Menggengam handle pintu, memutarnya perlahan dan ternyata pintu dikunci dari dalam. Suara-suara aneh itu makin terdengar nyaring membuat diri ini semakin penasaran dibuatnya. Kugerak-gerakkan gagang pintu dengan sekuat tenaga, hingga akhirnya suara riuh di dalam sana mereda.
"Lagi ngapain, Mas?" Berjingkat kaget ketika tiba-tiba Reta sudah berdiri di belakangku. "Tadi ada suara aneh di dalam. Seperti orang sedang bercinta. Tapi pintunya dikunci dari dalam!" jawabku sembari menelisik tubuh reta yang terlihat agak berantakan, juga keringat membasahi sekujur tubuhnya. "Mobil siapa di depan, Ta. Apa kamu menerima tamu orang asing ketika aku tidak ada?" Menatap menyelidik. "Te–temen, Mas. Dia datang bersama pacarnya ke sini. Mereka ada di dalam kamar. Mungkin tadi suara mereka berdua lagi gitu-gituan." Dia menyahut gelagapan. Seperti ada yang sedang dia sembunyikan dariku. "Kamu kenapa keringetan begitu. Memangnya AC kamar kita mati?" "Habis olah raga malam, Mas. Tadi nggak bisa tidur karena nggak ada kamu di sini!" Dia melingkarkan tangan di pinggang. Tapi, kenapa tubuh perempuan ini bau sekali rokok. Padahal setahuku di dalam rumah ini tidak ada yang merokok. Pun dengan diriku. Dia juga kenapa tiba-tiba rajin olahraga. Bukannya Reta itu begitu malas mengolah fisik, apalagi sudah tengah malam seperti ini. Ah, sudahlah. Tubuhku terlalu lelah untuk memikirkan hal tidak penting seperti itu. Menghempaskan bobot di atas kasur, membenamkan tubuh yang terasa menggigil ke dalam selimut. Rasa kantuk yang sudah tidak bisa aku tahan membuat diriku langsung terlelap, hingga mengabaikan Reta yang terus saja menggoda. *** Mentari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai yang sedikit terbuka. Suara nyanyian burung terdengar nyaring, membangunkanku dari tidur lelap. Menggeser tangan ke samping, ternyata Reta sudah terlebih dahulu bangun. Tumben. Biasanya dia baru akan membuka mata jika jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh pagi. Pelan-pelan turun dari tempat tidur, mematikan air conditioner kemudian masuk ke dalam kamar mandi membasuh tubuh yang terasa kaku. Guyuran air hangat yang menimpa kulit membuatku sedikit tenang, sesaat bisa melupakan segala duka yang menelusup ke dalam relung sukma. Sial. Aku lupa membawa handuk. Tidak mungkinkan keluar dari toilet dengan keadaan seperti ini. Luna bagaimana, sih. Kenapa dia sampai lupa menyiapkan handuk di kamar mandi. "Luna...Lun. Mana handuknya?!" teriakku dari dalam kamar mandi seperti biasa. Hening. Kenapa Luna lama sekali? Dasar lamban! Mendengus kesal, berteriak sekali lagi dan dia tidak kunjung muncul. "Luna!" Kali ini lebih mengeraskan nada bicara. Pintu terkuak lebar. Sesosok wanita dengan dress mini berkacak pinggang di muka pintu, menatap nyalang ke arahku sambil mengomel. Kenapa malah Reta yang datang. Padahal, aku memanggil Luna. "Ada apa sih, Mas? Pagi-pagi sudah teriak-teriak manggilin Luna. Dia sudah mati!" sungutnya sembari menyilangkan tangan di dada. "Mau minta tolong ambil handuk, Ta. Mas tadi lupa bawa," jawabku lemas, kembali merasa ada yang sedang menyayat-nyayat hati ini. "Kan kamu punya kaki, punya tangan, tinggal jalan sebentar ke lemari, kenapa harus manggil-manggil orang yang sudah mati!" Dia terus saja marah-marah. Mungkin cemburu karena aku menyebut nama Luna di depannya. "Nanti lantainya basah, Ta. Lagian, biasakan setiap Mas mandi Luna selalu menyiapkan perlengkapan Mas, dari A sampai Z." "Terus saja sebut-sebut nama Luna!" Reta masih saja bersungut-sungut. Ia lalu beranjak pergi, mengambil handuk milikku kemudian melemparkannya begitu saja ke tubuh ini. Ya Tuhan. Luna tidak pernah berbuat seperti itu kepadaku. Dia selalu sopan, menghargaiku juga tidak pernah meninggikan nada bicara di depan suami. Dia selalu lemah lembut. Berbanding terbalik dengan Reta yang selalu marah-marah dan tidak pernah mau menyiapkan segala keperluanku. Membuka lemari perlahan, mengambil kemeja kerja juga celana panjang. "Sini, Mas biar aku bantu kancingkan baju sama pakaikan dasi." Luna selalu menghampiri dan membantuku tanpa aku minta, walaupun jujur aku sangat benci jika dia melakukan hal itu kepadaku. Tapi, kenapa sekarang aku jadi rindu? Tuhan. Jangan siksa aku dengan perasaan seperti ini. Aku tidak sanggup. Selesai berpakaian rapi, gegas diriku turun ke lantai bawah karena perut sudah terasa sangat lapar. Pasti Reta sudah menyiapkan makanan untukku. Dan ketika membuka tudung saji, hanya ada piring kosong yang teronggok di atas meja. Tidak ada makanan sedikit pun, apalagi teh hangat seperti yang biasanya Luna siapkan. "Reta, Sayang...," panggilku selembut mungkin. Reta yang masih terlihat kesal menghampiri dengan wajah masam. Dia lalu membanting bokong dengan kasar di kursi, menopang dagunya dengan telapak tangan sambil menggerutu. Harusnya aku yang menggerutu karena sudah sesiang ini tapi belum ada makanan yang terhidang di meja makan. "Kenapa tidak ada sarapan, sayang?" Aku bertanya dengan tatapan tidak lepas dari wajahnya. "Sarapan di kantor saja, Mas. Jam segini mana ada makanan lewat. Kalau nunggu delivery online juga suka lama." "Ya sudah. Besok-besok kalo Mas lagi main ke sini, jangan lupa masak buat, Mas. Biar Mas betah tinggal di sini." "Memangnya kamu mau pulang ke rumah kamu yang lama lagi? Kenapa tidak tinggal di sini saja. Kan Luna sudah nggak ada. Dia Sudah mati. Kenapa musti pulang ke rumah dia?" "Luna belum mati, Reta. Dia masih hidup. Dia hanya sedang tidur. Kalau kamu membencinya dan merasa tersaingi, kamu seharusnya bisa dong jadi seperti dia. Bisa masak, mau menyiapkan semua keperluan suami, bukan hanya merongrong uangnya saja!" Menggebrak meja, meninggikan nada suara beberapa oktaf hingga membuat mata wanita yang ada di hadapanku langsung terlihat berkaca-kaca. Kilat ketakutan tergambar jelas di wajah cantik Reta, membuat aku tidak tega. Menguyar rambut frustasi karena terus saja memikirkan Luna. Belum ikhlas kehilangan dia, juga selalu merasa kalau dia masih ada. Rasa ini benar-benar menyiksa. "Maaf, Reta. Mas tidak bermaksud membentak kamu. Mas hanya sedang frustasi dan sedih karena kehilangan Luna." Lirih aku berujar, meraup wajah mengusap air mata yang lolos begitu saja tanpa permisi. "Kamu berubah, Mas. Kamu nggak cinta lagi sama aku." Dia terisak sambil menunduk. "Sekali lagi Mas minta maaf. Mas tidak akan mengulanginya lagi." Menggengam erat jemari reta, mencium punggung tangannya penuh dengan penyesalan. "Oke. Aku nggak bakalan marah, asal Mas beliin aku mobil baru. Bosan pake mobil yang lama. Sudah nggak enak dipake. Mobil yang lama mau aku kasih ke temen. Kasihan dia nggak ada kendaraan." Aku mengambil napas berat. Setiap kali merajuk pasti ada saja yang dia minta. Berbeda dengan Luna, dia akan selalu meminta maaf walaupun sebenarnya akulah yang membuat kesalahan. Seperti langit dan bumi perbedaannya. Astaga... Kenapa baru sekarang aku merasakan perbedaan itu. Kenapa tidak dari dulu ketika Luna masih ada, supaya bisa memperbaiki diri dan menjaga keutuhan rumah tangga yang telah kami bina. "Gimana, Mas?" Dia melingkarkan tangan di pinggang. "Nanti aku pikir-pikir dulu. Soalnya perusahaan sedang pailit. Aku nggak bisa mengeluarkan uang begitu saja, karena pasti Papa akan curiga. Sekarang sudah tidak ada alasan lagi untuk menggunakan uang perusahaan dengan jumlah yang banyak. Kalau dulu kan masih ada Luna. Jadi, aku masih bisa memberi alasan Papa kalau dia menginginkan sesuatu," terangku panjang lebar. "Pokoknya aku mau mobil baru. Kalau kamu nggak beliin, aku bakalan pulang ke rumah orang tua aku!" Reta menghentakkan kaki di permukaan lantai, persis seperti bocah yang sedang merajuk. "Jangan merajuk seperti itu. Nanti juga Mas beliin." Mencium puncak kepalanya dan segera pamit ke kantor. Lagi, mataku memicing ketika melihat tanda merah di leher istri siriku. Jejak gigitan manusia yang tidak pernah aku lakukan di area itu, sebab lebih suka melakukannya di tempat yang tertutup. Tidak malu jika dilihat oleh orang. "Sudah siang, Mas. Ayo jalan. Nanti kalau terlambat masuk ke kantor, bisa dimarahi sama Papa mertua kamu." Dia mendorong tubuhku perlahan, menyuruhku segera berangkat untuk bekerja. Menyambar kunci, membuka pintu mobil lalu segera masuk ke dalam kendaraan roda empat tersebut dan menyalakan mesinya membawanya menjauh dari pekarangan rumah. Karena penasaran aku menepikan mobilku beberapa ratus meter dari istana tempat tinggalku bersama Reta, ingin tahu kenapa dia menginginkan aku cepat-cepat pergi. Sebuah mobil berwarna silver yang semalam terparkir kembali masuk ke halaman. Reta tampak menyambut sang pemilik mobil dengan ramah, mengandeng mesra laki-laki berperawakan kurus itu masuk ke dalam rumah. Lamat-lamat aku melihat dia mencium mesra pipi istriku, membuat dadaku terasa panas, bagai ada api yang sedang berkobar dan siap menghanguskan. Awas saja kalian berdua!Dari kejauhan, aku melihat Reta menutup rapat pintu rumah. Membuat api cemburu di hati kian menyala-nyala, ingin segera menghampiri juga memberi pelajaran kepada mereka berdua.Dengan emosi sudah meluap-luap berjalan mengendap masuk. Reta memang selalu ceroboh. Tidak pernah mengunci pintu garasi. Memutar knop pintu, berjalan mengendap masuk mencari mereka berdua di kamar tamu. Kosong. Dengan dada bergemuruh hebat menaiki tangga menuju kamar utama, mencoba membuka pintu tetapi dikunci dari dalam. Aku tidak mau mengetuk atau memanggil. Ingin memergoki apa yang sedang mereka lakukan, supaya bisa mengambil tindakan tegas kepada keduanya.Dengan dibantu satpam komplek aku mendobrak pintu kamar utama. Aku sengaja meminta scurity untuk membantu, karena tenaga ini tidak terlalu kuat. Mataku seketika memanas. Terlebih lagi hati yang seperti sedang dicacah-cacah, melihat adegan menjijikkan yang sedang mereka lakukan di tempat peraduan kami. Aku tidak menyangka kalau ternyata Reta sudah berb
"Fatur. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Papa lagi."I–iya, Pa. Nanti aku cari dulu ya. Soalnya, aku nggak tahu di mana Luna menyimpan kalungnya," jawabku gelagapan."Sudahlah, Pa. Kita ngurusin masalah begituannya nanti saja. Kita ini masih dalam keadaan berkabung," sambung Mama membuat diri ini sedikit bernapas lega."Betul juga, Mas Atmojo. Sementara kita fokus dulu sama kesehatan cucu kita." Bunda ikut menimpali."Betul juga apa yang kalian ucapkan. Kita urus masalah peninggalan Luna nanti setelah tujuh harian dia." "Yasudah, sekarang kita ke rumah sakit dulu. Kasihan dedek bayi sendirian di sana." Mama dan Bunda berdiri, diikuti oleh Papa kemudian mereka segera pamit pulang."Mas, ini kunci rumahnya. Aku juga permisi pulang!" Lani menyodorkan kunci rumah dengan bandul bentuk hati, berukiran hurf L dan F. Ah, Luna agak sedikit berlebihan. Gantungan kunci saja sampai dia ukir inisial nama kami.Rumah terasa sunyi ketika semua anggota keluarga pergi membesuk putriku. Aku duduk se
"Kamu berani mengancam?" Mencengkram rahangnya sekuat tenaga, hingga dia meringis kesakitan."Kalau kamu berani mengadukan perbuatanku selama ini kepada papanya Luna, aku akan menjatuhkan talak tigaku kepada kamu, Reta!" Aku mengancam balik."Sakit, Mas!" pekiknya seraya menitikkan air mata.Aku melepaskan cengkraman kemudian mencari buku pemilik kendaraan bermotor itu di laci lemari juga meja rias. Kosong. Tidak menemukan apa-apa di dalam sana, hanya ada beberapa kotak kontrasepsi yang dia simpan. Satu lagi rahasia Reta terbongkar. Ternyata selama ini dia tidak hanya berbagi raga dengan pria yang kemarin sedang bersamanya, melainkan dengan banyak laki-laki. Terbukti dengan penemuan kontrasepsi di laci lemari, dan selama ini aku tidak pernah menggunakan benda seperti itu saat tubuh kami menyatu. Sesal tiada bertepi karena sudah menyia-nyiakan berlian hanya demi serpihan kaca, yang diam-diam menusuk juga melukai."Di mana kamu simpan BPKB itu, Reta?!" sentakku seraya menatap sinis waj
Membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjap, menyesuaikan cahaya yang terasa begitu menyilaukan mata. Terus mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan bernuansa serba putih, dengan bau khas obat-obatan. Seulas senyum tergambar di bibir Bunda yang dipoles lipstik berwarna merah menyala, dengan mata menatap sendu wajah ini."Kamu sudah bangun, Tur?" tanya Bunda seraya mengusap lembut rambutku."Kenapa aku ada di rumah sakit, Bun?" Aku balik bertanya, menatap wanita yang telah melahirkanku tiga puluh tahun yang lalu dengan mimik bingung."Tadi Sultan dan Lani yang membawa kamu ke rumah sakit. Katanya kamu pingsan di pemakaman." Terang Bunda, mata bulat dengan bulu mata lentik tersebut tidak lepas dari wajahku."Luna mana, Bun. Tadi aku lihat dia sedang tidur di sana. Dia marah sama aku, Bun. Dia nggak mau maafin aku!" Menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan Luna, siapa tahu dia ikut mengantar ke rumah sakit.Kosong. Hanya ada Bunda di ruangan ini yang menemani. Sepertinya dia benar-b
