[“ARGH!”William menendang roda belakang mobilnya dengan cukup kencang. Armada itu menjadi sasaran empuk kekesalannya karena lagi-lagi ia tak menemukan keberadaan Anna. Sudah berjam-jam lamanya ia memutari jalanan, menyusuri berbagai kontrakan dan kos-kosan di sepanjang Jalan Kenanga, bertanya ke sana kemari dan mencoba menghubungi wanita itu tetapi hingga baterai ponselnya lemah William masih tak menemukan jejaknya.
“Sha ... Lisha ... Alisha.”Mata Alisha yang baru saja terpejam beberapa menit, kini harus terpaksa dibuka karena sebuah panggilan dari seseorang. Alisha yang sedang terbaring pada sebuah kasur di bangsal pasien pun segera mengumpulkan kesadarannya. Wanita itu lantas terbangun dari posisi tidurnya dan kembali memejamkan mata setelah berhasil mendudukkan tubuhnya. Ia sedang mencoba meredam rasa pening kembali membebat kepalanya. Juga kelopak mata yang terasa sangat berat layaknya diberi beban satu kuintal.Pagi-pagi buta Alisha kembali ke bangsal setelah para medis yang menangani mamanya memberikan informasi jika Renata membaik secara signifikan. Lalu wanita itu merapikan beberapa barang-barang pribadinya. Baru lima menit yang lalu Alisha bertukar rencana dengan Richo, tidur sejenak barang dua jam, lalu bangun dan bergantian menjaga mamanya, tetapi belum genap lima menit, Richo sudah datang kembali ke ruangannya dan membangunkannya. “Ada apa, Rich?” tanya Alisha setelah menguap.“Maa
Pemakaman Keluarga Chandrawinata.Alisha duduk bersimpuh di samping gundukan tanah bertabur bunga. Air mata yang sejak semalam mengalir deras kini tak turun lagi. Tatapannya tertuju pada nisan kayu bertuliskan Renata Chandrawinata itu dengan kosong. Memandang ke arah pusara itu tanpa sebuah kedipan sama sekali.Beberapa saat yang lalu, Jasad wanita yang telah melahirkannya telah dikebumikan. Acara doa pengantar jenazah hanya digelar singkat dan kini para tamu yang turut menyampaikan dukacita sudah membubarkan diri. Hanya tersisa Richo, Romana, Gamma dan Serra. Mereka masih berjongkok di makam basah itu untuk menemani Alisha yang belum ingin berpisah dengan mamanya.Wanita itu tahu, jika ia mengangkat kaki dari pemakaman ini, maka dirinya benar-benar tidak memiliki siapa-siapa. Hanya Richo yang mungkin bisa menjadi tempatnya bersandar.Karena sampai saat ini, William masih tidak terlihat sama sekali. Sejak Renata menghembuskan napas terakhirnya, Gamma bahkan Romana telah berusaha memba
Tiba-tiba saja Richo datang kembali setelah selesai menerima panggilan membuat pembicaraan kedua wanita itu terhenti. Mereka segera merapikan diri dan menyusut jejak air pada wajah masing-masing. “Bu Romana, sopir ibu sudah datang dan menunggu di depan,” katanya sembari menunjuk arah yang ia maksud dengan ibu jarinya. Romana pun segera menganggukkan kepala.“Baik, Richo, terima kasih sudah memberitahuku.” Romana lalu menolehkan kepalanya kepada Alisha. “Nak, ibu pamit dulu, ya. Aku harap kau bisa mempertimbangkan semua keputusanmu. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kalian.” Usai mengatakan demikian wanita yang mengenakan gaun hitam itu segera bangkit berdiri dan pamit kepada Richo, “Nak Richo, ibu pergi ya, aku titip Alisha. Sungguh aku meminta maaf yang sebesar-besarnya karena William tidak hadir dalam pemakaman ini, tapi akan aku usahakan saat pria itu kembali aku akan memberinya pengertian, jika hal yang dilakukannya ini tidak benar. Sekali lagi maaf ya, Nak.”Sebenarnya
Sebuah desisan terdengar setelah Romana melayangkan tamparan cukup keras. William cukup tercengang sebab ibunya datang dan tiba-tiba memukulnya tanpa memberikan peringatan. Kini pipinya memanas berbekas gambar tangan Romana di sana. Di sisi lain, Romana sendiri masih menatapnya dengan tajam. Wajah yang tadinya terlihat tenang kini telah menunjukkan raut kekecewaan. Bibirnya mengatup rapat, dan kedua tangannya mengepal erat. Dada wanita paruh baya itu bahkan sudah bergerak naik turun seiring dengan napas yang kian memburu.“Sudah puas membuat ibumu malu di depan banyak orang dan keluarga Chandrawinata?” tanya Romana membuka pertanyaan tanpa basa-basi, tetapi putranya itu masih menutup mata dan bibirnya. “Kemana saja dirimu hingga tak bisa dihubungi? Mertuamu sekarat dan mencarimu pada detik terakhirnya bahkan menunggumu hingga pagi! Tapi bisa-bisanya kau menghilang tanpa kabar! Kemana saja kau semalam?”William menghembuskan napasnya berat. Detik berikutnya lelaki itu membuka mata men
William melangkahkan kakinya menyusuri puluhan batu nisan yang berjajar rapi di makam keluarga Chandrawinata. Lelaki itu datang ditemani dengan Romana yang berjalan beriringan dengannya. Dengan balutan pakaian hitam, satu buket bunga, dan satu keranjang bunga tabur, lelaki itu bertekad meminta maaf atas sikapnya meski sebenarnya itu sia-sia, sebab Renata tak bisa lagi mendengarnya. Mertuanya tidak akan pernah bisa mengatakan kata maaf untuknya. Hingga akhirnya mereka telah tiba di sebuah pusara yang masih baru. Bertabur banyak bunga dan bertuliskan sebuah nama Renata Chandrawinata pada nisan berbahan kayu.“Ini makam Renata, dan yang sebelah kiri itu makam suaminya. Papa Alisha.” Romana melepas kaitan tangannya pada lengan William. “Ibu akan tunggu di sana,” sambungnya lagi lalu menunjuk arah yang dimaksud dengan telunjuknya.William hanya mengangguk, kemudian berjongkok di depan makam Renata. Diletakkannya keranjang bunga juga satu buket sedap malam yang ia bawa. Lelaki itu lantas m
“Apa yang kau pikirkan, Sha? Tidak baik melamun seperti ini,” tegur sebuah suara bariton membuat Alisha yang sedang menatap kosong ke arah luar jendela segera menggerakkan kepalanya mencari sang pemilik suara.Richoveta, sepupunya. Pria itu sedang berdiri di depan pintu seraya membawa segelas air dingin dengan es batu yang mengapung di atasnya. “Aku hanya melihat tanaman yang sering di sirami Mama. Apakah nanti bunganya masih akan tetap mekar seperti itu, ketika bukan Mama lagi yang menyiramnya?”“Tidak peduli siapa penyiramnya, mereka akan tetap mekar pada waktunya. Mereka hanya perlu kasih sayang yang sama, seperti yang dilakukan Mama.” Richo berjalan mendekat ke arahnya. “Bagaimana hasil pemeriksaannya tadi? Apakah dia baik-baik saja dan aman untuk naik pesawat?”Richo menyerahkan segelas air putih kepada Alisha yang tengah duduk bersandar di ranjang. Pria itu memang baru saja memanggil seorang bidan untuk datang ke rumah dan memeriksa kandungan Alisha yang masih berusia hampir dua
Pada akhirnya Richo mendengarkan kata-kata Romana. Ia juga telah meminta maaf atas dirinya yang telah terbawa emosi sehingga lepas kendali. Kini ia mempersilakan William untuk bertemu Alisha, memberi laki-laki itu satu kesempatan lagi. Namun, dengan sebuah syarat, jika Alisha tidak ingin bertemu, maka William tidak boleh memaksanya.Kini, Romana dan Richo menunggu di bawah. Sementara William sedang berusaha mengetuk-ngetuk pintu kamar Alisha. Rasa perih, linu, dan nyeri pada tubuhnya tidak dihiraukan lagi. Bahkan bibir dan hidung yang berdarah itu belum sempat diobati hanya sempat dibersihkan saja sebelum William menuju tempat ini.“Lisha .... Lisha ini aku. Bisa kita bicara sebentar?” William mencoba mengetuk pintunya sekali lagi. Nadanya biasa bahkan tak mencerminkan sebuah kekasaran sama sekali. Namun, Alisha tetap tidak membuka pintunya.William lantas berinisiatif untuk merarik tuas dan mendorong papan kayu itu hingga terbuka. Tidak dikunci sama sekali. Alhasil William dapat mema
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika