"Heeh?""Kamu tidak tuli kan?" melihat respon Aida, Reiko bicara lagi.'Kenapa orang kaya zaman sekarang pelit sekali sih? Dia kan punya uang dan dia bisa dong pesan online? Kenapa harus menyuruhku untuk memasak lagi untuknya dan pasangan zina-nya? Aku kan sudah lapar sekali.' Aida ingin menolak."Selama tinggal di sini kamu tidak bisa menolak perintahku. Demi perjanjian kita.""Baik Pak."Tapi sayangnya setelah Reiko bicara begitu, pikiran tentang adik-adiknya membuat Aida ingat kalau ada perjanjian di mana dia tidak boleh menolak perintah Reiko selama mereka tinggal bersama di apartemen itu."Bagus. Buat jangan lama-lama. Dan setelah selesai bersihkan dapurnya juga seperti semula."“Huuuh.”Aida malas menjawab. Dia memilih menaruh piring nasi gorengnya setelah menghempaskan napas pelan. Reiko sendiri juga sudah membalikan badan menuju ke kursi makan. Dia duduk menghadap ke arah dapur sambil mengamati Aida yang sedang menyiapkan permintaannya.'Sesuai dengan dugaanku tadi, dia cukup
Sesaat sebelumnya ...'Ya Tuhan apakah ini adalah ujian kesabaran untukku karena selama ini aku selalu berdoa untuk dimasukkan menjadi bagian dari golongan orang-orang yang bersabar?'Rasa-rasanya ingin sekali Aida menimpuk orang yang baru saja melaju pergi saat bibirnya sudah selesai menumpahkan racun seperti tadi."Aish."Sambil menggerutu di dalam hatinya Aida yang sudah tahu kalau pria itu naik ke lantai atas dia pun segera mungkin kembali ke dapur."Bagus. Buat jangan lama-lama. Dan setelah selesai bersihkan dapurnya juga seperti semula."Aida mengulangi sama persis dengan apa yang dikatakan oleh Reiko saat menyuruhnya untuk membuat nasi goreng sambil dia mencebik. Aida bicara dengan suara lirih yang hanya bisa terdengar oleh telinganya saja."Baik tuan besar aku akan membuat dapurmu ini menjadi kinclong," gerutu Aida sambil tangannya mengambil tisu khusus untuk lap dapur dan hanya melirik piring makannya sambil geleng-geleng kepala mengarahkan langkah kakinya menuju ke dekat kom
'Haduh, kenapa aku juga lupa tak menggantinya?'Aida baru menyadari sekarang yang tadi digunakannya untuk makan. Aida sejujurnya merasa bodoh sendiri kenapa dia bisa melupakan hal itu? Bukankah dia harusnya mengingat Siapa yang sudah menggunakan sendoknya?Aida tahu dia dalam kondisi ketahuan melakukan kelalaian. Tapi apakah dia harus mengakui pada Reiko kebodohannya ini?"Iya karena percuma juga saya menggantinya, pak."Bukan Aida namanya kalau dia tidak menemukan cara untuk membalikan semuanya."Apa?" Tentu saja jawaban ini membuat Reiko ingin tahu kelanjutannya"Mungkin kamu bisa memperjelas padaku maksud ucapanmu?""Kalau saya mengganti sendoknya makanan ini juga sudah terkontaminasi dengan bakteri, kuman atau mikroorganisme jenis lain dari dalam mulut Anda yang tadi ditempelkan di sendok ini. Apalagi saya tidak tahu apa yang sudah Anda makan, apa yang sudah Anda masukkan ke dalam mulut Anda dan Anda hisap atau Anda perbuat dengannya sebelum Anda mencoba nasi gorengnya dan saya ju
"Saya paham pak."Keduanya tidak saling bertatapan saat membahas masalah ini. Masing-masing lebih memilih untuk memandang ke arah monitor tanpa mau mengecek bagaimana kondisi psikologis lawan bicaranya setelah pembicaraan ini."Bagus. Dan pastikan kondisi ruangan di apartemenku selalu bersih seperti yang tadi aku sudah jelaskan di awal kamu memasuki tempat tinggalku ini."Reiko justru malah mengingatkan Aida mengenai pekerjaan yang harus dia lakukan setiap harinya. "Iya, iya, udah paham kok, Pak."Tak mau memperpanjang lagi, Aida yang sudah mengerti dia pun menggerakkan tangannya di layar monitor. 'Sangat serius. Seperti ada sesuatu yang sedang dia cari dengan matanya terfokus di sana.' Tapi keseriusan ini malah membuat Reiko jadi semakin tak sabaran"Kenapa tidak pilih satupun? Kenapa hanya scrolling aja?"Jelas saja apa yang dilakukan Aida ini membuat gusar Reiko. Semenit sudah berlalu tapi wanita itu masih belum memilih apapun."Sebentar Pak. Saya lihat-lihat dulu. Masa saya lang
'Ngeloyor gitu aja dia? Eish! Mungkinkah itu caranya meminta maaf?'Aida belum sempat bicara apapun setelah Reiko tadi menyeletuk.Aida juga tak sempat menjawabnya karena pria berstatus suaminya itu bicara sambil ngeloyor pergi meninggalkan dapur. 'Tak punya manner!'Reiko sudah memunggungi Aida dan seakan tak lagi berkeinginan untuk menunggu jawaban darinya.“Biarlah,”Makanya Aida hanya sempat berbisik dalam hatinya macam ini sambil geleng-geleng kepala. Meskipun sebetulnya hati Aida tak sepenuhnya lega.“Super sekali! Sungguh cara minta maaf yang sangat membagongkan. Langsung membawakan juga solusinya dari semua kesalahan yang sudah dia perbuat, rapi tanpa kata maaf dan kompensasi, hanya salep.”Aida tak mau menanggapi lebih masalah salep sebetulnya. Tapi sindirannya ini keluar begitu saja saat dirinya yang emosi, menatap layar yang mulai menghitam dan sulit mencoba berkonsentrasi untuk memulai memesan bahan makanan.Kejadian itu mengganggu tingkat kewarasannya."Bomatlah! Sekara
"Tunggu sebentar ya, aku cek gak lama kok." Aida menerima belanjaannya dan tadinya dia ingin menutup pintunyaTapi"Kalau bisa saya lihat juga Mbak. Biar fair ngeceknya saya juga tahu, Mbak cuma ngecek. Karena kan saya nggak tahu Mbak nanti nilep barang belanjaannya atau enggak dan bilang belum ada. Sama-sama berjaga-jaga aja, Mbak."Pria berjaket hijau itu pun juga jujur terhadap Aida sehingga membuat Aida memikirkan dari posisi sang kurir."Oke, oke!" Ini juga dianggap oleh wanita itu fair. Aida tidak mau memperburuk keadaan dan memperlama negosiasi mereka."Kalau gitu aku lihat di sini aja. Kamu diri di situ ya. Tapi tolong buka maskernya dong. Ya minimal kalau kamu buka masker kan di sini ada CCTV jadi aku buka pintu juga nggak takut kamu macem-macem."Aida sengaja membuka pintu apartemennya setelah pria itu setuju melakukan apa yang dimintanya tanpa bicara, dia melepaskan penutup wajahnya. 'Lumayan punya tampang. Dia seumuran denganku kan? Atau mungkin lebih tua dariku? Hmm ...
"Terima kasih."Aida berucap sebelum dirinya menutup pintu."Hihi, aku harus berhati-hati bicara dengan orang kota karena memang mereka rata-rata bicaranya agak keras dan nyelekit. Heish, apa kehidupan kota membuat orang tidak punya hati dan nurani?"Aida yang sudah menutup pintu, dia merespon dengan gumaman kecilnya macam tadi. "Tapi segitu juga dia sudah baik kok membiarkanku mengecek belanjaan. Syukurin aja."Sambil menenteng dua kantong belanjaan ditambah satu kardus berisi storage box yang dipesannya, Aida menuju ke arah dapur, berusaha positif thinking."Dan anak-anak di kota itu apa di usia seumuran aku mereka juga sudah cari-cari part time job ya? Keluarganya ga kasih uang lagi apa? Dan apa karena kehidupan yang keras membuat mereka memiliki selera humor yang rendah, hidup penuh tekanan dan tingkat stres juga berlebih sampai bersikap seperti dua orang yang tinggal di rumah ini juga?"Aida tak tahu tapi memang itu menarik untuknya. Bagaimana seseorang yang berusia sepertinya b
"Ya ampun, pikiranmu ini loh, Bee.""Kenapa?" Brigita melotot."Oke, aku akan buktiin ke kamu, semua tuduhanmu salah. Aku bukan orang yang begitu."Sebetulnya keduanya memang lelah. Reiko sendiri pun juga sudah tidak punya tenaga untuk berkelahi lagi dengan wanita yang dicintainya. Makanya dia mencoba untuk menerima asalkan Brigita tak lagi memperpanjang permasalahannya."Aku mencintaimu dan hanya kamu, mmmuuuah.""Gombal.""Sssh, belah hatiku kalau kamu gak percaya, Bee.""Dah lah.""Tidur yuk, Bee. Besok pagi aku banyak sekali kerjaan dan aku harus bertemu dengan CEO dari Aurora Corps.""Ehm, jadi kamu mendapatkan tender dari mereka?"Mendengar kata Aurora Corps, Brigita yang tadinya ingin memperpanjang permasalahan ini dia jadi diam dan menanyakan sesuatu yang lain yang lebih penting untuknya."Hmmm. Tergantung besok gimana pembicaraanku sama CEO-nya, Raditya Prayoga.""Oh ya, apa kamu akan mengambil project itu? Dia katanya orang yang sulit ya?" Brigita makin penasaran."Hmm. Sul