ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B
"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya dari dalam. Tak lama, ia menyembul dari balik pintu dengan wajah yang sembab."Ma," ucapku, seraya mencium takzim tangannya.Mama langsung salah tingkah, "Aa." Kemudian seketika menangis meraung dan merunduk ke arahku. Segera kutahan dengan memeluknya. "Jangan begitu, Ma," ucapku parau."Mama malu sekali dengan kelakuan si Resty, A' Irfan. Huhuhuhu maafkan Mama sudah gagal didik anak." Kalimat-kalimat yang dilontarkan Mama benar-benar menyentuh relung hatiku yang paling dalam.Betapa kelakuan Resty sudah menyakiti banyak pihak. Bukan hanya aku dan Salsa tapi, juga keluarganya. Terutama Mama. Beliau pasti sangat kecewa dan malu.Selama ini, aku selalu bersikap adil, pada mertua maupun orang tuaku yang tinggal Emak. Seperti tahun lalu, aku memberangkatkan Emak bersama kedua orang tua Resty untuk umroh. Mereka senang bukan main. Karena memang itu impian mereka. Terutama orang tua Resty. Karena Emak sudah kuberangkatkan sekali sebelumnya. Wajar kalau Mama merasa sangat terpukul."Resty saat ini masih istri Irfan. Tanggung jawab Irfan. Sehingga kejadian ini adalah kegagalan Irfan mendidik istri!" ucapku seraya menepuk-nepuk pelan punggung Mama yang semakin erat memelukku dalam tangisnya."A' Irfan, kapan sampai?" Bapak tiba-tiba muncul masih dengan koko dan sarung. Serta sajadah di pundak. Beliau baru pulang dari mesjid. Melihat betapa agamisnya mertua, sungguh disayangkan wanita seperti Resty berasal dari keluarga mereka."Baru sampai, Pak." Perlahan aku melepas pelukan Mama, dan beralih hendak mencium tangan Bapak. Namun, pria paruh baya itu malah merangkul dan menepuk-nepuk punggungku. "Bisa kita bicara di dalam, Pak? Malu dilihat tetangga," ucapku menahan haru dan sedih.A' Samsul tak berapa lama muncul bersama Teh Tina, istrinya. Kakak sulung Resty yang berprofesi sebagai guru SMA itu rumahnya memang persis di sebelah Mama dan Bapak. Sehingga pasti mendengar pembicaraan kami di luar dan mengetahui bahwa aku datang."A', Teh," sahutku, seraya menyalami kedua kakak iparku itu bergantian. Kini kami berempat duduk berkumpul di kursi ruang tamu. Tak lama, Nazwa, adik Resty datang membawa nampan berisi empat gelas teh panas. Meski sama-sama cantik, berbeda dengan kakaknya, Nazwa yang terpaut tiga tahun dari Resty cenderung pendiam dan sopan. Itu menurut pengamatanku selama ini. Entah, aslinya bagaimana.Setelah menaruh isi nampan, dengan sopan, ia menyalamiku dan kembali berlalu ke belakang.Setelah beberapa jenak suasana tak nyaman menguasai, akhirnya aku membuka percakapan "Sebelumnya, Irfan minta maaf karena tadi lekas pulang dan ....""Gak pa-pa, Fan. Aa ngerti. Justru kami yang harus minta maaf sama kamu atas kelakuan Resty," ujar A' Samsul bijak dan tenang. Meski aku tau, ia juga begitu kecewa dan terpukul atas kelakuan adiknya.Syukurlah, pasti mereka mengerti betapa terpukulnya aku tadi, sehingga tak sanggup berada lama di tempat kejadian, dan menyerahkan semua urusannya pada mereka."Seperti yang Irfan tadi bilang sama Mama, ini semata-mata kegagalan Irfan sebagai kepala keluarga, A'," sanggahku parau."Entahlah, A', tidak paham Mama sama jalan pikiran si Resty itu," sahut Mama masih diiringi tangis sedu sedan. "Punya suami tanggung jawab, sayang, dan baiknya luar biasa. Bisa-bisanya dia malaweung seperti itu," lanjutnya penuh nada kekesalan.(Malaweung; semacam teledor atau bertingkah)"Irfan juga yang salah udah ijinin Resty kerja. Harusnya Irfan bisa lebih tegas ngelarang," ucapku tidak enak. "Padahal waktu itu Irfan sangat keberatan. Bagaimana lagi, Resty bersikeras," sambungku."Itu yang paling aneh. Punya suami mapan, orangmah senang bisa diem di rumah. Ini, kok, disuruh enak gak mau. Malah ngotot pengen kerja. Udah, ini mah, kebodohan dan kegobl*kan dia sudah melempar kotoran ke muka keluarga ini." A' Samsul geleng-geleng kepala seraya mengusap wajahnya. "Sampe gak nafsu maka aa sampe sekarang, saking gak kuat nahan malu. Mama sama Bapak juga dari tadi ngelamun terus," imbuhnya panjang lebar. Hal itu membuatku tiba-tiba merasa bersalah yang bukan pada tempatnya. Menyesal sudah mempermalukan Resty tadi. Padahal itu sudah sangat wajar, bahkan kurang untuk memberi pelajaran istri yang nyeleweng sampai berhubungan badan seperti Resty. Tapi, imbasnya, seluruh keluarga jadi ikut malu."Jadi, sekarang, keputusan A' Irfan bagaimana?" Bapak yang sejak tadi diam turut membuka suara. Pria sepuh itu sejak tadi terpekur menyimak obrolan kami. "Irfan ...." Aku menggantung kalimat."Semua ada di tangan A' Irfan. Kami sebagai orang tua sangat merasa terpukul harus kehilangan mantu sebaik Aa. Tapi, ya, mengingat kelakuan si Resty yang kelewat fatal, kami sadar betul terlalu tak tau malu kalau berharap Aa masih mau mempertahankan." Mama kembali bersuara."Betul, Fan. Kamu berhak ambil keputusan menurut yang hati kamu kehendaki. Hanya, jangan sampai setelahnya kita jadi renggang. Ada Salsa yang menjadi ikatan kuat kita sebagai keluarga," sahut A' Samsul lagi.Nyut! Tentang Salsa, selalu saja menjadi penyebab luka ini semakin terkoyak sejak tadi. Semoga keputusan yang kuambil menjadi yang terbaik untuknya."A-anu, Irfan ke sini mau antarkan barang-barang Resty, Ma. Mohon maaf, kalau selama menjadi menantu di keluarga ini, Irfan banyak kekeliruan." Kalimat itu meluncur diiringi air mata yang sejak tadi tertahan. Hari ini, aku benar-benar menjadi laki-laki cengeng. Bahkan saat Bapak meninggal sepuluh tahun lalu, aku tidak secengeng ini.Bapak, A' Samsul, dan Teh Tina terlihat mengangguk. Sementara Mama seketika kembali terisak menutupi wajah dengan kedua belah tangan seraya tertunduk. Nampak betul Mama sangat terpukul. Saat itulah, terdengar juga suara isakan tertahan dari kamar. Ternyata, sejak tadi Resty menyimak obrolan kami dari kamar depan yang tepat bersebelahan dengan ruang tamu."Res, keluar kamu. Minta maaf sama Irfan. Jangan cuma nangis di dalam. Istri durhaka, kamu. Banyak sekali dosa-dosamu pada suami," ucap A' Samsul lantang. Membuat tangis Resty semakin kencang di kamar. Aku hanya tertunduk memainkan jemari. Menyembunyikan air mata yang mulai membanjiri kedua belah pipi. "Bener kata Aamu. Keluar!" Bapak turut buka suara.Tak kunjung mendapat sahutan, A' Samsul menepuk paha istrinya, mengisyaratkan sesuatu. Wanita berjilbab lebar itu pun bangkit, dan masuk ke kamar di mana adik iparnya berada.Beberapa saat, terdengar percakapan yang tidak begitu jelas di dalam. Kemudian, Teh Tina keluar mengapit Resty yang masih dalam keadaan yang ... memprihatinkan. Mata bengkak, bagian pipi lebam membiru. Entah siapa yang menghajarnya. Rambut berantakan. Serta masih mengenakan pakaian yang tadi pagi. Jujur, aku kasihan.Namun, mengingat bagaimana kejamnya ia memperlakukanku, rasanya itu pantas ia terima. Bahkan belum cukup setimpal. Kuseka wajah yang basah dengan lengan jaket yang dikenakan. Aku harus tegar. Tidak boleh terlihat sedih di depan wanita laknat itu. Harus kutunjukan bahwa dengan melepasnya, aku masih bisa hidup normal dan bahagia.Aku menatapnya dalam dari tempatku duduk. Beberapa saat tatapan kami beradu. Bukan lagi saling menatap penuh cinta seperti dulu sebelum badai ini akhirnya memporak-porandakan mahligai rumah tangga yang kami bangun dengan suka cita. Semua berbanding 180 derajat. Ia bukan Restyku yang dulu. Gadis polos dan manja yang kupinang sebagai permaisuri.Kemudian ia menghambur memeluk kakiku untuk kedua kalinya seperti tadi siang. "Pa ... m-mama minta maaf, mama udah sangat berdosa sama Papa," ucapnya terbata seraya menangis terisak.Kulepas pelukannya di kakiku, dengan meraih kedua bahu yang berguncang kencang itu dan memundurkannya pelan. Kupindai mata indah yang memerah dan berair itu dalam.Lalu menghela napas panjang, berharap bisa sedikit menyirnakan sesak di dada, "Resty Sundari, mulai saat ini, terlepas semua kewajiban dan hakmu atasku. Aku ... menalakmu."BersambungISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*BBelum terlalu malam saat aku pulang dari rumah orang tua Resty. Melewati rumah emak, lampu ruang tengah masih menyala. Sepertinya Emak belum tidur. Setelah Bapak meninggal, kemudian aku menikah dan pisah rumah, Emak hanya tinggal berdua dengan adik semata wayangku, Rizky. Namun, kini, pemuda 21 tahun itu sedang menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.Tidak mudah bagi kami bisa sampai di titik ini. Bapak meninggal tanpa meninggalkan harta benda lain kecuali rumah butut berdinding anyaman bambu. Bahkan juga hutang besar bekas membiayai pengobatan Almarhum saat sakit keras. Saat itu, Rizky masih kecil. Aku setelah tamat SMA sempat bekerja sebagai kasir di sebuah minimarket. Membantu Emak yang saat itu berjualan sarapan pagi di depan rumah. Kemudian, setelah kontrak habis, dan tidak diperpanjang, aku nekad jualan cilok. Seperti pekerjaan Bapak semasa hidup. Emak yang membuat, dan aku yang menjualnya keliling. Sangat jarang pemuda seusiaku mau-maunya
"Salsa badannya panas sekali, Fan," sahut Nenek cemas. "Apa?" Aku bergegas ke kamar Emak di mana Salsa berbaring. Gadis kecilku menceracau tak jelas dengan bibir bergetar dan mata setengah tertutup. Seperti biasa, Salsa kalau demam selalu membuat panik."Nak, ini papa, Sayang," lirihku seraya mengusap dahinya. "Panas sekali, Mak!" lanjutku seraya menoleh pada Emak."Ya, makanya Emak panik, tad denger dia ngerang-ngerang.""Salsa, Sayang. Ini papa," ucapku lagi, dengan lembut di telinganya."Mama ... Mama ...," lirihnya membuatku semakin merasa nelangsa. "Emak parutin bawang merah campur minyak kelapa, ya. Bentar."Aku hanya mengangguk seraya menghela napas berat. Ada-ada saja. Di saat situasi begini, bisa-bisanya Salsa sakit. Tuhan benar-benar sedang menguji. Astaghfirullah. Aku harus selalu waras demi Salsa."Mama ... gendong!" lirih Salsa. Kini mulai terisak. Aku menyugar rambut dengan gusar. Dengan perasaan panik tak karuan, kugendong Salsa. Berusaha membuatnya senyaman mungkin
Emosiku kembali memuncak. Kesabaran sudah di ambang batas. Tanpa memedulikan keberadaan Emak, juga Salsa yang tergolek lemah, kurebut mangkok berisi bubur di tangan Resty, menaruhnya bersamaan dengan bungkusan yang dibawa ke atas nakas."Pa ...," gumamnya begitu pelan. "Ikut aku!" Kutarik ia keluar hingga terseret-seret."Irfan, hey!" Tak kupedulikan suara Emak memanggil.Setelah beberapa langkah dari kamar, kuhenrak ia dengan keras hingga terpelanting dan membentur tembok. Ia tertunduk dengan wajah sembab berurai air mata. Sepertinya, sejak kemarin Resty tak berhenti menangis.Malu dan menyesal pastinya kalau aku jadi dia. Kalau dia masih punya malu, sih. Hina!"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku dingin."Aku cuma mau ngurusin Salsa, Pa. Dia sa---""Panggil aku Irfan saja!" potongku cepat. Kutatap wajahnya tajam. "Aku bisa urus anakku sendiri!" sambungku dengan penekanan."Dia butuh aku, A'. Kamu mau jauhin anak kamu dengan ibunya sendiri? Tega, kamu!" ujarnya seraya terisak. Aku tega?
"Ma," bisikku mesra. Kuciumi pipi mulus Resty dengan gejolak yang sudah menggebu."Apa, sih, Pa? Aku ngantuk banget. Capek," lirih Resty manja. Matanya masih terpejam.Aku mendengkus kasar. "Ayolah, Ma. Bentar aja. Mumpung Salsa udah tidur." Aku masih berusaha merayu."Ah, aku capek banget. Besok pagi udah harus berangkat kerja," tolaknya seraya menepis pelukanku.Lagi-lagi, Resty menolak ajakanku untuk memadu kasih. Padahal, pasti dia tahu, menolak permintaan suami untuk itu dosanya sangat besar. Dia berubah setelah memutuskan untuk bekerja. Alasannya capeklah, malaslah, frekuensi datang bulannya juga jadi semakin sering. Menyebalkan sekali. Inilah yang membuatku menolak keras mengijinkannya untuk bekerja. Lagipula, penghasilanku sebagai bos cilok lebih dari cukup untuk memanjakan anak istri.Namun, karena dia terus memaksa dengan wajah imutnya yang menggemaskan, apa boleh buat, akhirnya aku luluh juga. Alasannya, Resty merasa bosan di rumah terus. Hingga akhirnya, sekarang aku meny
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B Ingin rasanya kususul dan kuhajar laki-laki tak punya harga diri yang membonceng istriku itu. Namun, aku harus buat strategi dulu untuk membongkar kebusukan Resty. Menghajarnya sekarang hanya mengotori tangan dan mempermalukan diri sendiri. Tidak! Aku tidak boleh terlihat sebagai laki-laki malang yang tersakiti.Tahan, Irfan!Resty harus merasakan akibat setimpal atas pengkhianatannya padaku. Perempuan tidak tau diuntung! Jal*ng! Kurang apa aku sebagai suami? Sejak menikah, selalu kuperlakukan ia bak ratu. Apa pun keinginannya selalu kupenuhi. Selama ini, ia kuberi kebebasan menikmati buah dari kerja kerasku merintis usaha dari 0 saat masih melajang. Sekarang ... ini balasannya? Shit!Dengan dada bergemuruh menahan amarah, aku membalikan motor dan kembali ke rumah."Udah balik lagi, Kang?" tanya Mira saat aku pulang."Iya. Mana Salsa?""Lagi makan, Kang. Baru bangun, dia," jawab Mira sambil menyapu teras.Mira memang sudah seperti keluarga sendiri. Ia be
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*BEdi kembali bersama segerombolan warga dengan mimik berang. Oh, jadi ini yang dimaksud Edi, tidak perlu mengotori tangan."Itu, kamar yang ujung, A'," sahut Edi, menunjukkan kamar di mana Resty dan selingkuhannya berada di dalamnya. Warga yang tadi datang bersama Edi pun masuk ke pekarangan kontrakan. "Biar mereka yang ngasih pelajaran. Ngapain ngotor-ngotorin tangan? Kita nonton aja," bisik Edi seraya menggandengku, "ayo!" Kami menyusul di belakang, menyaksikan apa yang akan dilakukan warga terhadap mereka. Tanpa basa-basi, pintu yang ternyata tidak terkunci itu dibuka. "Astaghfirullah ...." Serempak semuanya beristighfar. Membuatku penasaran, sekaligus deg-degan luar biasa. Kuhela napas yang tiba-tiba menjadi sangat berat.Edi menepuk punggungku, "sabar, Fan! Gak pa-pa, 'kan, aku panggil warga?" Aku hanya mampu mengangguk seraya menggigit bibir bawah.Suasana semakin riuh, ketika selingkuhan Resty diseret keluar dalam keadaan tanpa sehelai benang. Kem
Emosiku kembali memuncak. Kesabaran sudah di ambang batas. Tanpa memedulikan keberadaan Emak, juga Salsa yang tergolek lemah, kurebut mangkok berisi bubur di tangan Resty, menaruhnya bersamaan dengan bungkusan yang dibawa ke atas nakas."Pa ...," gumamnya begitu pelan. "Ikut aku!" Kutarik ia keluar hingga terseret-seret."Irfan, hey!" Tak kupedulikan suara Emak memanggil.Setelah beberapa langkah dari kamar, kuhenrak ia dengan keras hingga terpelanting dan membentur tembok. Ia tertunduk dengan wajah sembab berurai air mata. Sepertinya, sejak kemarin Resty tak berhenti menangis.Malu dan menyesal pastinya kalau aku jadi dia. Kalau dia masih punya malu, sih. Hina!"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku dingin."Aku cuma mau ngurusin Salsa, Pa. Dia sa---""Panggil aku Irfan saja!" potongku cepat. Kutatap wajahnya tajam. "Aku bisa urus anakku sendiri!" sambungku dengan penekanan."Dia butuh aku, A'. Kamu mau jauhin anak kamu dengan ibunya sendiri? Tega, kamu!" ujarnya seraya terisak. Aku tega?
"Salsa badannya panas sekali, Fan," sahut Nenek cemas. "Apa?" Aku bergegas ke kamar Emak di mana Salsa berbaring. Gadis kecilku menceracau tak jelas dengan bibir bergetar dan mata setengah tertutup. Seperti biasa, Salsa kalau demam selalu membuat panik."Nak, ini papa, Sayang," lirihku seraya mengusap dahinya. "Panas sekali, Mak!" lanjutku seraya menoleh pada Emak."Ya, makanya Emak panik, tad denger dia ngerang-ngerang.""Salsa, Sayang. Ini papa," ucapku lagi, dengan lembut di telinganya."Mama ... Mama ...," lirihnya membuatku semakin merasa nelangsa. "Emak parutin bawang merah campur minyak kelapa, ya. Bentar."Aku hanya mengangguk seraya menghela napas berat. Ada-ada saja. Di saat situasi begini, bisa-bisanya Salsa sakit. Tuhan benar-benar sedang menguji. Astaghfirullah. Aku harus selalu waras demi Salsa."Mama ... gendong!" lirih Salsa. Kini mulai terisak. Aku menyugar rambut dengan gusar. Dengan perasaan panik tak karuan, kugendong Salsa. Berusaha membuatnya senyaman mungkin
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*BBelum terlalu malam saat aku pulang dari rumah orang tua Resty. Melewati rumah emak, lampu ruang tengah masih menyala. Sepertinya Emak belum tidur. Setelah Bapak meninggal, kemudian aku menikah dan pisah rumah, Emak hanya tinggal berdua dengan adik semata wayangku, Rizky. Namun, kini, pemuda 21 tahun itu sedang menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.Tidak mudah bagi kami bisa sampai di titik ini. Bapak meninggal tanpa meninggalkan harta benda lain kecuali rumah butut berdinding anyaman bambu. Bahkan juga hutang besar bekas membiayai pengobatan Almarhum saat sakit keras. Saat itu, Rizky masih kecil. Aku setelah tamat SMA sempat bekerja sebagai kasir di sebuah minimarket. Membantu Emak yang saat itu berjualan sarapan pagi di depan rumah. Kemudian, setelah kontrak habis, dan tidak diperpanjang, aku nekad jualan cilok. Seperti pekerjaan Bapak semasa hidup. Emak yang membuat, dan aku yang menjualnya keliling. Sangat jarang pemuda seusiaku mau-maunya
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya dari dalam. Tak lama, ia menyembul dari balik pintu dengan wajah yang sembab."Ma," ucapku, seraya mencium takzim tangannya.Mama langsung salah tingkah, "Aa." Kemudian seketika menangis meraung dan merunduk ke arahku. Segera kutahan dengan memeluknya. "Jangan begitu, Ma," ucapku parau."Mama malu sekali dengan kelakuan si Resty, A' Irfan. Huhuhuhu maafkan Mama sudah gagal didik anak." Kalimat-kalimat yang dilontarkan Mama benar-benar menyentuh relung hatiku yang paling dalam.Betapa kelakuan Resty sudah menyakiti banyak pihak. Bukan hanya aku dan Salsa tapi, juga keluarganya. Terutama Mama. Beliau pasti sangat kecewa dan malu.Selama ini, aku selalu bersikap adil, pada mertua maupun orang tuaku yang tinggal Emak. Seperti tahun lalu, aku memberangkatkan Emak bersama kedua orang tua Resty untuk umroh. Mereka senang bukan main. Karena memang itu impian mereka. Terutama orang tua Resty. Karena Emak sudah kubera
