“Siapa kau?!” teriak Adrian. Kedua tangannya refleks membentang melindungi Raisa yang ada di belakang punggungnya.
“Tidak perlu tau siapa aku! Biarkan aku membawa perempuan yang ada di belakangmu.” Udara di sekitar mendadak terasa lebih berat. Laki-laki itu semakin mendekat tanpa ragu sedikit pun. “Mendekat satu langkah akan kubuat sepatumu tertinggal di sana.” Alis Adrian bertaut. Tampak wajahnya berubah menjadi keras. Sementara itu, Raisa merasa kebingungan. Jantungnya berdebar kencang, seperti palu yang terus menghantam dinding dadanya. Tanpa membuang waktu, Adrian mengayunkan tinjunya ke arah wajah pria bertopeng. Namun, lawannya terlalu cepat dan gesit, pria bertopeng itu menunduk, menangkap pergelangan tangannya, lalu memelintirnya dengan kekuatan brutal. Adrian terjatuh begitu saja. Dibalik topeng terdengar suara tawa menyeringai mendekat ke arah Raisa. Sontak sepatu tingginya menyeret beberapa langkah ke belakang. Adrian berusaha bangun meski rasa sakit menjalar dari lengannya. Wajahnya menggeram dan membalas dengan tendangan keras ke punggung lawannya. Bugh! Pria bertopeng itu terjerembab tepat di hadapan Raisa. “Raisa lari!” jerit Adrian. Gegas wanita itu berbalik dan berlari sekuat tenaga. Waktu seolah melambat. Ruangan arsip yang penuh dengan tumpukan dokumen kini telah berubah menjadi perangkap sunyi mematikan. Tidak ada pintu lain. Tidak ada jalan keluar. Hanya ada dia, Adrian, dan seseorang yang bisa saja menghilangkan nyawa keduanya dalam sekejap. Pria bertopeng itu kembali berdiri. Dengan gerakan cepat Adrian meraih map tebal di rak terdekat dan menghantamkannya ke kepala lawan. Dentuman keras memenuhi ruangan. Pria bertopeng itu kembali terhuyung. Adrian tak memberi celah yang cukup untuknya menyerang. “Adrian!” ucap Raisa membatin. Suara dentuman membuat langkah Raisa terhenti. “Aku gak bisa biarin dia sendiri di sana.” Hati Raisa membatin. Langkah kakinya perlahan berpindah dan mencari tempat bersembunyi di antara rak-rak tinggi yang dipenuhi map berdebu. Ruangan arsip yang sempit itu menjadi saksi bisu pertarungan yang pecah tiba-tiba. Mendadak rasa dingin menjalar di punggung Raisa. Lututnya terasa lemas. Tangan yang mengenggam tali handbag juga terasa dingin dan gemetar, seolah tenaganya telah terkuras habis. Nafasnya pendek-pendek, berusaha tetap tenang, tapi tenggorokannya terasa kering menyaksikan apa yang ada di depannya. Dengan nafas memburu, Adrian meluncurkan pukulan bertubi-tubi ke rahang dan dada pria bertopeng itu. Namun, satu kesalahan kecil membuat Adrian lengah. Pria itu mendorongnya ke rak arsip hingga tubuhnya terhantam keras saat sedang menelepon seseorang. Kepalanya terasa berdenyut, pandangannya sempat bergetar. Sarung tangan hitam yang dikenakan pria bertopeng itu mengeluarkan p i sau dan diayunkan dengan cepat ke arah Adrian. Raisa melompat dari arah samping, dan mendorong tubuh Adrian yang hampir membentur rak arsip dan seketika ujung pisau melesat sempurna di lengan kanan Raisa. “Raisa!” pekik Adrian panik. Darah segar mengalir dari lengan baju yang dikenakan Raisa. Pria bertopeng itu lari begitu saja meninggalkan mereka. “Raisa bertahanlah!” lirih Adrian memegangi gagang pisau hendak melepaskannya. Sementara itu, Raisa merasakan ngilu luar biasa. Pandangannya mendadak kabur dan limbung di pangkuan Adrian. *** Adrian menggeretakkan rahangnya. Matanya menatap tajam ke arah Raisa yang masih terlelap di atas ranjang putih rumah sakit. Dadanya naik turun dengan napas yang pelan. Raisa mengerjap pelan, kelopak matanya terasa berat. Rasa nyeri di lengan kanan menyambutnya, membuatnya meringis. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasa sakit langsung menusuk hingga ke tulang. “Jangan bergerak,” ucap Adrian. “Adrian?” suaranya serak, hampir seperti bisikan. Adrian mengangguk, tetapi ekspresinya tetap datar. Namun, Raisa bukan orang bodoh. Dia bisa melihat ketegangan di rahang pria itu. Raisa merasakan emosi Adrian yang berputar-putar di balik sorot matanya yang tajam. "Kau masih di sini?" Adrian tak langsung menjawab. Tangannya terangkat sedikit, hampir seperti ingin menyentuh Raisa, tetapi dia menghentikan gerakannya di udara sebelum akhirnya menarik diri. “Iya. Aku masih di sini,” jawabnya akhirnya. Suara Adrian terdengar lebih lembut dari biasanya. “Kau pikir aku akan pergi gitu aja setelah ada orang yang mencoba membunuhmu?” Tanpa sadar, Adrian duduk di kursi sebelah ranjang. Sejujurnya pikirannya masih kacau, dipenuhi kemarahan dan kekhawatiran. Dan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekedar rasa bersalah. Raisa tersenyum kecil meskipun bibirnya terasa kering. “Sudah mulai peduli denganku sepertinya.” Adrian menatapnya lama. Mata mereka bertemu. Sebelum ini, Raisa hanya bagian dari rencananya. Bagian dari permainan besar yang disusun untuk bertahan di tengah badai intrik bisnis dan dendam yang membahayakan keluarganya. Tapi sekarang, melihatnya terbaring lemah seperti ini, Adrian merasa ada sesuatu mencengkeram hatinya erat. “Aku memang peduli,” ucap Adrian akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Kali ini untuk pertama kalinya, tidak ada permainan, tidak ada kebohongan, tidak ada peran yang harus dimainkan. Hanya mereka berdua, di ruangan sunyi dengan cahaya remang dari jendela rumah sakit. Raisa memejamkan matanya sejenak dan menarik napas. Dia tahu Adrian bukan tipe yang mudah mengakui sesuatu seperti ini. Dan fakta bahwa pria itu ada di sini, menunggunya bangun, lebih dari cukup untuk membuat sesuatu bergetar di dalam hatinya. “Gak! Aku gak boleh jatuh cinta dengan Adrian. Tujuan utamaku untuk mengungkap kematian mama.” Hati Raisa mencelos. Cepat-cepat dia menteralkan perasaannya. Suasana menjadi hening. Hanya suara detak monitor di ruangan terdengar pelan, berpadu dengan suara napas Raisa yang masih melemah. Adrian masih menatap lekat Raisa dengan intensitas yang sulit diartikan. Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan, tetapi dia tahu ini bukan waktunya. Akan tetapi, ada satu pertanyaan yang tak bisa ditunda lebih lama. “Pria bertopeng itu … apakah dia ada hubungannya dengan kematian ibumu?” Suara Adrian rendah, hampir seperti bisikan, tetapi penuh penekanan. Raisa membuka matanya lebar. Nafasnya tercekat, dan tangannya yang lemah mencengkeram selimut dengan erat. “Kau tau tentang itu?” suaranya bergetar, antara kaget dan waspada. Adrian mengangguk. “Aku sudah menyelidikinya. Dan serangan ini … bukan kebetulan, Raisa.” “Aku tidak tau siapa dia,” bisik Raisa. “Kalau gitu, kita akan menemukan dia,” ucap Adrian dengan suara penuh tekad. Raisa menatapnya, matanya menyimpan sesuatu yang belum pernah Adrian lihat sebelumnya—sebuah kepercayaan. Sesuatu yang selama ini sulit diberikan oleh Raisa kepada siapa pun. Perlahan namun terus berjalan, tidak terasa benih cinta sebesar biji kacang itu kini telah bertunas. Suara knop pintu terbuka membuat pandangan Raisa dan Adrian terlempar pada pintu ruangan rumah sakit itu. Siapa itu?“Ica ….,” jerit Ratih setelah knop pintu rumah sakit berdecit. Aroma antiseptik bercampur dengan wangi bunga segar dari vas di atas meja menguar. Ratih sedikit merasa salah tingkah setelah mengetahui Adrian juga berada di ruangan itu.“Eh … maaf, Pak. Ternyata ada Pak Adrian di sini,” ucapnya seraya tertunduk sopan. Adrian menatap sebentar ke arah wanita berambut pendek dengan wajah dramatis itu menaruh sekantong makanan di atas nakas.Sekilas, Ratih melihat atasannya itu menarik napas pendek beberapa kali seperti menahan ketidaknyamanan yang langsung merayapi tubuhnya. Menyadari akan hal itu, Ratih memberikan sebotol air mineral kepada Adrian.“Tidak, terima kasih,” balas Adrian dingin. Mata Adrian berkeliling, berusaha mengalihkan fokus dari bau antiseptik yang menganggunya semalaman karena menjaga Raisa. Adrian sebenarnya tak tahan. Bukan hanya bau antiseptik, tapi juga kenangan yang tiba-tiba muncul tanpa permisi. Rumah sakit selalu memberinya perasaan tidak nyaman.“Kebetulan
“Papa, siapa pria bertopeng itu? Apa dia ada hubungannya dengan kematian Mama?” Rais dan Raihan langsung menoleh ke ayah mereka dengan ekspresi kaget. “Kematian Mama? Apa maksud Kak Raisa?” Alis Rais berkerut. Sementara itu, Raihadi menarik napas panjang, menyandarkan tongkatnya dekat nakas lalu duduk di kursi samping Raisa. Tangannya bergetar, menunjukkan betapa sulit baginya untuk mengatakan ini. “Ada sesuatu yang belum pernah papa ceritakan pada kalian semua … tentang kematian Mama kalian.” Raisa menahan napas sejenak. Pandangan Raihadi sejenak menyapu lantai rumah sakit, lalu menatap Raisa tajam. “Mama kalian tidak meninggal karena kecelakaan biasa, Raisa. Dia dibunuh.” Ruangan langsung sunyi. Raisa merasakan darahnya berdesir. Rais terkejut dan menutup mulutnya dengan tangan, sementara Raihan yang masih kecil tampak kebingungan. Ternyataa dugaan Raisa selama ini tepat. Kematian mamanya yang janggal bukan hanya sekedar kecelakaan biasa, namun karena dibunuh o
“Maaf, saya datang bersama dokter untuk memeriksa kondisi Raisa,” ucap Adrian seraya melepas separuh kedua tangannya yang tenggelam di saku celananya. “O-oh … Iya, Pak. Silakan,” jawab Ratih dengan mulut setengah menganga. Sebisa mungkin Ratih menahan diri untuk bertanya apakah Adrian mendengar apa yang sudah dibicarakan tadi. Dokter berkulit putih itu mendekat dan mulai memeriksa detak jantung Raisa menggunakan stetoskop dan lanjut memeriksa lengannya yang berbalut perban. “Lukanya cukup dalam dan menembus otot. Pendarahannya tadi cukup banyak, tapi sudah dibantu dengan transfusi darah oleh Pak Adrian,” jelas dokter. Kedua alis Raisa bertaut mendengar penjelasan dokter. “Donor darah dari Adrian?” tanyanya memastikan sekali lagi. Dokter membalasnya dengan anggukan lalu tersenyum. Ratih menutup wajahnya separuh, seakaan tak percaya bahwa Adrian ternyata sangat peduli. Padahal, Raisa sering bercerita bahwa Adrian tidak pernah sama sekali berbicara jika di rumah. Pernikahan itu
“Kumpulkan semua dewan direksi dan eksekutif di ruangan rapat. Saya ke sana sekarang,” desak Adrian diujung telepon. Adrian kemudian menoleh ke arah Raisa. “Aku akan panggilkan Bi Kamsiah untuk menjagamu di sini,” lanjut Adrian. Belum sempat Raisa mengangguk Adrian berlalu begitu saja. Raisa menyipitkan kedua matanya. “Ada yang tak beres sepertinya,” lirihnya. Raisa meraih ponsel yang belum dikeluarkan dari tasnya kemudian menghubungi seseorang. *** Di tengah ketegangan pasar global, perusahaan Adrian tiba-tiba dilanda krisis yang tak terduga. Kontainer barang yang baru saja dikirim ke luar negeri mengalami kerusakan parah, sehingga kualitas produk yang selama ini dikenal unggul tiba-tiba dipertanyakan oleh mitra internasional, termasuk India. Pengiriman terakhir yang meminta daging sebanyak seribu ton. “Pak Adrian, data menunjukkan bahwa 70% kontainer yang kami kirim Minggu ini mengalami kerusakan. Ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan,” keluh direktur logistik peru
Mereka gegas menarik mata keduanya. Seolah saling menolak, namun kenyataannya di dalam hati mereka sama-sama bergejolak. Langit yang tadinya cerah perlahan berubah muram diselimuti awan kelabu yang menggantung rendah. Angin mulai berhembus lebih kencang, sama kencangnya dengan kedua hati yang hampir terpaut. Gerimis sudah mulai menyentuh jendela kantor mengubah suasana sedikit syahdu. “Siapa yang mengantarmu ke sini?” tanya Adrian datar. “Ratih yang mengantarku. Aku melihat beberapa headline berita bernada buruk tentang perusahaan kita dan langsung ke sini,” jelas Raisa. “Ya sudah. Sekarang aku antar pulang,” kata Adrian seraya melenguh dari kursinya. Raisa memutar mulutnya. “Dasar! Ngajakin pulang, tapi malah aku ditinggal begitu aja,” desihnya kesal. Di luar gedung perusahaan, sebuah mobil hitam melaju perlahan menyusuri jalanan kota yang basah oleh hujan ringan. Seseorang yang identitasnya belum diketahui bersembunyi di balik kaca mobilnya yang gelap. “Kau sudah be
“Kenapa kau suka menggelung rambutmu? Padahal malam ini aku ingin melihat rambutmu teruarai sekali saja”. Adrian menatap lamat wanita yang ada di depannya. Kirana tersenyum tipis, “aku tidak suka hal-hal berantakan Adrian. Gulungan rambutku mengartikan bahwa aku memiliki kendali atas diriku sepenuhnya,” jawab Kirana. Kirana yang selalu tampil memesona di mata Adrian, akan selalu mengingat gaya rambut Kirana yang bergelung rapi dan menyisakan anak rambutnya yang keriting di sisi kanan dan kirinya. Adrian menyentuh pipi Kirana yang dilapisi perona. “Kau cantik dan terlihat seperti putri bangsawan,” balas Adrian. Bibir tipisnya melengkung membentuk senyuman. Dress bodycon minimalis yang dikenakan Kirana selaras dengan lekukan tubuhnya. Belahan di kakinya, berpadu dengan high heels dan tas kecil membuatnya bernampilan sangat classy. Adrian ingat betul moment terakhir dia berkencan dengan Kirana—mantan tunangannya itu. “Adrian! Adrian ponselmu dari tadi berdering,” ucap Raisa
“Seseorang sudah menghancurkan bisnis keluargaku. Dan aku yakin mamaku tidak mati secara kebetulanl,” lirih Raisa. Sudut matanya berkedut. Adrian menyadari ada sesuatu yang disembunyikan Raisa. Selama percakapan mereka tadi, dia bisa melihat sorot mata Raisa yang penuh kehati-hatian. Seolah ada hal besar yang ingin dia katakan, tapi tertahan di tenggorokannya. Adrian dan Raisa masih duduk di kursi rotan. Rais dan Raihan tampak sudah mengantuk. Mereka izin untuk pergi ke kamar dan tidur. Adrian melanjutkan pembicaraannya dengan Raisa. Udara malam semakin dingin, namun ketegangan di antara mereka justru menghangat. Adrian bersandar pada kursinya, memutar-mutar cincin di jarinya dengan gelisah. “Perusahaanku ….,” gumam Adrian. Suaranya penuh dengan kehati-hatian. “Kenapa kau menghubungkannya dengan kematian ibumu?” Mendengar hal itu Raisa langsung menegakkan punggungnya. Seketika, tatapannya berubah waspada. Nyaris defensif. Adrian mempersempit matanya, memperhatikan setiap
