'Haduh, kenapa aku juga lupa tak menggantinya?'Aida baru menyadari sekarang yang tadi digunakannya untuk makan. Aida sejujurnya merasa bodoh sendiri kenapa dia bisa melupakan hal itu? Bukankah dia harusnya mengingat Siapa yang sudah menggunakan sendoknya?Aida tahu dia dalam kondisi ketahuan melakukan kelalaian. Tapi apakah dia harus mengakui pada Reiko kebodohannya ini?"Iya karena percuma juga saya menggantinya, pak."Bukan Aida namanya kalau dia tidak menemukan cara untuk membalikan semuanya."Apa?" Tentu saja jawaban ini membuat Reiko ingin tahu kelanjutannya"Mungkin kamu bisa memperjelas padaku maksud ucapanmu?""Kalau saya mengganti sendoknya makanan ini juga sudah terkontaminasi dengan bakteri, kuman atau mikroorganisme jenis lain dari dalam mulut Anda yang tadi ditempelkan di sendok ini. Apalagi saya tidak tahu apa yang sudah Anda makan, apa yang sudah Anda masukkan ke dalam mulut Anda dan Anda hisap atau Anda perbuat dengannya sebelum Anda mencoba nasi gorengnya dan saya ju
"Saya paham pak."Keduanya tidak saling bertatapan saat membahas masalah ini. Masing-masing lebih memilih untuk memandang ke arah monitor tanpa mau mengecek bagaimana kondisi psikologis lawan bicaranya setelah pembicaraan ini."Bagus. Dan pastikan kondisi ruangan di apartemenku selalu bersih seperti yang tadi aku sudah jelaskan di awal kamu memasuki tempat tinggalku ini."Reiko justru malah mengingatkan Aida mengenai pekerjaan yang harus dia lakukan setiap harinya. "Iya, iya, udah paham kok, Pak."Tak mau memperpanjang lagi, Aida yang sudah mengerti dia pun menggerakkan tangannya di layar monitor. 'Sangat serius. Seperti ada sesuatu yang sedang dia cari dengan matanya terfokus di sana.' Tapi keseriusan ini malah membuat Reiko jadi semakin tak sabaran"Kenapa tidak pilih satupun? Kenapa hanya scrolling aja?"Jelas saja apa yang dilakukan Aida ini membuat gusar Reiko. Semenit sudah berlalu tapi wanita itu masih belum memilih apapun."Sebentar Pak. Saya lihat-lihat dulu. Masa saya lang
'Ngeloyor gitu aja dia? Eish! Mungkinkah itu caranya meminta maaf?'Aida belum sempat bicara apapun setelah Reiko tadi menyeletuk.Aida juga tak sempat menjawabnya karena pria berstatus suaminya itu bicara sambil ngeloyor pergi meninggalkan dapur. 'Tak punya manner!'Reiko sudah memunggungi Aida dan seakan tak lagi berkeinginan untuk menunggu jawaban darinya.“Biarlah,”Makanya Aida hanya sempat berbisik dalam hatinya macam ini sambil geleng-geleng kepala. Meskipun sebetulnya hati Aida tak sepenuhnya lega.“Super sekali! Sungguh cara minta maaf yang sangat membagongkan. Langsung membawakan juga solusinya dari semua kesalahan yang sudah dia perbuat, rapi tanpa kata maaf dan kompensasi, hanya salep.”Aida tak mau menanggapi lebih masalah salep sebetulnya. Tapi sindirannya ini keluar begitu saja saat dirinya yang emosi, menatap layar yang mulai menghitam dan sulit mencoba berkonsentrasi untuk memulai memesan bahan makanan.Kejadian itu mengganggu tingkat kewarasannya."Bomatlah! Sekara
"Tunggu sebentar ya, aku cek gak lama kok." Aida menerima belanjaannya dan tadinya dia ingin menutup pintunyaTapi"Kalau bisa saya lihat juga Mbak. Biar fair ngeceknya saya juga tahu, Mbak cuma ngecek. Karena kan saya nggak tahu Mbak nanti nilep barang belanjaannya atau enggak dan bilang belum ada. Sama-sama berjaga-jaga aja, Mbak."Pria berjaket hijau itu pun juga jujur terhadap Aida sehingga membuat Aida memikirkan dari posisi sang kurir."Oke, oke!" Ini juga dianggap oleh wanita itu fair. Aida tidak mau memperburuk keadaan dan memperlama negosiasi mereka."Kalau gitu aku lihat di sini aja. Kamu diri di situ ya. Tapi tolong buka maskernya dong. Ya minimal kalau kamu buka masker kan di sini ada CCTV jadi aku buka pintu juga nggak takut kamu macem-macem."Aida sengaja membuka pintu apartemennya setelah pria itu setuju melakukan apa yang dimintanya tanpa bicara, dia melepaskan penutup wajahnya. 'Lumayan punya tampang. Dia seumuran denganku kan? Atau mungkin lebih tua dariku? Hmm ...
"Terima kasih."Aida berucap sebelum dirinya menutup pintu."Hihi, aku harus berhati-hati bicara dengan orang kota karena memang mereka rata-rata bicaranya agak keras dan nyelekit. Heish, apa kehidupan kota membuat orang tidak punya hati dan nurani?"Aida yang sudah menutup pintu, dia merespon dengan gumaman kecilnya macam tadi. "Tapi segitu juga dia sudah baik kok membiarkanku mengecek belanjaan. Syukurin aja."Sambil menenteng dua kantong belanjaan ditambah satu kardus berisi storage box yang dipesannya, Aida menuju ke arah dapur, berusaha positif thinking."Dan anak-anak di kota itu apa di usia seumuran aku mereka juga sudah cari-cari part time job ya? Keluarganya ga kasih uang lagi apa? Dan apa karena kehidupan yang keras membuat mereka memiliki selera humor yang rendah, hidup penuh tekanan dan tingkat stres juga berlebih sampai bersikap seperti dua orang yang tinggal di rumah ini juga?"Aida tak tahu tapi memang itu menarik untuknya. Bagaimana seseorang yang berusia sepertinya b
"Ya ampun, pikiranmu ini loh, Bee.""Kenapa?" Brigita melotot."Oke, aku akan buktiin ke kamu, semua tuduhanmu salah. Aku bukan orang yang begitu."Sebetulnya keduanya memang lelah. Reiko sendiri pun juga sudah tidak punya tenaga untuk berkelahi lagi dengan wanita yang dicintainya. Makanya dia mencoba untuk menerima asalkan Brigita tak lagi memperpanjang permasalahannya."Aku mencintaimu dan hanya kamu, mmmuuuah.""Gombal.""Sssh, belah hatiku kalau kamu gak percaya, Bee.""Dah lah.""Tidur yuk, Bee. Besok pagi aku banyak sekali kerjaan dan aku harus bertemu dengan CEO dari Aurora Corps.""Ehm, jadi kamu mendapatkan tender dari mereka?"Mendengar kata Aurora Corps, Brigita yang tadinya ingin memperpanjang permasalahan ini dia jadi diam dan menanyakan sesuatu yang lain yang lebih penting untuknya."Hmmm. Tergantung besok gimana pembicaraanku sama CEO-nya, Raditya Prayoga.""Oh ya, apa kamu akan mengambil project itu? Dia katanya orang yang sulit ya?" Brigita makin penasaran."Hmm. Sul
“Kalau nggak bangun pagi, bagaimana bisa menyiapkan sarapan pagi?”Seseorang yang lagi-lagi tidak diharapkan kehadirannya oleh Aida bercicit, sungguh mengganggu pagi harinya.Tadinya yang ada direncana Aida, dia ingin menyelesaikan menyiapkan sarapan pagi itu, lalu menaruhnya di meja makan, ditutup dan masuk ke dalam kamar tanpa harus menemui dua orang yang mungkin akan keluar dari kamar di waktu makan pagi.Tapi saat dirinya baru ingin memotong bahan-bahan untuk menu pagi itu, ternyata ada seseorang yang sudah datang lebih dulu dari prediksinya."Tiap hari kamu bangun jam segini? Atau karena hanya karena tugas baru membuat sarapan pagi?" selidik pria yang kini berjalan memasuki dapur, melewati Aida dan menghampiri kulkas, untuk mengecek sesuatu yang memang ingin dibaca olehnya. "Kalau nggak bangun pagi, gimana mau solat subuhnya?"'Kenapa dia selalu menjawab pertanyaanku dengan kata-kata sarkas dan sinis? Hah, menyindirku kah?' bisik di dalam hati Reiko setelah matanya membaca jadwa
"Kamu dari tadi di dapur?""Enggak. Aku udah dari ruang kerja tadi, biasa kan jam tiga aku ngurus kerjaan. Terus aku ke dapur buat ngambil makananmu. Katanya kamu nggak mau makan di luar, kan?"Reiko yang tadinya ingin berbalik arah mengurus cincin pernikahannya. Tapi akhirnya, dia membatalkan niatannya itu melihat siapa yang sudah membuka pintu kamarnya. 'Mungkin nanti aku akan bicara dengannya.' Reiko memilih menggiring Brigita masuk kembali ke kamar tidur mereka.Kekasihnya itu sepertinya baru bangun dan mencari Reiko tapi karena tidak ada di dalam kamar, wajahnya sudah terlihat kesal dan tadi saat membuka pintu pun juga sudah menunjukkan mimik wajah curiganya pada Reiko.Karena tak ingin membuat masalah baru, akhirnya Reiko memilih menemaninya sarapan sebentar."Sandwich. Kamu tahu makanan ini dibuat dengan menggunakan tangan, kan sayang. Dan aku tidak tahu tangannya bersih atau kotor,” sinis Brigita yang sudah menatap malas pada Reiko."Lalu apa aku harus memakan makanan yang m