Prasetyo menatap tubuh indah yang kehabisan napas di bawah kuasanya, kulit Natalia penuh keringat. Lelaki itu tersenyum senang, selalu ada kepuasan tersendiri ketika ia berhasil menaklukan istrinya setelah pertengkaran mereka. Prasetyo merasa menang, karena masih bisa memiliki perempuan itu meski Natalia membencinya.
“Tidak pernah ada tempat untuk kembali, Nat.” Bisik Prasetyo tepat di hadapan bibir Natalia yang bengkak karena ulahnya. “Kamu yang merangkak masuk ke kehidupanku dan ini lah kehidupan yang harus kamu lalui.” “Mas.” Rintih Natalia karena Prasetyo kembali bergerak, padahal baru beberapa saat lalu ia mendapatkan pelepasannya. “Cukup.” Prasetyo menulikan telinga, lelaki itu justru bertindak makin berani dengan mengunci kedua tangan Natalia di atas kepala perempuan tersebut. Hal itu membuat Prasetyo lebih dapat menikmati pemandangan dua bukit kembar Natalia yang semakin tinggi menantang. “Mas.” Rintih Natalia karena pelepasannya kembali datang, di tambah ia juga harus menahan bobot suaminya yang ambruk di atas tubuhnya karena Prasetyo juga baru saja mendapatkan pelepasannya sendiri. Napas keduanya terengah-engah, Prasetyo bahkan masih merasakan hawa panas dari sisa-sisa kegiatannya tadi. “Kamu tahu, Nat.” Prasetyo menelusuri wajah Natalia yang memerah dengan jari-jarinya, “Tubuh kamu ini adalah satu-satunya hal yang bisa kamu banggakan dari dirimu, karena itu aku berusaha mati-matian untuk tidak melukainya meski aku sangat ingin melakukannya.” Untuk sesaat, mata Prasetyo dan Natalia terkunci. Sepasang suami istri itu saling tatap tanpa bicara, seperkian detik Prasetyo merasakan perasaan yang tidak ia mengerti. Perasaan asing yang membuat lelaki itu lebih memilih bergegas membersihkan diri dibandingkan berbaring lebih lama di samping istrinya. “Ini kartu baru, limitnya jauh lebih besar dibandingkan limit kartu yang kamu miliki saat ini.” Prasetyo mengambil satu kartu berwarna hitam dari dompet kulitnya. “Kamu bisa menggunakan kartu ini sepuasnya.” Lanjutnya lagi sembari melemparkan kartu tersebut ke atas ranjang. “Aku bukan pelacur.” Ucap Natalia dengan suara serak. Alis Prasetyo terangkat. “Aneh, satu tahun lalu kamu masih sangat senang menerima bayaran dariku.” “Mas!” Prasetyo tertawa. “Percuma bersikap seolah-olah memiliki harga diri, Natalia. Sudah terlalu terlambat untuk melakukannya.” Prasetyo meraih kartu hitam yang masih tergeletak di atas ranjang dan memaksa Natalia menerima kartu tersebut dengan menyisipkan kartu tersebut ditangan istrinya. “Jangan khawatir, aku juga akan mengizinkanmu memeriksa ponselku saat sarapan nanti.” Prasetyo mengatakan hal itu sembari tersenyum, tapi Natalia justru ketakutan. Suaminya pasti merencanakan sesuatu untuk menyakitinya lebih dalam lagi. “Perempuan lain juga memiliki kartu yang sama.” Sambung Prasetyo. “Kamu cemburu karena merasa aku memperlakukan kalian dengan cara yang berbeda kan?” Natalia menggeleng, ia tidak mau mendengar apapun tentang perempuan-perempuan yang menghangatkan ranjang suaminya. “Cukup, Mas!” “Ayolah, aku tidak mau kamu berpikir aku seorang suami yang tidak adil.” Raut jenaka di wajah Prasetyo seketika hilang, digantikan seraut wajah datar yang paling Natalia benci. “Kamu ingin aku memperlakukanmu sama seperti aku memperlakukan perempuan lain, bukan?” Natalia menggeleng. “Seperti ini lah caraku memperlakukan mereka, sama sekali tidak ada perbedaan karena kalian sama-sama boneka yang hidup untuk memuaskan hasratku. Puas kamu sekarang?” Setelah mengatakan kalimat itu, Prasetyo meninggalkan kamar dan memilih membiarkan Natalia menangis sendirian. Sama sekali tidak ada rasa iba, apa lagi menyesal. Hanya ada kepuasan karena sekali lagi, ia berhasil menunjukkan siapa yang paling berkuasa di antara mereka.“Jangan ulangi lagi.” Dari ujung matanya Prasetyo mendengar langkah kaki samar yang sangat dikenalnya, Natalia. Bukannya menyudahi panggilan, lelaki itu justru tetap melanjutkan obrolan. Bahkan obrolan tersebut terdengar semakin mesra, Natalia yang hendak memasuki ruang makan memilih untuk menghentikan langkah sembari mencuri dengar. “Datanglah pukul tujuh malam nanti, bar Arman yang baru ini katanya lebih seru.” Kata Prasetyo sembari menghirup aroma kopi hitam kesukaannya. “Oh ayolah, seseru apa pun tempatnya pasti jadi membosankan kalau kamu nggak datang.” Telinga Natalia semakin panas, meski begitu ia tahu bahwa Prasetyo tidak suka di konfrontasi. Apa yang dialaminya malam tadi adalah pelajaran sekaligus peringatan, suaminya tidak suka jika Natalia mencampuri urusannya, terutama tentang Samantha. Dengan kesadaran itu, Natalia mencoba menenangkan diri dan baru setelahnya memasuki ruang makan dengan langkah dan wajah yang tenang seolah-olah tidak terganggu dengan percakapan sua
Prasetyo sama sekali tidak terkejut begitu melihat Akbar ada di dalam ruang kerjanya pagi ini, mereka sudah bersahabat cukup lama. Bisa dibilang, Akbar dan Arman adalah saksi hidup atas setiap kenakalan yang Prasetyo lakukan semasa remaja bahkan sampai sebelum lelaki itu menikah. “Wajahmu selalu saja muram, Pras.” Akbar berdiri untuk menyambut Prasetyo. “Apa yang kau lakukan sepagi ini di kantor orang lain?” tanya Prasetyo, lelaki itu mengabaikan salam dari Akbar dan langsung menuju meja kerjanya yang sudah diisi oleh tumpukan laporan yang harus diperiksa. “Pergilah, kau membuatku kesal.” Akbar tertawa. “Kalimat macam apa itu. Padahal baru saja kau membujukku untuk datang ke bar Arman yang baru.” Akbar dengan santai duduk di sofa hitam tepat di depan meja kerja Prasetyo. “Oh ayolah, seseru apa pun tempatnya pasti jadi membosankan kalau kamu nggak datang.” Akbar menirukan perkataan Prasetyo sembari menggerakan bibirnya secara berlebihan, lelaki itu sengaja menggoda Prasetyo yang se
Bertahun-tahun lalu, Prasetyo menghabiskan masa muda dengan penuh kesenangan. Ia memiliki uang, kekuasaan sekaligus perempuan tercantik di kampusnya, Samantha. Hidup Prasetyo lengkap, ia bahkan sudah sangat yakin untuk memilih Samantha sebagai pasangan hidupnya. Sampai perempuan itu mengecewakannya, menghancurkan kehidupan Prasetyo yang sempurna dengan melemparkan kotoran ke wajahnya. Samantha menolak lamaran Prasetyo, tidak cukup sampai di sana perempuan itu bahkan dengan tega mengakhiri hubungan mereka dan memilih untuk mengejar karirnya di New York padahal Prasetyo sudah merendahkan diri dengan memohon agar Samantha tidak meninggalkannya. Lelaki itu bersedia menunggu sebanyak apapun waktu yang perempuan itu butuhkan. Tapi jawaban Samantha tetap sama, lalu hubungan mereka berakhir. Sekarang perempuan itu kembali, terlihat semakin cantik dari sosok Samantha yang Prasetyo ingat terakhir kali. Prasetyo harus terus mengingatkan diri agar tidak terbawa perasaan, karena setelah sekian t
Samantha merasa adrenalinnya terpacu begitu Prasetyo membalas ciumannya, lelaki itu bahkan menariknya kian rapat. Lidahnya menyusup, membelai setiap sudut dengan tidak sabaran. Respon yang seperti itu membuat Samantha yakin bahwa ia masih memiliki kesempatan, persetan dengan Nathalia. Jika Prasetyo menginginkannya, maka ia tidak akan mundur, perempuan itu juga akan berdiri di sisi Prasetyo dan memperjuangkan hubungan mereka. “Pras.” Desah Samantha begitu pagutan mereka terlepas, matanya berbinar. Perempuan itu sama sekali tidak menutupi kebahagiaannya. “Aku tahu, Pras. Aku tahu, kamu masih mencintaiku. Aku tahu.” Samantha sangat bersemangat, perempuan itu jelas sangat merasa antusias dengan respon Prasetyo terhadap sentuhannya. “Aku benar kan, Pras. Kamu memang masih mencintaiku, iya kan?” Pagutan pada bibirnya adalah jawaban yang diberikan Prasetyo, Samantha senang. Perempuan itu bahkan kian berani menggerakan tangannya untuk menelusuri otot-otot Prasetyo yang masih terbungkus p
“Kamu datang, Pras.” Samantha dengan percaya dirinya mendekati Prasetyo untuk memberikan kecupan di pipi lelaki tersebut. “Aku senang kamu datang.” Perhatian Samantha sama sekali tidak teralihkan, sekian tahun mereka berpisah Prasetyo terlihat semakin matang. Otot yang terbentuk sempurna, tubuh tegap dan bahu lebar yang terlihat nyaman untuk disandari. Lelaki itu sedikit memanjangkan rambutnya, hal itu membuat Prasetyo terlihat lebih muda dari usia seharusnya. Samantha benar-benar berharap mereka dapat kembali seperti dulu. “Kau pulang setelah sekian lama, mana mungkin aku tidak ikut menyambut?” Prasetyo mengalihkan tangannya ke pinggang Natalia yang ramping. “Kenalkan, Tha. Ini Natalia, istriku.” Sepersekian detik, Samantha terpaku, ia memang sudah mendengar kabar pernikahan Prasetyo. Akbar langsung memberitahunya ketika ia menyampaikan kabar kepulangannya kepada kakak sepupunya itu, Samantha hanya tidak menyangka jika Prasetyo akan membawa Natalia ke pesta penyambutannya malam
Natalia diam, tangannya terkepal di bawah meja. Hal itu sama sekali tidak luput dari perhatian Samantha yang seketika merasa di atas awan. Jika Prasetyo tidak pernah menceritakan masa lalu mereka kepada istrinya, itu berarti lelaki itu masih belum melupakannya. “Melihat reaksimu, sepertinya Prasetyo tidak mengatakan apa-apa.” Samantha tertawa, jelas sekali ia sedang mempermalukan Natalia. “Dengar anak manis.” Samantha mengelus pipi Natalia yang putih pucat. “Kamu mungkin istrinya sekarang, tapi aku adalah satu-satunya perempuan yang memiliki hati dan cinta Prasetyo. “Jangan terlalu percaya diri,” balas Natalia berani. “Kau perlu bukti? Baiklah, mari kita buktikan siapa yang sebenarnya ada di dalam hati Prasetyo.” Natalia belum sempat mencerna apa maksud Samantha ketika perempuan itu berusaha menjatuhkan diri ke arah kolam renang yang tepat berada di belakang kursi mereka, spontan Natalia mengulurkan tangan untuk menahan Samantha tapi sialnya hal itu justru terlihat seolah-ol
Natalia melirik Prasetyo yang nampak sibuk dengan ponselnya, mereka memang bukan pasangan harmonis yang melewatkan momen sarapan bersama sembari membicarakan jadwal harian. Tapi sikap lelaki itu beberapa bulan terakhir ini memang mencurigakan, Prasetyo menjadi lebih sibuk dengan ponsel ketimbang layar laptop yang biasanya digunakan untuk memeriksa laporan dari para karyawan. “Malam ini kamu makan malam di rumah kan, Mas?” Prasetyo menggelengkan kepala tanpa mau repot-repot melirik istrinya. “Pekerjaanku cukup banyak.” “Dua hari yang lalu kamu juga beralasan yang sama.” Kata Natalia. “Dan seterusnya aku akan menggunakan alasan yang sama.” Balas Prasetyo dingin. “Jangan menatapku seperti itu, kamu tahu pekerjaanku memang banyak.” Kata Prasetyo sembari meraih serbet untuk membersihkan sudut bibirnya dari sisa-sisa makanan. “Sul, siapkan mobil!” teriak Prass sembari beranjak dari kursinya. Natalia menghela napas, berusaha menguatkan hati karena meski sudah hampir satu tahun men
Sudah lewat pukul dua belas malam, Prasetyo masih belum juga pulang. Natalia cemas, karena tidak biasanya suaminya seperti ini. Prasetyo selalu pulang ke rumah tidak peduli seberapa besar rasa benci dan muak yang dimiliki lelaki itu untuknya. “Iya, ibu?” suara supir pribadi Prasetyo terdengar di panggilan telepon. “Sul, Bapak sudah selesai bekerja?” tanya Natalia. “Sudah, Bu. Tapi Bapak mau ketemu teman-temannya katanya, saya disuruh pulang duluan tadi karena Bapak tidak mau diantar.” Tanpa sadar, Natalia mencengkram ponselnya terlalu erat. Pikirannya melayang pada pesan singkat yang ia baca di ponsel suaminya pagi tadi. “Bapak bilang enggak mau kumpul di mana sama teman-temannya itu?” “Nggak, Bu.” Sul, menjawab dengan hati-hati. Hubungan kedua majikannya yang cukup dingin memang sudah menjadi rahasia umum bagi pekerja di rumah mewah tersebut. “Ibu mau saya tanyakan?” Natalia menggeleng, “Tidak usah, saya tahu Bapak di mana. Terima kasih ya.” “Baik, Bu.” Natalia berbohong,
Natalia diam, tangannya terkepal di bawah meja. Hal itu sama sekali tidak luput dari perhatian Samantha yang seketika merasa di atas awan. Jika Prasetyo tidak pernah menceritakan masa lalu mereka kepada istrinya, itu berarti lelaki itu masih belum melupakannya. “Melihat reaksimu, sepertinya Prasetyo tidak mengatakan apa-apa.” Samantha tertawa, jelas sekali ia sedang mempermalukan Natalia. “Dengar anak manis.” Samantha mengelus pipi Natalia yang putih pucat. “Kamu mungkin istrinya sekarang, tapi aku adalah satu-satunya perempuan yang memiliki hati dan cinta Prasetyo. “Jangan terlalu percaya diri,” balas Natalia berani. “Kau perlu bukti? Baiklah, mari kita buktikan siapa yang sebenarnya ada di dalam hati Prasetyo.” Natalia belum sempat mencerna apa maksud Samantha ketika perempuan itu berusaha menjatuhkan diri ke arah kolam renang yang tepat berada di belakang kursi mereka, spontan Natalia mengulurkan tangan untuk menahan Samantha tapi sialnya hal itu justru terlihat seolah-ol
“Kamu datang, Pras.” Samantha dengan percaya dirinya mendekati Prasetyo untuk memberikan kecupan di pipi lelaki tersebut. “Aku senang kamu datang.” Perhatian Samantha sama sekali tidak teralihkan, sekian tahun mereka berpisah Prasetyo terlihat semakin matang. Otot yang terbentuk sempurna, tubuh tegap dan bahu lebar yang terlihat nyaman untuk disandari. Lelaki itu sedikit memanjangkan rambutnya, hal itu membuat Prasetyo terlihat lebih muda dari usia seharusnya. Samantha benar-benar berharap mereka dapat kembali seperti dulu. “Kau pulang setelah sekian lama, mana mungkin aku tidak ikut menyambut?” Prasetyo mengalihkan tangannya ke pinggang Natalia yang ramping. “Kenalkan, Tha. Ini Natalia, istriku.” Sepersekian detik, Samantha terpaku, ia memang sudah mendengar kabar pernikahan Prasetyo. Akbar langsung memberitahunya ketika ia menyampaikan kabar kepulangannya kepada kakak sepupunya itu, Samantha hanya tidak menyangka jika Prasetyo akan membawa Natalia ke pesta penyambutannya malam
Samantha merasa adrenalinnya terpacu begitu Prasetyo membalas ciumannya, lelaki itu bahkan menariknya kian rapat. Lidahnya menyusup, membelai setiap sudut dengan tidak sabaran. Respon yang seperti itu membuat Samantha yakin bahwa ia masih memiliki kesempatan, persetan dengan Nathalia. Jika Prasetyo menginginkannya, maka ia tidak akan mundur, perempuan itu juga akan berdiri di sisi Prasetyo dan memperjuangkan hubungan mereka. “Pras.” Desah Samantha begitu pagutan mereka terlepas, matanya berbinar. Perempuan itu sama sekali tidak menutupi kebahagiaannya. “Aku tahu, Pras. Aku tahu, kamu masih mencintaiku. Aku tahu.” Samantha sangat bersemangat, perempuan itu jelas sangat merasa antusias dengan respon Prasetyo terhadap sentuhannya. “Aku benar kan, Pras. Kamu memang masih mencintaiku, iya kan?” Pagutan pada bibirnya adalah jawaban yang diberikan Prasetyo, Samantha senang. Perempuan itu bahkan kian berani menggerakan tangannya untuk menelusuri otot-otot Prasetyo yang masih terbungkus p
Bertahun-tahun lalu, Prasetyo menghabiskan masa muda dengan penuh kesenangan. Ia memiliki uang, kekuasaan sekaligus perempuan tercantik di kampusnya, Samantha. Hidup Prasetyo lengkap, ia bahkan sudah sangat yakin untuk memilih Samantha sebagai pasangan hidupnya. Sampai perempuan itu mengecewakannya, menghancurkan kehidupan Prasetyo yang sempurna dengan melemparkan kotoran ke wajahnya. Samantha menolak lamaran Prasetyo, tidak cukup sampai di sana perempuan itu bahkan dengan tega mengakhiri hubungan mereka dan memilih untuk mengejar karirnya di New York padahal Prasetyo sudah merendahkan diri dengan memohon agar Samantha tidak meninggalkannya. Lelaki itu bersedia menunggu sebanyak apapun waktu yang perempuan itu butuhkan. Tapi jawaban Samantha tetap sama, lalu hubungan mereka berakhir. Sekarang perempuan itu kembali, terlihat semakin cantik dari sosok Samantha yang Prasetyo ingat terakhir kali. Prasetyo harus terus mengingatkan diri agar tidak terbawa perasaan, karena setelah sekian t
Prasetyo sama sekali tidak terkejut begitu melihat Akbar ada di dalam ruang kerjanya pagi ini, mereka sudah bersahabat cukup lama. Bisa dibilang, Akbar dan Arman adalah saksi hidup atas setiap kenakalan yang Prasetyo lakukan semasa remaja bahkan sampai sebelum lelaki itu menikah. “Wajahmu selalu saja muram, Pras.” Akbar berdiri untuk menyambut Prasetyo. “Apa yang kau lakukan sepagi ini di kantor orang lain?” tanya Prasetyo, lelaki itu mengabaikan salam dari Akbar dan langsung menuju meja kerjanya yang sudah diisi oleh tumpukan laporan yang harus diperiksa. “Pergilah, kau membuatku kesal.” Akbar tertawa. “Kalimat macam apa itu. Padahal baru saja kau membujukku untuk datang ke bar Arman yang baru.” Akbar dengan santai duduk di sofa hitam tepat di depan meja kerja Prasetyo. “Oh ayolah, seseru apa pun tempatnya pasti jadi membosankan kalau kamu nggak datang.” Akbar menirukan perkataan Prasetyo sembari menggerakan bibirnya secara berlebihan, lelaki itu sengaja menggoda Prasetyo yang se
“Jangan ulangi lagi.” Dari ujung matanya Prasetyo mendengar langkah kaki samar yang sangat dikenalnya, Natalia. Bukannya menyudahi panggilan, lelaki itu justru tetap melanjutkan obrolan. Bahkan obrolan tersebut terdengar semakin mesra, Natalia yang hendak memasuki ruang makan memilih untuk menghentikan langkah sembari mencuri dengar. “Datanglah pukul tujuh malam nanti, bar Arman yang baru ini katanya lebih seru.” Kata Prasetyo sembari menghirup aroma kopi hitam kesukaannya. “Oh ayolah, seseru apa pun tempatnya pasti jadi membosankan kalau kamu nggak datang.” Telinga Natalia semakin panas, meski begitu ia tahu bahwa Prasetyo tidak suka di konfrontasi. Apa yang dialaminya malam tadi adalah pelajaran sekaligus peringatan, suaminya tidak suka jika Natalia mencampuri urusannya, terutama tentang Samantha. Dengan kesadaran itu, Natalia mencoba menenangkan diri dan baru setelahnya memasuki ruang makan dengan langkah dan wajah yang tenang seolah-olah tidak terganggu dengan percakapan sua