Aku hanya ingin membuka matamu, Adrian,” katanya ringan. "Apa?" tanya Adrian dingin. ”Tentang siapa sebenarnya sebenarnya Raisa. Apa motifnya, dan kenapa dia begitu gigih bertahan di posisimu,” lanjut Kirana seraya menatap kuku-kukunya yang bercat merah. Adrian mencengkeram sandaran kursinya lebih erat, mencoba menahan amarah yang meletup-letup dalam dirinya. Namun, Kirana tak hirau. Dia tahu dirinya sudah menarik perhatian pria yang ada di hadapannya. “Aku tahu kau mulai jatuh dalam jebakan Raisa,” lanjut Kirana, tatapannya menajam. “Tapi aku di sini bukan untuk menghentikanmu. Aku hanya ingin kau sadar sebelum semuanya terlambat.” Laki-laki itu menghempaskan pena yang dipegangnya. Adrian melenguh dari kursi dan menatap Kirana penuh waspada. “Apa maksudmu?” Kirana mendekat dengan langkah anggun seraya bersedekap. ”Kau tahu, Adrian? Ada alasan kenapa Raisa bekerja di perusahaan itu. Itu bukan kebetulan, itu rencana,” ucap Kirana berbisik namun penuh penekanan. Adrian
“Ya,” jawab Pak Brengos singkat yang tetap menatap layar ponselnya ketika aku berada di depan meja kerjanya. Lelaki itu belum dikatakan tua. Dari penampakannya kutaksir usianya masih tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Tentang kenapa semua orang memanggilnya ‘Brengos’ mungkin wajahnya terlalu banyak bulu hingga agak menyeramkan.“Saya ingin meminta pabrik ini untuk lebih memperhatikan limbahnya. Saya membawa laporan bahwa pabrik Bapak ini membuang limbah ke sembarang tempat. Hingga bahan kimia-nya meracuni tanah di kebun duku dan durian kami, Pak.”“Ngomong sama manajer sana!”Astaga. Apa semua orang di pabrik ini segitu cueknya dengan orang lain. Sedari tadi aku selalu bertemu dengan orang yang tiada kepedulian terhadap tamu. Satpam yang meremehkan, staf yang tak menghargai, dan kepala pabrik yang sama tak pedulinya. Aku mengelus dada, menarik napas dalam. Sabat, Cinta.“Maaf, tapi Bapak kepala pabrik.”Tatapannya baru terarah kepadaku, membuatku agak menunduk agar tatapan kam
KUTUTUP PINTU ruangan direktur. Kami beranjak menuju lift. Namun, betapa terkejut di dekat lift api sudah membakar besar sekali.“Astaghfirullah, Allahuakbar,” pekikku. Aku menarik Mas Rama menuju jalan darurat di tangga belakang. Namun kudapati di sana api pun sudah membesar. Kami terjebak. Kalau aku nekad melewati api itu, bisa-bisa sebagian besar tubuhku ikut tebakar pula. Belum lagi Mas Rama yang masih lambat, ia tak bisa berlari melewati api.Bagaimana ini? Aku berpikir. Namun detak jantung kecemasan terlanjur menguasai kalbu hingga ketakutan yang ada.“Bu Cinta, Pak Rama, anda di dalam sana?” suara Dennis terdengar memekik dari lantai bawah. “Iya, Den. Kami di sini. Apinya besar, Den.”“Mumpung apinya masih kecil, terobos, Pak, Bu!”“Mas, ayo kita terobos apinya.” Aku menarik tangan Mas Rama. Namun suamiku itu malah terbengong. Ya Allah, di saat seperti ini biasanya Mas Rama orang yang menengkanku. Dia orang pertama yang membuatku merasa sejuk dalam hati, ringan dalam napas. Na
