“Ica ….,” jerit Ratih setelah knop pintu rumah sakit berdecit.
Aroma antiseptik bercampur dengan wangi bunga segar dari vas di atas meja menguar. Ratih sedikit merasa salah tingkah setelah mengetahui Adrian juga berada di ruangan itu. “Eh … maaf, Pak. Ternyata ada Pak Adrian di sini,” ucapnya seraya tertunduk sopan. Adrian menatap sebentar ke arah wanita berambut pendek dengan wajah dramatis itu menaruh sekantong makanan di atas nakas. Sekilas, Ratih melihat atasannya itu menarik napas pendek beberapa kali seperti menahan ketidaknyamanan yang langsung merayapi tubuhnya. Menyadari akan hal itu, Ratih memberikan sebotol air mineral kepada Adrian. “Tidak, terima kasih,” balas Adrian dingin. Mata Adrian berkeliling, berusaha mengalihkan fokus dari bau antiseptik yang menganggunya semalaman karena menjaga Raisa. Adrian sebenarnya tak tahan. Bukan hanya bau antiseptik, tapi juga kenangan yang tiba-tiba muncul tanpa permisi. Rumah sakit selalu memberinya perasaan tidak nyaman. “Kebetulan kamu ada di sini. Tolong jaga Raisa saya mau keluar dulu,” sahut Adrian cepat. Ratih mengangguk dan menatap punggung laki-laki yang masih mengenakan jas kantor sedini hari. Adrian menghilang di balik pintu. “Icaaa … Ica maafin gue baru datang sekarang. Gue baru buka hape sebelum salat subuh tadi. Setelah selesai salat gue langsung siap-siap pakai baju kerja sekalian terus ke sini dulu,” sesal wanita berambut pendek itu. Raisa mengangguk lemah dan tersenyum tipis. Ica adalah panggilan kesayangan Ratih kepada sahabatnya itu. Katanya menyebut huruf ‘R’ terlalu sulit di lidahnya. Jadi biar cepat dan mudah panggil Ica saja sudah cukup. Raisa tak keberatan. Dia anggap itu adalah hadiah terbaik dari sahabat seperjuangan saat menjadi cleaning service dulu. “Astaga! Tapi gue gak nyangka kejadiannya bisa begini. Lu cleaning service atau petarung MMA? Baru gue tinggal bentar aja sudah ditikam! Jangan-jangan besok masuk berita kriminal, lu!” Ratih menggaruk ujung hidungnya tanda mengejek. “Halah, lebay. Cuma luka kecil.” “Luka kecil? Ica, lu kena tikaman! Tikaman! Itu bukan masuk angin atau keselo!” sahut Ratih mencibir. Raisa menngangkat bahu dengan malas. “Ya udah, mau gimana lagi? Aku juga gak bisa bilang ‘maaf, bisa tusuknya lebih pelan?’ kan?” Ratih menepuk dahinya sendiri. “Ya Tuhan, kenapa sahabat gue ini santai banget. Padahal hampir mati?” Wanita bertubuh kurus itu menarik kursi dan duduk di sebelah Raisa, matanya menyipit curiga. “Tapi serius, siapa pria bertopeng itu? Apa dia mantan pacar lu yang sakit hati?” Dahi Raisa mengkerut. “Ratih … sejak kapan aku punya pacar?” “Benar juga. Satu-satunya laki-laki yang pernah dekat sama lu, kan, cuma satpam di gedung lama, itu pun karena sering lupa ID card dan harus minta izin masuk.” Ratih mengerutkan alis, lalu mengangguk pelan. Raisa mendengus. “Makasih sudah mengingatkan kehidupan cintaku yang menyedihkan.” Ratih tertawa memegangi perutnya, tapi sejurus kemudian ekspresinya berubah serius. “Tapi Ica, gue serius. Gue khawatir banget. Lu beneran gak papa, kan?” Raisa menatap sahabatnya. Meski Ratih sering bercanda, Raisa tahu dia tulus. “Aku baik-baik saja, Ratih. Aku masih di sini, kan? Lagipula ….” Raisa mendekat dan berbisik, “.... Ada seseorang yang menjagaku sekarang.” Ratih langsung menegakkan punggung, matanya berbinar penuh gosip. “Seseorang? Astaga! Jangan bilang si Bos Adrian tampan yang dulu suka lu omelin di pikiran lu?” Raisa berdehem canggung. “Aku gak pernah mengomelinya ….” “Oh, ya? Terus siapa yang sering bilang, ‘Huh, lihat tuh bos sok cool, padahal kerjaannya cuma marah-marah dong’?” cicit Ratih menatap Raisa tajam. “Sudah mulai jatuh cinta sama lu, nih, kayaknya,” lanjut Ratih menggoda. Raisa terbatuk pelan, pura-pura melihat ke jendela. “Cuacanya hari ini cerah, ya ….” Ratih menepuk lututnya sendiri sambil tertawa puas. “Ya ampun! Raisa Puteri yang dulu membenci bosnya, sekarang dijagain sama dia? Ini tuh drama yang lebih seru dari sinetron ikan terbang!” Raisa mendesah, tapi tak bisa menahan senyum. Meski Ratih selalu datang terlambat ketika dibutuhkan dan membuatnya kesal, kehadiran sahabatnya itu benar-benar membantunya merasa lebih baik. Tiba-tiba saja berkelabat di kepalanya tentang nama Raisa Puteri yang disebutkan oleh Ratih barusan. Raisa jadi teringat kejadian semalam bahwa identitasnya yang sebenarnya belum diketahui oleh sahabatnya sendiri, tapi justru sudah diketahui oleh Adrian. Ruang VIP rumah sakit itu terasa lebih seperti kamar hotel dibanding ruang perawatan. Langit-langit yang tinggi, dengan pencahayaan yang lembut tidak menusuk mata. Dindingnya berwarna netral, memberikan kesan tenang, jauh dari kesan suram rumah sakit pada umumnya. “Gue bawain sesuatu yang bisa menyembuhkan jiwa, lu.” “Apa?” fokus Raisa teralihkan sebentar. Ratih berdiri dan mengambil plastik belanjaannya. “Ini martabak dan es teh jumbo kesukaan lu. Gue tau masakan di rumah sakit ini pasti hambar,” ucap Ratih seraya menyodorkan bungkusan. “Ratih … makasih banyak, ya. Tapi aku pengen keripik. Ada gak? Keripik sambal ubi yang biasa kamu kantongin di saku kamu." “Apa?! Sejak kapan lu suka keripik sambal ubi gue?” Ratih tersentak heran. “Sejak kita kenalan,” kelakar Raisa tertawa kecil. Alisnya naik dua kali. Sahabatnya itu memang suka mengantongi makanan di saku kantong kerjanya. Dia bilang itu sangat membantu saat dirinya kelaparan ketika bekerja. Maklum. Meski pun badannya kurus, tapi lambungnya elastis macam karet. Bisa menampung banyak makanan di dalamnya. “Benar-bener, lu, ya. Untung hari ini gue bawa tiga. Ambil satu, nih,” cicit Ratih seraya mengambil sebungkus kecil keripik dari kantong baju kerjanya. Raisa langsung berbinar. “Ratih, aku mencintaimu lebih dari hidupku sendiri.” “Lebih dari Adrian?” Ratih tertawa puas. Mereka berdua pun tertawa bersama, sejenak melupakan semua masalah yang membebani Raisa. Mungkin dunia masih penuh bahaya, tapi setidaknya dia masih punya sahabat yang selalu membuatnya tertawa, bahkan di saat-saat terburuk sekali pun. Raisa duduk bersandar di ranjang pasien berteknologi tinggi. Panel kontrol di samping ranjang memungkinkan pasien posisi tidur hanya dengan sentuhan jari. Raisa menarik napas dalam, lalu menoleh ke Ratih yang masih duduk di kursi samping ranjang yang sibuk mengunyah martabak. “Ratih, aku butuh bantuanmu.” Ratih berhenti mengunyah dan menatap Raisa dengan penuh selidik. “Kalau ini tentang menyelundupkan makanan enak ke rumah sakit, gue siap. Tapi kalau ini sesuatu yang bakal bikin gue kena masalah, kita diskusi dulu, ya,” balas Ratih santai. Raisa mendengus kesal. “Bukan itu! Aku cuman mau minta tolong kau jemput papa dan kedua adikku. Aku harus bicara dengan mereka.” Ratih meletakkan martabaknya lalu menegakkan punggung dengan ekspresi lebih serius. “Oke, ini serius. Lu yakin mau melibatkan keluarga lu untuk urusan ini?” tanya Ratih. Tampak rasa takut terlukis di wajahnya. Raisa mengangguk pelan. “Aku merasa ini semua berhubungan. Aku harus tau kebenarannya.” Ratih menghela napas panjang. “Baiklah, istrinya CEO Chargost Intercoperated Jambi. Gue akan jemput mereka.” Tanpa banyak bicara lagi, Ratih segera beranjak pergi. Dua jam kemudian, pintu kamar rumah sakit terbuka, dan langkah berat terdengar memasuki ruangan. Raihadi, ayah Raisa berdiri dengan tongkatnya di ambang pintu dengan ekspresi lelah. Dua adik Raisa, Rais dan Raihan berjalan di belakangnya. Wajah mereka penuh kekhawatiran. “Kau baik-baik saja, Nak?” tanya Raihadi menatap Raisa dengan mata berkaca-kaca. Raisa tersenyum tipis. “Aku masih hidup, Pa.” Wajah Raisa menjadi cerah ketika melihat papanya kini ada kemajuan setelah terapi. Tongkat yang dibelikannya kini sudah terpakai. Raihadi, adiknya yang paling kecil langsung berlari memeluk Raisa dengan erat, membuatnya meringis karena lengannya masih sakit. “Kak Raisa, adek takut banget! Kenapa ada orang jahat yang mau melukai Kakak?” Rais yang lebih pendiam hanya berdiri di samping tempat tidur, mengenggam tangan Raisa dengan erat. Matanya merah, menahan tangis. Raisa membelai kepala adik bungsunya dengan lembut. “Kakak juga gak tau, Dek.” Pandangan Raisa beralih kepada papanya dengan serius, “tapi, mungkin papa tau jawabannya.” Raihadi terdiam, wajahnya semakin muram. Dia mengalihkan pandangannya, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang berat.“Papa, siapa pria bertopeng itu? Apa dia ada hubungannya dengan kematian Mama?” Rais dan Raihan langsung menoleh ke ayah mereka dengan ekspresi kaget. “Kematian Mama? Apa maksud Kak Raisa?” Alis Rais berkerut. Sementara itu, Raihadi menarik napas panjang, menyandarkan tongkatnya dekat nakas lalu duduk di kursi samping Raisa. Tangannya bergetar, menunjukkan betapa sulit baginya untuk mengatakan ini. “Ada sesuatu yang belum pernah papa ceritakan pada kalian semua … tentang kematian Mama kalian.” Raisa menahan napas sejenak. Pandangan Raihadi sejenak menyapu lantai rumah sakit, lalu menatap Raisa tajam. “Mama kalian tidak meninggal karena kecelakaan biasa, Raisa. Dia dibunuh.” Ruangan langsung sunyi. Raisa merasakan darahnya berdesir. Rais terkejut dan menutup mulutnya dengan tangan, sementara Raihan yang masih kecil tampak kebingungan. Ternyataa dugaan Raisa selama ini tepat. Kematian mamanya yang janggal bukan hanya sekedar kecelakaan biasa, namun karena dibunuh o
“Maaf, saya datang bersama dokter untuk memeriksa kondisi Raisa,” ucap Adrian seraya melepas separuh kedua tangannya yang tenggelam di saku celananya. “O-oh … Iya, Pak. Silakan,” jawab Ratih dengan mulut setengah menganga. Sebisa mungkin Ratih menahan diri untuk bertanya apakah Adrian mendengar apa yang sudah dibicarakan tadi. Dokter berkulit putih itu mendekat dan mulai memeriksa detak jantung Raisa menggunakan stetoskop dan lanjut memeriksa lengannya yang berbalut perban. “Lukanya cukup dalam dan menembus otot. Pendarahannya tadi cukup banyak, tapi sudah dibantu dengan transfusi darah oleh Pak Adrian,” jelas dokter. Kedua alis Raisa bertaut mendengar penjelasan dokter. “Donor darah dari Adrian?” tanyanya memastikan sekali lagi. Dokter membalasnya dengan anggukan lalu tersenyum. Ratih menutup wajahnya separuh, seakaan tak percaya bahwa Adrian ternyata sangat peduli. Padahal, Raisa sering bercerita bahwa Adrian tidak pernah sama sekali berbicara jika di rumah. Pernikahan itu
“Kumpulkan semua dewan direksi dan eksekutif di ruangan rapat. Saya ke sana sekarang,” desak Adrian diujung telepon. Adrian kemudian menoleh ke arah Raisa. “Aku akan panggilkan Bi Kamsiah untuk menjagamu di sini,” lanjut Adrian. Belum sempat Raisa mengangguk Adrian berlalu begitu saja. Raisa menyipitkan kedua matanya. “Ada yang tak beres sepertinya,” lirihnya. Raisa meraih ponsel yang belum dikeluarkan dari tasnya kemudian menghubungi seseorang. *** Di tengah ketegangan pasar global, perusahaan Adrian tiba-tiba dilanda krisis yang tak terduga. Kontainer barang yang baru saja dikirim ke luar negeri mengalami kerusakan parah, sehingga kualitas produk yang selama ini dikenal unggul tiba-tiba dipertanyakan oleh mitra internasional, termasuk India. Pengiriman terakhir yang meminta daging sebanyak seribu ton. “Pak Adrian, data menunjukkan bahwa 70% kontainer yang kami kirim Minggu ini mengalami kerusakan. Ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan,” keluh direktur logistik peru
Mereka gegas menarik mata keduanya. Seolah saling menolak, namun kenyataannya di dalam hati mereka sama-sama bergejolak. Langit yang tadinya cerah perlahan berubah muram diselimuti awan kelabu yang menggantung rendah. Angin mulai berhembus lebih kencang, sama kencangnya dengan kedua hati yang hampir terpaut. Gerimis sudah mulai menyentuh jendela kantor mengubah suasana sedikit syahdu. “Siapa yang mengantarmu ke sini?” tanya Adrian datar. “Ratih yang mengantarku. Aku melihat beberapa headline berita bernada buruk tentang perusahaan kita dan langsung ke sini,” jelas Raisa. “Ya sudah. Sekarang aku antar pulang,” kata Adrian seraya melenguh dari kursinya. Raisa memutar mulutnya. “Dasar! Ngajakin pulang, tapi malah aku ditinggal begitu aja,” desihnya kesal. Di luar gedung perusahaan, sebuah mobil hitam melaju perlahan menyusuri jalanan kota yang basah oleh hujan ringan. Seseorang yang identitasnya belum diketahui bersembunyi di balik kaca mobilnya yang gelap. “Kau sudah be
“Kenapa kau suka menggelung rambutmu? Padahal malam ini aku ingin melihat rambutmu teruarai sekali saja”. Adrian menatap lamat wanita yang ada di depannya. Kirana tersenyum tipis, “aku tidak suka hal-hal berantakan Adrian. Gulungan rambutku mengartikan bahwa aku memiliki kendali atas diriku sepenuhnya,” jawab Kirana. Kirana yang selalu tampil memesona di mata Adrian, akan selalu mengingat gaya rambut Kirana yang bergelung rapi dan menyisakan anak rambutnya yang keriting di sisi kanan dan kirinya. Adrian menyentuh pipi Kirana yang dilapisi perona. “Kau cantik dan terlihat seperti putri bangsawan,” balas Adrian. Bibir tipisnya melengkung membentuk senyuman. Dress bodycon minimalis yang dikenakan Kirana selaras dengan lekukan tubuhnya. Belahan di kakinya, berpadu dengan high heels dan tas kecil membuatnya bernampilan sangat classy. Adrian ingat betul moment terakhir dia berkencan dengan Kirana—mantan tunangannya itu. “Adrian! Adrian ponselmu dari tadi berdering,” ucap Raisa
“Seseorang sudah menghancurkan bisnis keluargaku. Dan aku yakin mamaku tidak mati secara kebetulanl,” lirih Raisa. Sudut matanya berkedut. Adrian menyadari ada sesuatu yang disembunyikan Raisa. Selama percakapan mereka tadi, dia bisa melihat sorot mata Raisa yang penuh kehati-hatian. Seolah ada hal besar yang ingin dia katakan, tapi tertahan di tenggorokannya. Adrian dan Raisa masih duduk di kursi rotan. Rais dan Raihan tampak sudah mengantuk. Mereka izin untuk pergi ke kamar dan tidur. Adrian melanjutkan pembicaraannya dengan Raisa. Udara malam semakin dingin, namun ketegangan di antara mereka justru menghangat. Adrian bersandar pada kursinya, memutar-mutar cincin di jarinya dengan gelisah. “Perusahaanku ….,” gumam Adrian. Suaranya penuh dengan kehati-hatian. “Kenapa kau menghubungkannya dengan kematian ibumu?” Mendengar hal itu Raisa langsung menegakkan punggungnya. Seketika, tatapannya berubah waspada. Nyaris defensif. Adrian mempersempit matanya, memperhatikan setiap
Aku hanya ingin membuka matamu, Adrian,” katanya ringan. "Apa?" tanya Adrian dingin. ”Tentang siapa sebenarnya sebenarnya Raisa. Apa motifnya, dan kenapa dia begitu gigih bertahan di posisimu,” lanjut Kirana seraya menatap kuku-kukunya yang bercat merah. Adrian mencengkeram sandaran kursinya lebih erat, mencoba menahan amarah yang meletup-letup dalam dirinya. Namun, Kirana tak hirau. Dia tahu dirinya sudah menarik perhatian pria yang ada di hadapannya. “Aku tahu kau mulai jatuh dalam jebakan Raisa,” lanjut Kirana, tatapannya menajam. “Tapi aku di sini bukan untuk menghentikanmu. Aku hanya ingin kau sadar sebelum semuanya terlambat.” Laki-laki itu menghempaskan pena yang dipegangnya. Adrian melenguh dari kursi dan menatap Kirana penuh waspada. “Apa maksudmu?” Kirana mendekat dengan langkah anggun seraya bersedekap. ”Kau tahu, Adrian? Ada alasan kenapa Raisa bekerja di perusahaan itu. Itu bukan kebetulan, itu rencana,” ucap Kirana berbisik namun penuh penekanan. Adrian
Adrian tak langsung menjawab. Dia hanya menatap Raisa lekat-lekat, mencari sesuatu di balik suaranya yang bergetar. Raisa melangkah masuk, lalu melemparkan sebuah amplop dengan tulisan tangan di atasnya. Adrian meliriknya, dan begitu ia melihat nama yang tertera, matanya membeliak. Nyaris jantungnya berhenti berdetak. Adrian menatap amplop itu, lalu menatap Raisa. “Apa ini?” “Sesuatu yang harus kau baca,” jawab Raisa pelan, namun tegas. Adrian mengambil amplop itu, menimbangnya sejenak sebelum melirik Raisa dengan curiga. “Surat?” Raisa mengangguk, rahangnya mengeras lalu berkata, “dari seseorang yang dulu memiliki perusahaan ini.” Adrian membeku. Jari-jarinya tanpa sadar mengeratkan pegangan pada amplop itu. Jantungnya kembali berdetak lebih cepat. Surat itu seolah surat kematian yang ditujukan untuknya. Dengan hati-hati Adrian membuka amplop, menarik keluar selembar kertas yang sedikit menguning. Matanya membaca baris pertama, lalu berhenti. Ekspresinya sontak beru
“Ya,” jawab Pak Brengos singkat yang tetap menatap layar ponselnya ketika aku berada di depan meja kerjanya. Lelaki itu belum dikatakan tua. Dari penampakannya kutaksir usianya masih tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Tentang kenapa semua orang memanggilnya ‘Brengos’ mungkin wajahnya terlalu banyak bulu hingga agak menyeramkan.“Saya ingin meminta pabrik ini untuk lebih memperhatikan limbahnya. Saya membawa laporan bahwa pabrik Bapak ini membuang limbah ke sembarang tempat. Hingga bahan kimia-nya meracuni tanah di kebun duku dan durian kami, Pak.”“Ngomong sama manajer sana!”Astaga. Apa semua orang di pabrik ini segitu cueknya dengan orang lain. Sedari tadi aku selalu bertemu dengan orang yang tiada kepedulian terhadap tamu. Satpam yang meremehkan, staf yang tak menghargai, dan kepala pabrik yang sama tak pedulinya. Aku mengelus dada, menarik napas dalam. Sabat, Cinta.“Maaf, tapi Bapak kepala pabrik.”Tatapannya baru terarah kepadaku, membuatku agak menunduk agar tatapan kam
KUTUTUP PINTU ruangan direktur. Kami beranjak menuju lift. Namun, betapa terkejut di dekat lift api sudah membakar besar sekali.“Astaghfirullah, Allahuakbar,” pekikku. Aku menarik Mas Rama menuju jalan darurat di tangga belakang. Namun kudapati di sana api pun sudah membesar. Kami terjebak. Kalau aku nekad melewati api itu, bisa-bisa sebagian besar tubuhku ikut tebakar pula. Belum lagi Mas Rama yang masih lambat, ia tak bisa berlari melewati api.Bagaimana ini? Aku berpikir. Namun detak jantung kecemasan terlanjur menguasai kalbu hingga ketakutan yang ada.“Bu Cinta, Pak Rama, anda di dalam sana?” suara Dennis terdengar memekik dari lantai bawah. “Iya, Den. Kami di sini. Apinya besar, Den.”“Mumpung apinya masih kecil, terobos, Pak, Bu!”“Mas, ayo kita terobos apinya.” Aku menarik tangan Mas Rama. Namun suamiku itu malah terbengong. Ya Allah, di saat seperti ini biasanya Mas Rama orang yang menengkanku. Dia orang pertama yang membuatku merasa sejuk dalam hati, ringan dalam napas. Na
“ULYA, jaga mulut kamu!” ucapku dengan tegas pada dokter muda nan cantik itu. Apa, cantik? Hilang semua kecantikannya, terbatalkan oleh akhlak kasarnya. Kalimatnya barusan meruntuhkan semua image-nya.“Auu.” Ulya memegangi pipinya. “Kurang ajar kamu, Cinta.”Tamparanku memang tak seberapa kerasnya. Mungkin ia tak merasa sakit sama sekali, tapi aku hanya ingin menunjukkan kalau aku tak mau kalah dengan serangan mentalnya itu. Aku paham ia hanya menjatuhkan keyakinanku pada diriku sendiri, agar perlahan mundur dari Mas Rama. Tentu saja tidak semudah itu.“Mulutmu yang harus disekolahkan. Bisa bicara yang menenangkan aja saat seperti ini? Pahami kondisi. Jangan asal ceplos, di saat yang salah dan pada orang yang salah.”Tap tap. Suara langkah Dennis mendekat. Dengan segera ia memasangkan badan di depan diriku, menjadi tameng.“Maaf, saya tidak akan membiarkan Bu Cinta lebih jauh lagi berbicara dengan anda,” ucap Dennis.Ulya tersenyum sebelah bibir. “I don’t care.”Ulya melangkahkan kaki
“Aku hanya berjaga-jaga,” jawab Raisa menghindari tatapan Adrian. “Berjaga-jaga dari siapa?” Adrian sebenarnya tahu bahwa akan ada banyak orang yang mengincar Raisa. Termasuk pria bertopeng itu. Orang yang pernah menikam lengan Raisa. Kemudian, Kirana atau bisa jadi orang suruhan Selena. Raisa terdiam dengan napasnya tersengal-sengal. Adrian menyentuh tangannya lembut. “Aku tidak ingin kau hidup dalam ketakutan, Raisa.” “Aku tidak takut. Aku hanya bersiap-siap. Apa pun bisa terjadi denganku, Adrian,” jawab Raisa menarik lengannya. Adrian menggeser posisinya dengan duduk di bibir ranjang, lalu mengulurkan tangannya ke pipi sang istri. “Aku tahu kau kuat, Raisa. Tapi, kau tak perlu melakukan ini sendirian,” ucap Adrian mengiba. Raisa menatap Adrian penuh emosi. “Aku sudah sendirian selama bertahun-tahun, ini bukan hal baru bagiku, Adrian.” “Hei. Lihat aku. Lihat! Aku di sini,” bisik Adrian. “Kau tidak sendiri, Raisa. Ada aku. Suamimu,” lanjut Adrian menghela napas. Hening. Rais
“Kau sudah gila, Adrian?! Menikahi seorang wanita tanpa nama, tanpa status! Apa kau tahu berapa banyak investor yang mulai meragukan perusahaan kita?!” Adrian dengan tenang menyesap kopinya, “Ini pernikahanku, bukan urusan bisnis, Papa. Lagi pula kenyataannya tidak begitu. Justru Raisa bisa mengatasi permasalahan perusahaan dengan cerdas. Dia bukan cleaning service biasa.” Selena tertawa sinis, menyilangkan tangan di dada. “Jangan naif, Adrian. Semua yang kita lakukan ada dampaknya bagi perusahaan. Reputasimu akan tetap dipertanyakan publik.” Meja panjang dari marmer hitam berkilau di bawah cahaya lampu gantung kristal yang menjuntai di langit-langit. Di ruang makan keluarga suasana menegang. Adrian menatap Selena tajam. “Aku tidak peduli dengan reputasi yang dibuat-buat. Aku hanya peduli dengan kebenaran.” William— papa Adrian mendengus lalu berkata, “kebenaran? Apa maksudmu?!” “Aku mulai menyelidiki. Tentang Raisa. Tentang keluarganya. Dan ternyata, ada hubungan antara ke
Malam turun dengan tenang, tapi udara di balkon terasa berat oleh percakapan yang belum terucap. Langit gelap membentang luas, hanya diterangi bintang-bintang yang bersinar samar, sementara angin malam berembus pelan membawa aroma embun dan sisa wangi bunga dari halaman. Adrian menemukan Raisa duduk di balkon sedang menatap langit malam dengan ekspresi sendu. “Aku ingin bicara denganmu,” ucap Adrian dingin. Raisa menoleh, melihat ekspresi Adrian yang begitu sulit diartikan. Wanita berpiyama Bortuques itu menghela napas, lalu berdiri. “Aku juga ingin bicara denganmu, Adrian.” “Aku tahu kau ingin mendapatkan keadilan untuk keluargamu, Raisa,” ucap Adrian menatapnya tajam. Raisa terdiam. Adrian melangkah lebih dekat, ekspresinya seolah menegang. “Tapi aku ingin tahu satu hal. Apakah kau benar-benar mencintaiku? Atau semua ini hanya bagian dari rencanamu?” Raisa menahan napas. Tangannya mencengkeram kuat pagar besi yang dingin. Pertanyaan itu menusuk langsung ke hatinya. Dia
Adrian tak langsung menjawab. Dia hanya menatap Raisa lekat-lekat, mencari sesuatu di balik suaranya yang bergetar. Raisa melangkah masuk, lalu melemparkan sebuah amplop dengan tulisan tangan di atasnya. Adrian meliriknya, dan begitu ia melihat nama yang tertera, matanya membeliak. Nyaris jantungnya berhenti berdetak. Adrian menatap amplop itu, lalu menatap Raisa. “Apa ini?” “Sesuatu yang harus kau baca,” jawab Raisa pelan, namun tegas. Adrian mengambil amplop itu, menimbangnya sejenak sebelum melirik Raisa dengan curiga. “Surat?” Raisa mengangguk, rahangnya mengeras lalu berkata, “dari seseorang yang dulu memiliki perusahaan ini.” Adrian membeku. Jari-jarinya tanpa sadar mengeratkan pegangan pada amplop itu. Jantungnya kembali berdetak lebih cepat. Surat itu seolah surat kematian yang ditujukan untuknya. Dengan hati-hati Adrian membuka amplop, menarik keluar selembar kertas yang sedikit menguning. Matanya membaca baris pertama, lalu berhenti. Ekspresinya sontak beru
Aku hanya ingin membuka matamu, Adrian,” katanya ringan. "Apa?" tanya Adrian dingin. ”Tentang siapa sebenarnya sebenarnya Raisa. Apa motifnya, dan kenapa dia begitu gigih bertahan di posisimu,” lanjut Kirana seraya menatap kuku-kukunya yang bercat merah. Adrian mencengkeram sandaran kursinya lebih erat, mencoba menahan amarah yang meletup-letup dalam dirinya. Namun, Kirana tak hirau. Dia tahu dirinya sudah menarik perhatian pria yang ada di hadapannya. “Aku tahu kau mulai jatuh dalam jebakan Raisa,” lanjut Kirana, tatapannya menajam. “Tapi aku di sini bukan untuk menghentikanmu. Aku hanya ingin kau sadar sebelum semuanya terlambat.” Laki-laki itu menghempaskan pena yang dipegangnya. Adrian melenguh dari kursi dan menatap Kirana penuh waspada. “Apa maksudmu?” Kirana mendekat dengan langkah anggun seraya bersedekap. ”Kau tahu, Adrian? Ada alasan kenapa Raisa bekerja di perusahaan itu. Itu bukan kebetulan, itu rencana,” ucap Kirana berbisik namun penuh penekanan. Adrian
“Seseorang sudah menghancurkan bisnis keluargaku. Dan aku yakin mamaku tidak mati secara kebetulanl,” lirih Raisa. Sudut matanya berkedut. Adrian menyadari ada sesuatu yang disembunyikan Raisa. Selama percakapan mereka tadi, dia bisa melihat sorot mata Raisa yang penuh kehati-hatian. Seolah ada hal besar yang ingin dia katakan, tapi tertahan di tenggorokannya. Adrian dan Raisa masih duduk di kursi rotan. Rais dan Raihan tampak sudah mengantuk. Mereka izin untuk pergi ke kamar dan tidur. Adrian melanjutkan pembicaraannya dengan Raisa. Udara malam semakin dingin, namun ketegangan di antara mereka justru menghangat. Adrian bersandar pada kursinya, memutar-mutar cincin di jarinya dengan gelisah. “Perusahaanku ….,” gumam Adrian. Suaranya penuh dengan kehati-hatian. “Kenapa kau menghubungkannya dengan kematian ibumu?” Mendengar hal itu Raisa langsung menegakkan punggungnya. Seketika, tatapannya berubah waspada. Nyaris defensif. Adrian mempersempit matanya, memperhatikan setiap