“Siapa kau?!” teriak Adrian. Kedua tangannya refleks membentang melindungi Raisa yang ada di belakang punggungnya.
“Tidak perlu tau siapa aku! Biarkan aku membawa perempuan yang ada di belakangmu.” Udara di sekitar mendadak terasa lebih berat. Laki-laki itu semakin mendekat tanpa ragu sedikit pun. “Mendekat satu langkah akan kubuat sepatumu tertinggal di sana.” Alis Adrian bertaut. Tampak wajahnya berubah menjadi keras. Sementara itu, Raisa merasa kebingungan. Jantungnya berdebar kencang, seperti palu yang terus menghantam dinding dadanya. Tanpa membuang waktu, Adrian mengayunkan tinjunya ke arah wajah pria bertopeng. Namun, lawannya terlalu cepat dan gesit, pria bertopeng itu menunduk, menangkap pergelangan tangannya, lalu memelintirnya dengan kekuatan brutal. Adrian terjatuh begitu saja. Dibalik topeng terdengar suara tawa menyeringai mendekat ke arah Raisa. Sontak sepatu tingginya menyeret beberapa langkah ke belakang. Adrian berusaha bangun meski rasa sakit menjalar dari lengannya. Wajahnya menggeram dan membalas dengan tendangan keras ke punggung lawannya. Bugh! Pria bertopeng itu terjerembab tepat di hadapan Raisa. “Raisa lari!” jerit Adrian. Gegas wanita itu berbalik dan berlari sekuat tenaga. Waktu seolah melambat. Ruangan arsip yang penuh dengan tumpukan dokumen kini telah berubah menjadi perangkap sunyi mematikan. Tidak ada pintu lain. Tidak ada jalan keluar. Hanya ada dia, Adrian, dan seseorang yang bisa saja menghilangkan nyawa keduanya dalam sekejap. Pria bertopeng itu kembali berdiri. Dengan gerakan cepat Adrian meraih map tebal di rak terdekat dan menghantamkannya ke kepala lawan. Dentuman keras memenuhi ruangan. Pria bertopeng itu kembali terhuyung. Adrian tak memberi celah yang cukup untuknya menyerang. “Adrian!” ucap Raisa membatin. Suara dentuman membuat langkah Raisa terhenti. “Aku gak bisa biarin dia sendiri di sana.” Hati Raisa membatin. Langkah kakinya perlahan berpindah dan mencari tempat bersembunyi di antara rak-rak tinggi yang dipenuhi map berdebu. Ruangan arsip yang sempit itu menjadi saksi bisu pertarungan yang pecah tiba-tiba. Mendadak rasa dingin menjalar di punggung Raisa. Lututnya terasa lemas. Tangan yang mengenggam tali handbag juga terasa dingin dan gemetar, seolah tenaganya telah terkuras habis. Nafasnya pendek-pendek, berusaha tetap tenang, tapi tenggorokannya terasa kering menyaksikan apa yang ada di depannya. Dengan nafas memburu, Adrian meluncurkan pukulan bertubi-tubi ke rahang dan dada pria bertopeng itu. Namun, satu kesalahan kecil membuat Adrian lengah. Pria itu mendorongnya ke rak arsip hingga tubuhnya terhantam keras saat sedang menelepon seseorang. Kepalanya terasa berdenyut, pandangannya sempat bergetar. Sarung tangan hitam yang dikenakan pria bertopeng itu mengeluarkan p i sau dan diayunkan dengan cepat ke arah Adrian. Raisa melompat dari arah samping, dan mendorong tubuh Adrian yang hampir membentur rak arsip dan seketika ujung pisau melesat sempurna di lengan kanan Raisa. “Raisa!” pekik Adrian panik. Darah segar mengalir dari lengan baju yang dikenakan Raisa. Pria bertopeng itu lari begitu saja meninggalkan mereka. “Raisa bertahanlah!” lirih Adrian memegangi gagang pisau hendak melepaskannya. Sementara itu, Raisa merasakan ngilu luar biasa. Pandangannya mendadak kabur dan limbung di pangkuan Adrian. *** Adrian menggeretakkan rahangnya. Matanya menatap tajam ke arah Raisa yang masih terlelap di atas ranjang putih rumah sakit. Dadanya naik turun dengan napas yang pelan. Raisa mengerjap pelan, kelopak matanya terasa berat. Rasa nyeri di lengan kanan menyambutnya, membuatnya meringis. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasa sakit langsung menusuk hingga ke tulang. “Jangan bergerak,” ucap Adrian. “Adrian?” suaranya serak, hampir seperti bisikan. Adrian mengangguk, tetapi ekspresinya tetap datar. Namun, Raisa bukan orang bodoh. Dia bisa melihat ketegangan di rahang pria itu. Raisa merasakan emosi Adrian yang berputar-putar di balik sorot matanya yang tajam. "Kau masih di sini?" Adrian tak langsung menjawab. Tangannya terangkat sedikit, hampir seperti ingin menyentuh Raisa, tetapi dia menghentikan gerakannya di udara sebelum akhirnya menarik diri. “Iya. Aku masih di sini,” jawabnya akhirnya. Suara Adrian terdengar lebih lembut dari biasanya. “Kau pikir aku akan pergi gitu aja setelah ada orang yang mencoba membunuhmu?” Tanpa sadar, Adrian duduk di kursi sebelah ranjang. Sejujurnya pikirannya masih kacau, dipenuhi kemarahan dan kekhawatiran. Dan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekedar rasa bersalah. Raisa tersenyum kecil meskipun bibirnya terasa kering. “Sudah mulai peduli denganku sepertinya.” Adrian menatapnya lama. Mata mereka bertemu. Sebelum ini, Raisa hanya bagian dari rencananya. Bagian dari permainan besar yang disusun untuk bertahan di tengah badai intrik bisnis dan dendam yang membahayakan keluarganya. Tapi sekarang, melihatnya terbaring lemah seperti ini, Adrian merasa ada sesuatu mencengkeram hatinya erat. “Aku memang peduli,” ucap Adrian akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Kali ini untuk pertama kalinya, tidak ada permainan, tidak ada kebohongan, tidak ada peran yang harus dimainkan. Hanya mereka berdua, di ruangan sunyi dengan cahaya remang dari jendela rumah sakit. Raisa memejamkan matanya sejenak dan menarik napas. Dia tahu Adrian bukan tipe yang mudah mengakui sesuatu seperti ini. Dan fakta bahwa pria itu ada di sini, menunggunya bangun, lebih dari cukup untuk membuat sesuatu bergetar di dalam hatinya. “Gak! Aku gak boleh jatuh cinta dengan Adrian. Tujuan utamaku untuk mengungkap kematian mama.” Hati Raisa mencelos. Cepat-cepat dia menteralkan perasaannya. Suasana menjadi hening. Hanya suara detak monitor di ruangan terdengar pelan, berpadu dengan suara napas Raisa yang masih melemah. Adrian masih menatap lekat Raisa dengan intensitas yang sulit diartikan. Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan, tetapi dia tahu ini bukan waktunya. Akan tetapi, ada satu pertanyaan yang tak bisa ditunda lebih lama. “Pria bertopeng itu … apakah dia ada hubungannya dengan kematian ibumu?” Suara Adrian rendah, hampir seperti bisikan, tetapi penuh penekanan. Raisa membuka matanya lebar. Nafasnya tercekat, dan tangannya yang lemah mencengkeram selimut dengan erat. “Kau tau tentang itu?” suaranya bergetar, antara kaget dan waspada. Adrian mengangguk. “Aku sudah menyelidikinya. Dan serangan ini … bukan kebetulan, Raisa.” “Aku tidak tau siapa dia,” bisik Raisa. “Kalau gitu, kita akan menemukan dia,” ucap Adrian dengan suara penuh tekad. Raisa menatapnya, matanya menyimpan sesuatu yang belum pernah Adrian lihat sebelumnya—sebuah kepercayaan. Sesuatu yang selama ini sulit diberikan oleh Raisa kepada siapa pun. Perlahan namun terus berjalan, tidak terasa benih cinta sebesar biji kacang itu kini telah bertunas. Suara knop pintu terbuka membuat pandangan Raisa dan Adrian terlempar pada pintu ruangan rumah sakit itu. Siapa itu?“Ica ….,” jerit Ratih setelah knop pintu rumah sakit berdecit. Aroma antiseptik bercampur dengan wangi bunga segar dari vas di atas meja menguar. Ratih sedikit merasa salah tingkah setelah mengetahui Adrian juga berada di ruangan itu.“Eh … maaf, Pak. Ternyata ada Pak Adrian di sini,” ucapnya seraya tertunduk sopan. Adrian menatap sebentar ke arah wanita berambut pendek dengan wajah dramatis itu menaruh sekantong makanan di atas nakas.Sekilas, Ratih melihat atasannya itu menarik napas pendek beberapa kali seperti menahan ketidaknyamanan yang langsung merayapi tubuhnya. Menyadari akan hal itu, Ratih memberikan sebotol air mineral kepada Adrian.“Tidak, terima kasih,” balas Adrian dingin. Mata Adrian berkeliling, berusaha mengalihkan fokus dari bau antiseptik yang menganggunya semalaman karena menjaga Raisa. Adrian sebenarnya tak tahan. Bukan hanya bau antiseptik, tapi juga kenangan yang tiba-tiba muncul tanpa permisi. Rumah sakit selalu memberinya perasaan tidak nyaman.“Kebetulan
“Tolong! Tolong! Apa ada orang di luar sana? Tolong buka pintunya!” Pekik Adrian seraya mengetuk dengan kuat pintu cold room. Tidak ada siapa pun yang menjawab dan membukakan pintu. Adrian terjebak bersama dengan seorang cleaning service di dalam ruangan bersuhu kurang dari 20 derajat Celcius. “Cepat cari bantuan. Telepon siapa pun atau terserah. Kita bisa mati di ruangan dingin ini.” Raisa merogoh benda pipih yang ada di saku celananya dan mengetuk beberapa kali layar ponsel. Namun, panggilan telepon baru saja hendak terhubung tiba-tiba ponselnya mati begitu saja. “Baterainya habis, Pak,” ucap Raisa panik. Laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun itu tersandar di pintu dan mengusap kedua wajahnya dengan kasar setelah menyadari bahwa ponselnya juga tertinggal di meja kerjanya. Adrian kembali berteriak sekuat tenaga meminta pertolongan, namun tidak ada siapa pun yang datang untuk menyelamatkan seorang CEO dari Carghost Intercoparated ternama di kota Jambi itu. Laki-laki blasteran
Jarum jam di tangan berhenti pada angka dua belas, sementara jarum panjang duduk manis di tengah angka sebelas. Suhu beku tadi sudah seperti malaikat yang siap merenggut nyawa mereka berdua. Panik, namun berhasil dihentikan.”Sudah lima jam kita di sini, tapi belum ada siapa pun yang datang.”Adrian menghirup udara dalam-dalam karena pasokan udara di ruangan itu mulai berkurang. Mesin refregarasi sudah berhasil disumbat dengan potongan daging dan yang tersisa hanya aromanya yang menyengat.”Bantuan akan datang sebentar lagi. Kita tunggu saja, Pak,” sahut Raisa dengan nada penuh keyakinan. “Saya yakin ini bukan kecelakaan semata. Pasti ada dalang di balik semua ini.” Mata wanita berambut sebahu itu berkelabat seraya memeluk kedua lututnya.Adrian mengayunkan kaki mendekati Raisa yang terduduk di lantai. Seluruh wajahnya tampak menyala seperti api yang siap membakar. ”Apa maksudmu?” ucap Adrian pelan namun menusuk. “Aku sering mendengar percakapan orang-orang penting di kantor yang ing
“M-menikah?” Tanya Raisa dengan mulut setengah menganga. Jika wanita itu bukan Raisa sudah pasti hatinya berbunga-bunga mendengar kata menikah yang keluar dari mulut seorang pria tampan dan berkedudukan seperti Adrian. Namun, mengawali pernikahan karena terpaksa demi menjaga citra baiknya di depan orang-orang bukanlah awal yang baik. Menikah macam apa itu? Batin Raisa bergejolak. ”Saya tidak mau, Pak,” tolak Raisa dengan gelengan cepat. Adrian menatap lekat wajah Raisa. Dan untuk pertama kalinya mata elang itu mengarah pada seorang wanita. Sorot mata itu jelas bukan karena mengagumi wanita di depannya, melainkan membuat siapa pun merasa terintimidasi. Raisa perlahan menunduk dan menurunkan pandangannya. “Kalau kamu menolak menikah dengan saya maka bukan cuma perusahaan ini yang bangkrut. Kamu dan ratusan orang pegawai juga angkat kaki dari sini,” seloroh Adrian dengan wajah serius. Deg! Tiba-tiba Raisa langsung teringat dengan Raihan dan Rais. Begitu juga papanya. Kalau dia
Desas-desus langsung terdengar di telinga, tapi tak ada satu pun yang berani menyangkal kenapa direktur utama itu mau menikahi seorang cleaning service. Sementara itu, di balik pintu kaca berdiri seorang wanita dengan gincu merah menyala dan hati yang menyala-nyala pula. Dia mengepalkan kedua tangan dan hampir ingin memukul pintu kaca, namun tangannya menggantung di udara. “Apa aku harus jadi cleaning service dulu supaya bisa menikah dengan Adrian?” Mira mendengus kesal. Ternyata usahanya untuk menjadi pahlawan jikalau reputasi Adrian hancur tidak benar-benar menjadi kenyataan. Justru Adrian melindungi perempuan itu bahkan menyanjungnya di hadapan semua orang. *** Langit senja memerah saat Adrian melangkah keluar dari kantornya. Langkahnya berat, seakan ada rantai tak kasat mata mengekangnya. Hari ini, dia resmi menikah dengan Raisa. Sebuah keputusan yang diambil bukan karena cinta, melainkan demi menyelamatkan citra perusahaannya. Kabar skandal yang hampir menghancurkan bisnis
Saat kembali ke kamar hotel. Adrian mendapati Raisa sudah lebih dulu duduk di bibir ranjang membuka gaun pengantin dengan gurat wajah yang lelah. “Jadi malam ini kita harus berpura-pura bahagia juga, Pak?” Tanya Raisa dengan suara datar, tanpa menoleh ke Adrian. Laki-laki yang berdiri dekat jendela kaca besar hotel itu tak menjawab. Dia mengeluarkan tangan kiri yang masuk di saku celananya seraya berjalan ke arah minibar dan menuangkan segelas anggur merah dan meneguknya dalam diam. Adrian tak tahu mana yang lebih buruk. Pernikahan tanpa cinta ini atau ancaman Kirana yang kini menggantung di atas kepalanya? Dadanya bertalu-talu macam ada gunung yang hendak meletus. Pemandangan kota Jambi yang berkilauan di malam hari, dinding hotel berlapis kayu dengan sentuhan emas berpadu dengan wallpaper cream tiba-tiba meredup. Gaun Raisa yang biru muda dan bibirnya yang merah juga mendadak luntur menjadi monokrom, hilang warna, kemudian mengabu. Yang jelas, ucapan Kirana adalah satu hal y
“Ica ….,” jerit Ratih setelah knop pintu rumah sakit berdecit. Aroma antiseptik bercampur dengan wangi bunga segar dari vas di atas meja menguar. Ratih sedikit merasa salah tingkah setelah mengetahui Adrian juga berada di ruangan itu.“Eh … maaf, Pak. Ternyata ada Pak Adrian di sini,” ucapnya seraya tertunduk sopan. Adrian menatap sebentar ke arah wanita berambut pendek dengan wajah dramatis itu menaruh sekantong makanan di atas nakas.Sekilas, Ratih melihat atasannya itu menarik napas pendek beberapa kali seperti menahan ketidaknyamanan yang langsung merayapi tubuhnya. Menyadari akan hal itu, Ratih memberikan sebotol air mineral kepada Adrian.“Tidak, terima kasih,” balas Adrian dingin. Mata Adrian berkeliling, berusaha mengalihkan fokus dari bau antiseptik yang menganggunya semalaman karena menjaga Raisa. Adrian sebenarnya tak tahan. Bukan hanya bau antiseptik, tapi juga kenangan yang tiba-tiba muncul tanpa permisi. Rumah sakit selalu memberinya perasaan tidak nyaman.“Kebetulan
“Siapa kau?!” teriak Adrian. Kedua tangannya refleks membentang melindungi Raisa yang ada di belakang punggungnya. “Tidak perlu tau siapa aku! Biarkan aku membawa perempuan yang ada di belakangmu.” Udara di sekitar mendadak terasa lebih berat. Laki-laki itu semakin mendekat tanpa ragu sedikit pun. “Mendekat satu langkah akan kubuat sepatumu tertinggal di sana.” Alis Adrian bertaut. Tampak wajahnya berubah menjadi keras. Sementara itu, Raisa merasa kebingungan. Jantungnya berdebar kencang, seperti palu yang terus menghantam dinding dadanya. Tanpa membuang waktu, Adrian mengayunkan tinjunya ke arah wajah pria bertopeng. Namun, lawannya terlalu cepat dan gesit, pria bertopeng itu menunduk, menangkap pergelangan tangannya, lalu memelintirnya dengan kekuatan brutal. Adrian terjatuh begitu saja. Dibalik topeng terdengar suara tawa menyeringai mendekat ke arah Raisa. Sontak sepatu tingginya menyeret beberapa langkah ke belakang. Adrian berusaha bangun meski rasa sakit menjalar dari
Saat kembali ke kamar hotel. Adrian mendapati Raisa sudah lebih dulu duduk di bibir ranjang membuka gaun pengantin dengan gurat wajah yang lelah. “Jadi malam ini kita harus berpura-pura bahagia juga, Pak?” Tanya Raisa dengan suara datar, tanpa menoleh ke Adrian. Laki-laki yang berdiri dekat jendela kaca besar hotel itu tak menjawab. Dia mengeluarkan tangan kiri yang masuk di saku celananya seraya berjalan ke arah minibar dan menuangkan segelas anggur merah dan meneguknya dalam diam. Adrian tak tahu mana yang lebih buruk. Pernikahan tanpa cinta ini atau ancaman Kirana yang kini menggantung di atas kepalanya? Dadanya bertalu-talu macam ada gunung yang hendak meletus. Pemandangan kota Jambi yang berkilauan di malam hari, dinding hotel berlapis kayu dengan sentuhan emas berpadu dengan wallpaper cream tiba-tiba meredup. Gaun Raisa yang biru muda dan bibirnya yang merah juga mendadak luntur menjadi monokrom, hilang warna, kemudian mengabu. Yang jelas, ucapan Kirana adalah satu hal y
Desas-desus langsung terdengar di telinga, tapi tak ada satu pun yang berani menyangkal kenapa direktur utama itu mau menikahi seorang cleaning service. Sementara itu, di balik pintu kaca berdiri seorang wanita dengan gincu merah menyala dan hati yang menyala-nyala pula. Dia mengepalkan kedua tangan dan hampir ingin memukul pintu kaca, namun tangannya menggantung di udara. “Apa aku harus jadi cleaning service dulu supaya bisa menikah dengan Adrian?” Mira mendengus kesal. Ternyata usahanya untuk menjadi pahlawan jikalau reputasi Adrian hancur tidak benar-benar menjadi kenyataan. Justru Adrian melindungi perempuan itu bahkan menyanjungnya di hadapan semua orang. *** Langit senja memerah saat Adrian melangkah keluar dari kantornya. Langkahnya berat, seakan ada rantai tak kasat mata mengekangnya. Hari ini, dia resmi menikah dengan Raisa. Sebuah keputusan yang diambil bukan karena cinta, melainkan demi menyelamatkan citra perusahaannya. Kabar skandal yang hampir menghancurkan bisnis
“M-menikah?” Tanya Raisa dengan mulut setengah menganga. Jika wanita itu bukan Raisa sudah pasti hatinya berbunga-bunga mendengar kata menikah yang keluar dari mulut seorang pria tampan dan berkedudukan seperti Adrian. Namun, mengawali pernikahan karena terpaksa demi menjaga citra baiknya di depan orang-orang bukanlah awal yang baik. Menikah macam apa itu? Batin Raisa bergejolak. ”Saya tidak mau, Pak,” tolak Raisa dengan gelengan cepat. Adrian menatap lekat wajah Raisa. Dan untuk pertama kalinya mata elang itu mengarah pada seorang wanita. Sorot mata itu jelas bukan karena mengagumi wanita di depannya, melainkan membuat siapa pun merasa terintimidasi. Raisa perlahan menunduk dan menurunkan pandangannya. “Kalau kamu menolak menikah dengan saya maka bukan cuma perusahaan ini yang bangkrut. Kamu dan ratusan orang pegawai juga angkat kaki dari sini,” seloroh Adrian dengan wajah serius. Deg! Tiba-tiba Raisa langsung teringat dengan Raihan dan Rais. Begitu juga papanya. Kalau dia
Jarum jam di tangan berhenti pada angka dua belas, sementara jarum panjang duduk manis di tengah angka sebelas. Suhu beku tadi sudah seperti malaikat yang siap merenggut nyawa mereka berdua. Panik, namun berhasil dihentikan.”Sudah lima jam kita di sini, tapi belum ada siapa pun yang datang.”Adrian menghirup udara dalam-dalam karena pasokan udara di ruangan itu mulai berkurang. Mesin refregarasi sudah berhasil disumbat dengan potongan daging dan yang tersisa hanya aromanya yang menyengat.”Bantuan akan datang sebentar lagi. Kita tunggu saja, Pak,” sahut Raisa dengan nada penuh keyakinan. “Saya yakin ini bukan kecelakaan semata. Pasti ada dalang di balik semua ini.” Mata wanita berambut sebahu itu berkelabat seraya memeluk kedua lututnya.Adrian mengayunkan kaki mendekati Raisa yang terduduk di lantai. Seluruh wajahnya tampak menyala seperti api yang siap membakar. ”Apa maksudmu?” ucap Adrian pelan namun menusuk. “Aku sering mendengar percakapan orang-orang penting di kantor yang ing
“Tolong! Tolong! Apa ada orang di luar sana? Tolong buka pintunya!” Pekik Adrian seraya mengetuk dengan kuat pintu cold room. Tidak ada siapa pun yang menjawab dan membukakan pintu. Adrian terjebak bersama dengan seorang cleaning service di dalam ruangan bersuhu kurang dari 20 derajat Celcius. “Cepat cari bantuan. Telepon siapa pun atau terserah. Kita bisa mati di ruangan dingin ini.” Raisa merogoh benda pipih yang ada di saku celananya dan mengetuk beberapa kali layar ponsel. Namun, panggilan telepon baru saja hendak terhubung tiba-tiba ponselnya mati begitu saja. “Baterainya habis, Pak,” ucap Raisa panik. Laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun itu tersandar di pintu dan mengusap kedua wajahnya dengan kasar setelah menyadari bahwa ponselnya juga tertinggal di meja kerjanya. Adrian kembali berteriak sekuat tenaga meminta pertolongan, namun tidak ada siapa pun yang datang untuk menyelamatkan seorang CEO dari Carghost Intercoparated ternama di kota Jambi itu. Laki-laki blasteran