"Mas pinjam uang seratus ribu."
Aku menatap asma seperti biasa dia akan meminjam uang padaku. Entah apa saja yang di beli, sampai uang lima puluh ribu gak cukup sehari.
"Untuk apa lagi? Apa tak cukup uang lima puluh yang aku kasih tadi pagi?"
Asma mulai cemberut seperti biasa, jika aku tanya uang lima puluh yang selalu kurang baginya.
"Hanya perlu seratus ribu, mas. Kenapa kau tanya uang lima puluh ribu itu? Percuma kalau ku jelaskan kau tak akan mau dengar."
Mulai lagi setiap di ajak bicara dia akan mulai berteriak.
"Aku hanya pinjam seratus ribu tapi kau minta penjelasan panjang lebar. Apa tak kau dengar suara token listrik yang sudah menjerit, seperti janda minta uang suami orang itu."
Mulai lagi, kalau soal uang dia akan mulai menyindir, mbak Ani yang selalu pinjam padaku kalau anaknya butuh bayar uang sekolah.
"Gak usah bawa-bawa janda, ini seratus ribu, ingat sudah lima ratus ribu belum kau bayar hutangmu."
Tanpa menjawab dia bergegas keluar, tak lama kembali mengambil kursi dan mulai mengisi token listrik sendiri tanpa minta bantuan ku. Akhirnya hilang juga teriakan janda minta uang yang Asma bilang.
"Aku lapar siapkan makanan, Ma." pintaku.
"Pergi ke rumah ibumu, tak ada masakan lagi di rumah ini, tadi di bawa ibu pulang semua."
Keterlaluan suami pulang kerja bukannya di kasih makan, dia justru minta aku makan di rumah ibu.
"Aku menafkahi mu untuk menyiapkan makanan, kenapa aku harus makan di rumah ibu?" tanyaku
"Karena makanan yang aku beli dengan uang lima puluh ribu itu, sudah berada di rumah ibumu, jadi makan di sana saja."
Aku menarik napas menahan kesal, daripada ribut terus lebih baik aku ke rumah ibu saja.
"Kalau begini percuma aku beri uang. Ujung-ujungnya aku harus makan di rumah ibu."
Asma tak menjawab dia hanya diam saja, meski melihatku keluar naik motor ke rumah ibu.
"Makanya lain kali dengar kalau orang tua ngomong. Gadis miskin pengangguran kau nikahi inilah hasilnya."
Ibu mengomel sembari meletakan makanan di piring ku. Meski di jatah tapi tak apalah daripada lapar.
"Asma bilang semua ini di beli mengunakan uang lima puluh ribu pemberianku, Bu. Jadi dia minta aku makan di sini," ucapku.
"Dan kau percaya? Mana cukup lima puluh ribu. Makan pakai ayam dan menu lengkap begini ada buahnya juga."
Aku menatap meja makan, ibu benar tak mungkin dengan lima puluh ribu bisa beli segini banyak makanan. Asma pasti berbohong dia sudah keterlaluan.
"Makanya tak perlu kau beri dia uang banyak-banyak, cukup sepuluh ribu sehari sisanya beri ke ibu. Kau bisa makan enak di sini."
Ibu benar kalau bisa makan seenak ini setiap hari. Buat apa memberi asma uang banyak, kalau hasilnya makan tak jauh dari tahu dan tempe.
"Kalau begitu mulai besok aku makan di sini, Bu. Asma biar aku jatah sepuluh ribu, biar dia mau makan apa dengan uang itu."
Aku senang melihat ibu tersenyum, baguslah kami berdua menemukan solusi masalah ini. Aku bisa makan enak sedangkan ibu dapat uang lebih dariku.
"Jadi kau beri aku sepuluh ribu untuk makan sehari, sedangkan kau makan di rumah ibumu, Mas?"
Aku mengangguk mendengar pertanyaan asma, lalu meninggalkan dia yang mematung sembari memegang uang sepuluh ribu.
"Baiklah aku terima, Mas. Terima kasih atas nafkah sepuluh ribu mu."
Aku tersenyum melihat Asma yang Kembali masuk ke kamar. Mau apa dia kembali ke kamar, sedangkan pekerjaan belum dia siapkan.
"Sepuluh ribu tak termasuk sarapan mu kan, Mas. Jadi aku mau kembali tidur, nanti siang bisa beli mie instan untuk makan siang dan makan malam."
Dasar istri bodoh dia kan bisa beli sarapan Lima ribu, daripada nunggu makan siang. Punya otak kok gak di gunakan dengan baik.
"Terserah kau saja yang penting, semua urusan rumah selesai dan aku tak mau dengar kau mengeluh lagi mulai sekarang."
Aku pergi meninggalkan rumah dan menuju ke rumah ibu untuk sarapan. Soal asma biar dia berpikir untuk mencari cara melanjutkan hidupnya yang tak teratur itu. Sebagai suami sudah cukup meski hanya memberinya uang sepuluh ribu. Aku rasa itu cukup untuknya, lagipula dia bisa makan dengan kangkung dan tempe.
"Bagus kau makan di rumah ibu, jadi uangmu tak sia-sia di makan asma yang tak bisa mengatur keuangan."
Begitu sampai rumah ibu ternyata ada mbak Ani. Sejak Abang ku meninggal dia menjadi kesayangan ibu, karena dia punya anak laki-laki penganti anaknya yang meninggal.
Beda dengan ku dan asma yang di karuniai anak perempuan jelek lagi. Ibu bilang karena asma memang tak cantik, jadi aku salah kalau mau merubah keturunan. Itulah salah satu sebab aku minta asma menitipkan anak kami pada ibunya di kampung. Di sana ada adik dan ibunya yang bisa merawat anak jelek itu.
"Sejelek apapun dia tetap anak kita, Mas. Pemberian Tuhan kenapa kalian menghina ciptaannya?" ujarnya kala itu
"Kalau begitu serahkan ke ibumu agar kami tak terus menghina anakmu yang jelek itu."
Saat itu asma memohon agar tak di pisahkan dengan anaknya, tapi aku dan ibu berkeras agar anak itu di antar ke kampung. Dengan deraian airmata, asma terpaksa menyerahkan anak kami pada ibunya.
"Sudah ayo sarapan, biar kerjanya lebih giat dan bertenaga. Kalau di lihat atasanmu kan bisa naik jabatan di kantor."
Aku tersadar dari ingatan pada Asma, mataku melotot melihat sarapan hari ini. Ternyata mbak Ani meletakan sepotong ayam goreng di dalam piring berisi nasi.
"Kau benar memberi istrimu uang sepuluh ribu kan, Lam? Takutnya kau goyah dengan rayuan asma. Kasihan ibu sudah capek-capek menyiapkan sarapan untuk mu."
Aku mengangguk tentu saja jatah Asma hanya sepuluh ribu, agar ibu bisa memberiku sarapan dan makan yang jauh lebih enak daripada masakan Asma.
"Berarti kau bisa berikan sisa uang Asma pada ibu, Lam. Kan lumayan untuk makan mu sebulan di rumah ibu."
Aku kembali mengangguk karena tak ada uang tunai nanti malam saja aku berikan pada ibu.
"Tentu saja nanti malam aku berikan ke ibu setelah mengambil di ATM."
Ibu dan mbak Ani tersenyum apalagi saat melihat aku makan dengan lahap. Ibu memberikan teh manis dalam gelas, membuat sarapan ku semakin nikmat.
"Nanti malam kau bisa makan enak, Lam. Nanti mbak belikan daging, biar kau bisa merasakan makanan kesukaan mu itu."
Aku senang mendengar mbak Ani akan membelikan daging, selama ini aku hanya setahun sekali merasakan nikmatnya makan daging. Itupun ketika hari raya Qurban.
"Iya mbak aku mau makan rendang, nanti aku berikan uang buat ibu dan mbak Ani."
Aku tak sabar menunggu malam. Tentu saja karena rendang buatan ibu sama enaknya dengan buatan Asma. Sayang wanita itu terlalu boros, sehingga tak bisa masak daging. Dengan limapuluh ribu, dia pasti bisa menyisihkan sedikit bukannya habis gitu aja.
Namun, jangankan bisa menyimpan dia selalu mengomel karena uang itu tak cukup. Kenyataannya sekarang di rumah ibu justru aku bisa makan enak. Ini sebagai bukti kalau Asma memang tak becus mengurus keuangan.
"Lima puluh ribu mana cukup, Mas. Beras, aneka bumbu dan bahan untuk di masak, belum lagi kalau gas habis. Kau enak, taunya makan mana perduli pada harga yang tak terjangkau, dengan uang lima puluh ribu itu."
Begitulah hampir setiap hari aku ribut dengan Asma. Hanya soal nafkah yang dia anggap tak cukup sedang kami hanya berdua. Menikah niatnya hidup bahagia. Ternyata hasilnya sangat di luar dugaan, hari-hari di penuhi keributan soal uang ...uang ...dan uang. Pusing jika mendengar suara Asma ketika minta tambah nafkahnya.
Sekarang aku bisa tenang. Semua masalah uang terselesaikan, begitu juga soal makan. Soal Asma biar dia pikir sendiri, hidup dengan sepuluh ribu itu. Aku rasa dia akan tenang dan tak perlu ribut soal uang lagi.
"Assalamu'alaikum."
Saat sedang menikmati sarapan, aku mendengar suara yang jelas kalau itu suara Asma. Mau apa dia kemari? Bukankah tadi dia kembali tidur, karena tak bisa masak dengan uang sepuluh ribu.
Setelah seharian menunggu akhirnya Asma pulang. Tapi dia tak membawa motornya, dimana dia meletakkan benda itu. Aku harus bertanya padanya."Kau
"Kau yakin memberi kesempatan pada, Alam?"Sialan semua orang seolah berharap Asma bercerai dariku. Apa mereka lupa, dosa jika menghancurkan pernikahan orang lain."Tolong biarkan Asma berpikir dengan jernih. Jangan kalian pengaruhi terus dia, ingat dosa karena meminta seorang wanita bercerai dari suaminya."Aku tersenyum karena mereka semua terdiam setelah aku berkata tentang dosa. Syukurlah mereka paham dan mengerti, kalau aku dan Asma tak seharusnya bercerai."Kau paham tentang dosa, tapi kau lupa menzolimi istri juga termasuk dosa, Alam!"Bagus berteriak padaku sebenarnya siapa dia, dan kenapa selalu ikut campur urusanku dengan Asma? Heran dia seolah begitu perduli pada istriku. Apa benar dia punya perasaan lebih pada Asma?"Aku tau tapi tadi kan sudah minta maaf, kenapa kau terus nyolot apa kau memang mencintai asma juga?"Bagus melotot dia menatap istrinya. Seolah ucapan ku akan menyakiti wanita itu, kalau benar dia mencintai Asma kan bagus biar istrinya tau."Kau."Bagus menujuk
"Ini seratus ribu, aku harap kau yakin kalau aku berniat berubah."Asma tak bersuara dia masih asyik dengan sayuran di depannya. Setelah menjual
"Dasar perempuan serakah kau berani menguasai uang, Alam. Dia anak lelakiku, mana bisa kau buat dia melupakan ibunya." Aku baru saja pulang kerja, belum juga turun dari motor tukang ojek. Sudah dihadapkan pada pemandangan luar biasa di depan rumahku. Banyak warga melihat ibu yang berteriak pada Asma. "Ada apa lagi ini, kenapa kalian tak bisa akur sehari saja?" Aku sudah tak tahan lagi melihat ibu dan Asma yang terus saja ribut pasti ini perkara uang lagi. "Bagus itu anak lelakimu, ibu bisa bicara dengannya. Aku mau masuk memeriksa belanjaan hari ini." Asma melengang masuk ke rumah, darimana dia seharian, karena aku melihatnya baru membuka kunci rumah. "Kau lihat Alam, betapa kurang ajarnya istrimu itu. Dia bahkan baru pulang setelah menghabiskan uangmu." Ibu bilang menghabiskan uang, sedangkan aku hanya memberi asma satu jut
