Arman sebetulnya masih ingin tinggal, tapi lelaki itu cukup sadar diri untuk tidak memaksakan kehendaknya. Diantara mereka berdua, Prasetyo lah yang berhak dan berkuasa atas Nathalia. Karena itu, meski harus mengepalkan tangan sampai kuku jarinya memutih, Arman akhirnya mengalah. “Baiklah, kabari aku jika kau masih membutuhkan bantuan.” Kata Arman sembari mengemasi dompet dan jaketnya. “Aku pulang dulu.” Nathalia hanya memberikan senyum tipis sebagai balasan ketika Arman berpamitan kepadanya, tapi senyumnya tidak bertahan lama karena wajah muram suaminya langsung menyambutnya. “Apa harus sampai seperti ini?” tanya Prasetyo datar.“Mas Pras ini ngomongin apa?”Prasetyo bersedekap, menatap Nathalia yang masih pucat dengan wajah muram. Ia sendiri tidak mengerti dengan perasaannya, ada perasaan kesal luar biasa karena akibat kecerobohan istrinya ia harus merelakan satu malam di rumah sakit alih-alih bersenang-senang di klub malam. Prasetyo berkali-kali berperang dengan dirinya sendiri
Nathalia mencoba menyunggingkan senyum lima jari begitu tuan dan nyonya Rahardjo menyambutnya, pertemuan terakhir mereka adalah satu tahun yang lalu. Tepat saat pernikahannya berlangsung, setelah itu sepasang orang tua yang masih terlihat bugar di usia senjanya itu memilih untuk tinggal di Negeri Singa dan fokus mengawasi bisnis keluarga yang ada di sana, sedangkan untuk urusan bisnis di Indonesia sudah sepenuhnya diserahkan kepada Prasetyo. “Bagaimana ceritanya kamu bisa berakhir seperti ini?” Rahardian Rahardjo menatap putra semata wayangnya, mencoba menuntut penjelasan. “Dia terjatuh, Papa. Katanya karena ingin mengambil buku.” Jawab Prasetyo sembari membantu Nathalia duduk di sofa yang berseberangan dengan orang tuanya. “Tidak ada yang mengawasi? kamu tidak menempatkan penjaga di sisi istrimu, Pras?” Rahardian masih terus mencecar putranya, sejak dulu di matanya Prasetyo adalah pembuat onar. Begitu mengetahui soal Nathalia, Rahardian sama sekali tidak merasa terkejut kar
Nathalia terkejut karena Prasetyo tiba-tiba saja memasuki kamar mereka dengan langkah tergesa, napas lelaki itu memburu. Wajahnya juga merah padam, tidak perlu peramal untuk mengetahui bahwa lelaki itu sedang marah. “Mas?” Panggil Nathalia hati-hati. “Sudah ketemu dompetnya?” Prasetyo diam, lelaki itu mencoba mengatur napasnya yang memburu. Seharusnya orang tuanya tidak datang, seharusnya mereka tetap di Singapura dan tidak merecoki hidupnya lagi. Prasetyo berbalik, kali ini kemarahannya ditujukan kepada Nathalia, perempuan itu adalah sumber masalah, aib terbesarnya. Bukti nyata bahwa ia telah gagal memenuhi ekspektasi ayahnya, Nathalia adalah pemberi alasan terbesar kenapa seharusnya Pradana saja yang selamat dalam tragedi waktu itu, bukan malah dirinya. Jika Pradana hidup, kembarannya itu tidak mungkin melakukan hal bodoh dan terjebak oleh trik murahan pelacur berkedok kasir swalayan seperti Nathalia. “Mas.” Panggil Nathalia karena Prasetyo sama sekali tidak merespon ucapan
Keluarga Rahardjo menikmati sarapan dalam hening, hanya dentingan sendok yang terdengar. Ini sudah hari ke tujuh Rahardian Rahardjo bersama istrinya tinggal di Jakarta untuk menemani anak dan menantu mereka, hari ini Rahardian bersama istrinya akan kembali ke Singapura.“Aku sudah minta pengurus rumah siapkan oleh-oleh untuk Mama dan Papa.” Kata Nathalia begitu Rahardian menyelesaikan makanannya. “Aku juga memesan ginseng akar merah untuk Mama.” Rahardian tertawa. “Sepertinya ini lah alasan kenapa orang-orang lebih menginginkan anak perempuan dibandingkan anak lelaki, mereka jauh lebih peka dan tau bagaimana caranya bersikap manis.” Prasetyo tersenyum kecut. “Kalau begitu kenapa Papa dan Mama tidak memberiku adik perempuan saja?”“Pras.” Kareena memperingati putra tunggalnya untuk tidak melewati batas. “Terima kasih, Nathalia. Tapi seharusnya kamu tidak perlu repot-repot.”“Enggak repot kok, Ma.”Kareena tidak menanggapi, ia memang satu-satunya orang yang menolak pernikahan anak da
“Kamu masih ingat tempat ini kan, Pras? mereka masih menjual kopi favorit kamu, loh. Aku sempat tanya-tanya adminnya waktu masih di New York.” Samantha dengan kesadaran penuh bergelayut di lengan Prasetyo. “Mereka merenovasi kedainya?” Prasetyo memandangi interior cafe yang lebih minimalis dan cerah tapi tetap estetik. “Jadi lebih nyaman.”“Iya kan?” sahut Samantha antusias. “Kita masuk dulu ya, aku juga lumayan penasaran dengan menu baru mereka.”Prasetyo tertawa, lelaki itu dengan lembut mengusap rambut Samantha sebelum memasuki cafe favoritnya semasa kuliah dulu. Nathalia mengikut dalam diam, perempuan itu sama sekali tidak bersuara sejak kehadiran Samantha. “Naht, kamu mau pesan apa?” Samantha memberikan menu kepada Nathalia.“Apa pun yang kamu rekomendasikan.”Samantha mengangguk. “Kalau gitu kamu harus coba matcha cakenya, itu enak.”“Boleh.” Nathalia sama sekali tidak merubah nada suaranya, perempuan itu juga mengatur ekspresinya dengan sebaik mungkin. “Aku mengatakan ini bu
Itu adalah tatapan yang ingin Prasetyo lihat dari Nathalia, perempuan itu jelas berusaha menahan diri. Prasetyo tidak akan membiarkannya, ia akan menghancurkan Nathalia hingga perempuan itu merasakan yang namanya hidup sekaligus mati.“Huek!” Nathalia memuntahkan isi perutnya di toilet restoran. “Huek!” Nathalia memastikan perutnya tidak lagi bergejolak sebelum keluar dari bilik toilet, dipandangi wajahnya yang terlihat berantakan dari pantulan kaca. “Sialan!” Makinya lirih sembari menengadah, sebisa mungkin menghalau air mata yang akan turun. “Menjijikan.” keluhnya lagi ketika bayang-bayang kedekatan Samantha dan suaminya kembali muncul.“Kamu enggak apa-apa, Nath?” Nathalia terkejut karena Samantha tiba-tiba saja mendekat, perempuan itu terlihat cantik dengan dress terusan sebatas lutut. “Aku khawatir, karena itu menyusul.”Nathalia memaksakan senyum.”Hanya masuk angin biasa.” Nathalia membuka keran, lebih baik ia berpura-pura sibuk dari pada harus meladeni Samantha.“Baguslah, a
Prasetyo menghembuskan asap rokoknya dengan tenang, lelaki itu bersandar dengan kedua kaki saling menyilang, satu tangannya dimasukan ke dalam saku celana. Lelaki itu bersikap tenang, seperti seekor singa yang menunggu buruannya.“Oh.” Nathalia terkejut, karena begitu keluar dari toilet langsung berpapasan dengan suaminya, perempuan itu bergegas merapikan diri. “Kamu di sini, Mas.”Prasetyo tidak menjawab, lelaki itu masih asik menghisap batang nikotinnya dan menghembuskan asapnya tepat ke wajah Nathalia yang spontan langsung terbatuk.“Rapikan barang-barangmu, kita akan pulang.” Prasetyo mendekati tempat sampah terdekat, ia memadamkan puntung rokoknya di tempat yang tersedia. “Jangan membuatku mengatakannya dua kali, Nathalia.”“Ah, ya.” Nathalia bergegas mengikuti suaminya, entah hanya perasaannya saja atau bukan tapi Nathalia merasa suasana hati Prasetyo tidak terlalu baik. Lelaki itu kembali menampilkan ekspresi muram yang menyebalkan.“Kamu sudah kembali, Pras.” Samantha bergela
Nathalia terpaku, ia sama sekali tidak menyangka bahwa Prasetyo sampai harus memperlakukannya seperti ini. Berbeda dengan Samantha, begitu mendengar Prasetyo memanggil namanya, perempuan itu bergegas mendekat bahkan sampai mendorong Nathalia agar perempuan itu bisa segera menyingkir. “Kamu membuatku cemas, Pras.” Kata Samantha begitu menggantikan posisi Nathalia. “Bertahanlah, sebentar lagi ambulan datang.”Prasetyo tidak menjawab, lelaki itu sudah sibuk menahan sakit dari luka bakar yang didapatkannya karena menyelamatkan Nathalia. “Ambulansya datang!” Kata salah satu pengunjung yang masih menemani mereka. “Biar suaminya dibantu oleh petugas medis, Bu.”Nathalia menggigit pipi bagian dalam melihat kesalahpahaman yang terjadi, semua orang mengira Samantha sebagai istri Prasetyo. Bahkan petugas medis yang baru datang sibuk mengkonfirmasi beberapa informasi medis Prasetyo kepada Samantha.“Saya istrinya.” Nathalia menyela dengan suara dingin, matanya memandang Samantha dengan tatapan
Prasetyo duduk diam di dalam mobilnya yang terparkir di depan rumah. Mesin sudah dimatikan sejak sepuluh menit yang lalu, tetapi ia belum juga turun. Di luar, lampu rumah menyala terang, seolah-olah Nathalia sengaja menunggu kehadirannya. Namun, Prasetyo tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Tangannya masih menggenggam setir, kaku, sementara pikirannya tenggelam dalam pusaran rasa bersalah dan kenangan yang terus menghantuinya. Ia memejamkan mata, mencoba mengatur napas. Namun, setiap kali ia mencoba, bayangan Nathalia muncul—bukan hanya Nathalia yang sekarang, tetapi Nathalia dari satu tahun yang lalu, di hari ketika hidupnya berubah selamanya. Pernikahan mereka bukan dimulai dari cinta. Prasetyo masih ingat betul bagaimana ia merasa dikhianati oleh Nathalia, perempuan yang menurutnya telah menjebaknya dalam ikatan pernikahan ini. Ia tidak pernah berencana menikah muda, apalagi dengan seseorang yang ia anggap terlalu ambisius dan penuh trik. Nathalia datang ke dalam hidupnya dengan mem
Suara bantingan keras dari ruang kerja menggema ke seluruh rumah, memecah keheningan malam yang mencekam. Akbar, yang tengah duduk di ruang tamu sambil menyusun laporan pekerjaan, terkejut mendengar suara itu. Tanpa ragu, ia bangkit dan berjalan cepat menuju ruang kerja Prasetyo. Pintu sedikit terbuka, dan Akbar mengintip ke dalam. Pemandangan yang dilihatnya membuat Akbar tertegun. Prasetyo berdiri di tengah ruangan, tubuhnya membungkuk, tangan mencengkeram pinggir meja dengan erat, seolah berusaha menahan dunia yang runtuh di atasnya. Rambutnya acak-acakan, dasinya longgar, dan kemejanya basah oleh keringat. Dokumen berserakan di lantai bersama gelas yang pecah. "Pras?" Akbar memanggil pelan, tetapi Prasetyo tidak menoleh. Ia tetap diam, hanya napasnya yang berat dan putus-putus terdengar di antara keheningan. Akbar mendorong pintu lebih lebar dan masuk. "Pras, apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?" Prasetyo mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah, penuh dengan kelelahan dan
Bar kecil di sudut kota itu penuh dengan suara dentingan gelas dan obrolan yang samar-samar. Di salah satu sudutnya, Akbar dan Arman duduk berhadapan di meja dengan beberapa gelas minuman di antara mereka. Dua sahabat Prasetyo itu terlihat tenggelam dalam pembicaraan serius, meskipun ada nada santai yang mereka coba pertahankan. "Jadi," Arman memulai sambil memutar-mutar gelasnya. "Bagaimana kabar Pras dan Nathalia? Masih terlihat seperti pasangan bahagia?" Akbar mendesah, lalu menyesap minumannya. "Kau tahu Pras. Dia tidak pernah menunjukkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Tapi aku bisa melihat ada sesuatu yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini." Arman menyeringai kecil, wajahnya penuh kepura-puraan simpati. "Tentu saja. Dengan Samantha kembali dalam hidupnya, siapa yang tidak akan terganggu?" Mata Akbar menyipit. Ia tidak menyukai cara Arman berbicara, tetapi ia tahu sahabat Prasetyo ini selalu memiliki agenda tersembunyi. "Samantha tidak perlu dibawa-bawa, Man. Pras sudah m
Nathalia tidak bisa mengabaikan firasat buruknya. Pertemuan dengan Samantha di supermarket dan perubahan sikap Prasetyo membuat pikirannya tak henti bertanya-tanya. Suaminya tampak lebih sering melamun, sementara Samantha justru muncul dengan senyuman misterius yang membuat Nathalia semakin curiga.Kali ini, ia memutuskan untuk menemui Samantha secara langsung. Nathalia memilih sebuah kafe kecil di pinggir kota sebagai tempat pertemuan, jauh dari keramaian. Ketika Samantha tiba, ia mengenakan blazer modis dengan senyuman penuh percaya diri yang sudah menjadi ciri khasnya."Wow, kau benar-benar berani mengundangku ke sini," ujar Samantha sambil duduk di kursinya. "Apa yang ingin kau bicarakan, Nathalia?"Nathalia berusaha menjaga ketenangannya. "Aku ingin tahu sesuatu. Tentang hubunganmu dengan Prasetyo."Samantha menaikkan alisnya, lalu tersenyum licik. "Hubunganku dengan Prasetyo? Maksudmu, hubungan yang mana? Sebagai teman lama? Atau sesuatu yang lebih menarik?"Darah Nathalia berde
Prasetyo menggeram kesal begitu mendengar kabar bahwa Samantha telah bertemu dengan Nathalia di supermarket. Tanpa menunggu lama, ia langsung menghubungi perempuan itu, memintanya untuk bertemu di tempat yang jauh dari perhatian publik. Samantha, yang tampaknya sudah menanti momen ini, setuju tanpa banyak bicara. Pertemuan itu berlangsung di sebuah kafe kecil yang sepi. Prasetyo tiba lebih dulu, duduk dengan rahang yang terkatup rapat dan tangan yang mengepal di atas meja. Ketika Samantha masuk, ia mengenakan pakaian yang santai namun tetap elegan, senyum kecil tersungging di bibirnya seperti tidak ada yang salah. "Kamu benar-benar nekat," ujar Prasetyo tanpa basa-basi ketika Samantha duduk di depannya. Nada suaranya rendah, tapi penuh kemarahan yang tertahan. Samantha hanya mengangkat bahu. "Apa yang nekat? Aku hanya berbelanja, sama seperti orang lain. Kebetulan aku bertemu Nathalia. Itu saja." "Kebetulan?" Prasetyo mendesis, matanya menatap tajam ke arah Samantha. "Aku tahu kam
Hari-hari berlalu, tetapi keadaan Prasetyo semakin memburuk. Wajahnya yang dulu tegas kini terlihat layu, dengan lingkaran hitam yang mencolok di bawah matanya. Ia sering kehilangan fokus di tengah-tengah pekerjaannya, bahkan saat rapat penting sekalipun. Akbar, yang sudah lama menjadi teman sekaligus rekan kerja Prasetyo, hanya bisa menggelengkan kepala setiap kali melihat keadaan sahabatnya itu. "Pras, aku nggak bisa tinggal diam melihat kamu seperti ini," kata Akbar suatu sore di kantor. Mereka berdua duduk di ruang kerja Prasetyo, di mana tumpukan dokumen terlihat berantakan di atas meja. Prasetyo hanya mendesah, menunduk sambil memijat pelipisnya. "Aku baik-baik saja, Bar. Aku cuma perlu waktu untuk menyelesaikan semuanya." "Baik-baik saja?" Akbar memelototi Prasetyo dengan tatapan tidak percaya. "Kamu bahkan nggak bisa konsentrasi selama lebih dari lima menit. Dan jangan pikir aku nggak tahu kalau kamu juga hampir nggak tidur beberapa hari ini. Pras, kamu perlu bantuan." "Ak
Prasetyo akhirnya memutuskan untuk pulang. Keputusan itu tidak datang dengan mudah; rasa bersalah yang terus menghantuinya membuat setiap langkah terasa berat. Namun, kekhawatiran akan keadaan Nathalia dan rasa rindu yang perlahan menggerogoti hatinya mendorongnya untuk kembali ke rumah. Dalam perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh bayangan Nathalia—wajah lembut istrinya yang dulu selalu menyambutnya dengan senyuman hangat. Tetapi sekarang, senyuman itu terasa seperti cermin yang memantulkan dosa-dosa yang ia lakukan. Ketika Prasetyo sampai di rumah, suasana terasa berbeda. Nathalia, yang sedang duduk di ruang tamu, segera bangkit begitu melihatnya. Wajahnya dipenuhi rasa senang dan lega yang sulit disembunyikan. “Kau pulang,” ucap Nathalia dengan suara yang sedikit bergetar, matanya berbinar-binar. Ia berjalan mendekat, senyum hangat menghiasi wajahnya meski masih terlihat bayang-bayang kelelahan dan kesedihan yang belum sepenuhnya hilang. Namun, Prasetyo tidak mampu menatapnya. Kep
Rasa bersalah Prasetyo tidak berhenti menghantuinya saat ia sadar, tetapi juga menyusup ke dalam tidurnya. Malam-malamnya diisi oleh mimpi buruk yang begitu nyata, seolah menegaskan kegagalannya sebagai suami dan ayah. Dalam mimpi itu, ia sering melihat seorang anak perempuan, wajahnya cantik dengan rambut lebat dan mata bulat yang berkilau seperti berlian. Namun, air mata mengalir deras di pipi anak itu. Bibir kecilnya gemetar saat ia berkata dengan suara yang pecah oleh isakan, “Kenapa Ayah membiarkan aku disakiti? Kenapa Ayah tidak melindungiku?”Anak itu menangis, suara isaknya menggema di seluruh ruangan mimpi, membuat hati Prasetyo terasa seperti dicabik-cabik. Ia mencoba mendekat, tetapi kakinya berat seolah tertanam di tanah. Semakin ia berusaha melangkah, semakin jauh jarak antara dirinya dan anak itu. Wajah anak perempuan itu semakin dipenuhi kesedihan, dan sorot matanya penuh ketakutan.“Ayah...” suara anak itu bergetar. “Kenapa Ayah meninggalkan aku? Kenapa Ayah membiarkan
Kabar yang dinantikan akhirnya tiba. Dokter menyatakan bahwa Nathalia sudah cukup pulih untuk pulang ke rumah. Prasetyo, yang mendengar kabar itu, merasa sedikit lega. Setidaknya, ia berpikir, berada di rumah mungkin bisa membantu Nathalia kembali menemukan kedamaian.Namun, kenyataan jauh dari harapannya. Hubungan mereka, yang sebelumnya sudah renggang, kini semakin memburuk. Prasetyo, yang diliputi rasa bersalah, mulai menghindari Nathalia. Ia semakin jarang pulang, menghabiskan waktunya di kantor dengan dalih pekerjaan. Setiap kali Nathalia mencoba berbicara, ia hanya memberi jawaban singkat sebelum mengalihkan perhatian.Di sisi lain, Nathalia tenggelam dalam mimpi buruk yang tak pernah berhenti. Malam-malamnya dipenuhi bayangan keguguran yang menghantui, suara jeritan di kepalanya yang tak kunjung reda. Dalam mimpinya, ia melihat bayinya yang cantik, tetapi setiap kali ia mencoba meraih, bayi itu menghilang, direnggut oleh bayangan gelap.“Maafkan aku,” bisiknya setiap kali terba