"Kok, Firda gak balik juga, Mal? Udah seminggu ini, loh!?" Ibu berdecak kesal. Gurat kekhawatiran terpancar jelas dari wajahnya yang menua.Wajah Ibuku berubah drastis. Bahkan ia terlihat lebih tua dari usianya.Aku yang baru saja hendak menyendokkan nasi ke mulut lantas menghentikan aktivitasku. Sangat sulit bagiku mengumpulkan selera makan agar makanan ini bisa masuk ke tenggorokan."Emang sibuk banget dia, ya? Sampai gak sempat pulang ke sini. Mana obat Ibu sudah mau habis lagi dan lusa harus bayar cicilan. Telpon dong, supaya dia mau pulang hari ini. Uang di dompet sudah mau habis!" Ibu mengomel sambil memegangi kepalanya yang mungkin terasa pusing.Sudah seminggu sejak kejadian itu Firda tak pernah kembali ke sini. Aku pun tak pernah mau menyusulnya ke showroom. Tapi, sampai saat ini aku belum juga memberi tahu Ibu tentang apa yang sesungguhnya terjadi di antara kami.Nasi goreng yang tanpa rasa ini pun semakin terasa hambar di lidahku. Seleraku makin ambyar mendengar keluhan Ibu
Malam semakin larut namun mataku tak juga hendak terpejam. Hujan diiringi suara petir menjadi penghias malam yang terasa sangat panjang. Air hujan yang menetes deras ibarat bumi yang turut menangis meratapi nasib buruk keluargaku. Dan untuk pertama kali dalam era dewasa aku menitikkan air mata. Mataku basah menyaksikan Ibu sedang terbaring lemah tak berdaya, luka di sela-sela jemarinya akibat alergi semakin menganga. Ditambah lagi penyakit diabetes yang ia derita, membuat kubangan luka itu enggan mengering."Sudah diminum obatnya, Bu?" ucapku pelan, ku putuskan untuk menemani Ibu di kamarnya malam ini. "Sudah, tapi reaksinya tidak terasa." Ibu ingin menggaruk luka di tangannya tapi berhasil kucegah. Obat yang biasa dibeli Firda habis, sebagai gantinya aku membeli obat dengan merk lain yang harganya lebih terjangkau. Fungsinya sama, namun kata Ibu gatal di tangannya tak berkurang. Mungkin karena tubuhnya sudah terbiasa mengkonsumsi obat- obatan mahal.Aku menghela napas berat, dari
Aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraan ini. Kusapa semua karyawan bengkel yang sudah kembali berkutat dengan masing- masing kendaraan yang ingin diservis. "Kerjanya yang bener, ya!" teriakku dari atas motor sambil mengangkat sebelah tanganku ke atas. Akan tetapi, mereka hanya membalas dengan senyuman enggan. Sepertinya mereka iri padaku dan tak menyangka setelah dua Minggu menghilang akhirnya aku muncul lagi. Pasti para lelaki buaya itu sempat senang mendengar keributan antara aku dan Firda kemarin. Mereka berharap agar Firda segera menjanda lalu berlomba untuk merebut hatinya. Tidak akan, Firda itu istriku dan akan tetap menjadi milikku!Aku mulai menjauh dari bangunan ruko empat pintu itu, membawa motorku untuk merengsek naik ke jalan raya. Dari kaca spion, kulihat sebuah mobil Alphard berwarna hitam tiba-tiba berhenti di depan showroom."Gil* bener, keren banget tu mobil. Istriku memang keren, pelanggannya orang berduit semua," gumamku bangga. Baru kali ini aku melihat mobil s
"Kenapa?" Mbak Rima bertanya seraya mengangkat ujung dagunya."Dikunci," gumamku pelan. Walaupun kamar itu terkunci, biasanya orang yang di dalam masih bisa mendengar suara dari luar.Ibu dan Mbak Rima saling tatap. Tatapan itu sama- sama menyiratkan tanda tanya besar. Sedikit banyaknya pasti mereka turut merasakan perubahan sikap dari Firda, karena aku pun merasakan hal yang sama."Aduh ... aku lupa! Seharusnya Firda minum itu dulu," keluh Mbak Rima usai menepuk pelan jidatnya. Tangannya menunjuk pada air dalam gelas usang di atas meja."Emangnya itu air apa, Mbak?" Lanjutku penasaran.Mbak Rima paling sering menyediakan air minum untuk Firda, jika kuperhatikan ia selalu menggunakan gelas yang sama. Aku sudah lama penasaran, tapi baru kali ini punya kesempatan untuk bertanya."Eemmm, enggak. Ini 'kan cuma air putih biasa. Mbak khawatir aja kalau Firda haus. Dia 'kan pasti capek," jawab Mbak Rima gugup dan salah tingkah."Tapi ... kenapa harus pakai gelas itu terus, Mbak? 'kan ada gel
Aku akan menggugatmu dan mengurus perceraian kita. Jangan persulit prosesnya kecuali jika kau sudah bosan hidup!" teriak Firda sebelum mengangkat kaki dari rumah ini. Wanita itu pergi begitu saja meninggalkan seisi rumah yang berantakan. Mbak Rima sepertinya pingsan sedangkan Ibu meringkuk ketakutan di bawah jendela.Beberapa tetangga meringsek masuk setelah kedua orang bertubuh besar itu keluar, disusul oleh mama dan Firda yang memindai angkuh wajah Ibuku karena shock dan ketakutan."Astaghfirullah, Rima! Ayo tolong angkat dia ke sofa," pekik Bu Fitri terkejut melihat kondisi Mbak Rima. Ada beberapa helai rambut yang berserakan di lantai akibat tarik menarik antara mama dan Mbak Rima tadi. Ia masih belum sadar karena benturan keras tadi."Bunda ... Bunda .... bangun, Bun!" Rayen menangis sambil memeluk ibunya. Rupanya ia turut menyaksikan kegaduhan di rumah ini tadi, namun karena takut, ia hanya mengintip dari pintu dapur. Sementara Lila -- anak tiri Mbak Rima dari Mas Andi baru mun
POV Author Sudah lebih dari tiga hari Rima terbaring di rumah sakit namun Dokter masih belum mengizinkannya pulang. Pasca terbentur, ia mengalami pendarahan hebat namun untungnya janin muda di dalam rahimnya masih bisa diselamatkan.Namun, ia harus kembali menerima kenyataan bahwa janin itu tak bisa diselamatkan. Bukan karena benturan keras atau pun pendarahan, melainkan saat masa pemulihan, wanita bermulut pedas itu mengalami stress berat hingga mempengaruhi kesehatan janin yang sangat diharapkan kehadirannya selama lima tahun belakangan.Bu Rahma menatap sendu pada perut sang anak yang telah kosong. Harapannya untuk kembali memiliki cucu telah pupus begitu saja. Hatinya semakin sakit kala membayangkan ini kali kedua ia gagal memiliki cucu.Wanita paruh baya itu sama stress-nya dengan Rima. Mereka bukan hanya memikirkan kesedihan atas kehilangan sang jabang bayi, tapi kehilangan harapan untuk kembali hidup layak.Rima dirawat sebagai pasien umum di rumah sakit, semua orang tahu hal
POV AuthorDi dalam rumah bertingkat dua yang sudah mereka tempati selama hampir setengah bulan. Pasangan pengantin baru yang masih hangat-hangatnya itu baru saja terlelap di atas ranjang king size yang dihiasi ukiran model klasik bernuansa emas.Keduanya tertidur dalam posisi yang manis. Zulham--sang suami merangkul mesra tubuh sang istri yang hanya dibalut lingerie tipis berwarna merah.Keduanya sengaja untuk tak melakukan aktivitas malam sebagai suami istri, karena lelah setelah seharian pergi ke rumah sanak saudara."Drrtt drrtt drrrtt." Suara berisik antara gesekan ponsel dan nakas menimbulkan getaran yang kuat. Sehingga Arum-- sang istri terpaksa membuka mata meski kantuk masih betah melanda mata.Dengan hati-hati, ia memindahkan tangan kekar sang suami yang melingkar di pinggang rampingnya. Ia tak mau gerakannya yang tiba-tiba malah mengganggu tidur lelaki yang telah memberinya banyak kebahagiaan itu."Siapa yang nelpon malam-malam begini?" batinnya sebelum meraih ponsel mahal