"Nanti juga pasti aku akan menikahi kamu, Ta. Kamu yang sabar. Tunggu saja tanggal mainnya!" Mencolek pipi tirusnya, mendaratkan ciuman lalu kembali melayang mengarungi lautan dosa bersama.Ponsel di atas nakas terus saja menjerit-jerit. Ada panggilan masuk, mengganggu aktivitas yang sedang aku lakukan bersama Reta. Aku mengabaikan panggilan itu karena pasti Luna yang menghubungi. Dia kan overprotektif. Kemanapun aku pergi, pasti selalu dicari-cari.Setelah selesai menyalurkan hasrat biologis kepada Reta dan mentransfer sejumlah uang kepadanya, gegas aku pulang karena hari sudah cukup malam. Aku tidak mau Luna curiga kalau aku memiliki wanita lain yang bisa memuaskanku diluaran. Bisa mengadu sama Papa dan semua fasilitas bisa dicabut oleh lelaki tua itu. Aku tidak mau. Reta pasti tidak akan mau lagi menjalin hubungan dengan diri ini, kalau aku tidak memiliki uang.Membuka pintu rumah, disambut oleh Luna dengan penampilan seksi, menggunakan lingerie merah muda serta dandanan cantik wa
"Mbak Suci. Tolong bawa Fatur keluar dari ruangan ini!" Titah Papa sambil menatap nanar ke arah tembok.Aku tahu dia sangat kecewa sekaligus murka. Aku akan terima hukuman ini, Papa."Baik, Mas Atmojo!" Tanpa mendebat Bunda langsung mendorong kursi rodaku keluar dari ruang NICU.Menoleh sekali lagi. Menatap peri kecilku yang belum jua membuka mata. Aku lihat bahu Papa bergerak naik turun. Sepertinya dia sedang menangis. 'Maafkan aku, Papa. Maaf karena sudah membuat Papa kecewa. Izinkan aku untuk menebus segala dosaku, dengan merawat serta membesarkan putriku.' Bergumam sendiri dalam hati, merasakan rasa bersalah yang selalu menyergap hati."Kamu yang sabar ya, Tur. Mungkin Papa mertua kamu sedang banyak pikiran. Makanya dia marah-marah seperti itu sama kamu." Dengan lembut Bunda mengusap bahuku.Ah, andai saja Bunda tahu kalau selama ini aku sudah jahat kepada menantunya. Kalau saja dia tahu kalau diriku telah menikahi Margareta, wanita yang paling Bunda tidak sukai di muka bumi ini.
"Maaf, Pak Ngadiman. Bapak tahu kan siapa saya? Saya ini menantunya Pak Atmojo. Saya manajer di perusahaan ini. Bapak jangan menghalangi saya masuk, atau nanti Bapak saya pecat!" Gertakku, akan tetapi tidak membuat lelaki berkulit gelap itu gentar. Dia terus saja menghalangi jalanku, bahkan menutup gerbang dan menguncinya dari dalam. Sial! Kenapa semuanya jadi seperti ini?"Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Saya hanya menjalankan tugas dari Pak Bos. Kalau saya melanggar, saya takut dipecat." Pria berseragam serba hitam itu melenggang masuk dan kembali berjaga di pos satpam.Merogoh saku celana, mencoba menghubungi Papa ingin menuntut penjelasan darinya. Tersambung, tetapi tidak kunjung ada jawaban. Sepertinya Papa sengaja mengabaikan panggilanku.Dengan perasaan dongkol beranjak menjauh dari halaman kantor Papa, mencari ojek online berniat mengambil mobil yang dibawa Sultan untuk mengantar Lani. Takut dikuasai bocah itu jika lama-lama aku dibiarkan berada di rumah orang tuanya Luna.
Awas saja kalian. Aku akan membuat perhitungan kepada kalian semua. Aku pastikan, semua orang yang berani mengganggu hidupku juga mempermalukan aku akan menanggung akibatnya. Termasuk si Sultan yang sok tampan itu."Mari, silahkan masuk!" Ucap salah satu orang petugas sambil membukan pintu mobil untukku."Kalian pikir saya ini gila, hah?! Saya masih waras. Kenapa musti dibawa ke rumah sakit jiwa!" Sentakku seraya menepis tangan lelaki jangkung yang terus saja memegangi."Maaf, Pak. Saya hanya menuruti perintah Pak Atmojo."Lagi-lagi Papa biang keroknya.Mendengkus kesal, berjalan menjauhi mobil ambulance sambil menggerutu. Enak saja dibilang orang gila. Mereka mungkin yang gila. Gila harta. Sebab, semua yang aku miliki mereka ambil. Terlalu serakah Papa mertuaku memang.Lagi dan lagi, aku harus menelan pil kecewa karena perlakuan Papa. Tadi di kantor aku dipermalukan. Dicegat scurity dan tidak diperbolehkan masuk. Sekarang, ketik
Setelah tamunya pergi, dengan kasar Atmojo membanting badan di atas sofa. Memijat kepala yang terasa berdenyut nyeri, sambil mencoba meredam emosi yang kian meninggi.'Fatur. Semua penyebabnya adalah Fatur. Kalau dia tidak melecehkan Lani, mungkin semua tidak akan seperti ini. Sialan. Kurang ajar memang itu anak!" Atmojo kembali meninju meja, tidak memperdulikan punggung tangannya yang terasa nyeri serta memar.Dengan amarah yang kian membuncah dia keluar dari rumah. Meminta supir pribadinya untuk mengantar dia ke kantor polisi, ingin memberi pelajaran kepada menantunya yang perlahan mulai dia benci.Sepanjang jalan umpatan-umpatan terhadap Fatur terus saja meluncur dari mulut Atmojo. Rasanya hanya dengan mengumpat saja dia belum merasa puas. Ingin memberikan pelajaran lebih kepada suami mendiang anak sulungnya, supaya tidak lagi berulah serta membuat hidupnya menjadi susah.Mobil sedan berwarna putih menepi di parkiran sebuah kantor polisi. Atmoj
Di rumah sakit.Lani masuk ke dalam ruangan khusus didampingi oleh Faizah untuk menjalankan visum.Pertama. Lani menjalani pemeriksaan menyeluruh mulai dari tekanan darah, denyut nadi, bukti adanya tindak kekerasan, penularan penyakit kelamin, hingga pemeriksaan fisik. Setelah prosedur itu dilakukan, seorang dokter perempuan menyuruh Lani berbaring dengan posisi kaki ditekuk, persis seperti orang hendak melahirkan. Wajah Lani terlihat memucat serta ketakutan. Akan tetapi Faizah serta pihak penyidik terus saja meyakinkan dia kalau semuanya akan baik-baik saja. Lani harus menjalani serangkaian pemeriksaan susuai prosedur, supaya bisa menjadi bukti di persidangan nanti.Dokter berhijab putih yang memeriksa Lani mengerutkan dahi saat memeriksa bagian sensitif gadis itu. Sementara Lani, selain merasa takut dan trauma, ia juga merasa sangat malu karena harus memperlihatkan auratnya di depan orang lain."Maaf, Bu. Sepertinya tidak ada tanda-tan
POV AuthorLani duduk terpaku di atas ranjang, dengan mode masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Dia juga akan menjerit histeris jika Faizah atau perawat mengganti pakaiannya.Lani masih trauma. Dalam angan-angan selalu terbayang saat Fatur menjamah tubuhnya, mengambil mahkota paling berharga miliknya ketika dia sedang tidak sadarkan diri."Aku kotor, Ma. Aku sudah kotor!" Hanya kata itu yang selalu terucap dari mulut gadis berusia dua puluh tahun tersebut.Dia begitu terpukul dan syok. Pun dengan Faizah yang sejak kemarin menungguinya di rumah sakit, hingga lupa pulang ataupun sekedar beranjak sebentar dari ruangan itu. Ia tetap saja menunggui anaknya dengan setia, tidak tega meninggalkan Lani sendiri dalam keadaan terpuruk seperti ini.Sultan. Laki-laki yang selalu mengisi hari-hari Lani dengan cinta, memberi warna di bidup perempuan berzodiak Taurus itu, yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi indahnya setiap malam, tidak menampakkan d
Alisku bertaut mendengar jawaban Mbak Harti. Kenapa ada polisi datang ke rumah ini? Apa Papa yang melapor? Atau...Ah, dari pada terus menerka-nerka lebih baik kutemui mereka. Jika memang Papa melapor dan ingin memenjarakan aku, aku akan terima sebab aku memang salah.Dengan langkah hati-hati serta menahan nyeri berjalan menghampiri dua orang polisi itu, ingin tahu ada apa gerangan mereka bertamu tengah hari seperti ini."Selamat siang, Pak. Maaf kami mengganggu istirahat Bapak. Saya membawa surat penangkapan atas nama Bapak Fatur Ardiansyah, karena Pak Fatur terlibat kasus pelecehan seksual terhadap saudari Lani Vanessa Atmojo!" ucap salah satu dari mereka.Dua orang polisi itu langsung menghampiri, mengapit tanganku dan menarikku dengan kasar membawaku masuk ke dalam mobil patroli.Banyak pasang mata menyaksikan, berbisik sumbang karena mereka pikir aku ditangkap atas kasus kekerasan dalam rumah tangga yang kulakukan terhadap Reta.
#Kembali ke POV Fatur"Reta?" Mataku membulat sempurna menatap wanita yang sedang berdiri di muka pintu.Wajah Reta penuh dengan luka lebam seperti habis mengalami kekerasan fisik. Rambutnya yang biasa tergerai indah sudah dicukur habis dengan potongan tidak beraturan. Ada apa dengan wanita yang pernah menanamkan cinta begitu dalam di hatiku ini? Siapa yang telah melakukan kekerasan terhadap dia juga mencukur habis rambutnya yang selalu dia banggakan karena keindahannya. Apakah Rendi yang sudah melakukannya?"Mas!" Reta berjalan menghampiri dan bersimpuh sambil menangis tersedu."Aku minta maaf. Tolong terima aku kembali, Mas. Aku sangat mencintai kamu. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Mas. Tolong izinkan aku tinggal di rumah ini lagi. Aku janji tidak akan mengkhianati kamu dan akan menjadi istri yang baik!" pintanya mengiba.Aku mengangkat satu ujung bibir, sebab merasa yakin kalau air tangisannya saat ini hanya sandiwara belaka, supaya aku kasihan dan memberikan ampunan.Enak saja
"Aku tidak akan pernah memberi tahu di mana Fatur sekarang, Mas." Jawab Suci tidak merasa gentar sedikit pun."Suci, tolong beri tahu saya, di mana kamu dan Fatur sekarang ini?!" tekannya sekali lagi.Suci menggeser tombol merah mengakhiri panggilan secara sepihak, menonaktifkan ponselnya sebab dia tahu kalau Atmojo pasti akan melecak keberadaannya sekarang. Bukan niat dia melindungi orang yang salah. Tetapi, Suci begitu takut kalau Atmojo sampai kalap dan menghabisi nyawa putranya.Sambil mengusap air mata Suci melungguh di kursi depan ruang dimana Fatur sedang menjalani tindakan, setelah mengalami penusukkan di kakinya. Dia juga sangat menyayangkan tindakan Fatur yang sudah diluar batas juga tidak bermoral. 'Dengan cara apa aku harus menebus kesalahan Fatur terhadap Lani. Apa lebih baik aku mengajak Mas Atmojo dan Faizah untuk bertabayyun, membicarakan masalah ini secara baik-baik, supaya tida ada seorang tetangga pun yang tahu tentang kasus ini?' Suci berbicara sendiri di dalam ha
