"Kenapa?" Mbak Rima bertanya seraya mengangkat ujung dagunya."Dikunci," gumamku pelan. Walaupun kamar itu terkunci, biasanya orang yang di dalam masih bisa mendengar suara dari luar.Ibu dan Mbak Rima saling tatap. Tatapan itu sama- sama menyiratkan tanda tanya besar. Sedikit banyaknya pasti mereka turut merasakan perubahan sikap dari Firda, karena aku pun merasakan hal yang sama."Aduh ... aku lupa! Seharusnya Firda minum itu dulu," keluh Mbak Rima usai menepuk pelan jidatnya. Tangannya menunjuk pada air dalam gelas usang di atas meja."Emangnya itu air apa, Mbak?" Lanjutku penasaran.Mbak Rima paling sering menyediakan air minum untuk Firda, jika kuperhatikan ia selalu menggunakan gelas yang sama. Aku sudah lama penasaran, tapi baru kali ini punya kesempatan untuk bertanya."Eemmm, enggak. Ini 'kan cuma air putih biasa. Mbak khawatir aja kalau Firda haus. Dia 'kan pasti capek," jawab Mbak Rima gugup dan salah tingkah."Tapi ... kenapa harus pakai gelas itu terus, Mbak? 'kan ada gel
Aku akan menggugatmu dan mengurus perceraian kita. Jangan persulit prosesnya kecuali jika kau sudah bosan hidup!" teriak Firda sebelum mengangkat kaki dari rumah ini. Wanita itu pergi begitu saja meninggalkan seisi rumah yang berantakan. Mbak Rima sepertinya pingsan sedangkan Ibu meringkuk ketakutan di bawah jendela.Beberapa tetangga meringsek masuk setelah kedua orang bertubuh besar itu keluar, disusul oleh mama dan Firda yang memindai angkuh wajah Ibuku karena shock dan ketakutan."Astaghfirullah, Rima! Ayo tolong angkat dia ke sofa," pekik Bu Fitri terkejut melihat kondisi Mbak Rima. Ada beberapa helai rambut yang berserakan di lantai akibat tarik menarik antara mama dan Mbak Rima tadi. Ia masih belum sadar karena benturan keras tadi."Bunda ... Bunda .... bangun, Bun!" Rayen menangis sambil memeluk ibunya. Rupanya ia turut menyaksikan kegaduhan di rumah ini tadi, namun karena takut, ia hanya mengintip dari pintu dapur. Sementara Lila -- anak tiri Mbak Rima dari Mas Andi baru mun
POV Author Sudah lebih dari tiga hari Rima terbaring di rumah sakit namun Dokter masih belum mengizinkannya pulang. Pasca terbentur, ia mengalami pendarahan hebat namun untungnya janin muda di dalam rahimnya masih bisa diselamatkan.Namun, ia harus kembali menerima kenyataan bahwa janin itu tak bisa diselamatkan. Bukan karena benturan keras atau pun pendarahan, melainkan saat masa pemulihan, wanita bermulut pedas itu mengalami stress berat hingga mempengaruhi kesehatan janin yang sangat diharapkan kehadirannya selama lima tahun belakangan.Bu Rahma menatap sendu pada perut sang anak yang telah kosong. Harapannya untuk kembali memiliki cucu telah pupus begitu saja. Hatinya semakin sakit kala membayangkan ini kali kedua ia gagal memiliki cucu.Wanita paruh baya itu sama stress-nya dengan Rima. Mereka bukan hanya memikirkan kesedihan atas kehilangan sang jabang bayi, tapi kehilangan harapan untuk kembali hidup layak.Rima dirawat sebagai pasien umum di rumah sakit, semua orang tahu hal
POV AuthorDi dalam rumah bertingkat dua yang sudah mereka tempati selama hampir setengah bulan. Pasangan pengantin baru yang masih hangat-hangatnya itu baru saja terlelap di atas ranjang king size yang dihiasi ukiran model klasik bernuansa emas.Keduanya tertidur dalam posisi yang manis. Zulham--sang suami merangkul mesra tubuh sang istri yang hanya dibalut lingerie tipis berwarna merah.Keduanya sengaja untuk tak melakukan aktivitas malam sebagai suami istri, karena lelah setelah seharian pergi ke rumah sanak saudara."Drrtt drrtt drrrtt." Suara berisik antara gesekan ponsel dan nakas menimbulkan getaran yang kuat. Sehingga Arum-- sang istri terpaksa membuka mata meski kantuk masih betah melanda mata.Dengan hati-hati, ia memindahkan tangan kekar sang suami yang melingkar di pinggang rampingnya. Ia tak mau gerakannya yang tiba-tiba malah mengganggu tidur lelaki yang telah memberinya banyak kebahagiaan itu."Siapa yang nelpon malam-malam begini?" batinnya sebelum meraih ponsel mahal
Sudah selesai mandinya, Pak?" tanya Zulham setelah melihat Akmal keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Tetesan air dari ujung rambutnya membasahi lantai sehingga terasa lebih licin jika tak hati-hati melewatinya. Lelaki itu hanya mengangguk dengan tatapan dingin. Kemudian melengos begitu saja mengabaikan kehadiran orang yang telah berbaik hati mau menolongnya. Zulham mengekor di belakang, indra penciumannya tak lagi terganggu oleh bau keringat Akmal yang menyengat. Ia ingin berbincang sedikit lagi sebelum memutuskan untuk istirahat."Apa bapak sudah enakan?" celetuknya kembali berusaha menarik perhatian dari lelaki yang dulunya menyia-nyiakan istrinya demi wanita lain.Merasa tak mendapat respon yang pantas, Zulham pun menarik diri beberapa langkah dari posisinya yang hanya beberapa jengkal saja dari pandangan kosong Akmal. 'Mungkin ia lelah dan ingin istirahat!' batinnya sambil terus berpikir positif."Pak Akmal tidurlah di kamar ini, saya akan tidur di sofa saja
"Kenapa, Rum?" tanya Bu Yanti saat menyadari Arum masih belum memejamkan mata. Mereka sedang berbaring bersisian di ranjang kamar tamu. Arum merasa kesepian tidur sendiri di kamarnya, sehingga ia turun dan memilih tidur bersama Bu Yanti."Perasaan Arum gak enak, Bu. Takut terjadi sesuatu dengan Mas Zulham."terang Arum lalu bangkit menuju jendela kamar ini, ia menyibak tirai tipis yang menjadi penghalang untuk melihat ke arah luar."Gak enak kenapa? Mereka pasti sudah tidur. Udahlah jangan dipikirin. Mana mungkin Akmal berbuat macam-macam dengan suamimu.""Tapi ... gimana kalau mas Akmal melakukan hal buruk pada mas Zulham?""Gak akan, percaya sama Ibu. Lagipula mana mungkin Akmal sanggup melawan tubuh kekar dan berotot suamimu. Kamu lihat 'kan tadi? Akmal sangat kurus, seperti orang yang gak pernah makan!" terang Bu Yanti untuk mengusir rasa takut yang bergelayut di pikiran Arum.Wanita berparas cantik itupun setuju. Ia memang menyadari perubahan drastis pada mantan suaminya. Selain
"Di mana Akmal? Kenapa dia masih belum pulang juga?" ratap Bu Rahma dengan air mata yang terus mengucur dari sudut-sudut matanya.Sudah dua hari ini mereka di rumah, tapi tak pernah sekalipun melihat Akmal kembali. Bu Rahma dan Andi terpaksa memboyong Rima pulang ke rumah, karena mereka khawatir tak mampu membayar biaya rumah sakit yang kian hari kian bertambah. Lagipula, kesehatan Rima dirasa sudah membaik, sehingga ia hanya perlu beristirahat di rumah saja. Walaupun dokter melarang kepulangannya."Ibu mohon Andi, carilah dia. Ibu khawatir jika hal buruk menimpa Akmal," mohonnya pada sang menantu yang semakin hari kian menampakkan kebringasannya. Andi sering tiba-tiba marah tak jelas, lalu keluarlah berbagai jenis caci dan maki yang ditujukan pada keluarga Bu Rahma."Biarkan saja. Akmal sudah gil*. Jika pun dia kembali, hanya akan merusak barang-barang di rumah ini saja!" hardik Andi sengit, ia ingat betul bagaimana kondisi rumah ketika mereka kembali dari rumah sakit kemarin. Kurs
Ingin rasanya ia akhiri hidupnya saat itu juga, agar segala penderitaan yang ia tanggung hilang bersamaan jasadnya yang terkubur berkalang tanah."Sudah, Bu jangan menangis terus. Aku capek dengar Ibu nangis," ucap Rima sambil menutupi kedua telinganya dengan telapak tangan. Baginya suara tangisan Bu Rahma seperti suara katak yang sedang berpesta ketika musim hujan. Sangat mengganggu."Gimana Ibu gak menangis, Rima? Jika adikmu belum pulang juga sampai hari ini!" balas Bu Rahma. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak air yang keluar dari matanya yang mulai rabun. Sebab sampai hari ini, Akmal sama sekali tak kelihatan batang hidungnya. Rima pun sudah mencari sebisanya, namun tak ada yang mengetahui keberadaan Akmal."Lupain dulu tentang Akmal, Bu. Masih ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan. Ingat, Bu. Kita sudah dapat surat peringatan dari pihak Bank!" Rima memekik marah. Wanita yang tubuhnya tampak kurus itu menghempas sebuah amplop putih ke lantai. Dimana ia dan ibunya seda