“Ekhm, sepertinya ini pembahasan serius. Aku keluar dulu sama Laila, ya?” pamit Ardan mengajak Laila duduk di teras saja daripada menyaksikan pembicaraan serius mereka yang membuat hatinya nyeri mendengar dan menyaksikan adegan demi adegan.“Sengaja ya?” bisik Mimi yang melihat Arfi tersenyum saat melihat Ardan keluar dari rumahnya.“Nggak sengaja sih, cuma kalau dia merasa tahu diri alhamdulillah. Nggak perlu repot repot ngajarin kan?” kekeh Arfi.“Dasar!”Irah yang melihat Mimi dan Arfi pun berdehem. “Kenapa?”“Enggak, Bu. Tentang niat ini, akan saya rembug dengan Ibuku.” "Ya. Datanglah kembali Jika kamu sudah yakin dan memang serius untuk berhubungan dengan Mimi. Lagian, nunggu masa iddah selesai.”“Iya, Bu.”Ardhan mengajak Laila melihat bintang. Dia melihat bagaimana anaknya itu sangat dekat dengannya akhir-akhir ini dan membuat dia tenang. Ponselnya berdering membuat dia menengok dan melihat Mely yang menghubunginya.“Pa, ponselnya Papa bunyi itu,” tunjuk Laila pada ponsel Ard
Dalam beberapa hari berlatih, Mimi sudah mulai lancar mengendarai mobilnya. Tak jarang Arfi meminta Mimi turun ke jalan agar tidak terlalu grogi ketika bertemu dengan mobil besar. Bahkan, dengan setia Arfi menemani baik siang dan malam saat latihannya.“Besok bikin sim deh. Biar bisa jalan jalan sendiri,” ucap Mimi.“Aku nggak diajak?” Arfi memasang wajah sedihnya.“Ajak lah, Om. Masa enggak,” celetuk Laila.Kedekatan keduanya semakin intens saat Laila juga sering menjadi jembatan pendeketaan Arfi. Laila sering memuji, menginginkan dan juga menghormati Arfi di mana saja. “Hari ini pulang naik mobil ya, Ma?” ajak Laila.“Nggak dulu deh, Sayang. Mama belum begitu lancar. Nanti kalau SIM sudah keluar, baru deh Mama bisa bawa pulang.”“Harus pakai SIM? SIM itu apa, Ma?”“Surat Izin Menikahi Mama,” celetuk Arfi.“Oh, Surat Izin menikahi Mama.” Laila percaya saja dengan apa yang Arfi ucapkan.“Nggak, Sayang. SIM itu, surat izin mengemudi, didapatkan oleh orang dewasa yang sudah 17 tahun da
Setelah berbincang dengan Mimi mengenai kepergian Ardan, Melly akhirnya memutuskan untuk pulang. Dia merasa jika semua ini adalah bagian dari karma yang harus dia rasakan setelah merebut suami orang yang merupakan sahabat lamanya itu.Saat baru sampai di rumah dia dikagetkan dengan kedatangan mertuanya yang belum pernah ditemui sebelumnya. Disampingnya ada suaminya yang ternyata sudah pulang bersama ibu mertuanya. Mely mengulurkan tangan dan bersalaman pada keduanya, membuat Ardan heran."Dari mana saja kamu?" Tanya Ardan."Aku mencari keberadaan kamu Mas. Dari beberapa hari yang lalu kamu tidak bisa dihubungi dan membuat aku khawatir."Melly langsung memeluk Ardan tetapi Sumiati menjauhkan tubuh anaknya itu dari Melly."Ini wanita yang kamu nikahi demi meninggalkan cucu ibu?" Murka Sumiati. Mely menunduk."Bu. Bukankah Ibu sudah berjanji untuk menyelesaikan masalah Ardan dan tidak menambahkan beban pikiran Ardan?""Mas."Melly masih tetap tidak mengerti dengan alasan kenapa mertuanya
Pagi ini Mimi dikejutkan oleh kedatangan keluarga mantan suaminya. Bahkan istri baru Ardan pun datang bersamaan. Suatu pemandangan yang sangat langka dan tentunya sangat mengagetkan keluarga Mimi."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Irah dan Mimi.Laila langsung berlari ke arah Ardan. Bocah itu sekarang sudah lebih bebas dan tidak begitu takut terhadap Ardan."Papa, Papa datang sama nenek?""Laila…"Sumiati langsung memeluk Laila dan menciumi cucu tersayangnya itu. Meskipun dia jarang bermain dan juga datang ke Cilacap tetapi dari kejauhan dia selalu mendoakan agar cucunya selalu sehat dan selamat."Nenek, Laila kangen.""Iya, Sayang. Sekarang Laila sudah besar ya? Tingginya sudah hampir mirip sama nenek.""Iya, Nek."Irah bersalaman dengan Sumiati dan saling berpelukan layaknya seorang besan yang masih berhubungan baik. Keduanya memang tidak berselisih Jika saja anak-anak mereka tidak membuat masalah. "Sehat, Yu?""Alhamdulillah kita masih bisa dipertemukan dalam keadaan seha
Hari ini adalah hari yang menentukan. Mimi mendengar kabar dari Arfi jika keluarga Arfi akan datang. Meski belum tentu akan melamar, tentu persiapan harus matang matang dilakukan. Takut mempermalukan keluarganya sendiri, Mimi pun memesan catering guna memudahkan selera makan orang kota.“Jam berapa katanya mau datang, Mi?” tanya Irah.“Katanya lagi di jalan, Bu.”“Berapa orang, Mi? Nanti malah kurang catering yang kita pesan,” tanya Jum–tetangganya.“Katanya hanya lima orang, termasuk supir. Kalau lebih, pasti mengabari lagi. Ini sejak berangkat belum mengabari.”Di tempat lain, Mely sedang menahan sakit. Kontraksi palsu yang sudah terjadi dalam beberapa hari ini membuatnya tak kuat. Dia meminta Ardan untuk tak pergi dan meminta Ardan untuk siaga membawanya ke rumah sakit.“Mas, aku sudah nggak kuat. Aku ingin melahirkan,” erang Mely.“Asli nggak? Nanti kayak yang kemarin kemarin. Bikin malu aku loh, udah siap siaga sampai sana, malah kontraksi palsu.”“Bisa bisanya kamu bilang begitu
Hasim berdehem. Dia tahu anaknya pun tak senang Sarifah berkata demikian. Dia mengambil alih percakapan, lalu bersikap tenang agar anaknya tak murka lagi ketika membuat malu di depan keluarga si wanita.“Maaf kalau kedatangan kami justru mengusik hati dan pikiran Nak Mimi. Saya pribadi sangat senang mendengar Arfi mengatakan ingin melamar seorang wanita dan juga ingin berniat serius dengan hubungan ini. Saya pun sudah menantikan keberanian Arfi untuk mengatakannya kepada keluarga. Saya bangga terhadap anak saya dan kami mohon maaf jika kedatangan kami ini terlihat kurang serius ingin melamar Anak Ibu Irah," ucap Hasim."Tentu saja kami semua senang jika memang nak Arfi menerima keadaan Mimi yang seperti ini. Dia Emang janda belum lama dan meninggalkan satu anak yang masih bersekolah dan tentu akan menjadi beban Arfi nanti jika benar-benar serius ingin menikahi anak saya. Jika dalam hal ini menjadi suatu beban atau ganjalan keluarga Nak Arfi, kami pun tidak masalah untuk merundingk
“Jangan tersinggung, Fi. Aku bukan bermaksud membahas kamu yang kaya dan aku yang miskin. Tapi, yakinkan dulu keluargamu dan satu bulan ini adalah waktu yang cukup buat kita bisa saling memahami.”“Aku sudah berkomitmen menikahimu, aku menerima kekuranganmu dan kelebihanmu. Apa kata mereka tentang keluargamu, aku tak peduli. Aku hanya sayang kamu dan ingin kamu jadi istriku. Tak peduli status kamu yang janda, aku hanya ingin kamu dan mengertilah. Jangan buat aku menunggu lebih lama, aku nggak bisa. Saat aku berusaha menjauhimu saat itu, ketahuilah jika aku sangat sangat tersiksa.”“Ya. Aku paham itu dan maafkan aku jika sudah membuatmu tersinggung dengan hal ini. Mengajakmu berbincang berdua seperti ini hanya ingin mengetahui apa komitmen kamu setelah menikah. Setelah dirasa aku yakin maka aku pun tidak akan meragukan cintamu lagi."“Tidak sama sekali, tentu aku suka caramu untuk mengajakku berbincang berdua saja. Dengan hal semacam ini, kita bisa sama-sama terbuka untuk mengeluarkan
"Cie yang udah resmi dilamar sama pujaan hati. Gimana rasanya mau jadi manten lagi?" goda Santi.Mimi memutuskan untuk bekerja seperti biasa setelah acara kemarin. Dia tidak ingin terlalu terpikirkan hal-hal yang akan dilakukan sebelum menikah dengan Arfi. Namun sebelum berangkat menuju ke pabrik dia mampir terlebih dahulu ke rumah Santi untuk menyapa dan melihat kabar sahabatnya yang sedang ngidam itu."Alhamdulillah rasanya kayak lagi dapat durian runtuh sepohon pohonnya," kekeh Mimi. "BTW any busway, Alvin ke mana? Rumahnya sepi banget, tumben.""Arfi tadi ngajak Alvin sama Bima buat ke hotel, survei tempat yang bakalan dijadikan resepsi besok. Katanya mengundang beberapa kali rekan teman saja, kamu tahu?""Aku belum bahas soal itu dengan Arfi soalnya dia bilang aku nggak boleh mikirin apapun selain menjaga kesehatan aku dan Laila. Rumah ibu yang sibuk wara wiri sama beberapa tetangga yang membantu karena Ibu juga mengundang pihak keluarga Bapak untuk menjadi wali nikah aku sehing