"Eh, kenapa?"Aida yang tidak tahu alasannya, jelas saja bingung dan kini mengalihkan pandangannya pada Rafael yang wajahnya memang tidak lagi seramah tadi."Aida, kurasa kita harus berangkat sekarang."Alan tak suka dengan wajah sahabatnya yang sudah tak bersahabat dan bahkan tadi tidak mau menjawabnya. Jadi cara terbaik adalah pergi secepat mungkin sebelum dia kena getah kemarahan Rafael."Alan, cari tahu siapa yang dia tiduri itu! Dan kau tahu bagaimana cara memisahkan kepala dengan tubuhnya, lalu alat vitalnya dengan tubuhnya, kan?"Namun, sebelum Aida merespon Alan, jawaban Rafael sudah membuat dirinya merinding."Eh, kurasa tidak perlu seekstrim itu. Pasti aku aja yang salah dengar. Iya, pastinya. Bukan di payudaranya, tapi tahi lalat itu di bawahnya payudara. Maaf ya, aku agak sensitif dengan sesuatu yang berhubungan soal itu karena aku sudah tidak lagi punya itu. Ingatanku agak buruk."Bodoh! Apa dia pikir Rafael akan percaya? Kalau sudah sekali terucap begitu, maka itulah yan
"Mungkin saja, Aida." Dokter Juna mengkoreksi pernyataan Aida. “Iya, sebenarnya mungkin hanya saja luka yang ditimbulkannya aku tidak jamin aman dan tak merusak saraf!”"Kalau begitu, coba kau cari tahu dulu, Dokter Juna!"Rafael memotong dan kini mata Rafael mengarah pada Aida."Kau boleh kembali. Besok kau bisa datang lagi kemari.”"Terima kasih, Tuan Rafael."Aida mengerti dan dia bersiap pergi bersama dengan Alan yang memang tidak mengenakan jaketnya. Dia hanya memegang jaket itu dan memegang lengan baju Aida, lalu memencet satu tombol di jaket itu yang membuat dirinya bisa sampai lagi ke Indonesia."Apa keberadaannya sangat membantu, Tuan Rafael?""Iya, Daniel. Sangat membantu.”Selepas Aida pergi, Rafael kembali menyerahkan berkas itu pada Daniel."Dokter Juna, Aida itu sepupumu. Jadi dia pasti mengenal ayahmu, kan?" Berbarengan dengan pertanyaan ini didengarnya juga."Ya. Ayahku adalah kakak dari ibunya. Kenapa, Archie?""Apa kau tidak berniat untuk memberitahukan pada ayahmu,
"Alan, terima kasih atas bantuanmu!"Sesaat setelah Alan dan Aida sampai di Indonesia, kata-kata itu terlontar dari bibir Aida yang merasa sangat terbantu sekali."Ya! Aku juga sangat berterima kasih padamu, karena kau mau bergabung dengan tim kami. Dan jangan khawatir,Rafael pasti akan memberikan bayaran untukmu.”"Eh, aku tidak ingin bayaran itu. Aku cuma mau urusanku Mas Reiko bisa clear. Aku hanya ingin tenang dan menyelesaikan semua yang belum diselesaikan oleh Mas Reiko."Sebuah ucapan yang sulit. Sesuatu yang membuat Alan memperhatikan Aida serius."Aku tahu kau sangat mencintai suamimu. Tapi dia sudah tidak ada. Mungkin sebaiknya kau tidak memikirkan terlalu berlebihan karena kasihan bayimu. Dan hidup ini bukannya kita harus terus move on, bukan?""Aku tahu apa yang harus kulakukan. Terima kasih, Alan. Tapi yang pasti, aku tidak akan melakukan sesuatu yang buruk yang bisa membahayakan anak-anakku.”"Nah, itu lebih baik." Alan menunjuk ke sebuah mobil."Itu mobilku. Ini rumah k
"Almarhum? Mbak Aida ngomong apa, sih?" Inggrid pikir Aida bercanda.Jujur saja Inggrid kaget, tapi Seno memang tidak bisa berkata-kata dan hanya diam menunggu jawaban dari Aida."Aku tidak bisa menjelaskan detailnya."Mereka tak bicara, karena memang melihat mata Aida yang memerah."Kita tunggu saja nanti. Dia akan menjelaskan semuanya.”"Mbak Aida ini nggak lagi nge-prank kita, kan?" Jujur saja Inggrid tak bisa percaya."Ya ampun, apa yang kemarin itu ternyata pertanda, ya?"Tapi beda Inggrid dan ini beda juga pada Seno penerimaan terhadap informasi ini. Dia memang hampir tidak mempercayai ucapan Aida. Cuma, sesuatu yang kemarin itu membuat dirinya yakin kalau yang dikatakan Aida ini tidak bohong. Apalagi dia melihat sendiri air mata Aida."Pertanda, maksudnya Mas Seno apa?" Bingung sebetulnya Aida."Oh, ini. Kemarin Mas Reiko terlihat khawatir sekali dan dia memintaku untuk memindahkan semua aset-aset miliknya itu atas nama Mbak Aida!""Astagfirulloh!" Mata Aida kembali berair. Dia
"Mas Seno bisa nggak sih, nggak ngeluarin barang-barang yang bikin Mbak Aida terus-terusan nangis? Kok ya aku jadi kesel sendiri gitu, loh!"Inggrid menggerutu karena dia kembali melihat Aida tak lagi menguasai dirinya.Aida menangis sampai sesenggukan dan tak jelas kondisinya bagaimana. Yang pasti, tubuhnya sudah lunglai. Bahkan saat ini Aida berada di pelukan Inggrid dan bersandar lemas. Tangannya memegang sesuatu yang diberikan oleh Seno itu sampai gemetaran dan dia belum membukanya.Seno juga tidak membungkus benda itu, masih seperti itu tampilannya. Hanya saja, dalamnya memang sudah diubah olehnya sesuai dengan request Reiko. Apa saja yang dia inginkan ada di tulisan dalam handphone tersebut, sudah di-setting-nya.Ulang tahun Aida memang masih lama, tapi Seno yang sadar kalau dia ini adalah orang yang pelupa, tak mau sampai missed."Mbak Aida, aku minta maaf, ya. Aku sebenarnya juga nggak mau bikin kayak gini. Tapi ini satu lagi casing-nya. Kemarin malam aku sudah pesan dan hari
"Bukan! Karena saat seseorang sudah meninggal, tidak akan lagi jiwanya itu berkeliaran di bumi. Dia sudah ada di satu tempat yang sudah ditentukan Tuhan-nya. Itu pasti Alan atau Reizo!""Eh, apa?"[Sial, kau! Kita jadi ketahuan, deh!] Alan menggerutu, tapi dia memang sudah menunjukkan fisiknya di hadapan mereka semua dan jelas saja Inggrid hampir saja berteriak ketakutan."Kau tenang saja, Inggrid. Mereka tidak jahat dan mereka menggunakan ilmu pengetahuan, sehingga mereka bisa menghilang begitu. Bukan jampi-jampi atau sesuatu yang berhubungan dengan gaib.""Hehehe. Aku nggak tahu harus komentar apa, Mbak. Bingung aku!" Melihat dua orang di hadapannya yang kini sudah muncul, jelas saja Inggrid masih terlihat shock."Aku minta maaf, ya, aku membuat kosanmu berantakan. Dan ini jadi pecah, gara-gara Reizo ini semua.”"Oh, sudah, tidak apa-apa. Silakan duduk," jawab SenoTapi sebelum Alan bicara memang tadi Seno sudah lebih dulu bertindak membersihkan piring yang disenggol oleh Alan. Kare
"Reizo!""Apa? Benar kan, kataku? Ngapain mereka menangis? Toh yang ditangisi tak akan hidup lagi!""Kamu ndak punya hati!""Inggrid, dia benar." Makanya Aida merutuki dirinya yang lagi-lagi gagal untuk tak menangisi suaminya saat membela Reizo."Ayo, kita bahas yang mau dibicarakan!"[Kejam kau!] Alan memang tersenyum kikuk, tapi hatinya mengomel.[Kau lihat? Manusia sejatinya harus seperti itu. Kalau ada yang meninggal dari keluarga mereka yang sangat disayangi,mereka pasti akan bersikap seperti ini. Sedih itu wajar.][Buang-buang waktu! Apa kita harus membiarkan wanita itu terus saja menangis? Kita masih banyak urusan!]Tapi melihat Inggrid yang membuka tangannya mengajak Aida menangis bersama tadi tak diterima oleh Reizo. Meski obrolan mereka tentu saja tidak didengar oleh Aida karena Alan sudah mem-blok komunikasi dan membuat Aida merasa nyaman dengan pikirannya sendiri. Dia tahu kalau Aida belum bisa menguasai pikirannya dan jelas saja Alan bisa tahu betapa sakitnya Aida dan dia
"Eeeh, jangan dulu!" Aida tidak membiarkan, karena dia masih khawatir. Sesegera mungkin dia menengadahkan tangannya. “Duduklah di sampingku. Dan kita akan mengangkat itu." Aida berinisiatif mengarahkan."Aku akan memegang handphone-nya dan aku nanti akan mengubahnya jadi video call, lalu nanti di sini ada Inggrid dan Mas Seno dan kita akan menyapa dengan video call, menunjukkan kalau kita lagi kumpul dan happy. Dan untuk Alan ...." Aida menatap pria yang disebutnya."Maaf. Bisa kau duduk dulu di tempat tidur itu supaya kau tidak terlihat, Alan?”"Tak perlu begitu, aku bisa menghilang.”"Tidak! Aku ingin kau tetap duduk saja di sana supaya kami bisa melihatmu tetap ada. Maaf, kami manusia normal dan belum terbiasa dengan kecanggihan alat-alatmu.""Oh. Ya sudah kalau begitu." Alan tak masalah. Dia menghindar sesuai dengan yang direncanakan oleh Aida di saat Reizo terpaksa duduk di samping Aida dan membuat Alan berdecak di dalam hatinya.[Reizo, kurasa istri kembaranmu itu cocok berada d