Pada akhirnya Richo mendengarkan kata-kata Romana. Ia juga telah meminta maaf atas dirinya yang telah terbawa emosi sehingga lepas kendali. Kini ia mempersilakan William untuk bertemu Alisha, memberi laki-laki itu satu kesempatan lagi. Namun, dengan sebuah syarat, jika Alisha tidak ingin bertemu, maka William tidak boleh memaksanya.Kini, Romana dan Richo menunggu di bawah. Sementara William sedang berusaha mengetuk-ngetuk pintu kamar Alisha. Rasa perih, linu, dan nyeri pada tubuhnya tidak dihiraukan lagi. Bahkan bibir dan hidung yang berdarah itu belum sempat diobati hanya sempat dibersihkan saja sebelum William menuju tempat ini.“Lisha .... Lisha ini aku. Bisa kita bicara sebentar?” William mencoba mengetuk pintunya sekali lagi. Nadanya biasa bahkan tak mencerminkan sebuah kekasaran sama sekali. Namun, Alisha tetap tidak membuka pintunya.William lantas berinisiatif untuk merarik tuas dan mendorong papan kayu itu hingga terbuka. Tidak dikunci sama sekali. Alhasil William dapat mema
Pagi ini William diminta untuk bertemu dengan Gamma. Perintah itu disampaikan melalui Nara beberapa menit yang lalu. William sudah menebak topik apa yang akan dibicarakan kakak tirinya itu. Sudah pasti bukan tentang pekerjaan melainkan tentang hal yang terjadi kemarin. Apalagi kalau bukan soal William yang tidak masuk tanpa memberi keterangan? Ia menghilang tanpa kabar bahkan membuat berbagai statement terbit di banyak media. Mereka membahas tentang dirinya yang tidak terlihat di pemakaman Renata. Lelaki itu sendiri belum memberikan klarifikasi sedikitpun tentang berita itu. Mungkin nanti setelah ia mendapatkan alasan yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan itu. Karena tidaklah mungkin jika William menjawab dengan gamblang tentang kejadian yang sebenarnya. Kemudian skandal hubungan antara dirinya dengan Anna yang sudah diketahui oleh Gamma. Sudah pasti kakaknya itu akan memberikan teguran, atau bahkan hukuman. Seperti yang dikatakan oleh Romana kemarin, posisi dan jabatannya di p
“Aku dengar Richo memukulmu kemarin. Dia tidak terima karena kau sudah mencampakkan adiknya. Benar begitu?” William mengangguk sebelum kembali memasok udara dalam paru-parunya. Ia kira masalah ini selesai, ia bisa berdamai dengan Gamma, lalu kembali bekerja di ruangannya. Sayangnya tidak begitu. Ternyata, Gamma sudah tahu kejadian kemarin. Ada kemungkinan besar pula kakaknya itu sudah tahu semuanya. Setelah berbincang sebagai atasan, bicara sebagai kakak yang dimaksud oleh pria itu adalah melanjutkan pembahasan tentang rumah tangganya dengan Alisha. Baiklah, ia sudah menyiapkan diri untuk menjawab semua pertanyaan dari saudaranya. “Selama ini, setiap aku memiliki masalah dengan Serra, kau selalu berpikir lebih dewasa dariku. Kau bisa memberi aku beberapa solusi setiap aku buntu. Kau juga yang selalu tidak terima jika aku memperlakukan Serra dengan tidak baik. Aku bahkan sempat memujimu karena kau lebih pandai menghargai perempuan daripada aku. Tapi ternyata kita sama brengseknya.”
