Sontak keduanya saling pandang. Roy dan Alex menatap tangannya masing-masing yang masih terpaut. Mereka ingin segera menarik, namun Rey menatap wajah kedua lelaki dengan tatapan sendu."Bicakah talian taling beldamai?" Ungkapan itu kembali terdengar. Antara Alex dan Roy hanya bisa bingung. Entah apa yang harus mereka lakukan. Haruskah ia berdamai? Haruskan ia menerima keadaan masing-masing? Atau menolak dan membuat kecewa bocah itu?Alex dan Roy sedang berperang dengan egonya sendiri. Jika–pun harus berdamai, kenapa justru karena Rey, bocah kecil yang sama sekali belum tahu apa-apa tentang permasalahan keduanya.Beruntung keadaan itu tidak cukup lama karena kedatangan Papa Wahyu yang baru saja pulang dari kantor. Pria paruh baya itu tersenyum sumringah mengetahui jika anak dan menantunya tengah berkumpul di rumah. Ia berjalan masuk dan pandangannya langsung tertuju pada dua lelaki yang sedang duduk di ruangan tamu miliknya."Kalian ...kenapa tidak menghubungi Papa jika ingin datang?"
"Kau mau bawa ke mana putraku?" Roy menatap tajam Alex saat lelaki itu menghampiri Rey dan mengajaknya menjauh.Melihat tatapan yang tidak bersahabat dari ayahnya, Rey begitu terkejut, bocah kecil itu tidak mengerti dengan permasalahan mereka para orang tua."Aku tidak mungkin mencelakai keponakanku sendiri," jawab Alex ketus. Ia melirik sinis pada sosok Roy yang masih menahan pergerakan tangannya."Cih! Sejak kapan putraku menjadi keponakanmu!" Roy terdengar tidak suka dengan ungkapan Alex. Sampai kapan–pun ia tidak akan menganggapnya sebagai keluarganya."Kau bisa mengelak. Tapi, kau tidak bisa lari dari takdir, karena kita memang ....?""Yah ... !" Panggilan Rey seketika membuat dua lelaki itu menghentikan perdebatan. Papa Wahyu memberikan kode pada Alex agar membawa Rey lebih dulu menyingkir, karena ada sesuatu yang akan ia bicarakan dengan ayah bocah itu."Jangan sampai terjadi apapun dengan putraku!" Roy memperingatkan dengan keras. Sebenarnya ia sangat keberatan melihat kedekat
Ibu Lasmi langsung menarik tangan yang di gengam oleh Elisa. Ia memalingkan wajah ke arah lain, tidak sanggup menatap Elisa yang terlihat sangat memohon."Kami mohon, Bu ... bisakah Ibu menyetujui permintaan Alex untuk berobat?" Airin ikut berjongkok di depan mertuanya. Meyakinkan pada perempuan itu bahwa banyak sekali yang berharap akan kesembuhannya."Apa Ibu tidak ingin bermain dengan anak-anak kami nanti?" Elisa melontarkan sebuah pertanyaan yang langsung membuat hati Bu Lasmi berdenyut. "Maaf ...?" Ia langsung sadar akan ucapanny yang sudah melampaui batas."Maafkan aku juga, Bu. Tapi, Kami hanya ingin melakukan yang terbaik untuk Ibu. Kami ingin Ibu sembuh dan bermain dengan anak-anak kami nanti." Airin menambahi.Bu Lasmi seperti di lema. Ia juga ingin sekali sembuh dan menghabiskan sisa hidupnya untuk bahagia bersama anak dan para cucunya nanti. Tapi, masih ada satu yang mengganjal di hati, yaitu Roy. Bagaimana dengan anak lelakinya itu? Berapa lama lagi ia akan mendapatkan ma
Elisa langsung merengut mendengar ungkapan Alex. Ia pikir lelaki itu peduli, nyatanya Alex hanya memandang kasihan karena ia tengah hamil."Iya, iya. Aku tahu kok." Masih menahan kesal, Elisa melirik Roy yang tak memberi respon apapun. Lelaki itu malah diam dengan posisi masih menunduk di depannya. "Kak ..! Kamu beneran nggak mau minta maaf sama aku?" tanya Elisa pada Roy. "Apa?" Roy malah bingung. Ia bangkit dan kembali mengajak wanita itu untuk pulang. "Tapi, aku masih mau di sini, Kak?" pinta Elisa. Ternyata usahanya tadi belum membuahkan hasil. Ia pasang wajah sesedih mungkin, berharap suaminya berubah pikiran."Kapan-kapan bisa ke sini lagi, El." Tanganny masih menggantung, menunggu respon dari Elisa. "Masih banyak urusan yang harus aku kerjakan." Roy menjelaskan.Yang di seberang sana memalingkan wjaah. "Dasar, sok sibuk!" Alex mencibir lelaki itu. Namun detik kemudian ia melihat tatapan tajam dari Ibu dan juga istrinya. "Iya, iya. Aku diam. Kenapa kalian kompak sekali sih, me
"Ya, dia. Aku yakin dia bisa banyak membantumu, Lex." Arya sangat yakin jika lelaki yang ia maksud lebih tahu mengenai hal itu."Tapi ..." Alex sangat ragu. Bagaimana mungkin ia meminta bantuannya, sedangkan hubungannya dengan lelaki itu belum membaik."Kau tenang saja, Lex. Sebenci apapun dia, Roy tetaplah kakakmu. Kau mau–pun dia tidak akan pernah bisa menolak takdir!" Arya menegaskan, mengingatkan pada Alex hubungannya dengan lelaki itu."Saya tahu itu, Tuan. Tapi ... apa mungkin dia mau membantuku?" Sekali lagi Alex ragu. Ia sudah hapal perangai Roy yang keras kepala. Di tambah lagi, Roy masih sangat membencinya."Aku akan mengusahakannya untukmu." Arya menepuk pundak lelaki itu."Maksud, Tuan?" Alex ingin memastikan akan ucapan Arya."Aku akan membujuk Roy agar mau membantumu."Obrolan dua lelaki itu tidak memakan waktu lama, karena Arya mendapati telepon dari Rengganis yang memintanya agar segera pulang. Entah sihir apa yang wanita itu berikan, hingga Arya langsung bergegas, mun
"Astaga .... Airinnn!" Alex langsung bergerak cepat, membopong tubuh gadis itu dan membawanya menjauh dari guyuran air. Meski basah kuyub, Alex tak mempedulikannya, ia lebih khawatir melihat keadaan sang istri yang sungguh menyedihkan."Apa yang kamu lakukan? Lepas!" berontak Airin. Ia memaksa Alex untuk menurunkannya segera."Diam! Aku hanya ingin membantu–mu!' Meski beberapa kali Airin memberontak, Alex tetap mendekapnya erat, membawa tubuh basah gadis itu keluar dari kamar mandi."Maaf ..." ungkapnya lirih. Jika tahu kejadiannya akan seperti ini, mungkin lain kali ia akan lebih berhati-hati lagi membelikan makanan untuknya."Kenapa kau tidak bilang jika mempunyai alergi?" Alex mendudukkan tubuh Airin dengan lembut."Apa? Memangnya kamu pernah bertanya?"Nyatanya Alex hanya bisa bungkam. Memang dalam hal ini ia yang bersalah. Harusnya ia tahu sedikit saja mengenai istrinya.Suami tak berguna. Mungkin ituah istilah yang pantas tersematkan pada diri Ale. Bagaimana bisa ia tidak menget
Riska tersenyum, tidak mempedulikan tatapan heran Alex, ia terus melangkah masuk dan mendaratkan tubuhnya begitu saja pada sofa ruangan."Kenapa kau ada di sini?" Alex kembali melayangkan pertanyaan, hingga Riska mau tidak mau harus menjawab, "Kenapa memangnya kalau aku ada di sini? Kau keberatan?" tanyanya."Aku sibuk, Ris, jangan ganggu waktu kerjaku." Alex langsung saja memberi alasan yang tepat, ia yakin jika perempuan itu sebentar lagi akan pergi meninggalkan ruangannya."Lagipula siapa yang ingin mengganggu waktu kerja–mu sih, Lex? Justru aku ke sini karena undangan dari Tuan Arya." Dengan gampangnya Riska berbicara tanpa menghiraukan Alex yang kebingungan."Apa! Kau ke sini karena undangan Tuan Arya?" Mengenyit heran."Ya. Mana mungkin aku berani mendatangi–mu secara terang-terangan ke kantor, jika bukan undangan langsung dari bosmu. Hahah ..." Riska terbahak sendiri. Ia masih duduk dengan santai sembari memainkan ponselnya."Lalu, untuk apa kau ke ruanganku? Bukannya Tuan Arya
Selain melimpahkan tanggungjawab untuk memimpin meeting perusahaan, Alex juga bingung, kenapa Arya sampai mengundang Riska datang. Dan setelah melewati waktu berdua di dalam ruangan yang terasa sesak, kini Alex bisa bernapas lega karena masalah meeting tadi telah selesai dan Riska bisa secepatnya meninggalkan kantor itu.Alex menyandarkan punggung pada sandaran sofa tempat Riska tadi menunggunya, memejamkan mata sejenak, sembari tangannya memijit pelipisnya yang sedikit berdenyut.Kedua matanya kembali terbuka saat mendengar suara pintu terbuka dari luar. Alex yakin jika bukan Arya, pasti–lah sang sekretaris yang datang. Tapi, lagi-lagi ia di kejutkan oleh perempuan itu yang datang lagi. "Lex, apa kau tidak ingin makan siang?" Riska menyelonong masuk ke ruangan Alex, tanpa mempedulikan seperti apa wajah lelaki itu yang sejak tadi menunjuk tidak suka."Astaga ... Riska! Apa lagi sih?" Alex sudah benar-benar kesal. Harusnya ia mengunci pintu ruangannya tadi, agar tidak ada gangguan dari