Dua minggu kemudian. Dispatch Coffee. Entah ini hanya perasaannya atau memang tubuhnya sedang bermasalah, Alisha tidak tahu. Kopi bukan hal baru bagi perutnya. Cairan hitam dan pahit itu biasa ia minum. Bahkan di beberapa kesepatan jika begadang wanita itu selalu menggunakan kopi sebagai penangkal kantuknya. Namun, kali ini perutnya tak bersahabat. Setelah mencerup beberapa mili cairan hangat itu, rasanya ia malah seperti habis naik roller coaster lima putaran sekaligus. Padahal tadi pagi ia tak merasa sakit sedikitpun. Atau mungkin cafe ini menjual kopi yang tak cocok untuknya? Tapi sejak kapan ia punya alergi kopi? Segala kopi sudah pernah ia coba dan tak bermasalah sebelumnya. Lagipula, mengapa bisa Alisha berada di kedai ini? Bukan tanpa alasan wanita yang berprofesi sebagai dosen itu bisa berada di sana. Sore ini, Alisha memiliki janji untuk bertemu dengan Anna di tempat yang menjual menu dengan bahan dasar kopi ini. Entah apa yang ingin dibicarakan wanita pujaan hati suamin
Alisha membilas wajahnya dengan air kran yang mengalir pada wastafel di kamar mandi. Kedua tangannya lantas menempel pada kabinet, menyangga beban tubuhnya agar tidak jatuh. Ada hal yang tak biasa pada wanita itu. Wajahnya pucat, mata sayu, dan bibirnya bergetar. Sesekali menggembungkan pipi, menahan sebuah pusaran yang kembali menyerang lambungnya.Sejak pulang dari cafe kemarin, pusing di kepala Alisha makin menjadi-jadi. Rasa mual yang terus saja datang mengganggu aktivitasnya. Tak hanya itu, penyakit ini juga merepotkan karena setiap makanan yang ia makan terasa pahit. Ia sudah periksa ke rumah sakit dan dokter mendiagnosa bahwa dirinya terkena asam lambung akibat sering terlambat makan.Wanita itu sudah minum obat yang diberikan dokter. Sayangnya, penyakit itu tak kunjung reda. Bahkan mencium bau seikit saja ia harus buru-buru ke kamar mandi. Dan sampai detik ini, Satu-satunya aroma yang bisa ramah di hidungnya hanyalah minyak kayu putih. Selain itu, ia akan mual dan isi perutny
Berondongan pertanyaan itu berputar di kepala William. Ia ingin menceritakan seluruhnya kepada Gamma, barangkali lelaki itu bisa memberikan solusi walau ia tahu jawaban Gamma akan tetap sama seperti kebanyakan orang yang mendengar cerita ini. Gamma pasti akan memintanya untuk meninggalkan dan mengakhiri hubungannya dengan Anna, lalu memberinya wejangan tetek bengek yang intinya ia harus menerima Alisha sebagai istrinya. Namun, sepertinya ini bukanlah waktu yang tepat. Belum, karena situasinya masih terlalu rumit dan perasaannya sendiri masih berantakan. William masih butuh waktu untuk merenung dan memutuskan langkah yang tepat. Ia tidak ingin membuat keputusan sembarangan dan melukai hati banyak orang. Terutama ibu dan mertuanya.“No! Sepertinya pertanyaanmu terlalu jauh. Hubungan kami hanya sebatas pimpinan dan sekretaris saja, Gam! Sorry, aku .... entah kenapa beberapa hari ini aku tidak bisa mengendalikan emosi emosi.” William menghela napas berat, tangannya bergerak memijat pangk
William melemparkan ponselnya pada kursi kosong di samping kemudi. Dering panggilan yang terdengar lirih sengaja diabaikan saat mengetahui bahwa nama sang pemanggil. Lelaki itu lebih memilih fokus pada jalanan di hadapannya tanpa berniat untuk mengangkat panggilan yang sudah berkali-kali masuk dari Alisha. Sejak tadi siang, wanita itu menghubunginya membuat telinganya risih.Tidak biasanya Alisha menelponnya sebanyak itu. Bila dihitung mungkin sudah puluhan kali. Entah apa maksudnya, William hanya membaca sebuah pesan sebelum panggilan beruntun itu masuk. Alisha mengabarkan jika hari ini mereka sudah pindah ke rumahnya. Dengan demikian, William akan langsung menuju rumah dan tidak perlu ke apartemen. Selebihnya ia tak peduli. Panggilan itu berakhir bersamaan dengan roda mobil yang terhenti. William telah sampai di basement apartemen. Bukan milik Alisha, melainkan milik Anna. Usai memarkirkan mobilnya, pria yang masih mengenakan jas kerjanya itu langsung menuju kamar wanita yang ingi
“Nak, dimana William?”Romana melemparkan pertanyaan itu ketika semua orang sudah berkumpul untuk mendoakan Renata dan memberikan dukungan padanya, akan tetapi ia tak melihat putra bungsunya sama sekali. Wanita paruh baya itu sudah memastikan bahkan bertanya dengan Gamma kapan William pulang dari kantor. Lelaki itu sudah pulang tepat saat rapat internal mereka berakhir. Seharusnya lelaki itu sudah berada di tempat ini. Sejak di rumah ia mengira bahwa William telah berada di rumah sakit bersama dengan Alisha. Oleh karena itu ia buru-buru datang untuk menguatkan keduanya. Sayangnya, ia justru melihat Alisha sedang memeluk pria lain. Dan setelah dijelaskan ternyata lelaki itu adalah sepupu menantunya. Ia tak perlu memendam rasa takut karena ternyata mereka telah berhubungan dekat sejak kecil.Romana juga sudah menjenguk sahabatnya yang terbaring tak berdaya di brankar ICU. Hatinya terasa nyeri ketika Renata terus memanggil nama putranya, akan tetapi Romana tak sanggup memberikan kehadir
[“ARGH!”William menendang roda belakang mobilnya dengan cukup kencang. Armada itu menjadi sasaran empuk kekesalannya karena lagi-lagi ia tak menemukan keberadaan Anna. Sudah berjam-jam lamanya ia memutari jalanan, menyusuri berbagai kontrakan dan kos-kosan di sepanjang Jalan Kenanga, bertanya ke sana kemari dan mencoba menghubungi wanita itu tetapi hingga baterai ponselnya lemah William masih tak menemukan jejaknya.
“Sha ... Lisha ... Alisha.”Mata Alisha yang baru saja terpejam beberapa menit, kini harus terpaksa dibuka karena sebuah panggilan dari seseorang. Alisha yang sedang terbaring pada sebuah kasur di bangsal pasien pun segera mengumpulkan kesadarannya. Wanita itu lantas terbangun dari posisi tidurnya dan kembali memejamkan mata setelah berhasil mendudukkan tubuhnya. Ia sedang mencoba meredam rasa pening kembali membebat kepalanya. Juga kelopak mata yang terasa sangat berat layaknya diberi beban satu kuintal.Pagi-pagi buta Alisha kembali ke bangsal setelah para medis yang menangani mamanya memberikan informasi jika Renata membaik secara signifikan. Lalu wanita itu merapikan beberapa barang-barang pribadinya. Baru lima menit yang lalu Alisha bertukar rencana dengan Richo, tidur sejenak barang dua jam, lalu bangun dan bergantian menjaga mamanya, tetapi belum genap lima menit, Richo sudah datang kembali ke ruangannya dan membangunkannya. “Ada apa, Rich?” tanya Alisha setelah menguap.“Maa
Pemakaman Keluarga Chandrawinata.Alisha duduk bersimpuh di samping gundukan tanah bertabur bunga. Air mata yang sejak semalam mengalir deras kini tak turun lagi. Tatapannya tertuju pada nisan kayu bertuliskan Renata Chandrawinata itu dengan kosong. Memandang ke arah pusara itu tanpa sebuah kedipan sama sekali.Beberapa saat yang lalu, Jasad wanita yang telah melahirkannya telah dikebumikan. Acara doa pengantar jenazah hanya digelar singkat dan kini para tamu yang turut menyampaikan dukacita sudah membubarkan diri. Hanya tersisa Richo, Romana, Gamma dan Serra. Mereka masih berjongkok di makam basah itu untuk menemani Alisha yang belum ingin berpisah dengan mamanya.Wanita itu tahu, jika ia mengangkat kaki dari pemakaman ini, maka dirinya benar-benar tidak memiliki siapa-siapa. Hanya Richo yang mungkin bisa menjadi tempatnya bersandar.Karena sampai saat ini, William masih tidak terlihat sama sekali. Sejak Renata menghembuskan napas terakhirnya, Gamma bahkan Romana telah berusaha memba
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika