Pagi ini Mimi dikejutkan oleh kedatangan keluarga mantan suaminya. Bahkan istri baru Ardan pun datang bersamaan. Suatu pemandangan yang sangat langka dan tentunya sangat mengagetkan keluarga Mimi."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Irah dan Mimi.Laila langsung berlari ke arah Ardan. Bocah itu sekarang sudah lebih bebas dan tidak begitu takut terhadap Ardan."Papa, Papa datang sama nenek?""Laila…"Sumiati langsung memeluk Laila dan menciumi cucu tersayangnya itu. Meskipun dia jarang bermain dan juga datang ke Cilacap tetapi dari kejauhan dia selalu mendoakan agar cucunya selalu sehat dan selamat."Nenek, Laila kangen.""Iya, Sayang. Sekarang Laila sudah besar ya? Tingginya sudah hampir mirip sama nenek.""Iya, Nek."Irah bersalaman dengan Sumiati dan saling berpelukan layaknya seorang besan yang masih berhubungan baik. Keduanya memang tidak berselisih Jika saja anak-anak mereka tidak membuat masalah. "Sehat, Yu?""Alhamdulillah kita masih bisa dipertemukan dalam keadaan seha
Hari ini adalah hari yang menentukan. Mimi mendengar kabar dari Arfi jika keluarga Arfi akan datang. Meski belum tentu akan melamar, tentu persiapan harus matang matang dilakukan. Takut mempermalukan keluarganya sendiri, Mimi pun memesan catering guna memudahkan selera makan orang kota.“Jam berapa katanya mau datang, Mi?” tanya Irah.“Katanya lagi di jalan, Bu.”“Berapa orang, Mi? Nanti malah kurang catering yang kita pesan,” tanya Jum–tetangganya.“Katanya hanya lima orang, termasuk supir. Kalau lebih, pasti mengabari lagi. Ini sejak berangkat belum mengabari.”Di tempat lain, Mely sedang menahan sakit. Kontraksi palsu yang sudah terjadi dalam beberapa hari ini membuatnya tak kuat. Dia meminta Ardan untuk tak pergi dan meminta Ardan untuk siaga membawanya ke rumah sakit.“Mas, aku sudah nggak kuat. Aku ingin melahirkan,” erang Mely.“Asli nggak? Nanti kayak yang kemarin kemarin. Bikin malu aku loh, udah siap siaga sampai sana, malah kontraksi palsu.”“Bisa bisanya kamu bilang begitu
Hasim berdehem. Dia tahu anaknya pun tak senang Sarifah berkata demikian. Dia mengambil alih percakapan, lalu bersikap tenang agar anaknya tak murka lagi ketika membuat malu di depan keluarga si wanita.“Maaf kalau kedatangan kami justru mengusik hati dan pikiran Nak Mimi. Saya pribadi sangat senang mendengar Arfi mengatakan ingin melamar seorang wanita dan juga ingin berniat serius dengan hubungan ini. Saya pun sudah menantikan keberanian Arfi untuk mengatakannya kepada keluarga. Saya bangga terhadap anak saya dan kami mohon maaf jika kedatangan kami ini terlihat kurang serius ingin melamar Anak Ibu Irah," ucap Hasim."Tentu saja kami semua senang jika memang nak Arfi menerima keadaan Mimi yang seperti ini. Dia Emang janda belum lama dan meninggalkan satu anak yang masih bersekolah dan tentu akan menjadi beban Arfi nanti jika benar-benar serius ingin menikahi anak saya. Jika dalam hal ini menjadi suatu beban atau ganjalan keluarga Nak Arfi, kami pun tidak masalah untuk merundingk
“Jangan tersinggung, Fi. Aku bukan bermaksud membahas kamu yang kaya dan aku yang miskin. Tapi, yakinkan dulu keluargamu dan satu bulan ini adalah waktu yang cukup buat kita bisa saling memahami.”“Aku sudah berkomitmen menikahimu, aku menerima kekuranganmu dan kelebihanmu. Apa kata mereka tentang keluargamu, aku tak peduli. Aku hanya sayang kamu dan ingin kamu jadi istriku. Tak peduli status kamu yang janda, aku hanya ingin kamu dan mengertilah. Jangan buat aku menunggu lebih lama, aku nggak bisa. Saat aku berusaha menjauhimu saat itu, ketahuilah jika aku sangat sangat tersiksa.”“Ya. Aku paham itu dan maafkan aku jika sudah membuatmu tersinggung dengan hal ini. Mengajakmu berbincang berdua seperti ini hanya ingin mengetahui apa komitmen kamu setelah menikah. Setelah dirasa aku yakin maka aku pun tidak akan meragukan cintamu lagi."“Tidak sama sekali, tentu aku suka caramu untuk mengajakku berbincang berdua saja. Dengan hal semacam ini, kita bisa sama-sama terbuka untuk mengeluarkan
