Ibu Lasmi langsung menarik tangan yang di gengam oleh Elisa. Ia memalingkan wajah ke arah lain, tidak sanggup menatap Elisa yang terlihat sangat memohon."Kami mohon, Bu ... bisakah Ibu menyetujui permintaan Alex untuk berobat?" Airin ikut berjongkok di depan mertuanya. Meyakinkan pada perempuan itu bahwa banyak sekali yang berharap akan kesembuhannya."Apa Ibu tidak ingin bermain dengan anak-anak kami nanti?" Elisa melontarkan sebuah pertanyaan yang langsung membuat hati Bu Lasmi berdenyut. "Maaf ...?" Ia langsung sadar akan ucapanny yang sudah melampaui batas."Maafkan aku juga, Bu. Tapi, Kami hanya ingin melakukan yang terbaik untuk Ibu. Kami ingin Ibu sembuh dan bermain dengan anak-anak kami nanti." Airin menambahi.Bu Lasmi seperti di lema. Ia juga ingin sekali sembuh dan menghabiskan sisa hidupnya untuk bahagia bersama anak dan para cucunya nanti. Tapi, masih ada satu yang mengganjal di hati, yaitu Roy. Bagaimana dengan anak lelakinya itu? Berapa lama lagi ia akan mendapatkan ma
Elisa langsung merengut mendengar ungkapan Alex. Ia pikir lelaki itu peduli, nyatanya Alex hanya memandang kasihan karena ia tengah hamil."Iya, iya. Aku tahu kok." Masih menahan kesal, Elisa melirik Roy yang tak memberi respon apapun. Lelaki itu malah diam dengan posisi masih menunduk di depannya. "Kak ..! Kamu beneran nggak mau minta maaf sama aku?" tanya Elisa pada Roy. "Apa?" Roy malah bingung. Ia bangkit dan kembali mengajak wanita itu untuk pulang. "Tapi, aku masih mau di sini, Kak?" pinta Elisa. Ternyata usahanya tadi belum membuahkan hasil. Ia pasang wajah sesedih mungkin, berharap suaminya berubah pikiran."Kapan-kapan bisa ke sini lagi, El." Tanganny masih menggantung, menunggu respon dari Elisa. "Masih banyak urusan yang harus aku kerjakan." Roy menjelaskan.Yang di seberang sana memalingkan wjaah. "Dasar, sok sibuk!" Alex mencibir lelaki itu. Namun detik kemudian ia melihat tatapan tajam dari Ibu dan juga istrinya. "Iya, iya. Aku diam. Kenapa kalian kompak sekali sih, me
"Ya, dia. Aku yakin dia bisa banyak membantumu, Lex." Arya sangat yakin jika lelaki yang ia maksud lebih tahu mengenai hal itu."Tapi ..." Alex sangat ragu. Bagaimana mungkin ia meminta bantuannya, sedangkan hubungannya dengan lelaki itu belum membaik."Kau tenang saja, Lex. Sebenci apapun dia, Roy tetaplah kakakmu. Kau mau–pun dia tidak akan pernah bisa menolak takdir!" Arya menegaskan, mengingatkan pada Alex hubungannya dengan lelaki itu."Saya tahu itu, Tuan. Tapi ... apa mungkin dia mau membantuku?" Sekali lagi Alex ragu. Ia sudah hapal perangai Roy yang keras kepala. Di tambah lagi, Roy masih sangat membencinya."Aku akan mengusahakannya untukmu." Arya menepuk pundak lelaki itu."Maksud, Tuan?" Alex ingin memastikan akan ucapan Arya."Aku akan membujuk Roy agar mau membantumu."Obrolan dua lelaki itu tidak memakan waktu lama, karena Arya mendapati telepon dari Rengganis yang memintanya agar segera pulang. Entah sihir apa yang wanita itu berikan, hingga Arya langsung bergegas, mun
"Astaga .... Airinnn!" Alex langsung bergerak cepat, membopong tubuh gadis itu dan membawanya menjauh dari guyuran air. Meski basah kuyub, Alex tak mempedulikannya, ia lebih khawatir melihat keadaan sang istri yang sungguh menyedihkan."Apa yang kamu lakukan? Lepas!" berontak Airin. Ia memaksa Alex untuk menurunkannya segera."Diam! Aku hanya ingin membantu–mu!' Meski beberapa kali Airin memberontak, Alex tetap mendekapnya erat, membawa tubuh basah gadis itu keluar dari kamar mandi."Maaf ..." ungkapnya lirih. Jika tahu kejadiannya akan seperti ini, mungkin lain kali ia akan lebih berhati-hati lagi membelikan makanan untuknya."Kenapa kau tidak bilang jika mempunyai alergi?" Alex mendudukkan tubuh Airin dengan lembut."Apa? Memangnya kamu pernah bertanya?"Nyatanya Alex hanya bisa bungkam. Memang dalam hal ini ia yang bersalah. Harusnya ia tahu sedikit saja mengenai istrinya.Suami tak berguna. Mungkin ituah istilah yang pantas tersematkan pada diri Ale. Bagaimana bisa ia tidak menget
Riska tersenyum, tidak mempedulikan tatapan heran Alex, ia terus melangkah masuk dan mendaratkan tubuhnya begitu saja pada sofa ruangan."Kenapa kau ada di sini?" Alex kembali melayangkan pertanyaan, hingga Riska mau tidak mau harus menjawab, "Kenapa memangnya kalau aku ada di sini? Kau keberatan?" tanyanya."Aku sibuk, Ris, jangan ganggu waktu kerjaku." Alex langsung saja memberi alasan yang tepat, ia yakin jika perempuan itu sebentar lagi akan pergi meninggalkan ruangannya."Lagipula siapa yang ingin mengganggu waktu kerja–mu sih, Lex? Justru aku ke sini karena undangan dari Tuan Arya." Dengan gampangnya Riska berbicara tanpa menghiraukan Alex yang kebingungan."Apa! Kau ke sini karena undangan Tuan Arya?" Mengenyit heran."Ya. Mana mungkin aku berani mendatangi–mu secara terang-terangan ke kantor, jika bukan undangan langsung dari bosmu. Hahah ..." Riska terbahak sendiri. Ia masih duduk dengan santai sembari memainkan ponselnya."Lalu, untuk apa kau ke ruanganku? Bukannya Tuan Arya
Selain melimpahkan tanggungjawab untuk memimpin meeting perusahaan, Alex juga bingung, kenapa Arya sampai mengundang Riska datang. Dan setelah melewati waktu berdua di dalam ruangan yang terasa sesak, kini Alex bisa bernapas lega karena masalah meeting tadi telah selesai dan Riska bisa secepatnya meninggalkan kantor itu.Alex menyandarkan punggung pada sandaran sofa tempat Riska tadi menunggunya, memejamkan mata sejenak, sembari tangannya memijit pelipisnya yang sedikit berdenyut.Kedua matanya kembali terbuka saat mendengar suara pintu terbuka dari luar. Alex yakin jika bukan Arya, pasti–lah sang sekretaris yang datang. Tapi, lagi-lagi ia di kejutkan oleh perempuan itu yang datang lagi. "Lex, apa kau tidak ingin makan siang?" Riska menyelonong masuk ke ruangan Alex, tanpa mempedulikan seperti apa wajah lelaki itu yang sejak tadi menunjuk tidak suka."Astaga ... Riska! Apa lagi sih?" Alex sudah benar-benar kesal. Harusnya ia mengunci pintu ruangannya tadi, agar tidak ada gangguan dari
"Ada apa ini?" Terdengar suara seseorang yang Lia yakini adalah suara sang bos. Gadis pengganti Nabil itu langsung membuka mata, dan beringsut berlindung di belakang Arya."Tuan, saya ..?""Nona Riska, ada apa ini?" Arya masih memandang perempuan itu dengan dahi mengkerut, bingung sekaligus tidak mengerti dengan situasi apa yang sebenarnya tengah terjadi."Tu–an Arya ..?" Riska gelagapan. Ia tidak menyangka jika tindakannya akan di pergoki langsung oleh pemilik perusahaan itu. Beruntung ia belum sempat menjambak Lia dan membuat keributan semakin besar. "Ma–af, saya hanya ..?" Apa yah, tidak mungkin ia terus terang ingin menghajar sekretarisnya tadi, kan?"Saya hanya sedang diskusi dengan sekretaris Anda." Riska lega karena dapat menjelaskan. Selanjutnya ia melirik ke arah Lia sembari memberikan kode pada gadis itu agar tidak membeberkan kejadian yang sebenarnya terjadi."Iy–iya, Tuan. Nona Riska hanya meminta sedikit pendapat pada saya." Meski ia masih ketakutan. Lia tetap memaksakan
Arya masih menjelaskan pada Alex. Meski harus berulang kali, tetap saja lelaki itu malah menganggap ungkapan Arya baru saja hanya lelucon."Tidak mungkin, Tuan. Tolong, jangan buat saya berharap dia akan membantu?" Arya sampai mendesah berkali-kali hanya untuk meyakinkan. Rupanya Alex terlalu pesimis untuk masalah yang satu ini."Lalu, aku harus bilang apa?!" Ingin sekali Arya menonjok wajah Alex yang sekarang terlihat lebih menyebalkan. 'Kalau tidak percaya ya sudah!' Arya memaki sendiri dalam hati."Saya tidak percaya karena punya alasan, Tuan. Saya tahu bagaimana lelaki itu membenci saya dan keluarga saya." Ada yang memaksa masuk dan memenuhi rongga dadanya saat mengingat itu. Bahkan sampai sekarang ibunya belum juga mendapatkan maaf dari Roy."Tapi, aku sedang tidak bercanda, Lex! Roy sungguh bersedia membantu kita. Jika kau tak percaya, tunggu saja nanti sampai dia turun tangan langsung."Ia pikir sejak tadi Arya hanya main-main mengatakan jika Roy mau membantunya. Tapi, syukur