"Dua juta mbak, buat apa uang sebanyak itu?"Aku terkejut saat mendengar mbak Ani mau meminjam uang lagi padaku. Apa dia tak tau aku saja sampai rela memakai ponsel yang retak layarnya demi berhemat. Dia dengan enaknya pinjam lagi."Mbak mau coba buka usaha, Lam. Kasihan Adit kalau ibunya tak punya uang saat dia ingin jajan, sedangkan kau sudah jarang memberinya uang walau hanya lima ribu perak."Aku menarik napas kenapa sekarang semua masalah yang datang tak jauh dari uang. Sedangkan Asma benar-benar menguji kesabaran ku akhir-akhir ini."Maaf mbak tapi aku memang tak punya uang, kalau tak percaya lihat ini. Ponselku retak tapi sampai sekarang belum bisa memperbaikinya."Mbak Ani menatap ponselku tapi sepertinya dia tak percaya. Matanya justru melihat kearah rumahku, jangan bilang dia mau minta aku pinjam ke Asma, bisa perang dunia lagi."Aku pergi dulu, Mbak. Maaf tak bisa lagi memberi pinjaman."Aku bergegas pergi ker
Ting....Belum juga sampai pangkalan ojek, sudah ada pesan masuk ke ponselku. Dari siapa lagi kalau bukan dari ibu.(Terserah aku tak mau tau, Bu. Sudah aku ingatkan jangan menganggu Asma tapi mbak Ani membandel.)Aku segera membalas pesan ibu yang bertanya, kenapa aku membiarkan Asma memangkas rambut menantunya.(Tapi gak gini juga, Lam. Ani bisa melaporkan istrimu ke polisi.)Bodoh lapor polisi memangnya semudah itu, butuh uang dan tenaga sebelum menangkap seseorang.(Silahkan kalau mbak Ani punya uang dan sanggup bolak-balik ke kantor polisi.)Aku menarik napas lega, karena tak ada lagi balasan dari ibu. Pasti saat ini mbak Ani sedang meratapi nasibnya, karena tak bisa melawan Asma."Mas, ojek."Aku segera naik ojek setelah sampai di pangkalan. Setelah drama tadi, akhirnya aku sampai juga ke kantor.Miris aku justru merasa tenang ketika berada di kantor, sementara sebagian besar orang akan tenang dan nyaman ketika sampai di rumah bersama keluarga
"Kenapa terkejut, Mas? Aku hanya mau bilang, kipas angin di kamar mati, percuma kau kekamar pasti kegerahan lagi."Setelah itu aku menarik napas lega begitu mendengar jawaban Asma. Kenapa bisa terpikir aku akan di bunuh olehnya dasar bodoh.--"Aneh, ada orang mau pindah kemari kenapa harus bilang padaku. Dasar RT tolol bikin susah orang aja.Aku yang baru pulang dari rumah pak RT, jadi makin susah karena harus jalan kaki sendirian."Jadi kau tak dengarkan dulu penjelasan pak RT, Mas. Mana mungkin tak penting kalau dia minta kau datang, walau hanya untuk memberitahu soal warga baru yang mau pindah."Dasar Asma bodoh mana mungkin dia bisa jadi pintar. Memangnya apa hubungannya denganku kalau ada warga baru, aku bukan lurah juga tak ada jabatan sebagai aparat desa."Karena itu seharusnya kau dengar sampai habis penjelasan pak RT jangan main pergi saja, Mas."Aku menatap Asma kenapa dia jadi nyolot gitu. Sudah di bilang tak penting masih tak
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari