Share

Tujuh

Emosiku kembali memuncak. Kesabaran sudah di ambang batas. Tanpa memedulikan keberadaan Emak, juga Salsa yang tergolek lemah, kurebut mangkok berisi bubur di tangan Resty, menaruhnya bersamaan dengan bungkusan yang dibawa ke atas nakas.

"Pa ...," gumamnya begitu pelan.

"Ikut aku!" Kutarik ia keluar hingga terseret-seret.

"Irfan, hey!" Tak kupedulikan suara Emak memanggil.

Setelah beberapa langkah dari kamar, kuhenrak ia dengan keras hingga terpelanting dan membentur tembok. Ia tertunduk dengan wajah sembab berurai air mata. Sepertinya, sejak kemarin Resty tak berhenti menangis.

Malu dan menyesal pastinya kalau aku jadi dia. Kalau dia masih punya malu, sih. Hina!

"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku dingin.

"Aku cuma mau ngurusin Salsa, Pa. Dia sa---"

"Panggil aku Irfan saja!" potongku cepat. Kutatap wajahnya tajam. "Aku bisa urus anakku sendiri!" sambungku dengan penekanan.

"Dia butuh aku, A'. Kamu mau jauhin anak kamu dengan ibunya sendiri? Tega, kamu!" ujarnya seraya terisak.

Aku tega?
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status