Saat sedang menikmati sarapan, aku mendengar suara yang jelas kalau itu suara Asma. Mau apa dia kemari? Bukankah tadi dia kembali tidur, karena tak bisa masak dengan uang sepuluh ribu.
Ibu dan mbak Ani bergegas keluar menemui Asma, sedangkan aku lebih memilih menikmati sarapan daripada melihat wajah Asma.
"Kenapa kau bawa baju kotor Alam kemari? Jangan bilang kau minta ibu mencucikan baju suamimu juga!?"
Aku terkejut mendengar teriakan mbak Ani. Mau apa lagi pagi-pagi Asma datang membuat keributan di rumah ibu. Aku segera keluar untuk melihat apa yang di lakukan oleh istriku.
"Asma mau apa kau kemari dan kenapa kau bawa semua baju kotorku kemari?"
Asma tak menjawab, dia hanya meletakkan plastik berisi baju kotor, lalu memberikan uang sepuluh ribu pada ibu yang berdiri di samping mbak Ani.
"Ini uang dari mas Alam. Semoga bisa buat beli detergen untuk mencuci baju kotornya, aku tak perlu dinafkahi lagi, asal jangan minta aku melayaninya."
Asma menatap kami semua, lalu masuk menyambar kunci motor yang tadi aku letakkan di atas meja ruang tamu. Tanpa pamitan dia segera keluar begitu saja, namun dia berhenti saat aku menghadangnya.
"Aku mau pergi kerja, mau kau bawa kemana motor itu?"
Asma menatap kunci di tangannya. Lalu tersenyum kearahku, jelas terlihat senyum sinis di bibirnya. Entah apa yang dia pikirkan kali ini, kenapa aku merasa akan terjadi sesuatu padaku.
"Motor ini milikku yang sudah ada sebelum kita menikah. Sekarang mau aku pakai cari kerja, silahkan kau minta di layani oleh ibu dan iparmu, aku sudah tak perduli lagi."
Asma mendorong tubuhku dan bergegas pergi begitu saja. Aku mematung karena tak menyangka, Asma bisa semarah itu.
"Kejar dia dan ambil motor itu untuk kau kerja, Lam!"
Aku terkejut mendengar teriakan ibu. Sehingga membuatku berlari mengejar Asma. Tapi wanita itu sudah menghilang bersama motornya, sejak gadis dia memang ugal-ugalan kalau naik motor, jadi tak heran kalau dalam waktu sekejab dia sudah menghilang dari halaman rumah ibu.
"Kalau begini kau mau kerja pakai apa, Lam? Ini sudah siang kau bisa terlambat masuk kantor."
Mbak Ani benar, aku harus cari cara untuk pergi kerja karena motor sudah di bawa pergi oleh Asma. Istri kurang ajar kalau begini aku juga yang susah.
"Sudah kau pergi naik ojek saja daripada telat, bisa membuat kinerja mu tak baik di mata pimpinan mu."
Aku segera pergi ke pangkalan ojek. Lebih baik susah sedikit daripada telat masuk kantor. Nanti pulang kerja aku akan buat perhitungan dengan Asma, berani sekali dia mempermalukan aku di depan mbak Ani.
"Naik ojek memangnya motormu kemana, Lam?"
Baru juga mencoba meredam emosi, rekan kerjaku datang dan bertanya pertanyaan yang bikin pusing.
"Rusak lagi diperbaiki tuh di bengkel."
Untuk menutup rasa malu aku memilih berbohong, daripada malu, kalau orang tau motor di ambil Asma karena itu miliknya.
"Rusak ya tapi anehnya tadi aku melihat Asma naik motor mu ke rumah bang Ramlan. Aku rasa dia hendak menjual motor itu, karena terdengar mereka tawar-menawar."
Asma ke rumah orang yang terkenal punya usaha jual-beli motor bekas. Apa mungkin dia berniat menjual motor itu? Kurang ajar ini tak bisa di biarkan.
"Kau salah lihat kali, Asma tak mungkin menjual motor yang aku gunakan kerja setiap hari."
Teman kerjaku tertawa membuatku semakin kesal, karena terdengar tawanya seolah mengejek. Semua ini karena ulah Asma dia benar-benar membuat suaminya malu.
"Semoga saja aku salah, karena kalau benar, mungkin saat ini Asma sudah mulai pintar. Dia tak lagi bisa di bodohi orang lain, terutama suaminya."
Aku terkejut apa maksud ucapan pria di depanku ini. Dia seolah mengetahui banyak hal tentang istriku, apa mungkin mereka punya hubungan, tapi kapan dia mulai kenal Asma?
"Tunggu dulu apa maksudmu dengan di bodohi, siapa yang membodohi istriku?"
Pria itu berhenti setelah aku cekal tangannya. Dia tersenyum dan menepis tanganku dengan kasar.
"Tentu saja di bodohi oleh para benalu. Semoga saja dia benar-benar sadar, karena dia berhak bahagia meski tanpa benalu."
Pria ini berkata seolah aku serta ibu adalah benalu. Berani benar dia menghina dan mencampuri rumah tanggaku. Dia harus diberi pelajaran agar tau diri.
Bug ....
Aku memberinya bogem mentah. Karena tak bisa lagi menahan kesabaran, karena pria ini berbicara tentang istriku, dia bahkan berani menyebut benalu. Tau apa dia pada hubungan pernikahan orang lain.
"Tutup mulutmu kau tak berhak ikut campur, memangnya sejak kapan kau kenal Asma?
Sepertinya aku tak pernah memperkenalkannya padamu. Begitu juga pada rekan kerja yang lainnya, jangan-jangan kau ada main dengan Asma?"
Bukannya menjawab pria itu tertawa, membuatku semakin heran padanya. Apa mungkin dia mulai gila atau justru tergila-gila pada istriku. Dengan menahan sakit dia bergegas masuk ke kantor. Sedangkan aku kebingungan mau masuk atau pulang saja.
"Ijin pulang memangnya kau ada urusan apa, Lam? Tadi aku lihat kau ribut dengan Bagus. Ada masalah apa dengan kalian berdua?"
Aku tak mungkin mengatakan tentang keributan kami, malu kalau aku ketahuan cemburu pada pria itu. Karena dia mengetahui banyak hal tentang Asma istriku. Selain cerewet ternyata Asma juga penggoda, dia pasti mengoda banyak pria di belakang suaminya.
"Hanya salah paham saja, Pak. Tapi saya benar-benar ada urusan keluarga, tolong ijinkan saya pulang, bukankah selama ini saya jarang ijin ataupun cuti?"
Aku menunjukan wajah memelas, agar pria itu mengijinkan aku pulang. Urusan dengan Asma harus segera di bereskan. Dia harus menjelaskan kenapa ke rumah bang Ramlan.
"Baiklah kau bisa pulang tapi besok harus masuk, aku tak bisa memberimu ijin lebih dari sehari."
Aku bergegas pergi setelah mengucapkan terima kasih. Di ruang pegawai aku bertemu Bagus yang tersenyum kearahku. Asma harus menjelaskan apa maksud semua ini. Dia juga harus memberitahuku, ada hubungan apa dia dengan Bagus.
"Kenapa kau sudah pulang di jam segini, Lam?"
Ibu menatap ku heran, karena tak mungkin aku pulang secepat ini, kecuali memang tak masuk kerja.
"Alam ijin tak masuk, Bu. Mana baju kotor yang di bawa Asma tadi? Dia harus mencucinya. Karena itu tugasnya sebagai istri bukan lagi tugas ibu."
Ibu menunjuk bungkusan plastik yang masih teronggok di sudut dapur. Aku ambil dan membawanya pulang, agar dicuci Asma di rumah.
"Asma buka pintunya!"
Aku berteriak tapi tak terlihat tanda-tanda orang di dalam rumah. Bahkan motor juga tak terlihat di halaman, kemana sebenarnya Asma pergi.
"Asma pergi bawa bungkusan tadi, Lam. Sampai sekarang dia belum pulang, mungkin mau ke laundry karena aku lihat plastik itu isinya baju."
Jadi sejak ke rumah ibu dan mengambil motor, dia memang belum pulang. Gawat kalau dia benar menjual motor itu, bisa jadi banyak pengeluaran kalau setiap hari naik ojek.
"Terima kasih mbak mungkin dia ke rumah ibu numpang nyuci."
Kembali aku berbohong agar tak banyak pertanyaan. Wanita ini terkenal tukang gosip, bisa habis kalau dia tau Asma menjual motor karena marah padaku.
"Aneh dia kan biasa mencuci tangan, lagipula sejak kapan ibumu baik pada Asma. Yakin dia diijinkan minjam mesin cuci ibumu?"
Kurang ajar sekali mulut perempuan ini. Kalau tak ingat perempuan, sudah ku hajar juga mulut lemesnya.
"Sudahlah itu bukan urusanmu, mau baik atau tidak tak usah ikut campur."
Aku berkata ketus membuat wanita itu pergi sambil mengomel panjang lebar. Aku lihat dia sudah duduk di warung, bersama beberapa orang wanita yang menatapku dengan aneh.
Pasti Asma juga seperti mereka, saat aku sibuk kerja dia sibuk bergosip ria. Dasar perempuan-perempuan kerak neraka. Tapi kemana Asma pergi. Kenapa sampai sekarang dia belum juga pulang. Istri kurang ajar itu harus diberi pelajaran, agar tak bertingkah seperti ini lagi.
Setelah seharian menunggu akhirnya Asma pulang. Tapi dia tak membawa motornya, dimana dia meletakkan benda itu. Aku harus bertanya padanya."Kau
"Kau yakin memberi kesempatan pada, Alam?"Sialan semua orang seolah berharap Asma bercerai dariku. Apa mereka lupa, dosa jika menghancurkan pernikahan orang lain."Tolong biarkan Asma berpikir dengan jernih. Jangan kalian pengaruhi terus dia, ingat dosa karena meminta seorang wanita bercerai dari suaminya."Aku tersenyum karena mereka semua terdiam setelah aku berkata tentang dosa. Syukurlah mereka paham dan mengerti, kalau aku dan Asma tak seharusnya bercerai."Kau paham tentang dosa, tapi kau lupa menzolimi istri juga termasuk dosa, Alam!"Bagus berteriak padaku sebenarnya siapa dia, dan kenapa selalu ikut campur urusanku dengan Asma? Heran dia seolah begitu perduli pada istriku. Apa benar dia punya perasaan lebih pada Asma?"Aku tau tapi tadi kan sudah minta maaf, kenapa kau terus nyolot apa kau memang mencintai asma juga?"Bagus melotot dia menatap istrinya. Seolah ucapan ku akan menyakiti wanita itu, kalau benar dia mencintai Asma kan bagus biar istrinya tau."Kau."Bagus menujuk
"Ini seratus ribu, aku harap kau yakin kalau aku berniat berubah."Asma tak bersuara dia masih asyik dengan sayuran di depannya. Setelah menjual
"Dasar perempuan serakah kau berani menguasai uang, Alam. Dia anak lelakiku, mana bisa kau buat dia melupakan ibunya." Aku baru saja pulang kerja, belum juga turun dari motor tukang ojek. Sudah dihadapkan pada pemandangan luar biasa di depan rumahku. Banyak warga melihat ibu yang berteriak pada Asma. "Ada apa lagi ini, kenapa kalian tak bisa akur sehari saja?" Aku sudah tak tahan lagi melihat ibu dan Asma yang terus saja ribut pasti ini perkara uang lagi. "Bagus itu anak lelakimu, ibu bisa bicara dengannya. Aku mau masuk memeriksa belanjaan hari ini." Asma melengang masuk ke rumah, darimana dia seharian, karena aku melihatnya baru membuka kunci rumah. "Kau lihat Alam, betapa kurang ajarnya istrimu itu. Dia bahkan baru pulang setelah menghabiskan uangmu." Ibu bilang menghabiskan uang, sedangkan aku hanya memberi asma satu jut
"Dua juta mbak, buat apa uang sebanyak itu?"Aku terkejut saat mendengar mbak Ani mau meminjam uang lagi padaku. Apa dia tak tau aku saja sampai rela memakai ponsel yang retak layarnya demi berhemat. Dia dengan enaknya pinjam lagi."Mbak mau coba buka usaha, Lam. Kasihan Adit kalau ibunya tak punya uang saat dia ingin jajan, sedangkan kau sudah jarang memberinya uang walau hanya lima ribu perak."Aku menarik napas kenapa sekarang semua masalah yang datang tak jauh dari uang. Sedangkan Asma benar-benar menguji kesabaran ku akhir-akhir ini."Maaf mbak tapi aku memang tak punya uang, kalau tak percaya lihat ini. Ponselku retak tapi sampai sekarang belum bisa memperbaikinya."Mbak Ani menatap ponselku tapi sepertinya dia tak percaya. Matanya justru melihat kearah rumahku, jangan bilang dia mau minta aku pinjam ke Asma, bisa perang dunia lagi."Aku pergi dulu, Mbak. Maaf tak bisa lagi memberi pinjaman."Aku bergegas pergi ker
Ting....Belum juga sampai pangkalan ojek, sudah ada pesan masuk ke ponselku. Dari siapa lagi kalau bukan dari ibu.(Terserah aku tak mau tau, Bu. Sudah aku ingatkan jangan menganggu Asma tapi mbak Ani membandel.)Aku segera membalas pesan ibu yang bertanya, kenapa aku membiarkan Asma memangkas rambut menantunya.(Tapi gak gini juga, Lam. Ani bisa melaporkan istrimu ke polisi.)Bodoh lapor polisi memangnya semudah itu, butuh uang dan tenaga sebelum menangkap seseorang.(Silahkan kalau mbak Ani punya uang dan sanggup bolak-balik ke kantor polisi.)Aku menarik napas lega, karena tak ada lagi balasan dari ibu. Pasti saat ini mbak Ani sedang meratapi nasibnya, karena tak bisa melawan Asma."Mas, ojek."Aku segera naik ojek setelah sampai di pangkalan. Setelah drama tadi, akhirnya aku sampai juga ke kantor.Miris aku justru merasa tenang ketika berada di kantor, sementara sebagian besar orang akan tenang dan nyaman ketika sampai di rumah bersama keluarga
"Kenapa terkejut, Mas? Aku hanya mau bilang, kipas angin di kamar mati, percuma kau kekamar pasti kegerahan lagi."Setelah itu aku menarik napas lega begitu mendengar jawaban Asma. Kenapa bisa terpikir aku akan di bunuh olehnya dasar bodoh.--"Aneh, ada orang mau pindah kemari kenapa harus bilang padaku. Dasar RT tolol bikin susah orang aja.Aku yang baru pulang dari rumah pak RT, jadi makin susah karena harus jalan kaki sendirian."Jadi kau tak dengarkan dulu penjelasan pak RT, Mas. Mana mungkin tak penting kalau dia minta kau datang, walau hanya untuk memberitahu soal warga baru yang mau pindah."Dasar Asma bodoh mana mungkin dia bisa jadi pintar. Memangnya apa hubungannya denganku kalau ada warga baru, aku bukan lurah juga tak ada jabatan sebagai aparat desa."Karena itu seharusnya kau dengar sampai habis penjelasan pak RT jangan main pergi saja, Mas."Aku menatap Asma kenapa dia jadi nyolot gitu. Sudah di bilang tak penting masih tak
Aku segera menghidupkan lampu dan berusaha menetralkan detak jantung yang berdetak sangat kencang. Bukan karena cinta ataupun nafsu tapi karena takut."Tak perlu takut sampai melompat begitu, Mas. Aku hanya mau bilang sebentar lagi gajian, jangan lupa semuanya serahkan padaku."Dasar perempuan setan serakah, dia tau besok aku gajian, menakuti hanya untuk menagih janjiku kemarin."Tak bisa semua, aku harus memberi ibu juga, Asma.""Berikan semuanya biar aku yang memberi ke ibumu, agar dia tau kalau ada menantu yang memberinya uang, meski tetap saja uang anaknya."Bicara dengan Asma benar-benar tak bisa menang. Lebih baik aku diam dan menuruti kemauannya biar aman."Kalau begitu terserah kau saja, yang penting ibu tak mengangguku dengan permintaannya soal uang. Kasih juga mbak Ani anggap sedekah ke janda."Asma berbalik dia yang akan masuk ke kamar, kini kembali berbalik dan menatap kearahku."Kalau aku menjadi j
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari