“M-menikah?” Tanya Raisa dengan mulut setengah menganga.
Jika wanita itu bukan Raisa sudah pasti hatinya berbunga-bunga mendengar kata menikah yang keluar dari mulut seorang pria tampan dan berkedudukan seperti Adrian. Namun, mengawali pernikahan karena terpaksa demi menjaga citra baiknya di depan orang-orang bukanlah awal yang baik. Menikah macam apa itu? Batin Raisa bergejolak. ”Saya tidak mau, Pak,” tolak Raisa dengan gelengan cepat. Adrian menatap lekat wajah Raisa. “Kalau kamu menolak menikah dengan saya maka bukan cuma perusahaan ini yang bangkrut. Kamu dan ratusan orang pegawai juga angkat kaki dari sini,” seloroh Adrian dengan wajah serius. Deg! Tiba-tiba Raisa langsung teringat dengan Raihan dan Rais. Begitu juga papanya. Kalau dia dipecat maka dengan apa lagi dia menghidupi ketiga laki-laki yang sangat disayanginya itu. Dan rencana untuk mencari tahu kematian mamanya di perusahaan itu akan sia-sia. ”Baik. Demi menjaga perusahaan dan ratusan pegawai yang mencari nafkah untuk keluarganya saya akan menikah dengan bapak,” jawab Raisa dengan suara bergetar. ”Bagus. Kalau begitu bersikap lah biasa saja di depan semua orang,” perintah Adrian. *** Suara ketikan keyboard bersahut-sahutan, berpadu dengan dering telepon yang nyaris tak pernah berhenti. Di tengah deretan meja kerja, beberapa karyawan terlihat berjalan cepat sambil membawa tumpukan dokumen atau laptop, wajah mereka penuh konsentrasi. Beberapa karyawan juga tampak menguap diam-diam berusaha menyembunyikan rasa bosan. ”Permisi. Ada yang mau pesan kopi atau teh?” Tawar Raisa dengan nada sopan. ”Saya mau kopi susu ya, Mbak Raisa,” jawab salah satu pegawai kemudian disusul beberapa pegawai lainnya. Barangkali setelah lima belas menit kemudian Raisa datang membawa sepuluh gelas yang isinya seusai permintaan. Beberapa pegawai yang sudah menerima pesanan berkumpul sambil menyeruput kopi. Mereka berbicara pelan, tetapi intonasinya jelas-jelas menyindir seseorang. “Eh, kamu udah lihat video itu, kan? Tuh yang viral di grup sebelah? Haduh, nggak nyangka banget, ya. Di sini juga ada cerita kayak gitu,” cibir salah satu pegawai yang selalu update informasi terkini baik di kantor mau pun di luar kantor. “Iya, loh. Aku sampai nggak percaya waktu pertama kali nonton. Berani banget, coba!” sahut seseorang ikut meramaikan. Salah satu dari mereka menyembulkan kepala dan ikut bergabung ke kubikel para wanita itu, “Kalau berani sih boleh-boleh aja. Tapi, ya, mbok pilih tempat yang nggak ada CCTV, gitu loh. Masa sampai ketahuan semua orang? Malu, nggak, ya? Terus mainnya di gudang lagi. Haduh!” Kekeh laki-laki bertulang lunak itu. Tudingan itu jelas mengarah kepada Raisa. Seorang wanita menutup mulutnya dengan cangkir kopi, berpura-pura berbisik, “malu? Kayaknya nggak, tuh. Lihat aja, masih santai aja tuh kerja seolah-olah nggak ada apa-apa. Salut juga sih, muka tebal gitu.” Raisa terus berjalan melewati kubikel yang dikerumuni pegawai dan melebarkan telinga. Dia berhenti dan menegakkan badan menatap karyawan yang sedang berkumpul dengan tenang. “Loh, bukannya lagi dibahas, ya? Kok kebetulan ada yang muncul. Aduh, jadi nggak enak, nih, ngomongin,” ucapnya berpura-pura terkejut seraya menatap langsung ke arah Raisa. ”Maaf, Mbak kalau suaranya terlalu pelan dan saya nggak sengaja dengar. Tapi saya cuman mau bilang, kalau ada yang mau ditanyakan atau langsung dibahas, lebih baik langsung saja ke saya,” tutur Raisa dengan tenang. "Wah, tuh denger, dong. Berani juga, ya, nih cleaning service.” Suasana menjadi hening sejenak. Sudut mata Raisa berkerut melihat segerombolan orang-orang berpakaian kantor yang ada di hadapannya. “Eh, kami sih cuma ngobrol santai aja. Namanya juga hiburan di kantor, ya kan? Kalau Mbak Raisa terganggu, ya, maaf, ya,” ucap salah satu di antara mereka berusaha mencairkan suasana dan menyeruput kembali kopinya. Hati Raisa mencelos dan ingin sekali rasanya dia menjejalkan sambal rica-rica. Raisa menahan otot di rahangnya yang mengejang, “tidak apa-apa, Mbak. Kalau obrolannya membuat hari mbak-mbak dan Mas di sini lebih bahagia, ya lanjutkan saja,,” ucap Raisa seraya memalsukan senyum dan berlalu dengan mengucapakan kata permisi. Bagi Raisa orang-orang yang ada di hadapannya itu adalah musuh dalam selimut. Kalau saja ada di antara mereka adalah salah satu pelaku atas kejadian yang menimpanya bersama Adrian maka bukan hanya sambal rica-rica saja yang ingin dia jejalkan ke mulut, tapi juga minyak panas yang berasap. “Apa yang kalian lihat bukan cuman hiburan semata. Saya akan menikahi dengan Raisa.” Adrian tiba-tiba muncul membuat semua orang ternganga. “Saya akan menikahi Raisa besok karena kami memang sudah lama menjalin hubungan diam-diam. Saya kagum dengan kinerja dan kepribadian Raisa yang mandiri dan saya memutuskan untuk menikah dengan Raisa. Jangan lupa hadir semuanya saya undang,” ucap Adrian seraya memasukkan kedua tangan ke saku celananya lalu berjalan dengan badannya yang tegap. Semua mata membelalak mendengar ucapan Adrian yang terkenal dingin itu Jadi, selama ini dia menghindari tatapan wanita hanya untuk menjaga hati Raisa? Seorang wanita cleaning service itu? Sulit dipercaya. Raisa menghentikan langkahnya dan mendadak kelu. Sungguh seperti ada batu besar yang menghimpit dada Raisa. Rumah tangga macam apa yang dibangun dengan kebohongan? Ingin sekali dia berteriak di depan Adrian. Namun, tanggung jawabnya terhadap keluarga seolah menghalangi suaranya untuk protes di hadapannya. Raisa hanya bisa menatapnya dengan senyum getir. Desas-desus langsung terdengar di telinga, tapi tak ada satu pun yang berani menyangkal kenapa direktur utama itu mau menikahi seorang cleaning service. Sementara itu, di balik pintu kaca berdiri seorang wanita dengan gincu merah menyala dan hati yang menyala-nyala pula. Dia mengepalkan kedua tangan dan hampir ingin memukul pintu kaca, namun tangannya menggantung di udara. Apa maksud dan tujuannya sebenarnya?Desas-desus langsung terdengar di telinga, tapi tak ada satu pun yang berani menyangkal kenapa direktur utama itu mau menikahi seorang cleaning service. Sementara itu, di balik pintu kaca berdiri seorang wanita dengan gincu merah menyala dan hati yang menyala-nyala pula. Dia mengepalkan kedua tangan dan hampir ingin memukul pintu kaca, namun tangannya menggantung di udara. “Apa aku harus jadi cleaning service dulu supaya bisa menikah dengan Adrian?” Mira mendengus kesal. Ternyata usahanya untuk menjadi pahlawan jikalau reputasi Adrian hancur tidak benar-benar menjadi kenyataan. Justru Adrian melindungi seorang cleaning service bahkan menyanjungnya di hadapan semua orang. *** Langit senja memerah saat Adrian melangkah keluar dari kantornya. Langkahnya berat, seakan ada rantai tak kasat mata mengekangnya. Hari ini, dia resmi menikah dengan Raisa. Sebuah keputusan yang diambil bukan karena cinta, melainkan demi menyelamatkan citra perusahaannya. Kabar skandal yang hampir mengh
Saat kembali ke kamar hotel. Adrian mendapati Raisa sudah lebih dulu duduk di bibir ranjang membuka gaun pengantin dengan gurat wajah yang lelah. “Jadi malam ini kita harus berpura-pura bahagia juga, Pak?” Tanya Raisa dengan suara datar, tanpa menoleh ke Adrian. Laki-laki yang berdiri dekat jendela kaca besar hotel itu tak menjawab. Dia mengeluarkan tangan kiri yang masuk di saku celananya seraya berjalan ke arah minibar dan menuangkan segelas anggur merah dan meneguknya dalam diam. Adrian tak tahu mana yang lebih buruk. Pernikahan tanpa cinta ini atau ancaman Kirana yang kini menggantung di atas kepalanya? Dadanya bertalu-talu macam ada gunung yang hendak meletus. Pemandangan kota Jambi yang berkilauan di malam hari, dinding hotel berlapis kayu dengan sentuhan emas berpadu dengan wallpaper cream tiba-tiba meredup. Gaun Raisa yang biru muda dan bibirnya yang merah juga mendadak luntur menjadi monokrom, hilang warna, kemudian mengabu. Yang jelas, ucapan Kirana adalah satu hal y
“Siapa kau?!” teriak Adrian. Kedua tangannya refleks membentang melindungi Raisa yang ada di belakang punggungnya. “Tidak perlu tau siapa aku! Biarkan aku membawa perempuan yang ada di belakangmu.” Udara di sekitar mendadak terasa lebih berat. Laki-laki itu semakin mendekat tanpa ragu sedikit pun. “Mendekat satu langkah akan kubuat sepatumu tertinggal di sana.” Alis Adrian bertaut. Tampak wajahnya berubah menjadi keras. Sementara itu, Raisa merasa kebingungan. Jantungnya berdebar kencang, seperti palu yang terus menghantam dinding dadanya. Tanpa membuang waktu, Adrian mengayunkan tinjunya ke arah wajah pria bertopeng. Namun, lawannya terlalu cepat dan gesit, pria bertopeng itu menunduk, menangkap pergelangan tangannya, lalu memelintirnya dengan kekuatan brutal. Adrian terjatuh begitu saja. Dibalik topeng terdengar suara tawa menyeringai mendekat ke arah Raisa. Sontak sepatu tingginya menyeret beberapa langkah ke belakang. Adrian berusaha bangun meski rasa sakit menjalar dari
“Ica ….,” jerit Ratih setelah knop pintu rumah sakit berdecit. Aroma antiseptik bercampur dengan wangi bunga segar dari vas di atas meja menguar. Ratih sedikit merasa salah tingkah setelah mengetahui Adrian juga berada di ruangan itu.“Eh … maaf, Pak. Ternyata ada Pak Adrian di sini,” ucapnya seraya tertunduk sopan. Adrian menatap sebentar ke arah wanita berambut pendek dengan wajah dramatis itu menaruh sekantong makanan di atas nakas.Sekilas, Ratih melihat atasannya itu menarik napas pendek beberapa kali seperti menahan ketidaknyamanan yang langsung merayapi tubuhnya. Menyadari akan hal itu, Ratih memberikan sebotol air mineral kepada Adrian.“Tidak, terima kasih,” balas Adrian dingin. Mata Adrian berkeliling, berusaha mengalihkan fokus dari bau antiseptik yang menganggunya semalaman karena menjaga Raisa. Adrian sebenarnya tak tahan. Bukan hanya bau antiseptik, tapi juga kenangan yang tiba-tiba muncul tanpa permisi. Rumah sakit selalu memberinya perasaan tidak nyaman.“Kebetulan
“Papa, siapa pria bertopeng itu? Apa dia ada hubungannya dengan kematian Mama?” Rais dan Raihan langsung menoleh ke ayah mereka dengan ekspresi kaget. “Kematian Mama? Apa maksud Kak Raisa?” Alis Rais berkerut. Sementara itu, Raihadi menarik napas panjang, menyandarkan tongkatnya dekat nakas lalu duduk di kursi samping Raisa. Tangannya bergetar, menunjukkan betapa sulit baginya untuk mengatakan ini. “Ada sesuatu yang belum pernah papa ceritakan pada kalian semua … tentang kematian Mama kalian.” Raisa menahan napas sejenak. Pandangan Raihadi sejenak menyapu lantai rumah sakit, lalu menatap Raisa tajam. “Mama kalian tidak meninggal karena kecelakaan biasa, Raisa. Dia dibunuh.” Ruangan langsung sunyi. Raisa merasakan darahnya berdesir. Rais terkejut dan menutup mulutnya dengan tangan, sementara Raihan yang masih kecil tampak kebingungan. Ternyataa dugaan Raisa selama ini tepat. Kematian mamanya yang janggal bukan hanya sekedar kecelakaan biasa, namun karena dibunuh o
“Maaf, saya datang bersama dokter untuk memeriksa kondisi Raisa,” ucap Adrian seraya melepas separuh kedua tangannya yang tenggelam di saku celananya. “O-oh … Iya, Pak. Silakan,” jawab Ratih dengan mulut setengah menganga. Sebisa mungkin Ratih menahan diri untuk bertanya apakah Adrian mendengar apa yang sudah dibicarakan tadi. Dokter berkulit putih itu mendekat dan mulai memeriksa detak jantung Raisa menggunakan stetoskop dan lanjut memeriksa lengannya yang berbalut perban. “Lukanya cukup dalam dan menembus otot. Pendarahannya tadi cukup banyak, tapi sudah dibantu dengan transfusi darah oleh Pak Adrian,” jelas dokter. Kedua alis Raisa bertaut mendengar penjelasan dokter. “Donor darah dari Adrian?” tanyanya memastikan sekali lagi. Dokter membalasnya dengan anggukan lalu tersenyum. Ratih menutup wajahnya separuh, seakaan tak percaya bahwa Adrian ternyata sangat peduli. Padahal, Raisa sering bercerita bahwa Adrian tidak pernah sama sekali berbicara jika di rumah. Pernikahan itu
“Kumpulkan semua dewan direksi dan eksekutif di ruangan rapat. Saya ke sana sekarang,” desak Adrian diujung telepon. Adrian kemudian menoleh ke arah Raisa. “Aku akan panggilkan Bi Kamsiah untuk menjagamu di sini,” lanjut Adrian. Belum sempat Raisa mengangguk Adrian berlalu begitu saja. Raisa menyipitkan kedua matanya. “Ada yang tak beres sepertinya,” lirihnya. Raisa meraih ponsel yang belum dikeluarkan dari tasnya kemudian menghubungi seseorang. *** Di tengah ketegangan pasar global, perusahaan Adrian tiba-tiba dilanda krisis yang tak terduga. Kontainer barang yang baru saja dikirim ke luar negeri mengalami kerusakan parah, sehingga kualitas produk yang selama ini dikenal unggul tiba-tiba dipertanyakan oleh mitra internasional, termasuk India. Pengiriman terakhir yang meminta daging sebanyak seribu ton. “Pak Adrian, data menunjukkan bahwa 70% kontainer yang kami kirim Minggu ini mengalami kerusakan. Ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan,” keluh direktur logistik peru
Mereka gegas menarik mata keduanya. Seolah saling menolak, namun kenyataannya di dalam hati mereka sama-sama bergejolak. Langit yang tadinya cerah perlahan berubah muram diselimuti awan kelabu yang menggantung rendah. Angin mulai berhembus lebih kencang, sama kencangnya dengan kedua hati yang hampir terpaut. Gerimis sudah mulai menyentuh jendela kantor mengubah suasana sedikit syahdu. “Siapa yang mengantarmu ke sini?” tanya Adrian datar. “Ratih yang mengantarku. Aku melihat beberapa headline berita bernada buruk tentang perusahaan kita dan langsung ke sini,” jelas Raisa. “Ya sudah. Sekarang aku antar pulang,” kata Adrian seraya melenguh dari kursinya. Raisa memutar mulutnya. “Dasar! Ngajakin pulang, tapi malah aku ditinggal begitu aja,” desihnya kesal. Di luar gedung perusahaan, sebuah mobil hitam melaju perlahan menyusuri jalanan kota yang basah oleh hujan ringan. Seseorang yang identitasnya belum diketahui bersembunyi di balik kaca mobilnya yang gelap. “Kau sudah be
“Ya,” jawab Pak Brengos singkat yang tetap menatap layar ponselnya ketika aku berada di depan meja kerjanya. Lelaki itu belum dikatakan tua. Dari penampakannya kutaksir usianya masih tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Tentang kenapa semua orang memanggilnya ‘Brengos’ mungkin wajahnya terlalu banyak bulu hingga agak menyeramkan.“Saya ingin meminta pabrik ini untuk lebih memperhatikan limbahnya. Saya membawa laporan bahwa pabrik Bapak ini membuang limbah ke sembarang tempat. Hingga bahan kimia-nya meracuni tanah di kebun duku dan durian kami, Pak.”“Ngomong sama manajer sana!”Astaga. Apa semua orang di pabrik ini segitu cueknya dengan orang lain. Sedari tadi aku selalu bertemu dengan orang yang tiada kepedulian terhadap tamu. Satpam yang meremehkan, staf yang tak menghargai, dan kepala pabrik yang sama tak pedulinya. Aku mengelus dada, menarik napas dalam. Sabat, Cinta.“Maaf, tapi Bapak kepala pabrik.”Tatapannya baru terarah kepadaku, membuatku agak menunduk agar tatapan kam
KUTUTUP PINTU ruangan direktur. Kami beranjak menuju lift. Namun, betapa terkejut di dekat lift api sudah membakar besar sekali.“Astaghfirullah, Allahuakbar,” pekikku. Aku menarik Mas Rama menuju jalan darurat di tangga belakang. Namun kudapati di sana api pun sudah membesar. Kami terjebak. Kalau aku nekad melewati api itu, bisa-bisa sebagian besar tubuhku ikut tebakar pula. Belum lagi Mas Rama yang masih lambat, ia tak bisa berlari melewati api.Bagaimana ini? Aku berpikir. Namun detak jantung kecemasan terlanjur menguasai kalbu hingga ketakutan yang ada.“Bu Cinta, Pak Rama, anda di dalam sana?” suara Dennis terdengar memekik dari lantai bawah. “Iya, Den. Kami di sini. Apinya besar, Den.”“Mumpung apinya masih kecil, terobos, Pak, Bu!”“Mas, ayo kita terobos apinya.” Aku menarik tangan Mas Rama. Namun suamiku itu malah terbengong. Ya Allah, di saat seperti ini biasanya Mas Rama orang yang menengkanku. Dia orang pertama yang membuatku merasa sejuk dalam hati, ringan dalam napas. Na
“ULYA, jaga mulut kamu!” ucapku dengan tegas pada dokter muda nan cantik itu. Apa, cantik? Hilang semua kecantikannya, terbatalkan oleh akhlak kasarnya. Kalimatnya barusan meruntuhkan semua image-nya.“Auu.” Ulya memegangi pipinya. “Kurang ajar kamu, Cinta.”Tamparanku memang tak seberapa kerasnya. Mungkin ia tak merasa sakit sama sekali, tapi aku hanya ingin menunjukkan kalau aku tak mau kalah dengan serangan mentalnya itu. Aku paham ia hanya menjatuhkan keyakinanku pada diriku sendiri, agar perlahan mundur dari Mas Rama. Tentu saja tidak semudah itu.“Mulutmu yang harus disekolahkan. Bisa bicara yang menenangkan aja saat seperti ini? Pahami kondisi. Jangan asal ceplos, di saat yang salah dan pada orang yang salah.”Tap tap. Suara langkah Dennis mendekat. Dengan segera ia memasangkan badan di depan diriku, menjadi tameng.“Maaf, saya tidak akan membiarkan Bu Cinta lebih jauh lagi berbicara dengan anda,” ucap Dennis.Ulya tersenyum sebelah bibir. “I don’t care.”Ulya melangkahkan kaki
“Aku hanya berjaga-jaga,” jawab Raisa menghindari tatapan Adrian. “Berjaga-jaga dari siapa?” Adrian sebenarnya tahu bahwa akan ada banyak orang yang mengincar Raisa. Termasuk pria bertopeng itu. Orang yang pernah menikam lengan Raisa. Kemudian, Kirana atau bisa jadi orang suruhan Selena. Raisa terdiam dengan napasnya tersengal-sengal. Adrian menyentuh tangannya lembut. “Aku tidak ingin kau hidup dalam ketakutan, Raisa.” “Aku tidak takut. Aku hanya bersiap-siap. Apa pun bisa terjadi denganku, Adrian,” jawab Raisa menarik lengannya. Adrian menggeser posisinya dengan duduk di bibir ranjang, lalu mengulurkan tangannya ke pipi sang istri. “Aku tahu kau kuat, Raisa. Tapi, kau tak perlu melakukan ini sendirian,” ucap Adrian mengiba. Raisa menatap Adrian penuh emosi. “Aku sudah sendirian selama bertahun-tahun, ini bukan hal baru bagiku, Adrian.” “Hei. Lihat aku. Lihat! Aku di sini,” bisik Adrian. “Kau tidak sendiri, Raisa. Ada aku. Suamimu,” lanjut Adrian menghela napas. Hening. Rais
“Kau sudah gila, Adrian?! Menikahi seorang wanita tanpa nama, tanpa status! Apa kau tahu berapa banyak investor yang mulai meragukan perusahaan kita?!” Adrian dengan tenang menyesap kopinya, “Ini pernikahanku, bukan urusan bisnis, Papa. Lagi pula kenyataannya tidak begitu. Justru Raisa bisa mengatasi permasalahan perusahaan dengan cerdas. Dia bukan cleaning service biasa.” Selena tertawa sinis, menyilangkan tangan di dada. “Jangan naif, Adrian. Semua yang kita lakukan ada dampaknya bagi perusahaan. Reputasimu akan tetap dipertanyakan publik.” Meja panjang dari marmer hitam berkilau di bawah cahaya lampu gantung kristal yang menjuntai di langit-langit. Di ruang makan keluarga suasana menegang. Adrian menatap Selena tajam. “Aku tidak peduli dengan reputasi yang dibuat-buat. Aku hanya peduli dengan kebenaran.” William— papa Adrian mendengus lalu berkata, “kebenaran? Apa maksudmu?!” “Aku mulai menyelidiki. Tentang Raisa. Tentang keluarganya. Dan ternyata, ada hubungan antara ke
Malam turun dengan tenang, tapi udara di balkon terasa berat oleh percakapan yang belum terucap. Langit gelap membentang luas, hanya diterangi bintang-bintang yang bersinar samar, sementara angin malam berembus pelan membawa aroma embun dan sisa wangi bunga dari halaman. Adrian menemukan Raisa duduk di balkon sedang menatap langit malam dengan ekspresi sendu. “Aku ingin bicara denganmu,” ucap Adrian dingin. Raisa menoleh, melihat ekspresi Adrian yang begitu sulit diartikan. Wanita berpiyama Bortuques itu menghela napas, lalu berdiri. “Aku juga ingin bicara denganmu, Adrian.” “Aku tahu kau ingin mendapatkan keadilan untuk keluargamu, Raisa,” ucap Adrian menatapnya tajam. Raisa terdiam. Adrian melangkah lebih dekat, ekspresinya seolah menegang. “Tapi aku ingin tahu satu hal. Apakah kau benar-benar mencintaiku? Atau semua ini hanya bagian dari rencanamu?” Raisa menahan napas. Tangannya mencengkeram kuat pagar besi yang dingin. Pertanyaan itu menusuk langsung ke hatinya. Dia
Adrian tak langsung menjawab. Dia hanya menatap Raisa lekat-lekat, mencari sesuatu di balik suaranya yang bergetar. Raisa melangkah masuk, lalu melemparkan sebuah amplop dengan tulisan tangan di atasnya. Adrian meliriknya, dan begitu ia melihat nama yang tertera, matanya membeliak. Nyaris jantungnya berhenti berdetak. Adrian menatap amplop itu, lalu menatap Raisa. “Apa ini?” “Sesuatu yang harus kau baca,” jawab Raisa pelan, namun tegas. Adrian mengambil amplop itu, menimbangnya sejenak sebelum melirik Raisa dengan curiga. “Surat?” Raisa mengangguk, rahangnya mengeras lalu berkata, “dari seseorang yang dulu memiliki perusahaan ini.” Adrian membeku. Jari-jarinya tanpa sadar mengeratkan pegangan pada amplop itu. Jantungnya kembali berdetak lebih cepat. Surat itu seolah surat kematian yang ditujukan untuknya. Dengan hati-hati Adrian membuka amplop, menarik keluar selembar kertas yang sedikit menguning. Matanya membaca baris pertama, lalu berhenti. Ekspresinya sontak beru
Aku hanya ingin membuka matamu, Adrian,” katanya ringan. "Apa?" tanya Adrian dingin. ”Tentang siapa sebenarnya sebenarnya Raisa. Apa motifnya, dan kenapa dia begitu gigih bertahan di posisimu,” lanjut Kirana seraya menatap kuku-kukunya yang bercat merah. Adrian mencengkeram sandaran kursinya lebih erat, mencoba menahan amarah yang meletup-letup dalam dirinya. Namun, Kirana tak hirau. Dia tahu dirinya sudah menarik perhatian pria yang ada di hadapannya. “Aku tahu kau mulai jatuh dalam jebakan Raisa,” lanjut Kirana, tatapannya menajam. “Tapi aku di sini bukan untuk menghentikanmu. Aku hanya ingin kau sadar sebelum semuanya terlambat.” Laki-laki itu menghempaskan pena yang dipegangnya. Adrian melenguh dari kursi dan menatap Kirana penuh waspada. “Apa maksudmu?” Kirana mendekat dengan langkah anggun seraya bersedekap. ”Kau tahu, Adrian? Ada alasan kenapa Raisa bekerja di perusahaan itu. Itu bukan kebetulan, itu rencana,” ucap Kirana berbisik namun penuh penekanan. Adrian
“Seseorang sudah menghancurkan bisnis keluargaku. Dan aku yakin mamaku tidak mati secara kebetulanl,” lirih Raisa. Sudut matanya berkedut. Adrian menyadari ada sesuatu yang disembunyikan Raisa. Selama percakapan mereka tadi, dia bisa melihat sorot mata Raisa yang penuh kehati-hatian. Seolah ada hal besar yang ingin dia katakan, tapi tertahan di tenggorokannya. Adrian dan Raisa masih duduk di kursi rotan. Rais dan Raihan tampak sudah mengantuk. Mereka izin untuk pergi ke kamar dan tidur. Adrian melanjutkan pembicaraannya dengan Raisa. Udara malam semakin dingin, namun ketegangan di antara mereka justru menghangat. Adrian bersandar pada kursinya, memutar-mutar cincin di jarinya dengan gelisah. “Perusahaanku ….,” gumam Adrian. Suaranya penuh dengan kehati-hatian. “Kenapa kau menghubungkannya dengan kematian ibumu?” Mendengar hal itu Raisa langsung menegakkan punggungnya. Seketika, tatapannya berubah waspada. Nyaris defensif. Adrian mempersempit matanya, memperhatikan setiap