"Kamu berani mengancam?" Mencengkram rahangnya sekuat tenaga, hingga dia meringis kesakitan.
"Kalau kamu berani mengadukan perbuatanku selama ini kepada papanya Luna, aku akan menjatuhkan talak tigaku kepada kamu, Reta!" Aku mengancam balik. "Sakit, Mas!" pekiknya seraya menitikkan air mata. Aku melepaskan cengkraman kemudian mencari buku pemilik kendaraan bermotor itu di laci lemari juga meja rias. Kosong. Tidak menemukan apa-apa di dalam sana, hanya ada beberapa kotak kontrasepsi yang dia simpan. Satu lagi rahasia Reta terbongkar. Ternyata selama ini dia tidak hanya berbagi raga dengan pria yang kemarin sedang bersamanya, melainkan dengan banyak laki-laki. Terbukti dengan penemuan kontrasepsi di laci lemari, dan selama ini aku tidak pernah menggunakan benda seperti itu saat tubuh kami menyatu. Sesal tiada bertepi karena sudah menyia-nyiakan berlian hanya demi serpihan kaca, yang diam-diam menusuk juga melukai. "Di mana kamu simpan BPKB itu, Reta?!" sentakku seraya menatap sinis wajahnya yang sudah terlihat sembab serta kuyu. Hening. Dia tidak mau menjawab. Hanya suara isak tangis yang ia buat-buat yang terdengar. Karena tidak menemukan apa-apa di kamar utama, aku kemudian mencoba mencari BPKB itu di kamar tamu. Namun, saat aku hendak menuju ke kamar tersebut, Reta malah mencegah dan menghadangku. "Kenapa aku tidak boleh ke kamar itu, Reta. Apa yang kamu sembunyikan di dalam sana?" tanyaku semakin meradang. "Nggak ada apa-apa, Mas. BPKBnya aku gadaikan kemarin buat biaya berobat Mama." Entah omongannya benar atau tidak, yang pasti saat ini aku sudah tidak percaya lagi dengan semua kata yang keluar dari mulut wanita itu. "Minggir!" Mendorong tubuh Reta, menyuruh dia menyingkir dari hadapanku. Aku kembali melangkah menuju pintu, memutar knopnya dan lagi-lagi mendapatkan kejutan dari perempuan berambut sebahu itu. Seprai begitu berantakan, ada pakaian laki-laki teronggok di lantai, juga melihat seperti ada seseorang melompat keluar melalui jendela. Pantas saja saat mendengar suara-suara aneh di dalam kamar ini dan ketika aku hendak membuka pintu tiba-tiba Reta sudah berada di belakangku. Ternyata, jendela kamar ini tidak memiliki teralis. Sehingga orang bisa keluar masuk kapan saja, sebab langsung menuju teras yang berhubungan dengan pintu samping rumah. Lagi-lagi dan lagi, menemukan bekas kontrasepsi di dalam kamar. Sepertinya kamar ini memang sengaja mereka gunakan untuk berhubungan ketika aku tidak ada, atau, justru saat aku ada di sini pun mereka diam-diam melakukannya. Menjijikkan. Menatap nyalang wajah Reta, emosiku kembali menyala-nyala seperti api yang sedang berkobar. "Katakan. Siapa yang tadi berada di dalam kamar ini?" tanyaku penuh dengan penekanan. "Nggak ada, Mas!" jawabnya dengan mimik ketakutan. "Katakan, Reta!!" Sentakku lagi. "Nggak ada, Mas. Aku dari tadi sendiri di sini. Tolong jangan bentak-bentak aku. Kalau kamu terus saja kasar, lebih baik aku pulang ke rumah ...." "Mau pulang ke rumah orang tua kamu?" Potongku kesal. "Silahkan. Bukankah aku sudah mengusir kamu?!" Kini ancamannya sudah tidak lagi membuat diri ini gentar. "Sekarang, kamu katakan, siapa laki-laki yang membersamaimu tadi?!" "Nggak ada, Mas!" Dia masih saja mengelak. Dengan kasar menarik tangan perempuan itu. Menyeretnya keluar dari rumah, sudah tidak sudi lagi memiliki istri seperti dia. Sudah pemalas, hobi selingkuh pula. "Mas, tolong jangan usir aku dari sini. Aku mohon. Kalau kamu mengusir aku dari sini, nanti aku akan tinggal di mana?" Reta mencekal kakiku dan bersimpuh. "Silahkan kamu tinggal bersama selingkuhan kamu itu, Reta!" Menyingkirkan tangan perempuan itu dengan kasar. "Aku nggak mau, Mas. Aku cintanya sama kamu!" "Bulsyit! Kalau kamu cinta sama aku, kamu tidak akan mungkin selingkuh, Reta. Kamu tahu sendirikan? Kalau aku itu pantang diselingkuhi!" "Tapi kamu juga sudah selingkuh, Mas. Kamu sudah mengkhianatiku dengan menikahi Luna!" "Dengar, Reta! Walaupun aku menikah dengan Luna, aku masih tetap memberi kamu fasilitas mewah. Aku selalu menuruti semua keinginan kamu, sampai lupa dengan tanggungjawab membahagiakan istriku Luna. Tapi sekarang, beginikah balasan kamu, hah?!" Melenggang masuk meninggalkan Reta yang sedang berteriak histeris, tidak perduli dengan beberapa pasang mata yanh sedang memperhatikan. Toh, mereka semua tahu apa yang sudah Reta lakukan di dalam rumah ini. Memasukkan laki-laki yang bukan suaminya, menjalin hubungan terlarang serta menyelami surga dunia dengan cara berzina. Kembali lagi masuk ke dalam kamar tamu, mencari apa yang sedang aku cari-cari, namun buku pemilik kendaraan bermotor itu tidak kunjung kutemukan. Di mana Reta menyimpannya. Apa dia benar-benar menggadaikan BPKB itu? Hampir dua jam mengacak-acak seluruh isi rumah, tidak ada barang berharga sedikitpun yang aku temukan, juga BPKB yang sedang aku cari. Membuat aku putus asa serta merasa pusing. 'Dari mana aku akan mendapatkan uang jika BPKB itu tidak ketemu. Tidak mungkin kan aku menjual mobil yang sedang aku pakai saat ini.' Bergumam sendiri dalam hati. Membuka tas Reta yang tergeletak di atas meja. Melihat isinya, dan ternyata hanya ada bedak dan beberapa alat rias lainnya yang aku tidak tahu apa itu namanya. Pun dengan dompet wanita itu. Hanya ada selembar uang dan beberapa buah kartu anjungan tunai mandiri di dalamnya. Mungkin di dalam benda pipih kecil ini ada beberapa saldo yang tersimpan. Tidak mungkin dia menghabiskan semua uang yang aku berikan, karena aku memberinya dengan jumlah yang cukup banyak. Reta masih saja berdiri di depan rumah saat aku keluar. Dia kembali memohon, memintaku agar memaafkan dan menerima dia kembali dalam kehidupan. Tidak sudi aku dengan perempuan kotor seperti dia. Takut tertular penyakit jika lama-lama berhubungan dengan wanita yang suka bergonta-ganti pasangan. "Minggir, Reta. Atau kamu aku tabrak!" Acamku, karena dia terus saja berdiri di depan moncong mobil. "Tabrak saja. Aku nggak takut!" Dia malah menantang. Menyalakan mesin mobil, menggerakkannya perlahan dan aku lihat tubuh Reta mulai menjauh. "Sekarang ancaman kamu sudah tidak mempan, Reta!" Bergumam sendiri sambil melajukan kendaraan roda empatku meninggalkan komplek perumahan dengan sejuta luka itu. Buk! Memukul stir dengan keras, merasa kesal dengan semua yang aku dapati. Air susu dibalas air tuba. Aku selalu memanjakan dia, malah dia balas dengan Pengkhianatan. Seperti ini kah yang kamu rasakan ketika melihat aku sedang bersama Reta, Luna. Sesakit ini kah luka yang aku torehkan di hati kamu? Tapi,kenapa dulu kamu selalu diam. Kenapa kamu tidak pernah memprotes. Terbuat dari apa hati kamu, Luna. Hingga kuat menghadapi sifat jahatku selama ini. Senyuman Luna kembali terbayang di mata. Bayang-bayang wanita itu terus saja menari-nari dalam benak. Rasa rindu perlahan menelusup kedalam qolbu, menghadirkan penyesalan yang begitu dahsyat dalam sanubari. Lunaku menangis. Dia telah aku sakiti. Aku harus menemuinya, bersujud di kaki Luna dan meminta maaf kepadanya. Aku harap dia masih mau memaafkan dan kembali hidup bersama. Aku terus saja melajukan mobil dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota. Tidak perduli bunyi nyaring klakson kendaraan lain, yang memprotes karena aku mengendarai mobil secara ugal-ugalan. Tanpa aku sadari mobil sudah berhenti di depan gerbang pemakaman. Merasa bingung sendiri, kenapa justru malah datang ke tempat seperti ini. Luna. Ya. Aku ingin menemui Luna. Kenapa malah jadi pelupa seperti ini? Ya Tuhan... Keluar dari dalam mobil. Berjalan terburu-buru menuju makam istriku yang selalu aku lukai. Entah sedang apa dia di alam sana. Apakah dia juga memikirkan aku. Atau, malah sudah bahagia dengan jodoh lainnya di alam keabadian. Luna, tolong jangan khianati aku. Jangan seperti Reta, Luna. Berdiri di depan gundukan tanah bertabur bunga-bunga, melihat Luna sedang berbaring di sana dengan wajah cantik memesona. Dia tersenyum. Memamerkan wajahnya yang ayu tanpa polesan. Ragu-ragu aku jalan menghampiri, berlutut di kakinya sambil berucap kata maaf. Namun, Luna hanya terdiam. Dia tetap saja membisu menatapaku yang sedang menangis tergugu. Apa dia tidak mau memaafkan aku? "Lun, maafkan Mas. Ampunilah semua kesalahan yang telah Mas perbuat kepadamu. Mas baru sadar sekarang, kalau ternyata hanya kamu yang tulus mencintai Mas. Maafkan Mas karena telah menduakan kamu. Mas berjanji, setelah ini Mas akan meninggalkan perempuan itu dan kita akan hidup bahagia!" Ucapku sambil mencium kakinya. Lagi. Luna hanya diam membisu. Menatapku dengan sorot penuh luka, tidak berucap sepatah kata apalagi menitikkan air mata seperti biasa. "Lun, jangan diam terus. Diam kamu itu sangat menyiksa batin Mas, sayang." Hening. Hanya suara angin yang berbisik di telinga. Disertai riuh suara burung saling bersahutan. Mereka seperti menertawakan. Mengejek diriku yang sedang diabaikan. "Lun," mengusap kepala perempuan itu dan menciumnya. "Apa kamu mau memaafkan suami kamu ini?" Mengusap pipinya yang rerasa sedingin es. Tetap membisu. Apakah dia sudah tidak lagi mau berbicara kepadaku? "Mas. Mas Fatur!" Terdengar seseorang memanggil serta menepuk pelan pundakku. Aku terkesiap dan segera menoleh. Luna sedang berdiri di belakangku, bersama seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berada di sisinya. "Mas Fatur lagi ngapain?" Tanyanya sembari melengkungkan bibir. Aku berdiri lalu mendekati. Dan seperti biasa, dia malah beringsut menjauh saat aku ingin menyentuhnya. "Istighfar, Mas. Istighfar! Dia Lani, bukan Luna." Pria yang ada di samping Luna angkat bicara. Menahan tubuhku yang terasa limbung, juga kepala ini seperti sedang berputar-putar. Bumi tempatku berpijak seolah ingin menenggelamkanku, membuat dadaku terasa sesak dan sulit untuk bernapas.Membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjap, menyesuaikan cahaya yang terasa begitu menyilaukan mata. Terus mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan bernuansa serba putih, dengan bau khas obat-obatan. Seulas senyum tergambar di bibir Bunda yang dipoles lipstik berwarna merah menyala, dengan mata menatap sendu wajah ini."Kamu sudah bangun, Tur?" tanya Bunda seraya mengusap lembut rambutku."Kenapa aku ada di rumah sakit, Bun?" Aku balik bertanya, menatap wanita yang telah melahirkanku tiga puluh tahun yang lalu dengan mimik bingung."Tadi Sultan dan Lani yang membawa kamu ke rumah sakit. Katanya kamu pingsan di pemakaman." Terang Bunda, mata bulat dengan bulu mata lentik tersebut tidak lepas dari wajahku."Luna mana, Bun. Tadi aku lihat dia sedang tidur di sana. Dia marah sama aku, Bun. Dia nggak mau maafin aku!" Menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan Luna, siapa tahu dia ikut mengantar ke rumah sakit.Kosong. Hanya ada Bunda di ruangan ini yang menemani. Sepertinya dia benar-b
"Nanti juga pasti aku akan menikahi kamu, Ta. Kamu yang sabar. Tunggu saja tanggal mainnya!" Mencolek pipi tirusnya, mendaratkan ciuman lalu kembali melayang mengarungi lautan dosa bersama.Ponsel di atas nakas terus saja menjerit-jerit. Ada panggilan masuk, mengganggu aktivitas yang sedang aku lakukan bersama Reta. Aku mengabaikan panggilan itu karena pasti Luna yang menghubungi. Dia kan overprotektif. Kemanapun aku pergi, pasti selalu dicari-cari.Setelah selesai menyalurkan hasrat biologis kepada Reta dan mentransfer sejumlah uang kepadanya, gegas aku pulang karena hari sudah cukup malam. Aku tidak mau Luna curiga kalau aku memiliki wanita lain yang bisa memuaskanku diluaran. Bisa mengadu sama Papa dan semua fasilitas bisa dicabut oleh lelaki tua itu. Aku tidak mau. Reta pasti tidak akan mau lagi menjalin hubungan dengan diri ini, kalau aku tidak memiliki uang.Membuka pintu rumah, disambut oleh Luna dengan penampilan seksi, menggunakan lingerie merah muda serta dandanan cantik wa
"Mbak Suci. Tolong bawa Fatur keluar dari ruangan ini!" Titah Papa sambil menatap nanar ke arah tembok.Aku tahu dia sangat kecewa sekaligus murka. Aku akan terima hukuman ini, Papa."Baik, Mas Atmojo!" Tanpa mendebat Bunda langsung mendorong kursi rodaku keluar dari ruang NICU.Menoleh sekali lagi. Menatap peri kecilku yang belum jua membuka mata. Aku lihat bahu Papa bergerak naik turun. Sepertinya dia sedang menangis. 'Maafkan aku, Papa. Maaf karena sudah membuat Papa kecewa. Izinkan aku untuk menebus segala dosaku, dengan merawat serta membesarkan putriku.' Bergumam sendiri dalam hati, merasakan rasa bersalah yang selalu menyergap hati."Kamu yang sabar ya, Tur. Mungkin Papa mertua kamu sedang banyak pikiran. Makanya dia marah-marah seperti itu sama kamu." Dengan lembut Bunda mengusap bahuku.Ah, andai saja Bunda tahu kalau selama ini aku sudah jahat kepada menantunya. Kalau saja dia tahu kalau diriku telah menikahi Margareta, wanita yang paling Bunda tidak sukai di muka bumi ini.
"Maaf, Pak Ngadiman. Bapak tahu kan siapa saya? Saya ini menantunya Pak Atmojo. Saya manajer di perusahaan ini. Bapak jangan menghalangi saya masuk, atau nanti Bapak saya pecat!" Gertakku, akan tetapi tidak membuat lelaki berkulit gelap itu gentar. Dia terus saja menghalangi jalanku, bahkan menutup gerbang dan menguncinya dari dalam. Sial! Kenapa semuanya jadi seperti ini?"Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Saya hanya menjalankan tugas dari Pak Bos. Kalau saya melanggar, saya takut dipecat." Pria berseragam serba hitam itu melenggang masuk dan kembali berjaga di pos satpam.Merogoh saku celana, mencoba menghubungi Papa ingin menuntut penjelasan darinya. Tersambung, tetapi tidak kunjung ada jawaban. Sepertinya Papa sengaja mengabaikan panggilanku.Dengan perasaan dongkol beranjak menjauh dari halaman kantor Papa, mencari ojek online berniat mengambil mobil yang dibawa Sultan untuk mengantar Lani. Takut dikuasai bocah itu jika lama-lama aku dibiarkan berada di rumah orang tuanya Luna.
Awas saja kalian. Aku akan membuat perhitungan kepada kalian semua. Aku pastikan, semua orang yang berani mengganggu hidupku juga mempermalukan aku akan menanggung akibatnya. Termasuk si Sultan yang sok tampan itu."Mari, silahkan masuk!" Ucap salah satu orang petugas sambil membukan pintu mobil untukku."Kalian pikir saya ini gila, hah?! Saya masih waras. Kenapa musti dibawa ke rumah sakit jiwa!" Sentakku seraya menepis tangan lelaki jangkung yang terus saja memegangi."Maaf, Pak. Saya hanya menuruti perintah Pak Atmojo."Lagi-lagi Papa biang keroknya.Mendengkus kesal, berjalan menjauhi mobil ambulance sambil menggerutu. Enak saja dibilang orang gila. Mereka mungkin yang gila. Gila harta. Sebab, semua yang aku miliki mereka ambil. Terlalu serakah Papa mertuaku memang.Lagi dan lagi, aku harus menelan pil kecewa karena perlakuan Papa. Tadi di kantor aku dipermalukan. Dicegat scurity dan tidak diperbolehkan masuk. Sekarang, ketik
Berdiri di balkon rumah. Memandangi hamparan langit penuh dengan bintang berpendar-pendar di sana. Aku seperti melihat Luna sedang menari-nari bersama bidadari. Melambaikan tangan kepadaku, seakan memanggilku untuk menghampiri.Kuulurkan tangan mencoba meraih jemarinya, akan tetapi lengan ini terlalu pendek sehingga tidak bisa menjangkau dia. Sambil tersenyum naik ke meja yang ada di balkon, berdiri di pagar pembatas hingga merasa tubuh ini seperti sedang melayang.Beberapa saat kemudian, aku mendengar seperti ada seseorang berteriak memanggil namaku. Tapi itu bukan suara Luna, melainkan suara Mbak Harti, asisten rumah tanggaku yang kebetulan masih berada di rumah ini.Luna terus saja tersenyum, menatap diriku tanpa berkedip. Wajah perempuan bergamis putih itu terlihat cerah ceria, tiada menampakkan kesedihan seperti biasa. Aku terus mengulurkan tangan berusaha meraih dirinya. Tetap tidak bisa. Dia malah memutar badan membelakangiku, berjalan dengan anggun menghampiri seorang lelaki
Deru mesin kendaraan membawaku menjauh dari pekarangan istana tempat tinggalku bersama Reta dulu. Memutar audio mobil, menghilangkan rasa sepi yang selalu mendera hati.Kini sendiri di siniMencarimu tak tahu di manaSemoga tenang kau di sanaSelamanya...Aku selalu mengingatmuDoakanmu setiap malamkuSemoga tenang kau di sana…Mendengar penggalan lagu tersebut justru membuat kian deras air mataku. Aku tak sanggup dan segera mematikan audio mobilku. Biarlah. Biarlah perjalanan ini hanya ditemani suara deru mesin kendaraan saja. Menepikan mobil di depan gerbang pekuburan, membuka pintu perlahan kemudian turun dari kendaraan roda empat tersebut dan lekas berjalan masuk. Kuterobos gelapnya malam di area pemakaman. Berjalan lurus kedepan tanpa menghiraukan suara burung hantu yang saling bersahutan. Ingin kuhabiskan malam ini bersama Luna, mengobati rindu yang kian menggebu di dalam kalbu.Kunyalakan senter pons
Tut...Tut...Suara klakson kereta api terdengar sudah melewati tubuhku. Tapi, kenapa tidak merasakan apa-apa. Mengapa masih bisa menghirup udara. Apa sebenarnya aku sudah terbang ke nirwana dan sebentar lagi Tuhan akan mempertemukan aku dengan Luna?Membuka mata perlahan, menatap gerbong terakhir kereta yang masih terlihat.Sial! Ternyata kereta api yang baru saja lewat melintas di jalur sebelahku berdiri. "Mau bunuh diri ceritanya, Mas?" Tanya seorang laki-laki paruh baya dengan pakaian kumal sambil menatap mencemooh.Aku diam tidak menjawab. Dia malah terkekeh seakan apa yang dia lihat sekarang ini adalah sebuah lelucon."Memangnya sudah siap masuk neraka?" Dia bertanya lagi. Asap rokok dari mulutnya terus saja mengepul membuatku terbatuk."Bukan urusan Bapak!" Ketusku."Memang bukan urusan saya. Tapi saya miris melihat manusia yang terlihat berpendidikan tetapi pikirannya pendek seperti anda. Jangan anda pikir setelah anda mati semua urusan menjadi selesai.Dalam agama saya, bunuh
Setelah tamunya pergi, dengan kasar Atmojo membanting badan di atas sofa. Memijat kepala yang terasa berdenyut nyeri, sambil mencoba meredam emosi yang kian meninggi.'Fatur. Semua penyebabnya adalah Fatur. Kalau dia tidak melecehkan Lani, mungkin semua tidak akan seperti ini. Sialan. Kurang ajar memang itu anak!" Atmojo kembali meninju meja, tidak memperdulikan punggung tangannya yang terasa nyeri serta memar.Dengan amarah yang kian membuncah dia keluar dari rumah. Meminta supir pribadinya untuk mengantar dia ke kantor polisi, ingin memberi pelajaran kepada menantunya yang perlahan mulai dia benci.Sepanjang jalan umpatan-umpatan terhadap Fatur terus saja meluncur dari mulut Atmojo. Rasanya hanya dengan mengumpat saja dia belum merasa puas. Ingin memberikan pelajaran lebih kepada suami mendiang anak sulungnya, supaya tidak lagi berulah serta membuat hidupnya menjadi susah.Mobil sedan berwarna putih menepi di parkiran sebuah kantor polisi. Atmoj
Di rumah sakit.Lani masuk ke dalam ruangan khusus didampingi oleh Faizah untuk menjalankan visum.Pertama. Lani menjalani pemeriksaan menyeluruh mulai dari tekanan darah, denyut nadi, bukti adanya tindak kekerasan, penularan penyakit kelamin, hingga pemeriksaan fisik. Setelah prosedur itu dilakukan, seorang dokter perempuan menyuruh Lani berbaring dengan posisi kaki ditekuk, persis seperti orang hendak melahirkan. Wajah Lani terlihat memucat serta ketakutan. Akan tetapi Faizah serta pihak penyidik terus saja meyakinkan dia kalau semuanya akan baik-baik saja. Lani harus menjalani serangkaian pemeriksaan susuai prosedur, supaya bisa menjadi bukti di persidangan nanti.Dokter berhijab putih yang memeriksa Lani mengerutkan dahi saat memeriksa bagian sensitif gadis itu. Sementara Lani, selain merasa takut dan trauma, ia juga merasa sangat malu karena harus memperlihatkan auratnya di depan orang lain."Maaf, Bu. Sepertinya tidak ada tanda-tan
POV AuthorLani duduk terpaku di atas ranjang, dengan mode masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Dia juga akan menjerit histeris jika Faizah atau perawat mengganti pakaiannya.Lani masih trauma. Dalam angan-angan selalu terbayang saat Fatur menjamah tubuhnya, mengambil mahkota paling berharga miliknya ketika dia sedang tidak sadarkan diri."Aku kotor, Ma. Aku sudah kotor!" Hanya kata itu yang selalu terucap dari mulut gadis berusia dua puluh tahun tersebut.Dia begitu terpukul dan syok. Pun dengan Faizah yang sejak kemarin menungguinya di rumah sakit, hingga lupa pulang ataupun sekedar beranjak sebentar dari ruangan itu. Ia tetap saja menunggui anaknya dengan setia, tidak tega meninggalkan Lani sendiri dalam keadaan terpuruk seperti ini.Sultan. Laki-laki yang selalu mengisi hari-hari Lani dengan cinta, memberi warna di bidup perempuan berzodiak Taurus itu, yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi indahnya setiap malam, tidak menampakkan d
Alisku bertaut mendengar jawaban Mbak Harti. Kenapa ada polisi datang ke rumah ini? Apa Papa yang melapor? Atau...Ah, dari pada terus menerka-nerka lebih baik kutemui mereka. Jika memang Papa melapor dan ingin memenjarakan aku, aku akan terima sebab aku memang salah.Dengan langkah hati-hati serta menahan nyeri berjalan menghampiri dua orang polisi itu, ingin tahu ada apa gerangan mereka bertamu tengah hari seperti ini."Selamat siang, Pak. Maaf kami mengganggu istirahat Bapak. Saya membawa surat penangkapan atas nama Bapak Fatur Ardiansyah, karena Pak Fatur terlibat kasus pelecehan seksual terhadap saudari Lani Vanessa Atmojo!" ucap salah satu dari mereka.Dua orang polisi itu langsung menghampiri, mengapit tanganku dan menarikku dengan kasar membawaku masuk ke dalam mobil patroli.Banyak pasang mata menyaksikan, berbisik sumbang karena mereka pikir aku ditangkap atas kasus kekerasan dalam rumah tangga yang kulakukan terhadap Reta.
#Kembali ke POV Fatur"Reta?" Mataku membulat sempurna menatap wanita yang sedang berdiri di muka pintu.Wajah Reta penuh dengan luka lebam seperti habis mengalami kekerasan fisik. Rambutnya yang biasa tergerai indah sudah dicukur habis dengan potongan tidak beraturan. Ada apa dengan wanita yang pernah menanamkan cinta begitu dalam di hatiku ini? Siapa yang telah melakukan kekerasan terhadap dia juga mencukur habis rambutnya yang selalu dia banggakan karena keindahannya. Apakah Rendi yang sudah melakukannya?"Mas!" Reta berjalan menghampiri dan bersimpuh sambil menangis tersedu."Aku minta maaf. Tolong terima aku kembali, Mas. Aku sangat mencintai kamu. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Mas. Tolong izinkan aku tinggal di rumah ini lagi. Aku janji tidak akan mengkhianati kamu dan akan menjadi istri yang baik!" pintanya mengiba.Aku mengangkat satu ujung bibir, sebab merasa yakin kalau air tangisannya saat ini hanya sandiwara belaka, supaya aku kasihan dan memberikan ampunan.Enak saja
"Aku tidak akan pernah memberi tahu di mana Fatur sekarang, Mas." Jawab Suci tidak merasa gentar sedikit pun."Suci, tolong beri tahu saya, di mana kamu dan Fatur sekarang ini?!" tekannya sekali lagi.Suci menggeser tombol merah mengakhiri panggilan secara sepihak, menonaktifkan ponselnya sebab dia tahu kalau Atmojo pasti akan melecak keberadaannya sekarang. Bukan niat dia melindungi orang yang salah. Tetapi, Suci begitu takut kalau Atmojo sampai kalap dan menghabisi nyawa putranya.Sambil mengusap air mata Suci melungguh di kursi depan ruang dimana Fatur sedang menjalani tindakan, setelah mengalami penusukkan di kakinya. Dia juga sangat menyayangkan tindakan Fatur yang sudah diluar batas juga tidak bermoral. 'Dengan cara apa aku harus menebus kesalahan Fatur terhadap Lani. Apa lebih baik aku mengajak Mas Atmojo dan Faizah untuk bertabayyun, membicarakan masalah ini secara baik-baik, supaya tida ada seorang tetangga pun yang tahu tentang kasus ini?' Suci berbicara sendiri di dalam ha
Melihat ayah mertuanya mengayunkan sebilah pisau, buru-buru Fatur beranjak menjauh. Namun naas, belum sempat dia lari. Atmojo sudah lebih dulu manancapkan ujung pisau di tangannya tepat mengenai betis Fatur.Lelaki berhidung bangir itu mengerang kesakitan, membuat suci yang sedang berdiri di muka pintu segera berlari menghampiri, menangis tergugu melihat anaknya meringis kesakitan dengan kaki bersimbah darah."Mas Atmojo, apa yang sudah Mas lakukan terhadap anak saya. Kenapa Mas kejam sekali?" pekik Suci seraya mencabut pisau yang menancap di kaki sang anak, mengambil kain untuk membalut luka tersebut dan segera menghubungi ambulance."Itu tidak seberapa dengan apa yang sudah dia lakukan terhadap putri saya, Suci. Dia sudah menyakiti hati Luna, sekarang dia malah berani menyentuh putriku hingga dia mengalami trauma. Manusia semacam Fatur itu tidak pantas dikasihani. Bahkan dia pantas mendapatkan lebih dari itu!" berang Atmojo sambil mengatur napas yang sudah tidak beraturan."Saya he
"Aku tidak pantas bersanding dengan Kak Sultan. Aku bukan wanita baik-baik. Aku audah kotor. Aku sudah tidak utuh, Ma!" Racau Lani sambil terus menyusut air mata. "Siapa yang melakukannya, Lani?" Suara Mama terdengar begitu syok."Ma–Mas Fatur!" Bagai mendengar suara petir yang menggelar, hati Sultan terasa sakit serta teriris mendapati kenyataan kalau calon istrinya sudah disentuh oleh laki-laki lain. Dia berjalan gontai menyusuri koridor rumah sakit, terus berpegangan tembok, sebab kakinya sudah terasa lemas tidak mampu menumpu tubuhnya.'Ya Allah, apa yang harus aku lakukan. Lani sudah ternoda. Apa kata keluargaku jika aku menikahi wanita yang sudah tidak lagi perawan. Ummi pasti akan membatalkan pernikahan ini jika mengetahui masalah yang tengah menimpa Lani.' Dia berbicara sendiri dalam hati, meremas dada yang terasa sakit seperti sedang disayat sembilu.Dengan perasaan hancur Sultan menuruni undakan rumah
Papa yang sedang duduk bersama Sultan segera berlari menghampiri Mama yang tiba-tiba berteriak. Dia segera membopong tubuh sang putri lalu lekas membawanya ke rumah sakit terdekat."Sebenarnya ada apa, Ma. Kenapa anak kamu bisa pingsan seperti ini?" Tanya Papa ketika mereka sudah berada di dalam mobil yang sedang dikemudikan oleh Sultan."Mama nggak tahu, Pa. Memang sejak tadi kelakuan Lani agak aneh. Dia kelihatan lagi ada masalah besar, tapi mencoba menyembunyikannya dari kita, Pa." Jawab Mama Lani sambil terus menepuk-nepuk pelan pipi putrinya.Sedangkan Sultan. Dia berusaha tetap fokus mengemudi walaupun sebenarnya dalam hati merasa sangat khawatir dengan keadaan si calon istri. Dia takut terjadi sesuatu terhadap Lani, apalagi sebelumnya dia mengatakan ingin membatalkan pernikahan. Hal itu membuat pria dengan garis wajah tersebut semakin yakin kalau Lani sedang memiliki masalah besar yang berusaha dia sembunyikan darinya.Mobil sedan berwarna putih ditepikan tepat di depan gedung