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku dingin."Aku cuma mau ngurusin Salsa, Pa. Dia sa---""Panggil aku Irfan saja!" potongku cepat. Kutatap wajahnya tajam. "Aku bisa urus anakku sendiri!" sambungku dengan penekanan."Dia butuh aku, A'. Kamu mau jauhin anak kamu dengan ibunya sendiri? Tega, kamu!" ujarnya seraya terisak. Aku tega?
"Salsa badannya panas sekali, Fan," sahut Nenek cemas. "Apa?" Aku bergegas ke kamar Emak di mana Salsa berbaring. Gadis kecilku menceracau tak jelas dengan bibir bergetar dan mata setengah tertutup. Seperti biasa, Salsa kalau demam selalu membuat panik."Nak, ini papa, Sayang," lirihku seraya mengusap dahinya. "Panas sekali, Mak!" lanjutku seraya menoleh pada Emak."Ya, makanya Emak panik, tad denger dia ngerang-ngerang.""Salsa, Sayang. Ini papa," ucapku lagi, dengan lembut di telinganya."Mama ... Mama ...," lirihnya membuatku semakin merasa nelangsa. "Emak parutin bawang merah campur minyak kelapa, ya. Bentar."Aku hanya mengangguk seraya menghela napas berat. Ada-ada saja. Di saat situasi begini, bisa-bisanya Salsa sakit. Tuhan benar-benar sedang menguji. Astaghfirullah. Aku harus selalu waras demi Salsa."Mama ... gendong!" lirih Salsa. Kini mulai terisak. Aku menyugar rambut dengan gusar. Dengan perasaan panik tak karuan, kugendong Salsa. Berusaha membuatnya senyaman mungkin
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*BBelum terlalu malam saat aku pulang dari rumah orang tua Resty. Melewati rumah emak, lampu ruang tengah masih menyala. Sepertinya Emak belum tidur. Setelah Bapak meninggal, kemudian aku menikah dan pisah rumah, Emak hanya tinggal berdua dengan adik semata wayangku, Rizky. Namun, kini, pemuda 21 tahun itu sedang menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.Tidak mudah bagi kami bisa sampai di titik ini. Bapak meninggal tanpa meninggalkan harta benda lain kecuali rumah butut berdinding anyaman bambu. Bahkan juga hutang besar bekas membiayai pengobatan Almarhum saat sakit keras. Saat itu, Rizky masih kecil. Aku setelah tamat SMA sempat bekerja sebagai kasir di sebuah minimarket. Membantu Emak yang saat itu berjualan sarapan pagi di depan rumah. Kemudian, setelah kontrak habis, dan tidak diperpanjang, aku nekad jualan cilok. Seperti pekerjaan Bapak semasa hidup. Emak yang membuat, dan aku yang menjualnya keliling. Sangat jarang pemuda seusiaku mau-maunya
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya dari dalam. Tak lama, ia menyembul dari balik pintu dengan wajah yang sembab."Ma," ucapku, seraya mencium takzim tangannya.Mama langsung salah tingkah, "Aa." Kemudian seketika menangis meraung dan merunduk ke arahku. Segera kutahan dengan memeluknya. "Jangan begitu, Ma," ucapku parau."Mama malu sekali dengan kelakuan si Resty, A' Irfan. Huhuhuhu maafkan Mama sudah gagal didik anak." Kalimat-kalimat yang dilontarkan Mama benar-benar menyentuh relung hatiku yang paling dalam.Betapa kelakuan Resty sudah menyakiti banyak pihak. Bukan hanya aku dan Salsa tapi, juga keluarganya. Terutama Mama. Beliau pasti sangat kecewa dan malu.Selama ini, aku selalu bersikap adil, pada mertua maupun orang tuaku yang tinggal Emak. Seperti tahun lalu, aku memberangkatkan Emak bersama kedua orang tua Resty untuk umroh. Mereka senang bukan main. Karena memang itu impian mereka. Terutama orang tua Resty. Karena Emak sudah kubera
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*BEdi kembali bersama segerombolan warga dengan mimik berang. Oh, jadi ini yang dimaksud Edi, tidak perlu mengotori tangan."Itu, kamar yang ujung, A'," sahut Edi, menunjukkan kamar di mana Resty dan selingkuhannya berada di dalamnya. Warga yang tadi datang bersama Edi pun masuk ke pekarangan kontrakan. "Biar mereka yang ngasih pelajaran. Ngapain ngotor-ngotorin tangan? Kita nonton aja," bisik Edi seraya menggandengku, "ayo!" Kami menyusul di belakang, menyaksikan apa yang akan dilakukan warga terhadap mereka. Tanpa basa-basi, pintu yang ternyata tidak terkunci itu dibuka. "Astaghfirullah ...." Serempak semuanya beristighfar. Membuatku penasaran, sekaligus deg-degan luar biasa. Kuhela napas yang tiba-tiba menjadi sangat berat.Edi menepuk punggungku, "sabar, Fan! Gak pa-pa, 'kan, aku panggil warga?" Aku hanya mampu mengangguk seraya menggigit bibir bawah.Suasana semakin riuh, ketika selingkuhan Resty diseret keluar dalam keadaan tanpa sehelai benang. Kem
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B Ingin rasanya kususul dan kuhajar laki-laki tak punya harga diri yang membonceng istriku itu. Namun, aku harus buat strategi dulu untuk membongkar kebusukan Resty. Menghajarnya sekarang hanya mengotori tangan dan mempermalukan diri sendiri. Tidak! Aku tidak boleh terlihat sebagai laki-laki malang yang tersakiti.Tahan, Irfan!Resty harus merasakan akibat setimpal atas pengkhianatannya padaku. Perempuan tidak tau diuntung! Jal*ng! Kurang apa aku sebagai suami? Sejak menikah, selalu kuperlakukan ia bak ratu. Apa pun keinginannya selalu kupenuhi. Selama ini, ia kuberi kebebasan menikmati buah dari kerja kerasku merintis usaha dari 0 saat masih melajang. Sekarang ... ini balasannya? Shit!Dengan dada bergemuruh menahan amarah, aku membalikan motor dan kembali ke rumah."Udah balik lagi, Kang?" tanya Mira saat aku pulang."Iya. Mana Salsa?""Lagi makan, Kang. Baru bangun, dia," jawab Mira sambil menyapu teras.Mira memang sudah seperti keluarga sendiri. Ia be
"Ma," bisikku mesra. Kuciumi pipi mulus Resty dengan gejolak yang sudah menggebu."Apa, sih, Pa? Aku ngantuk banget. Capek," lirih Resty manja. Matanya masih terpejam.Aku mendengkus kasar. "Ayolah, Ma. Bentar aja. Mumpung Salsa udah tidur." Aku masih berusaha merayu."Ah, aku capek banget. Besok pagi udah harus berangkat kerja," tolaknya seraya menepis pelukanku.Lagi-lagi, Resty menolak ajakanku untuk memadu kasih. Padahal, pasti dia tahu, menolak permintaan suami untuk itu dosanya sangat besar. Dia berubah setelah memutuskan untuk bekerja. Alasannya capeklah, malaslah, frekuensi datang bulannya juga jadi semakin sering. Menyebalkan sekali. Inilah yang membuatku menolak keras mengijinkannya untuk bekerja. Lagipula, penghasilanku sebagai bos cilok lebih dari cukup untuk memanjakan anak istri.Namun, karena dia terus memaksa dengan wajah imutnya yang menggemaskan, apa boleh buat, akhirnya aku luluh juga. Alasannya, Resty merasa bosan di rumah terus. Hingga akhirnya, sekarang aku meny