“ULYA, jaga mulut kamu!” ucapku dengan tegas pada dokter muda nan cantik itu. Apa, cantik? Hilang semua kecantikannya, terbatalkan oleh akhlak kasarnya. Kalimatnya barusan meruntuhkan semua image-nya.“Auu.” Ulya memegangi pipinya. “Kurang ajar kamu, Cinta.”Tamparanku memang tak seberapa kerasnya. Mungkin ia tak merasa sakit sama sekali, tapi aku hanya ingin menunjukkan kalau aku tak mau kalah dengan serangan mentalnya itu. Aku paham ia hanya menjatuhkan keyakinanku pada diriku sendiri, agar perlahan mundur dari Mas Rama. Tentu saja tidak semudah itu.“Mulutmu yang harus disekolahkan. Bisa bicara yang menenangkan aja saat seperti ini? Pahami kondisi. Jangan asal ceplos, di saat yang salah dan pada orang yang salah.”Tap tap. Suara langkah Dennis mendekat. Dengan segera ia memasangkan badan di depan diriku, menjadi tameng.“Maaf, saya tidak akan membiarkan Bu Cinta lebih jauh lagi berbicara dengan anda,” ucap Dennis.Ulya tersenyum sebelah bibir. “I don’t care.”Ulya melangkahkan kaki
“Aku hanya berjaga-jaga,” jawab Raisa menghindari tatapan Adrian. “Berjaga-jaga dari siapa?” Adrian sebenarnya tahu bahwa akan ada banyak orang yang mengincar Raisa. Termasuk pria bertopeng itu. Orang yang pernah menikam lengan Raisa. Kemudian, Kirana atau bisa jadi orang suruhan Selena. Raisa terdiam dengan napasnya tersengal-sengal. Adrian menyentuh tangannya lembut. “Aku tidak ingin kau hidup dalam ketakutan, Raisa.” “Aku tidak takut. Aku hanya bersiap-siap. Apa pun bisa terjadi denganku, Adrian,” jawab Raisa menarik lengannya. Adrian menggeser posisinya dengan duduk di bibir ranjang, lalu mengulurkan tangannya ke pipi sang istri. “Aku tahu kau kuat, Raisa. Tapi, kau tak perlu melakukan ini sendirian,” ucap Adrian mengiba. Raisa menatap Adrian penuh emosi. “Aku sudah sendirian selama bertahun-tahun, ini bukan hal baru bagiku, Adrian.” “Hei. Lihat aku. Lihat! Aku di sini,” bisik Adrian. “Kau tidak sendiri, Raisa. Ada aku. Suamimu,” lanjut Adrian menghela napas. Hening. Rais
“Kau sudah gila, Adrian?! Menikahi seorang wanita tanpa nama, tanpa status! Apa kau tahu berapa banyak investor yang mulai meragukan perusahaan kita?!” Adrian dengan tenang menyesap kopinya, “Ini pernikahanku, bukan urusan bisnis, Papa. Lagi pula kenyataannya tidak begitu. Justru Raisa bisa mengatasi permasalahan perusahaan dengan cerdas. Dia bukan cleaning service biasa.” Selena tertawa sinis, menyilangkan tangan di dada. “Jangan naif, Adrian. Semua yang kita lakukan ada dampaknya bagi perusahaan. Reputasimu akan tetap dipertanyakan publik.” Meja panjang dari marmer hitam berkilau di bawah cahaya lampu gantung kristal yang menjuntai di langit-langit. Di ruang makan keluarga suasana menegang. Adrian menatap Selena tajam. “Aku tidak peduli dengan reputasi yang dibuat-buat. Aku hanya peduli dengan kebenaran.” William— papa Adrian mendengus lalu berkata, “kebenaran? Apa maksudmu?!” “Aku mulai menyelidiki. Tentang Raisa. Tentang keluarganya. Dan ternyata, ada hubungan antara ke
Malam turun dengan tenang, tapi udara di balkon terasa berat oleh percakapan yang belum terucap. Langit gelap membentang luas, hanya diterangi bintang-bintang yang bersinar samar, sementara angin malam berembus pelan membawa aroma embun dan sisa wangi bunga dari halaman. Adrian menemukan Raisa duduk di balkon sedang menatap langit malam dengan ekspresi sendu. “Aku ingin bicara denganmu,” ucap Adrian dingin. Raisa menoleh, melihat ekspresi Adrian yang begitu sulit diartikan. Wanita berpiyama Bortuques itu menghela napas, lalu berdiri. “Aku juga ingin bicara denganmu, Adrian.” “Aku tahu kau ingin mendapatkan keadilan untuk keluargamu, Raisa,” ucap Adrian menatapnya tajam. Raisa terdiam. Adrian melangkah lebih dekat, ekspresinya seolah menegang. “Tapi aku ingin tahu satu hal. Apakah kau benar-benar mencintaiku? Atau semua ini hanya bagian dari rencanamu?” Raisa menahan napas. Tangannya mencengkeram kuat pagar besi yang dingin. Pertanyaan itu menusuk langsung ke hatinya. Dia
Adrian tak langsung menjawab. Dia hanya menatap Raisa lekat-lekat, mencari sesuatu di balik suaranya yang bergetar. Raisa melangkah masuk, lalu melemparkan sebuah amplop dengan tulisan tangan di atasnya. Adrian meliriknya, dan begitu ia melihat nama yang tertera, matanya membeliak. Nyaris jantungnya berhenti berdetak. Adrian menatap amplop itu, lalu menatap Raisa. “Apa ini?” “Sesuatu yang harus kau baca,” jawab Raisa pelan, namun tegas. Adrian mengambil amplop itu, menimbangnya sejenak sebelum melirik Raisa dengan curiga. “Surat?” Raisa mengangguk, rahangnya mengeras lalu berkata, “dari seseorang yang dulu memiliki perusahaan ini.” Adrian membeku. Jari-jarinya tanpa sadar mengeratkan pegangan pada amplop itu. Jantungnya kembali berdetak lebih cepat. Surat itu seolah surat kematian yang ditujukan untuknya. Dengan hati-hati Adrian membuka amplop, menarik keluar selembar kertas yang sedikit menguning. Matanya membaca baris pertama, lalu berhenti. Ekspresinya sontak beru
Aku hanya ingin membuka matamu, Adrian,” katanya ringan. "Apa?" tanya Adrian dingin. ”Tentang siapa sebenarnya sebenarnya Raisa. Apa motifnya, dan kenapa dia begitu gigih bertahan di posisimu,” lanjut Kirana seraya menatap kuku-kukunya yang bercat merah. Adrian mencengkeram sandaran kursinya lebih erat, mencoba menahan amarah yang meletup-letup dalam dirinya. Namun, Kirana tak hirau. Dia tahu dirinya sudah menarik perhatian pria yang ada di hadapannya. “Aku tahu kau mulai jatuh dalam jebakan Raisa,” lanjut Kirana, tatapannya menajam. “Tapi aku di sini bukan untuk menghentikanmu. Aku hanya ingin kau sadar sebelum semuanya terlambat.” Laki-laki itu menghempaskan pena yang dipegangnya. Adrian melenguh dari kursi dan menatap Kirana penuh waspada. “Apa maksudmu?” Kirana mendekat dengan langkah anggun seraya bersedekap. ”Kau tahu, Adrian? Ada alasan kenapa Raisa bekerja di perusahaan itu. Itu bukan kebetulan, itu rencana,” ucap Kirana berbisik namun penuh penekanan. Adrian
“Seseorang sudah menghancurkan bisnis keluargaku. Dan aku yakin mamaku tidak mati secara kebetulanl,” lirih Raisa. Sudut matanya berkedut. Adrian menyadari ada sesuatu yang disembunyikan Raisa. Selama percakapan mereka tadi, dia bisa melihat sorot mata Raisa yang penuh kehati-hatian. Seolah ada hal besar yang ingin dia katakan, tapi tertahan di tenggorokannya. Adrian dan Raisa masih duduk di kursi rotan. Rais dan Raihan tampak sudah mengantuk. Mereka izin untuk pergi ke kamar dan tidur. Adrian melanjutkan pembicaraannya dengan Raisa. Udara malam semakin dingin, namun ketegangan di antara mereka justru menghangat. Adrian bersandar pada kursinya, memutar-mutar cincin di jarinya dengan gelisah. “Perusahaanku ….,” gumam Adrian. Suaranya penuh dengan kehati-hatian. “Kenapa kau menghubungkannya dengan kematian ibumu?” Mendengar hal itu Raisa langsung menegakkan punggungnya. Seketika, tatapannya berubah waspada. Nyaris defensif. Adrian mempersempit matanya, memperhatikan setiap