Sudah selesai mandinya, Pak?" tanya Zulham setelah melihat Akmal keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Tetesan air dari ujung rambutnya membasahi lantai sehingga terasa lebih licin jika tak hati-hati melewatinya. Lelaki itu hanya mengangguk dengan tatapan dingin. Kemudian melengos begitu saja mengabaikan kehadiran orang yang telah berbaik hati mau menolongnya. Zulham mengekor di belakang, indra penciumannya tak lagi terganggu oleh bau keringat Akmal yang menyengat. Ia ingin berbincang sedikit lagi sebelum memutuskan untuk istirahat."Apa bapak sudah enakan?" celetuknya kembali berusaha menarik perhatian dari lelaki yang dulunya menyia-nyiakan istrinya demi wanita lain.Merasa tak mendapat respon yang pantas, Zulham pun menarik diri beberapa langkah dari posisinya yang hanya beberapa jengkal saja dari pandangan kosong Akmal. 'Mungkin ia lelah dan ingin istirahat!' batinnya sambil terus berpikir positif."Pak Akmal tidurlah di kamar ini, saya akan tidur di sofa saja
"Alhamdulillah, ya, Mas. Akhirnya kita bisa menginjakkan kaki di kampung ini lagi. Aku rindu sekali dengan suasana kampung ini," ujar Arum saat ia dan suaminya baru saja sampai ke rumah lamanya, setelah setahun meninggalkan desa ini dan hidup di kota.Sudah tiga hari mereka tiba tapi selama ini hanya tinggal di rumah Bu Hayati--ibunya. Arum ingin melepaskan rindu di kampung kelahirannya sekaligus mengenalkan putri semata wayangnya yang baru berusia lima bulan pada kerabat dan tetangganya di kampung.Pasangan itu sangat berbahagia karena anak yang dinantikan telah lahir dengan sehat dan selamat. Mereka memberinya nama Amara Shaza Qamira yang mempunyai arti anak perempuan baik hati yang memiliki kecantikan bagaikan bulan.Bayi dalam gendongan Arum itu sangat rupawan. Kulitnya putih bersih dengan mata yang bersinar terang. Hampir delapan puluh persen wajahnya mewarisi kecantikan Arum. Mereka berharap jika Amara tidak hanya memiliki wajah yang cantik, namun hati yang cantik pula."Iya, Ma
Akhir dari kisah"Siapa itu?" ujar Bu Rahma penasaran, keningnya mengkerut beberapa lipatan ketika sebuah sedan berwarna silver masuk ke halamannya. Baru saja tamu mereka pergi, kini mereka kedatangan tamu lagi."Ayah ...." teriak Rayen ketika bola mata bocah berusia enam tahun itu menangkap sosok ayahnya turun dari kendaraan roda empat tersebut. Ia lantas berlari menghambur ke pelukan sang ayah. Menumpahkan segala rindu setelah perpisahan yang cukup lama.Cukup lama anak beranak itu berdiri di sana, di samping mobil yang dibeli Andi beberapa hari yang lalu."Andi!" gumam Bu Rahma. Ada binar harapan ketika sang menantu itu datang ke sini. Apalagi mengendarai sebuah mobil, meski hanya keluaran lama. Barangkali ia ingin kembali pada Rima, harapnya.Rima tak kalah bahagianya, setelah sekian lama, akhirnya ia bisa berjumpa kembali dengan Andi--lelaki yang dikasihinya.Hingga binar-binar harapan itu memudar saat dilihatnya Andi tak datang sendiri, bukan dengan Lila melainkan seorang wanita
Setelah sepuluh hari dirawat di rumah sakit. Rima sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.Tak banyak yang berubah, keadaanya masih tetap sama. Sakit dan cacat. Tak bisa bekerja mau pun bicara. Hanya duduk sepanjang hari di kursi roda. "Rayen, tolong tambahkan kayu bakar ke tungku, ya!" ujar Bu Rahma, tangannya sedang sibuk meracik sayuran sehingga terpaksa meminta bantuan pada cucunya yang masih kanak-kanak tersebut."Iya, Nek." Bocah berusia enam tahun itu mengentikan sejenak aktivitasnya, yaitu membersihkan air liur Rima yang sering menetes membasahi bahu kanannya.Dengan cekatan, ia mengambil beberapa bilah kayu yang telah disusun neneknya di ujung dapur yang berdinding anyaman bambu tersebut. Lalu memasukkannya ke dalam tungku hingga api yang tadi sempat hendak padam kembali marak."Bunda haus?" ucap bocah itu setelah selesai melaksanakan perintah neneknya. Ia duduk menghadap ibunya yang tersenyum haru. Rima mengangguk cepat, kepalanya bergoyang- goyang ke bawah. Tak lama, Rayen
Karena Bu Rahma sudah tiba di rumah sakit, maka Arum dan Zulham pun kembali ke rumah. Mereka tidak bisa berlama-lama di sana apalagi Arum tengah hamil muda. Ia butuh istirahat yang cukup demi menjaga kesehatan dirinya dan calon anaknya.Zulham berpesan agar keluarga itu tak perlu memikirkan biaya. Mereka hanya harus fokus pada kesehatan Rima, sementara untuk biaya makan selama di rumah sakit, Bu Salamah berinisiatif agar meminta sumbangan pada semua warga desanya."Sekali lagi terima kasih, ya, Rum, Pak Zulham. Kami sangat berhutang budi pada kalian. Mohon doanya agar Rima segera sadar," ucap Bu Rahma saat mengantar kepulangan Arum dan Zulham menuju parkiran mobil.Rima sudah keluar dari ruang operasi. Namun, keadaannya masih koma. "Ya, Bu. Lusa kami akan berkunjung ke sini. Semoga anak Ibu segera sembuh," sahut Zulham tersenyum ramah. Ia kemudian menggandeng tangan istrinya menuju mobil mewah yang terparkir di sudut rumah sakit. Bu Rahma masih terpaku di tempatnya. Hatinya retak me
Itulah sebabnya, ia meminta Zulham membawa Arum ke rumahnya karena keadaan tidak memungkinkan ia untuk ke sana. Bu Rahma ingin memohon ampun pada Arum atas perbuatannya yang lalu, barangkali setelah mendapat maaf dari Arum, Allah tak mengirimkan musibah yang lain lagi.Zulham sengaja merahasiakan keberadaan Akmal pada keluarganya selama ini atas permintaan ustadz yang menangani Akmal. Karena sebagian besar jin yang mengganggu mental Akmal berasal dari keluarganya sendiri. Ia takut jika keluarganya tahu, hal itu akan menghambat jalan kesembuhan bagi Akmal."Siapa yang kecelakaan, Sayang? Apa benar temanmu?" tanya Zulham setelah memarkirkan mobilnya secara sembarangan di halaman. Ia buru-buru turun dan menghampiri Arum setelah wanita itu mencium takzim tangan suaminya yang sudah pergi sejak semalam.Zulham berangkat semalam sore setelah dikabarkan pihak pesantren. Ustadz yang menangani Akmal sudah memperbolehkan lelaki itu pulang, karena Akmal dirasa sudah sehat dan bisa kembali bersosi
"Pencuri ... kejar dia!" teriak Bu Wulan menunjuk pada Rima yang membawa kabur gelang seberat lima gram tersebut."Ayo kejar sampai dapat ...." sahut yang lain begitu bersemangat. Para ibu-ibu yang kebanyakan berusia empat puluhan itu tampak menghambur ke jalanan desa yang beraspal untuk mengejar Rima."Ibu ... Ibu ... biarin saja. Gak perlu dikejar," teriak Arum pada barisan emak-emak yang berlari bak anak SD yang kegirangan ketika lonceng berbunyi. Ada yang mengangkat gamisnya ke atas, menyingsing lengan bajunya, hingga melepas wedges agar dapat menangkap Rima yang jaraknya sepuluh meter di depan mereka. Wanita itu lari tunggang langgang menyadari posisinya sedang tidak aman. Ia tidak menduga jika Ibu- ibu pengajian itu sangat kompak mengejarnya, persis seperti memburu minyak goreng murah.Sebenarnya Arum tidak begitu mempermasalahkan gelang itu. Ia lebih khawatir pada para wanita yang berlari kencang di jalanan yang ramai oleh kendaraan. Ia tidak ingin melihat mereka celaka hanya
