Sudah selesai mandinya, Pak?" tanya Zulham setelah melihat Akmal keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Tetesan air dari ujung rambutnya membasahi lantai sehingga terasa lebih licin jika tak hati-hati melewatinya. Lelaki itu hanya mengangguk dengan tatapan dingin. Kemudian melengos begitu saja mengabaikan kehadiran orang yang telah berbaik hati mau menolongnya. Zulham mengekor di belakang, indra penciumannya tak lagi terganggu oleh bau keringat Akmal yang menyengat. Ia ingin berbincang sedikit lagi sebelum memutuskan untuk istirahat."Apa bapak sudah enakan?" celetuknya kembali berusaha menarik perhatian dari lelaki yang dulunya menyia-nyiakan istrinya demi wanita lain.Merasa tak mendapat respon yang pantas, Zulham pun menarik diri beberapa langkah dari posisinya yang hanya beberapa jengkal saja dari pandangan kosong Akmal. 'Mungkin ia lelah dan ingin istirahat!' batinnya sambil terus berpikir positif."Pak Akmal tidurlah di kamar ini, saya akan tidur di sofa saja
"Kenapa, Rum?" tanya Bu Yanti saat menyadari Arum masih belum memejamkan mata. Mereka sedang berbaring bersisian di ranjang kamar tamu. Arum merasa kesepian tidur sendiri di kamarnya, sehingga ia turun dan memilih tidur bersama Bu Yanti."Perasaan Arum gak enak, Bu. Takut terjadi sesuatu dengan Mas Zulham."terang Arum lalu bangkit menuju jendela kamar ini, ia menyibak tirai tipis yang menjadi penghalang untuk melihat ke arah luar."Gak enak kenapa? Mereka pasti sudah tidur. Udahlah jangan dipikirin. Mana mungkin Akmal berbuat macam-macam dengan suamimu.""Tapi ... gimana kalau mas Akmal melakukan hal buruk pada mas Zulham?""Gak akan, percaya sama Ibu. Lagipula mana mungkin Akmal sanggup melawan tubuh kekar dan berotot suamimu. Kamu lihat 'kan tadi? Akmal sangat kurus, seperti orang yang gak pernah makan!" terang Bu Yanti untuk mengusir rasa takut yang bergelayut di pikiran Arum.Wanita berparas cantik itupun setuju. Ia memang menyadari perubahan drastis pada mantan suaminya. Selain
"Di mana Akmal? Kenapa dia masih belum pulang juga?" ratap Bu Rahma dengan air mata yang terus mengucur dari sudut-sudut matanya.Sudah dua hari ini mereka di rumah, tapi tak pernah sekalipun melihat Akmal kembali. Bu Rahma dan Andi terpaksa memboyong Rima pulang ke rumah, karena mereka khawatir tak mampu membayar biaya rumah sakit yang kian hari kian bertambah. Lagipula, kesehatan Rima dirasa sudah membaik, sehingga ia hanya perlu beristirahat di rumah saja. Walaupun dokter melarang kepulangannya."Ibu mohon Andi, carilah dia. Ibu khawatir jika hal buruk menimpa Akmal," mohonnya pada sang menantu yang semakin hari kian menampakkan kebringasannya. Andi sering tiba-tiba marah tak jelas, lalu keluarlah berbagai jenis caci dan maki yang ditujukan pada keluarga Bu Rahma."Biarkan saja. Akmal sudah gil*. Jika pun dia kembali, hanya akan merusak barang-barang di rumah ini saja!" hardik Andi sengit, ia ingat betul bagaimana kondisi rumah ketika mereka kembali dari rumah sakit kemarin. Kurs
Ingin rasanya ia akhiri hidupnya saat itu juga, agar segala penderitaan yang ia tanggung hilang bersamaan jasadnya yang terkubur berkalang tanah."Sudah, Bu jangan menangis terus. Aku capek dengar Ibu nangis," ucap Rima sambil menutupi kedua telinganya dengan telapak tangan. Baginya suara tangisan Bu Rahma seperti suara katak yang sedang berpesta ketika musim hujan. Sangat mengganggu."Gimana Ibu gak menangis, Rima? Jika adikmu belum pulang juga sampai hari ini!" balas Bu Rahma. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak air yang keluar dari matanya yang mulai rabun. Sebab sampai hari ini, Akmal sama sekali tak kelihatan batang hidungnya. Rima pun sudah mencari sebisanya, namun tak ada yang mengetahui keberadaan Akmal."Lupain dulu tentang Akmal, Bu. Masih ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan. Ingat, Bu. Kita sudah dapat surat peringatan dari pihak Bank!" Rima memekik marah. Wanita yang tubuhnya tampak kurus itu menghempas sebuah amplop putih ke lantai. Dimana ia dan ibunya seda
"Ampun, Mas, ampun. Aku bisa jelasin ini, Mas. Dengarkan aku dulu!" pekik Rima kesakitan sebab sang suami terus memberondongnya dengan tamparan dan pukulan keras."Kurang aj*r kamu, dasar istri durhaka. Aku tidak akan memaafkanmu Rima!" Murka Andi. Ia lantas berjongkok di hadapan sang istri lalu menjambak kuat rambut Rima hingga wanita itu merasa kulit kepalanya hendak lepas. Bukan hanya itu, satu tangan Andi kini menekan kuat rahang istrinya hingga bibirnya mengerucut ke depan dan Rima mulai kesulitan bernapas. Rima menangis, air matanya mengalir deras mengenai telapak tangan Andi. Tangannya mencoba mendorong tubuh sang suami, namun tenaganya kalah kuat. "Aduh sakit! Kamu kejam, Mas. Seharusnya kau dengarkan penjelasan ku dulu," mohon Rima dengan napas yang tersengal-sengal. Kini Andi sudah melepaskan cengkeramannya karena masih tersisa setitik rasa iba melihat istrinya itu tersiksa.Rima meringis, ia melihat beberapa helai rambutnya tertinggal di sela jemari sang suami. Tubuhnya p
Andi pergi detik itu juga. Meninggalkan rumah yang sudah ia tinggali selama tujuh tahun lamanya. Bukan hanya Rima, ia sendiri tak menyangka jika rumah tangganya kandas untuk kedua kalinya. Istri pertama telah mengkhianati dan kedua telah berbuat curang.Kepalanya kembali mengorek tentang kenangan masa silam. Dimana ia merasakan patah hati akibat pengkhianatan dari wanita yang dicintainya. Risma-- ibu Lila telah tega bermain serong dengan pria lain yang merupakan tetangga mereka. Bodohnya ia tak pernah tahu jika hubungan keduanya telah berjalan lama.Hatinya hancur berkeping-keping, ia telah kehilangan separuh jiwanya. Rasa putus asa telah mengunci hatinya untuk wanita lain. Ia bertekad untuk tak lagi membina rumah tangga dengan wanita manapun. Lelaki malang itu tak kenal cinta, bahkan setia hanya seperti omong kosong baginya.Akan tetapi, kehadiran Rima telah mendobrak benteng pertahanannya. Tekadnya kalah dengan kecantikan dan ketulusan gadis itu. Ia menyerah, lalu dengan rendah hati
Wanita yang tak diundang itu mulai berjalan mengitari ruangan berukuran 10 x 10 meter tersebut. Tangannya mulai celamitan menyentuh pernak-pernik mahal yang terpajang di meja. Ia berlagak lebih angkuh dari pemilik rumah itu sendiri.Rima kemudian berjalan menuju ruangan lain yang biasa digunakan Arum dan Zulham untuk bersantai. Ruangan itu dilengkapi dengan televisi digital berukuran besar dan sebuah bangku refleksi yang biasa digunakan Zulham untuk bersantai. Adapula sebuah lemari yang berisi koleksi Poto dan pajangan berbahan kristal."Gak perlu basa-basi, Mbak! Apa tujuanmu datang ke rumahku?" ujar Arum datar setelah hanya mereka berdua di ruangan itu. Sepertinya Rima memang tidak ingin pembicaraan mereka didengar orang lain.Arum berusaha tenang meskipun amarah mulai merangkak di dadanya, ia tak mau lagi bersikap baik pada wanita seperti Rima. Sudah terlalu dalam luka yang ia torehkan selama ini."Santai ... dong! Jangan marah-marah gitu," ledek Rima dengan senyum yang menjengkelk
"Pencuri ... kejar dia!" teriak Bu Wulan menunjuk pada Rima yang membawa kabur gelang seberat lima gram tersebut."Ayo kejar sampai dapat ...." sahut yang lain begitu bersemangat. Para ibu-ibu yang kebanyakan berusia empat puluhan itu tampak menghambur ke jalanan desa yang beraspal untuk mengejar Rima."Ibu ... Ibu ... biarin saja. Gak perlu dikejar," teriak Arum pada barisan emak-emak yang berlari bak anak SD yang kegirangan ketika lonceng berbunyi. Ada yang mengangkat gamisnya ke atas, menyingsing lengan bajunya, hingga melepas wedges agar dapat menangkap Rima yang jaraknya sepuluh meter di depan mereka. Wanita itu lari tunggang langgang menyadari posisinya sedang tidak aman. Ia tidak menduga jika Ibu- ibu pengajian itu sangat kompak mengejarnya, persis seperti memburu minyak goreng murah.Sebenarnya Arum tidak begitu mempermasalahkan gelang itu. Ia lebih khawatir pada para wanita yang berlari kencang di jalanan yang ramai oleh kendaraan. Ia tidak ingin melihat mereka celaka hanya