Prasetyo menatap tubuh indah yang kehabisan napas di bawah kuasanya, kulit Natalia penuh keringat. Lelaki itu tersenyum senang, selalu ada kepuasan tersendiri ketika ia berhasil menaklukan istrinya setelah pertengkaran mereka. Prasetyo merasa menang, karena masih bisa memiliki perempuan itu meski Natalia membencinya. “Tidak pernah ada tempat untuk kembali, Nat.” Bisik Prasetyo tepat di hadapan bibir Natalia yang bengkak karena ulahnya. “Kamu yang merangkak masuk ke kehidupanku dan ini lah kehidupan yang harus kamu lalui.” “Mas.” Rintih Natalia karena Prasetyo kembali bergerak, padahal baru beberapa saat lalu ia mendapatkan pelepasannya. “Cukup.” Prasetyo menulikan telinga, lelaki itu justru bertindak makin berani dengan mengunci kedua tangan Natalia di atas kepala perempuan tersebut. Hal itu membuat Prasetyo lebih dapat menikmati pemandangan dua bukit kembar Natalia yang semakin tinggi menantang. “Mas.” Rintih Natalia karena pelepasannya kembali datang, di tambah ia juga harus me
“Kamu pulang.” Prasetyo nyaris terjungkal saking terkejutnya, spontan lelaki itu melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul tiga dini hari, seharusnya Natalia sudah tidur sejak tadi. “Belum tidur?” tanya Prasetyo sembari menutup pintu kamar, tubuhnya terasa lengket. Ia butuh mandi dan menyegarkan tubuh setelah seharian beraktifitas di banyak tempat. “Aku akan mandi dulu.” Natalia sama sekali tidak menjawab, perempuan itu hanya duduk diam di atas ranjang sembari menatap kosong pada layar televisi yang menampilkan drama dari salah satu stasiun tv ternama. “Kenapa kalian para perempuan sangat menyukai tontonan penuh drama seperti itu?” tanya Prasetyo begitu keluar dari kamar mandi, tubuh lelaki itu masih setengah basah. lelaki itu hanya melapisi tubuhnya dengan bathrobe berwarna hitam. “Cari penyakit.” Cecar lelaki itu lagi begitu adegan di dalam layar menampilkan tokoh utama perempuan yang terisak begitu mengetahui ternyata suaminya memiliki wanita idaman lain. “Menurutmu kenapa
Sudah lewat pukul dua belas malam, Prasetyo masih belum juga pulang. Natalia cemas, karena tidak biasanya suaminya seperti ini. Prasetyo selalu pulang ke rumah tidak peduli seberapa besar rasa benci dan muak yang dimiliki lelaki itu untuknya. “Iya, ibu?” suara supir pribadi Prasetyo terdengar di panggilan telepon. “Sul, Bapak sudah selesai bekerja?” tanya Natalia. “Sudah, Bu. Tapi Bapak mau ketemu teman-temannya katanya, saya disuruh pulang duluan tadi karena Bapak tidak mau diantar.” Tanpa sadar, Natalia mencengkram ponselnya terlalu erat. Pikirannya melayang pada pesan singkat yang ia baca di ponsel suaminya pagi tadi. “Bapak bilang enggak mau kumpul di mana sama teman-temannya itu?” “Nggak, Bu.” Sul, menjawab dengan hati-hati. Hubungan kedua majikannya yang cukup dingin memang sudah menjadi rahasia umum bagi pekerja di rumah mewah tersebut. “Ibu mau saya tanyakan?” Natalia menggeleng, “Tidak usah, saya tahu Bapak di mana. Terima kasih ya.” “Baik, Bu.” Natalia berbohong,