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*BEdi kembali bersama segerombolan warga dengan mimik berang. Oh, jadi ini yang dimaksud Edi, tidak perlu mengotori tangan."Itu, kamar yang ujung, A'," sahut Edi, menunjukkan kamar di mana Resty dan selingkuhannya berada di dalamnya. Warga yang tadi datang bersama Edi pun masuk ke pekarangan kontrakan. "Biar mereka yang ngasih pelajaran. Ngapain ngotor-ngotorin tangan? Kita nonton aja," bisik Edi seraya menggandengku, "ayo!" Kami menyusul di belakang, menyaksikan apa yang akan dilakukan warga terhadap mereka. Tanpa basa-basi, pintu yang ternyata tidak terkunci itu dibuka. "Astaghfirullah ...." Serempak semuanya beristighfar. Membuatku penasaran, sekaligus deg-degan luar biasa. Kuhela napas yang tiba-tiba menjadi sangat berat.Edi menepuk punggungku, "sabar, Fan! Gak pa-pa, 'kan, aku panggil warga?" Aku hanya mampu mengangguk seraya menggigit bibir bawah.Suasana semakin riuh, ketika selingkuhan Resty diseret keluar dalam keadaan tanpa sehelai benang. Kem
ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B Ingin rasanya kususul dan kuhajar laki-laki tak punya harga diri yang membonceng istriku itu. Namun, aku harus buat strategi dulu untuk membongkar kebusukan Resty. Menghajarnya sekarang hanya mengotori tangan dan mempermalukan diri sendiri. Tidak! Aku tidak boleh terlihat sebagai laki-laki malang yang tersakiti.Tahan, Irfan!Resty harus merasakan akibat setimpal atas pengkhianatannya padaku. Perempuan tidak tau diuntung! Jal*ng! Kurang apa aku sebagai suami? Sejak menikah, selalu kuperlakukan ia bak ratu. Apa pun keinginannya selalu kupenuhi. Selama ini, ia kuberi kebebasan menikmati buah dari kerja kerasku merintis usaha dari 0 saat masih melajang. Sekarang ... ini balasannya? Shit!Dengan dada bergemuruh menahan amarah, aku membalikan motor dan kembali ke rumah."Udah balik lagi, Kang?" tanya Mira saat aku pulang."Iya. Mana Salsa?""Lagi makan, Kang. Baru bangun, dia," jawab Mira sambil menyapu teras.Mira memang sudah seperti keluarga sendiri. Ia be
"Ma," bisikku mesra. Kuciumi pipi mulus Resty dengan gejolak yang sudah menggebu."Apa, sih, Pa? Aku ngantuk banget. Capek," lirih Resty manja. Matanya masih terpejam.Aku mendengkus kasar. "Ayolah, Ma. Bentar aja. Mumpung Salsa udah tidur." Aku masih berusaha merayu."Ah, aku capek banget. Besok pagi udah harus berangkat kerja," tolaknya seraya menepis pelukanku.Lagi-lagi, Resty menolak ajakanku untuk memadu kasih. Padahal, pasti dia tahu, menolak permintaan suami untuk itu dosanya sangat besar. Dia berubah setelah memutuskan untuk bekerja. Alasannya capeklah, malaslah, frekuensi datang bulannya juga jadi semakin sering. Menyebalkan sekali. Inilah yang membuatku menolak keras mengijinkannya untuk bekerja. Lagipula, penghasilanku sebagai bos cilok lebih dari cukup untuk memanjakan anak istri.Namun, karena dia terus memaksa dengan wajah imutnya yang menggemaskan, apa boleh buat, akhirnya aku luluh juga. Alasannya, Resty merasa bosan di rumah terus. Hingga akhirnya, sekarang aku meny