Melihat ayah mertuanya mengayunkan sebilah pisau, buru-buru Fatur beranjak menjauh. Namun naas, belum sempat dia lari. Atmojo sudah lebih dulu manancapkan ujung pisau di tangannya tepat mengenai betis Fatur.Lelaki berhidung bangir itu mengerang kesakitan, membuat suci yang sedang berdiri di muka pintu segera berlari menghampiri, menangis tergugu melihat anaknya meringis kesakitan dengan kaki bersimbah darah."Mas Atmojo, apa yang sudah Mas lakukan terhadap anak saya. Kenapa Mas kejam sekali?" pekik Suci seraya mencabut pisau yang menancap di kaki sang anak, mengambil kain untuk membalut luka tersebut dan segera menghubungi ambulance."Itu tidak seberapa dengan apa yang sudah dia lakukan terhadap putri saya, Suci. Dia sudah menyakiti hati Luna, sekarang dia malah berani menyentuh putriku hingga dia mengalami trauma. Manusia semacam Fatur itu tidak pantas dikasihani. Bahkan dia pantas mendapatkan lebih dari itu!" berang Atmojo sambil mengatur napas yang sudah tidak beraturan."Saya he
"Aku tidak pantas bersanding dengan Kak Sultan. Aku bukan wanita baik-baik. Aku audah kotor. Aku sudah tidak utuh, Ma!" Racau Lani sambil terus menyusut air mata. "Siapa yang melakukannya, Lani?" Suara Mama terdengar begitu syok."Ma–Mas Fatur!" Bagai mendengar suara petir yang menggelar, hati Sultan terasa sakit serta teriris mendapati kenyataan kalau calon istrinya sudah disentuh oleh laki-laki lain. Dia berjalan gontai menyusuri koridor rumah sakit, terus berpegangan tembok, sebab kakinya sudah terasa lemas tidak mampu menumpu tubuhnya.'Ya Allah, apa yang harus aku lakukan. Lani sudah ternoda. Apa kata keluargaku jika aku menikahi wanita yang sudah tidak lagi perawan. Ummi pasti akan membatalkan pernikahan ini jika mengetahui masalah yang tengah menimpa Lani.' Dia berbicara sendiri dalam hati, meremas dada yang terasa sakit seperti sedang disayat sembilu.Dengan perasaan hancur Sultan menuruni undakan rumah
Papa yang sedang duduk bersama Sultan segera berlari menghampiri Mama yang tiba-tiba berteriak. Dia segera membopong tubuh sang putri lalu lekas membawanya ke rumah sakit terdekat."Sebenarnya ada apa, Ma. Kenapa anak kamu bisa pingsan seperti ini?" Tanya Papa ketika mereka sudah berada di dalam mobil yang sedang dikemudikan oleh Sultan."Mama nggak tahu, Pa. Memang sejak tadi kelakuan Lani agak aneh. Dia kelihatan lagi ada masalah besar, tapi mencoba menyembunyikannya dari kita, Pa." Jawab Mama Lani sambil terus menepuk-nepuk pelan pipi putrinya.Sedangkan Sultan. Dia berusaha tetap fokus mengemudi walaupun sebenarnya dalam hati merasa sangat khawatir dengan keadaan si calon istri. Dia takut terjadi sesuatu terhadap Lani, apalagi sebelumnya dia mengatakan ingin membatalkan pernikahan. Hal itu membuat pria dengan garis wajah tersebut semakin yakin kalau Lani sedang memiliki masalah besar yang berusaha dia sembunyikan darinya.Mobil sedan berwarna putih ditepikan tepat di depan gedung