"Cie yang udah resmi dilamar sama pujaan hati. Gimana rasanya mau jadi manten lagi?" goda Santi.Mimi memutuskan untuk bekerja seperti biasa setelah acara kemarin. Dia tidak ingin terlalu terpikirkan hal-hal yang akan dilakukan sebelum menikah dengan Arfi. Namun sebelum berangkat menuju ke pabrik dia mampir terlebih dahulu ke rumah Santi untuk menyapa dan melihat kabar sahabatnya yang sedang ngidam itu."Alhamdulillah rasanya kayak lagi dapat durian runtuh sepohon pohonnya," kekeh Mimi. "BTW any busway, Alvin ke mana? Rumahnya sepi banget, tumben.""Arfi tadi ngajak Alvin sama Bima buat ke hotel, survei tempat yang bakalan dijadikan resepsi besok. Katanya mengundang beberapa kali rekan teman saja, kamu tahu?""Aku belum bahas soal itu dengan Arfi soalnya dia bilang aku nggak boleh mikirin apapun selain menjaga kesehatan aku dan Laila. Rumah ibu yang sibuk wara wiri sama beberapa tetangga yang membantu karena Ibu juga mengundang pihak keluarga Bapak untuk menjadi wali nikah aku sehing
Mimi merasa terharu sekaligus bahagia melihat Arfi sangat dekat dengan Laila. Bahkan dia sampai tak henti-hentinya mengucap syukur di dalam hati lantaran sudah dianugerahkan lelaki yang sangat baik seperti Arfi sebagai pengganti Ardan.“Laila suka dengan makanan ini?” tanya Arfi.“Suka, Om.”“Kok Om, panggil Papa.”“Iya, Pa. Boleh Laila tambah eskrimnya?”Bocah yang kini sudah terlihat bertambah dewasa itu tak sungkan lagi mengatakan keinginannya. Dia bahkan lebih suka berdekatan dengan Arfi daripada dengan Mimi.“Besok kita makan siang di sini lagi ya, Pa.”“Iya, Sayang. Kalau Mama udah tinggal di rumah Papa nanti, Laila akan ke sini setiap Laila ingin. Sekarang, kalau Mama kamu pengin aja dulu.”“Yaah…”“Modus banget sih,” kekeh Mimi yang merasa jika Arfi memang sengaja mengatakan itu agar Laila benar benar tak mau berubah pikiran mengganti peran Arfi dalam menjadi ayah sambung Laila.“Nanti ikut aku ya? Habis makan siang ini.” Arfi menyuapkan potongan beef pada Laila, lalu melirik
‘Mas, nanti kamu mau ke toko nggak?” tanya Mely pada Ardan yang baru selesai mandi.“Kenapa?”“Ya nggak kenapa napa. Hanya tanya,” jawab Mely.Ardan pun tak begitu peduli dengan pertanyaan Mely yang terkesan seperti menginginkan dia pergi. Kali ini Ardan ingin santai dan berusaha menikmati hidupnya saja. Malas jika harus selalu dipenuhi penyesalan dan berujung pada tidak semangat pada hidupnya.Mely sudah berjanji dengan suaminya bahwa pagi ini fardhan akan datang ke rumah untuk mengambil pakaian ganti Nesya. Namun, sampai siang hari Ardan tidak kunjung pergi hingga membuat dia kesal sendiri."Memangnya nggak ada kegiatan yang bisa kamu lakukan di luar rumah apa, Mas?" Tanya Melly."Emangnya kenapa sih? Di luar sedang panas dan cuacanya benar-benar gak mendukung buat kerja di bawah terik sinar matahari. Kalau kamu memang ingin pergi, ya pergi saja nggak usah pakai alasan tanya kenapa aku nggak pergi dari rumah untuk bekerja."Ardan pun sudah mulai merasa bosan jika selalu diminta untu
Pernikahan tinggal menunggu hari dan tentu saja sepasang calon pengantin sama-sama menunggu dengan tidak sabar acara resepsi dan juga ijab kabul yang akan dikeluarkan di sebuah hotel besok. Malam ini Mimi dijemput oleh pihak keluarga lelaki untuk menginap di hotel agar besok pagi sudah siap untuk melakukan ijab Kabul. Hanya Mimi dan Laila saja karena keluarga Mimi yang belum hadir akan menyusul besok pagi. Irah terpaksa harus menunggu di rumah karena saudara dari pihak suaminya belum ada yang datang."Seharusnya Darusman itu datang kemarin-kemarin, Yu. Masak ijab kabulnya saja besok hari ini belum datang. Tempat tinggalnya kan nggak begitu jauh, cuma lain kota saja.""Darusman kan memang belum sempat, Bu RT. Mungkin sedang ada banyak pekerjaan di rumah sehingga belum sempat datang ke sini." Irah pun mencoba untuk menutupi kekhawatirannya takut jika mungkin saja keluarga dari mendiang suaminya tidak ada yang datang."Kalau mereka tidak datang bagaimana, Yu? Kasihan Mimi, menikah tetap