“Ica ….,” jerit Ratih setelah knop pintu rumah sakit berdecit.
Aroma antiseptik bercampur dengan wangi bunga segar dari vas di atas meja menguar. Ratih sedikit merasa salah tingkah setelah mengetahui Adrian juga berada di ruangan itu. “Eh … maaf, Pak. Ternyata ada Pak Adrian di sini,” ucapnya seraya tertunduk sopan. Adrian menatap sebentar ke arah wanita berambut pendek dengan wajah dramatis itu menaruh sekantong makanan di atas nakas. Sekilas, Ratih melihat atasannya itu menarik napas pendek beberapa kali seperti menahan ketidaknyamanan yang langsung merayapi tubuhnya. Menyadari akan hal itu, Ratih memberikan sebotol air mineral kepada Adrian. “Tidak, terima kasih,” balas Adrian dingin. Mata Adrian berkeliling, berusaha mengalihkan fokus dari bau antiseptik yang menganggunya semalaman karena menjaga Raisa. Adrian sebenarnya tak tahan. Bukan hanya bau antiseptik, tapi juga kenangan yang tiba-tiba muncul tanpa permisi. Rumah sakit selalu memberinya perasaan tidak nyaman. “Kebetulan kamu ada di sini. Tolong jaga Raisa saya mau keluar dulu,” sahut Adrian cepat. Ratih mengangguk dan menatap punggung laki-laki yang masih mengenakan jas kantor sedini hari. Adrian menghilang di balik pintu. “Icaaa … Ica maafin gue baru datang sekarang. Gue baru buka hape sebelum salat subuh tadi. Setelah selesai salat gue langsung siap-siap pakai baju kerja sekalian terus ke sini dulu,” sesal wanita berambut pendek itu. Raisa mengangguk lemah dan tersenyum tipis. Ica adalah panggilan kesayangan Ratih kepada sahabatnya itu. Katanya menyebut huruf ‘R’ terlalu sulit di lidahnya. Jadi biar cepat dan mudah panggil Ica saja sudah cukup. Raisa tak keberatan. Dia anggap itu adalah hadiah terbaik dari sahabat seperjuangan saat menjadi cleaning service dulu. “Astaga! Tapi gue gak nyangka kejadiannya bisa begini. Lu cleaning service atau petarung MMA? Baru gue tinggal bentar aja sudah ditikam! Jangan-jangan besok masuk berita kriminal, lu!” Ratih menggaruk ujung hidungnya tanda mengejek. “Halah, lebay. Cuma luka kecil.” “Luka kecil? Ica, lu kena tikaman! Tikaman! Itu bukan masuk angin atau keselo!” sahut Ratih mencibir. Raisa menngangkat bahu dengan malas. “Ya udah, mau gimana lagi? Aku juga gak bisa bilang ‘maaf, bisa tusuknya lebih pelan?’ kan?” Ratih menepuk dahinya sendiri. “Ya Tuhan, kenapa sahabat gue ini santai banget. Padahal hampir mati?” Wanita bertubuh kurus itu menarik kursi dan duduk di sebelah Raisa, matanya menyipit curiga. “Tapi serius, siapa pria bertopeng itu? Apa dia mantan pacar lu yang sakit hati?” Dahi Raisa mengkerut. “Ratih … sejak kapan aku punya pacar?” “Benar juga. Satu-satunya laki-laki yang pernah dekat sama lu, kan, cuma satpam di gedung lama, itu pun karena sering lupa ID card dan harus minta izin masuk.” Ratih mengerutkan alis, lalu mengangguk pelan. Raisa mendengus. “Makasih sudah mengingatkan kehidupan cintaku yang menyedihkan.” Ratih tertawa memegangi perutnya, tapi sejurus kemudian ekspresinya berubah serius. “Tapi Ica, gue serius. Gue khawatir banget. Lu beneran gak papa, kan?” Raisa menatap sahabatnya. Meski Ratih sering bercanda, Raisa tahu dia tulus. “Aku baik-baik saja, Ratih. Aku masih di sini, kan? Lagipula ….” Raisa mendekat dan berbisik, “.... Ada seseorang yang menjagaku sekarang.” Ratih langsung menegakkan punggung, matanya berbinar penuh gosip. “Seseorang? Astaga! Jangan bilang si Bos Adrian tampan yang dulu suka lu omelin di pikiran lu?” Raisa berdehem canggung. “Aku gak pernah mengomelinya ….” “Oh, ya? Terus siapa yang sering bilang, ‘Huh, lihat tuh bos sok cool, padahal kerjaannya cuma marah-marah dong’?” cicit Ratih menatap Raisa tajam. “Sudah mulai jatuh cinta sama lu, nih, kayaknya,” lanjut Ratih menggoda. Raisa terbatuk pelan, pura-pura melihat ke jendela. “Cuacanya hari ini cerah, ya ….” Ratih menepuk lututnya sendiri sambil tertawa puas. “Ya ampun! Raisa Puteri yang dulu membenci bosnya, sekarang dijagain sama dia? Ini tuh drama yang lebih seru dari sinetron ikan terbang!” Raisa mendesah, tapi tak bisa menahan senyum. Meski Ratih selalu datang terlambat ketika dibutuhkan dan membuatnya kesal, kehadiran sahabatnya itu benar-benar membantunya merasa lebih baik. Tiba-tiba saja berkelabat di kepalanya tentang nama Raisa Puteri yang disebutkan oleh Ratih barusan. Raisa jadi teringat kejadian semalam bahwa identitasnya yang sebenarnya belum diketahui oleh sahabatnya sendiri, tapi justru sudah diketahui oleh Adrian. Ruang VIP rumah sakit itu terasa lebih seperti kamar hotel dibanding ruang perawatan. Langit-langit yang tinggi, dengan pencahayaan yang lembut tidak menusuk mata. Dindingnya berwarna netral, memberikan kesan tenang, jauh dari kesan suram rumah sakit pada umumnya. “Gue bawain sesuatu yang bisa menyembuhkan jiwa, lu.” “Apa?” fokus Raisa teralihkan sebentar. Ratih berdiri dan mengambil plastik belanjaannya. “Ini martabak dan es teh jumbo kesukaan lu. Gue tau masakan di rumah sakit ini pasti hambar,” ucap Ratih seraya menyodorkan bungkusan. “Ratih … makasih banyak, ya. Tapi aku pengen keripik. Ada gak? Keripik sambal ubi yang biasa kamu kantongin di saku kamu." “Apa?! Sejak kapan lu suka keripik sambal ubi gue?” Ratih tersentak heran. “Sejak kita kenalan,” kelakar Raisa tertawa kecil. Alisnya naik dua kali. Sahabatnya itu memang suka mengantongi makanan di saku kantong kerjanya. Dia bilang itu sangat membantu saat dirinya kelaparan ketika bekerja. Maklum. Meski pun badannya kurus, tapi lambungnya elastis macam karet. Bisa menampung banyak makanan di dalamnya. “Benar-bener, lu, ya. Untung hari ini gue bawa tiga. Ambil satu, nih,” cicit Ratih seraya mengambil sebungkus kecil keripik dari kantong baju kerjanya. Raisa langsung berbinar. “Ratih, aku mencintaimu lebih dari hidupku sendiri.” “Lebih dari Adrian?” Ratih tertawa puas. Mereka berdua pun tertawa bersama, sejenak melupakan semua masalah yang membebani Raisa. Mungkin dunia masih penuh bahaya, tapi setidaknya dia masih punya sahabat yang selalu membuatnya tertawa, bahkan di saat-saat terburuk sekali pun. Raisa duduk bersandar di ranjang pasien berteknologi tinggi. Panel kontrol di samping ranjang memungkinkan pasien posisi tidur hanya dengan sentuhan jari. Raisa menarik napas dalam, lalu menoleh ke Ratih yang masih duduk di kursi samping ranjang yang sibuk mengunyah martabak. “Ratih, aku butuh bantuanmu.” Ratih berhenti mengunyah dan menatap Raisa dengan penuh selidik. “Kalau ini tentang menyelundupkan makanan enak ke rumah sakit, gue siap. Tapi kalau ini sesuatu yang bakal bikin gue kena masalah, kita diskusi dulu, ya,” balas Ratih santai. Raisa mendengus kesal. “Bukan itu! Aku cuman mau minta tolong kau jemput papa dan kedua adikku. Aku harus bicara dengan mereka.” Ratih meletakkan martabaknya lalu menegakkan punggung dengan ekspresi lebih serius. “Oke, ini serius. Lu yakin mau melibatkan keluarga lu untuk urusan ini?” tanya Ratih. Tampak rasa takut terlukis di wajahnya. Raisa mengangguk pelan. “Aku merasa ini semua berhubungan. Aku harus tau kebenarannya.” Ratih menghela napas panjang. “Baiklah, istrinya CEO Chargost Intercoperated Jambi. Gue akan jemput mereka.” Tanpa banyak bicara lagi, Ratih segera beranjak pergi. Dua jam kemudian, pintu kamar rumah sakit terbuka, dan langkah berat terdengar memasuki ruangan. Raihadi, ayah Raisa berdiri dengan tongkatnya di ambang pintu dengan ekspresi lelah. Dua adik Raisa, Rais dan Raihan berjalan di belakangnya. Wajah mereka penuh kekhawatiran. “Kau baik-baik saja, Nak?” tanya Raihadi menatap Raisa dengan mata berkaca-kaca. Raisa tersenyum tipis. “Aku masih hidup, Pa.” Wajah Raisa menjadi cerah ketika melihat papanya kini ada kemajuan setelah terapi. Tongkat yang dibelikannya kini sudah terpakai. Raihadi, adiknya yang paling kecil langsung berlari memeluk Raisa dengan erat, membuatnya meringis karena lengannya masih sakit. “Kak Raisa, adek takut banget! Kenapa ada orang jahat yang mau melukai Kakak?” Rais yang lebih pendiam hanya berdiri di samping tempat tidur, mengenggam tangan Raisa dengan erat. Matanya merah, menahan tangis. Raisa membelai kepala adik bungsunya dengan lembut. “Kakak juga gak tau, Dek.” Pandangan Raisa beralih kepada papanya dengan serius, “tapi, mungkin papa tau jawabannya.” Raihadi terdiam, wajahnya semakin muram. Dia mengalihkan pandangannya, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang berat.“Tolong! Tolong! Apa ada orang di luar sana? Tolong buka pintunya!” Pekik Adrian seraya mengetuk dengan kuat pintu cold room. Tidak ada siapa pun yang menjawab dan membukakan pintu. Adrian terjebak bersama dengan seorang cleaning service di dalam ruangan bersuhu kurang dari 20 derajat Celcius. “Cepat cari bantuan. Telepon siapa pun atau terserah. Kita bisa mati di ruangan dingin ini.” Raisa merogoh benda pipih yang ada di saku celananya dan mengetuk beberapa kali layar ponsel. Namun, panggilan telepon baru saja hendak terhubung tiba-tiba ponselnya mati begitu saja. “Baterainya habis, Pak,” ucap Raisa panik. Laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun itu tersandar di pintu dan mengusap kedua wajahnya dengan kasar setelah menyadari bahwa ponselnya juga tertinggal di meja kerjanya. Adrian kembali berteriak sekuat tenaga meminta pertolongan, namun tidak ada siapa pun yang datang untuk menyelamatkan seorang CEO dari Carghost Intercoparated ternama di kota Jambi itu. Laki-laki blasteran
Jarum jam di tangan berhenti pada angka dua belas, sementara jarum panjang duduk manis di tengah angka sebelas. Suhu beku tadi sudah seperti malaikat yang siap merenggut nyawa mereka berdua. Panik, namun berhasil dihentikan.”Sudah lima jam kita di sini, tapi belum ada siapa pun yang datang.”Adrian menghirup udara dalam-dalam karena pasokan udara di ruangan itu mulai berkurang. Mesin refregarasi sudah berhasil disumbat dengan potongan daging dan yang tersisa hanya aromanya yang menyengat.”Bantuan akan datang sebentar lagi. Kita tunggu saja, Pak,” sahut Raisa dengan nada penuh keyakinan. “Saya yakin ini bukan kecelakaan semata. Pasti ada dalang di balik semua ini.” Mata wanita berambut sebahu itu berkelabat seraya memeluk kedua lututnya.Adrian mengayunkan kaki mendekati Raisa yang terduduk di lantai. Seluruh wajahnya tampak menyala seperti api yang siap membakar. ”Apa maksudmu?” ucap Adrian pelan namun menusuk. “Aku sering mendengar percakapan orang-orang penting di kantor yang ing
“M-menikah?” Tanya Raisa dengan mulut setengah menganga. Jika wanita itu bukan Raisa sudah pasti hatinya berbunga-bunga mendengar kata menikah yang keluar dari mulut seorang pria tampan dan berkedudukan seperti Adrian. Namun, mengawali pernikahan karena terpaksa demi menjaga citra baiknya di depan orang-orang bukanlah awal yang baik. Menikah macam apa itu? Batin Raisa bergejolak. ”Saya tidak mau, Pak,” tolak Raisa dengan gelengan cepat. Adrian menatap lekat wajah Raisa. Dan untuk pertama kalinya mata elang itu mengarah pada seorang wanita. Sorot mata itu jelas bukan karena mengagumi wanita di depannya, melainkan membuat siapa pun merasa terintimidasi. Raisa perlahan menunduk dan menurunkan pandangannya. “Kalau kamu menolak menikah dengan saya maka bukan cuma perusahaan ini yang bangkrut. Kamu dan ratusan orang pegawai juga angkat kaki dari sini,” seloroh Adrian dengan wajah serius. Deg! Tiba-tiba Raisa langsung teringat dengan Raihan dan Rais. Begitu juga papanya. Kalau dia
Desas-desus langsung terdengar di telinga, tapi tak ada satu pun yang berani menyangkal kenapa direktur utama itu mau menikahi seorang cleaning service. Sementara itu, di balik pintu kaca berdiri seorang wanita dengan gincu merah menyala dan hati yang menyala-nyala pula. Dia mengepalkan kedua tangan dan hampir ingin memukul pintu kaca, namun tangannya menggantung di udara. “Apa aku harus jadi cleaning service dulu supaya bisa menikah dengan Adrian?” Mira mendengus kesal. Ternyata usahanya untuk menjadi pahlawan jikalau reputasi Adrian hancur tidak benar-benar menjadi kenyataan. Justru Adrian melindungi perempuan itu bahkan menyanjungnya di hadapan semua orang. *** Langit senja memerah saat Adrian melangkah keluar dari kantornya. Langkahnya berat, seakan ada rantai tak kasat mata mengekangnya. Hari ini, dia resmi menikah dengan Raisa. Sebuah keputusan yang diambil bukan karena cinta, melainkan demi menyelamatkan citra perusahaannya. Kabar skandal yang hampir menghancurkan bisnis
Saat kembali ke kamar hotel. Adrian mendapati Raisa sudah lebih dulu duduk di bibir ranjang membuka gaun pengantin dengan gurat wajah yang lelah. “Jadi malam ini kita harus berpura-pura bahagia juga, Pak?” Tanya Raisa dengan suara datar, tanpa menoleh ke Adrian. Laki-laki yang berdiri dekat jendela kaca besar hotel itu tak menjawab. Dia mengeluarkan tangan kiri yang masuk di saku celananya seraya berjalan ke arah minibar dan menuangkan segelas anggur merah dan meneguknya dalam diam. Adrian tak tahu mana yang lebih buruk. Pernikahan tanpa cinta ini atau ancaman Kirana yang kini menggantung di atas kepalanya? Dadanya bertalu-talu macam ada gunung yang hendak meletus. Pemandangan kota Jambi yang berkilauan di malam hari, dinding hotel berlapis kayu dengan sentuhan emas berpadu dengan wallpaper cream tiba-tiba meredup. Gaun Raisa yang biru muda dan bibirnya yang merah juga mendadak luntur menjadi monokrom, hilang warna, kemudian mengabu. Yang jelas, ucapan Kirana adalah satu hal y
“Siapa kau?!” teriak Adrian. Kedua tangannya refleks membentang melindungi Raisa yang ada di belakang punggungnya. “Tidak perlu tau siapa aku! Biarkan aku membawa perempuan yang ada di belakangmu.” Udara di sekitar mendadak terasa lebih berat. Laki-laki itu semakin mendekat tanpa ragu sedikit pun. “Mendekat satu langkah akan kubuat sepatumu tertinggal di sana.” Alis Adrian bertaut. Tampak wajahnya berubah menjadi keras. Sementara itu, Raisa merasa kebingungan. Jantungnya berdebar kencang, seperti palu yang terus menghantam dinding dadanya. Tanpa membuang waktu, Adrian mengayunkan tinjunya ke arah wajah pria bertopeng. Namun, lawannya terlalu cepat dan gesit, pria bertopeng itu menunduk, menangkap pergelangan tangannya, lalu memelintirnya dengan kekuatan brutal. Adrian terjatuh begitu saja. Dibalik topeng terdengar suara tawa menyeringai mendekat ke arah Raisa. Sontak sepatu tingginya menyeret beberapa langkah ke belakang. Adrian berusaha bangun meski rasa sakit menjalar dari
“Ica ….,” jerit Ratih setelah knop pintu rumah sakit berdecit. Aroma antiseptik bercampur dengan wangi bunga segar dari vas di atas meja menguar. Ratih sedikit merasa salah tingkah setelah mengetahui Adrian juga berada di ruangan itu.“Eh … maaf, Pak. Ternyata ada Pak Adrian di sini,” ucapnya seraya tertunduk sopan. Adrian menatap sebentar ke arah wanita berambut pendek dengan wajah dramatis itu menaruh sekantong makanan di atas nakas.Sekilas, Ratih melihat atasannya itu menarik napas pendek beberapa kali seperti menahan ketidaknyamanan yang langsung merayapi tubuhnya. Menyadari akan hal itu, Ratih memberikan sebotol air mineral kepada Adrian.“Tidak, terima kasih,” balas Adrian dingin. Mata Adrian berkeliling, berusaha mengalihkan fokus dari bau antiseptik yang menganggunya semalaman karena menjaga Raisa. Adrian sebenarnya tak tahan. Bukan hanya bau antiseptik, tapi juga kenangan yang tiba-tiba muncul tanpa permisi. Rumah sakit selalu memberinya perasaan tidak nyaman.“Kebetulan
“Siapa kau?!” teriak Adrian. Kedua tangannya refleks membentang melindungi Raisa yang ada di belakang punggungnya. “Tidak perlu tau siapa aku! Biarkan aku membawa perempuan yang ada di belakangmu.” Udara di sekitar mendadak terasa lebih berat. Laki-laki itu semakin mendekat tanpa ragu sedikit pun. “Mendekat satu langkah akan kubuat sepatumu tertinggal di sana.” Alis Adrian bertaut. Tampak wajahnya berubah menjadi keras. Sementara itu, Raisa merasa kebingungan. Jantungnya berdebar kencang, seperti palu yang terus menghantam dinding dadanya. Tanpa membuang waktu, Adrian mengayunkan tinjunya ke arah wajah pria bertopeng. Namun, lawannya terlalu cepat dan gesit, pria bertopeng itu menunduk, menangkap pergelangan tangannya, lalu memelintirnya dengan kekuatan brutal. Adrian terjatuh begitu saja. Dibalik topeng terdengar suara tawa menyeringai mendekat ke arah Raisa. Sontak sepatu tingginya menyeret beberapa langkah ke belakang. Adrian berusaha bangun meski rasa sakit menjalar dari
Saat kembali ke kamar hotel. Adrian mendapati Raisa sudah lebih dulu duduk di bibir ranjang membuka gaun pengantin dengan gurat wajah yang lelah. “Jadi malam ini kita harus berpura-pura bahagia juga, Pak?” Tanya Raisa dengan suara datar, tanpa menoleh ke Adrian. Laki-laki yang berdiri dekat jendela kaca besar hotel itu tak menjawab. Dia mengeluarkan tangan kiri yang masuk di saku celananya seraya berjalan ke arah minibar dan menuangkan segelas anggur merah dan meneguknya dalam diam. Adrian tak tahu mana yang lebih buruk. Pernikahan tanpa cinta ini atau ancaman Kirana yang kini menggantung di atas kepalanya? Dadanya bertalu-talu macam ada gunung yang hendak meletus. Pemandangan kota Jambi yang berkilauan di malam hari, dinding hotel berlapis kayu dengan sentuhan emas berpadu dengan wallpaper cream tiba-tiba meredup. Gaun Raisa yang biru muda dan bibirnya yang merah juga mendadak luntur menjadi monokrom, hilang warna, kemudian mengabu. Yang jelas, ucapan Kirana adalah satu hal y
Desas-desus langsung terdengar di telinga, tapi tak ada satu pun yang berani menyangkal kenapa direktur utama itu mau menikahi seorang cleaning service. Sementara itu, di balik pintu kaca berdiri seorang wanita dengan gincu merah menyala dan hati yang menyala-nyala pula. Dia mengepalkan kedua tangan dan hampir ingin memukul pintu kaca, namun tangannya menggantung di udara. “Apa aku harus jadi cleaning service dulu supaya bisa menikah dengan Adrian?” Mira mendengus kesal. Ternyata usahanya untuk menjadi pahlawan jikalau reputasi Adrian hancur tidak benar-benar menjadi kenyataan. Justru Adrian melindungi perempuan itu bahkan menyanjungnya di hadapan semua orang. *** Langit senja memerah saat Adrian melangkah keluar dari kantornya. Langkahnya berat, seakan ada rantai tak kasat mata mengekangnya. Hari ini, dia resmi menikah dengan Raisa. Sebuah keputusan yang diambil bukan karena cinta, melainkan demi menyelamatkan citra perusahaannya. Kabar skandal yang hampir menghancurkan bisnis
“M-menikah?” Tanya Raisa dengan mulut setengah menganga. Jika wanita itu bukan Raisa sudah pasti hatinya berbunga-bunga mendengar kata menikah yang keluar dari mulut seorang pria tampan dan berkedudukan seperti Adrian. Namun, mengawali pernikahan karena terpaksa demi menjaga citra baiknya di depan orang-orang bukanlah awal yang baik. Menikah macam apa itu? Batin Raisa bergejolak. ”Saya tidak mau, Pak,” tolak Raisa dengan gelengan cepat. Adrian menatap lekat wajah Raisa. Dan untuk pertama kalinya mata elang itu mengarah pada seorang wanita. Sorot mata itu jelas bukan karena mengagumi wanita di depannya, melainkan membuat siapa pun merasa terintimidasi. Raisa perlahan menunduk dan menurunkan pandangannya. “Kalau kamu menolak menikah dengan saya maka bukan cuma perusahaan ini yang bangkrut. Kamu dan ratusan orang pegawai juga angkat kaki dari sini,” seloroh Adrian dengan wajah serius. Deg! Tiba-tiba Raisa langsung teringat dengan Raihan dan Rais. Begitu juga papanya. Kalau dia
Jarum jam di tangan berhenti pada angka dua belas, sementara jarum panjang duduk manis di tengah angka sebelas. Suhu beku tadi sudah seperti malaikat yang siap merenggut nyawa mereka berdua. Panik, namun berhasil dihentikan.”Sudah lima jam kita di sini, tapi belum ada siapa pun yang datang.”Adrian menghirup udara dalam-dalam karena pasokan udara di ruangan itu mulai berkurang. Mesin refregarasi sudah berhasil disumbat dengan potongan daging dan yang tersisa hanya aromanya yang menyengat.”Bantuan akan datang sebentar lagi. Kita tunggu saja, Pak,” sahut Raisa dengan nada penuh keyakinan. “Saya yakin ini bukan kecelakaan semata. Pasti ada dalang di balik semua ini.” Mata wanita berambut sebahu itu berkelabat seraya memeluk kedua lututnya.Adrian mengayunkan kaki mendekati Raisa yang terduduk di lantai. Seluruh wajahnya tampak menyala seperti api yang siap membakar. ”Apa maksudmu?” ucap Adrian pelan namun menusuk. “Aku sering mendengar percakapan orang-orang penting di kantor yang ing
“Tolong! Tolong! Apa ada orang di luar sana? Tolong buka pintunya!” Pekik Adrian seraya mengetuk dengan kuat pintu cold room. Tidak ada siapa pun yang menjawab dan membukakan pintu. Adrian terjebak bersama dengan seorang cleaning service di dalam ruangan bersuhu kurang dari 20 derajat Celcius. “Cepat cari bantuan. Telepon siapa pun atau terserah. Kita bisa mati di ruangan dingin ini.” Raisa merogoh benda pipih yang ada di saku celananya dan mengetuk beberapa kali layar ponsel. Namun, panggilan telepon baru saja hendak terhubung tiba-tiba ponselnya mati begitu saja. “Baterainya habis, Pak,” ucap Raisa panik. Laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun itu tersandar di pintu dan mengusap kedua wajahnya dengan kasar setelah menyadari bahwa ponselnya juga tertinggal di meja kerjanya. Adrian kembali berteriak sekuat tenaga meminta pertolongan, namun tidak ada siapa pun yang datang untuk menyelamatkan seorang CEO dari Carghost Intercoparated ternama di kota Jambi itu. Laki-laki blasteran