Wanita yang tak diundang itu mulai berjalan mengitari ruangan berukuran 10 x 10 meter tersebut. Tangannya mulai celamitan menyentuh pernak-pernik mahal yang terpajang di meja. Ia berlagak lebih angkuh dari pemilik rumah itu sendiri.Rima kemudian berjalan menuju ruangan lain yang biasa digunakan Arum dan Zulham untuk bersantai. Ruangan itu dilengkapi dengan televisi digital berukuran besar dan sebuah bangku refleksi yang biasa digunakan Zulham untuk bersantai. Adapula sebuah lemari yang berisi koleksi Poto dan pajangan berbahan kristal."Gak perlu basa-basi, Mbak! Apa tujuanmu datang ke rumahku?" ujar Arum datar setelah hanya mereka berdua di ruangan itu. Sepertinya Rima memang tidak ingin pembicaraan mereka didengar orang lain.Arum berusaha tenang meskipun amarah mulai merangkak di dadanya, ia tak mau lagi bersikap baik pada wanita seperti Rima. Sudah terlalu dalam luka yang ia torehkan selama ini."Santai ... dong! Jangan marah-marah gitu," ledek Rima dengan senyum yang menjengkelk
Andi pergi detik itu juga. Meninggalkan rumah yang sudah ia tinggali selama tujuh tahun lamanya. Bukan hanya Rima, ia sendiri tak menyangka jika rumah tangganya kandas untuk kedua kalinya. Istri pertama telah mengkhianati dan kedua telah berbuat curang.Kepalanya kembali mengorek tentang kenangan masa silam. Dimana ia merasakan patah hati akibat pengkhianatan dari wanita yang dicintainya. Risma-- ibu Lila telah tega bermain serong dengan pria lain yang merupakan tetangga mereka. Bodohnya ia tak pernah tahu jika hubungan keduanya telah berjalan lama.Hatinya hancur berkeping-keping, ia telah kehilangan separuh jiwanya. Rasa putus asa telah mengunci hatinya untuk wanita lain. Ia bertekad untuk tak lagi membina rumah tangga dengan wanita manapun. Lelaki malang itu tak kenal cinta, bahkan setia hanya seperti omong kosong baginya.Akan tetapi, kehadiran Rima telah mendobrak benteng pertahanannya. Tekadnya kalah dengan kecantikan dan ketulusan gadis itu. Ia menyerah, lalu dengan rendah hati
"Ampun, Mas, ampun. Aku bisa jelasin ini, Mas. Dengarkan aku dulu!" pekik Rima kesakitan sebab sang suami terus memberondongnya dengan tamparan dan pukulan keras."Kurang aj*r kamu, dasar istri durhaka. Aku tidak akan memaafkanmu Rima!" Murka Andi. Ia lantas berjongkok di hadapan sang istri lalu menjambak kuat rambut Rima hingga wanita itu merasa kulit kepalanya hendak lepas. Bukan hanya itu, satu tangan Andi kini menekan kuat rahang istrinya hingga bibirnya mengerucut ke depan dan Rima mulai kesulitan bernapas. Rima menangis, air matanya mengalir deras mengenai telapak tangan Andi. Tangannya mencoba mendorong tubuh sang suami, namun tenaganya kalah kuat. "Aduh sakit! Kamu kejam, Mas. Seharusnya kau dengarkan penjelasan ku dulu," mohon Rima dengan napas yang tersengal-sengal. Kini Andi sudah melepaskan cengkeramannya karena masih tersisa setitik rasa iba melihat istrinya itu tersiksa.Rima meringis, ia melihat beberapa helai rambutnya tertinggal di sela jemari sang suami. Tubuhnya p