Lima tahun kemudian. Wlliam melangkahkan kakinya menyusuri sebuah lorong gedung sebuah apartemen kelas menengah di kota ini. Setelah menaiki lift dan berjalan beberapa meter, ia menghentikan langkahnya di depan sebuah unit kamar. Tempat tinggal yang sempat digunakan dirinya juga Alisha untuk menginap sementara waktu setelah kejadian perampokan dulu. Selama lima tahun ini, setelah Alisha pergi meninggalkannya, William belum pernah mengunjungi apartemen itu. Hanya meminta Nara memanggil jasa home cleaning untuk membersihkannya. Dengan rumah Renata pun ia melakukan hal yang sama. Sebab selama ini tidak ada yang peduli dengan kedua bangunan itu. Alisha sendiri sepertinya masa bodoh. Sebenarnya terlalu berbahaya jika ia harus kembali bersentuhan dengan hal yang berkaitan dengan Alisha. Setiap teringat apapun tentang wanita itu, hanya rasa nyeri yang menyerang dadanya. Namun, entah mengapa kali ini William terdorong untuk mengunjungi apartemen itu. Padahal selama bertahun-tahun, pria itu
Hari ini rasanya waktu bergulir tergesa. Entah mengapa, siang hadir lebih awal dari biasanya. Pria yang tengah mengenakan kaus berkerah juga celana pendek itu merasa demikian. Mungkin karena perbedaan waktu antara Singapura dengan Indonesia? Atau mungkin karena dirinya sedang merasa senang sehingga waktu berjalan lebih cepat. Mengapa ia senang? Bukankah selama ini hidupnya penuh dengan keterpurukan dan penyesalan? Untuk kisah cintanya mungkin benar, tetapi untuk karirnya tidak. Selama lima tahun terakhir ia bekerja lebih giat dari sebelumnya. Namun, ia tidak seperti Gamma yang memforsir tubuhnya habis-habisan di kantor sampai tak peduli waktu dan kesehatannya sendiri. Lelaki itu lebih pintar, menggunakan sebagian waktu luangnya untuk memperbanyak aktivitas dengan menekuni hobi yang selama ini ia sembunyikan dari publik. Seni lukis adalah pelampiasan semua perasaannya, ya walau hasilnya tidak dijual belikan dan kegiatan itu hanya sebagai kesenangan saja.Seperti yang dilakukan saat i
“Lexa punya pekerjaan rumah?”Setiap malam Alisha selalu melempar pertanyaan yang sama kepada putri semata wayangnya. Lexa, atau lebih tepatnya Alexandra Evangelista. Gadis kecil berusia empat tahun itu sengaja ia daftarkan Preschool sebab ia tak memiliki waktu untuk mendidik putrinya sendiri. Apalagi setelah ia memutuskan untuk hidup sendiri membuatnya harus kerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Tahun pertama saat ia hamil memang masih hidup dengan Richo bahkan nampaknya lelaki itu tidak keberatan untuk menanggung hidupnya, akan tetapi lama kelamaan ia tidak enak hati, terlebih kepada pasangan Richo. Tidak mungkin Alisha bergantung terus-menerus. Meskipun sebenarnya cukup-cukup saja. Setelah mereka menikah tentu Richo memiliki kehidupan sendiri. Setelah Lexa berusia satu tahun, Alisha belajar hidup mandiri, tentu masih dalam pengawasan Richo, pun sampai saat ini, lelaki itu masih mengawasinya. Beruntungnya, ada civitas akademik yang mau menerimanya sebagai tenaga p
Hari berikutnya, William kembali ke tempat yang sama.Lelaki itu benar-benar menepati kata-katanya untuk bertemu dengan Lexa. Padahal janji itu semu dan tak pasti, sebab ketika membuat sebuah kesepakatan dengan anak kecil maka kemungkinan besar adalah dilupakan. Bukan seperti kepada orang dewasa yang bisa mengerti apa itu komitmen dan hal yang harus dilakukan ketika janji itu dibuat. Namun, William tetap hadir, tidak peduli anak kecil itu akan muncul kembali atau tidak. Kendati ia mengerti resikonya. Di kursi yang sama tempat ia duduk telah tersusun rapi cat, canvas kosong, crayon dan sebuah buku sketsa merk ternama lengkap dengan segala peralatannya. Semua itu untuk gadis kecil bernama Alexandra. Gadis kecil pelipur lara, William menyebutnya demikian. Sebab, ketika di dekatnya William merasa nyaman. Semua beban dan segala sedih yang sedang ia tanggung bisa sirna. Hidupnya yang kelabu bisa kembali berwarna hanya karena sebuah senyum kecilnya. Mungkin karena lesung pada pipi mungil
Alisha meletakkan bendelan modul materi yang ia ajarkan kepada mahasiswa baru hari ini. Setelah sejak pagi berbicara panjang lebar tentang teori, akhirnya ia bisa menghela napas sejenak untuk beristirahat karena saat ini adalah jam makan siang. Saat baru saja meletakkan kotak makan di meja, sebuah getaran ponsel mengalihkan perhatiannya. Wanita itu lantas meraih benda pipih berwarna hitam di sebelahnya dan memeriksa siapa sang pemanggil. Melihat barisan angka yang tertera Alisha menyatukan kedua alisnya. Panggilan dari seseorang yang tidak dikenal, tetapi nomor regionalnya menunjukkan kode negara singapura. Dengan perasaan ragu, Alisha mengusap layar, menjawab panggilan itu.“Good afternoon, this is Alisha speaking, Can i help you?” tanya Alisha ketika panggilan itu terhubung.[“Selamat siang, Bu, ini Suster Nisa. Maaf ponsel saya tertinggal, jadi saya meminjam nomor Pak Alexander untuk menelpon ibu.”] Mendengar kalimat itu Alisha sempat menjauhkan ponselnya dari pendengaran. Kenin
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika