"Saya paham pak."Keduanya tidak saling bertatapan saat membahas masalah ini. Masing-masing lebih memilih untuk memandang ke arah monitor tanpa mau mengecek bagaimana kondisi psikologis lawan bicaranya setelah pembicaraan ini."Bagus. Dan pastikan kondisi ruangan di apartemenku selalu bersih seperti yang tadi aku sudah jelaskan di awal kamu memasuki tempat tinggalku ini."Reiko justru malah mengingatkan Aida mengenai pekerjaan yang harus dia lakukan setiap harinya. "Iya, iya, udah paham kok, Pak."Tak mau memperpanjang lagi, Aida yang sudah mengerti dia pun menggerakkan tangannya di layar monitor. 'Sangat serius. Seperti ada sesuatu yang sedang dia cari dengan matanya terfokus di sana.' Tapi keseriusan ini malah membuat Reiko jadi semakin tak sabaran"Kenapa tidak pilih satupun? Kenapa hanya scrolling aja?"Jelas saja apa yang dilakukan Aida ini membuat gusar Reiko. Semenit sudah berlalu tapi wanita itu masih belum memilih apapun."Sebentar Pak. Saya lihat-lihat dulu. Masa saya lang
'Ngeloyor gitu aja dia? Eish! Mungkinkah itu caranya meminta maaf?'Aida belum sempat bicara apapun setelah Reiko tadi menyeletuk.Aida juga tak sempat menjawabnya karena pria berstatus suaminya itu bicara sambil ngeloyor pergi meninggalkan dapur. 'Tak punya manner!'Reiko sudah memunggungi Aida dan seakan tak lagi berkeinginan untuk menunggu jawaban darinya.“Biarlah,”Makanya Aida hanya sempat berbisik dalam hatinya macam ini sambil geleng-geleng kepala. Meskipun sebetulnya hati Aida tak sepenuhnya lega.“Super sekali! Sungguh cara minta maaf yang sangat membagongkan. Langsung membawakan juga solusinya dari semua kesalahan yang sudah dia perbuat, rapi tanpa kata maaf dan kompensasi, hanya salep.”Aida tak mau menanggapi lebih masalah salep sebetulnya. Tapi sindirannya ini keluar begitu saja saat dirinya yang emosi, menatap layar yang mulai menghitam dan sulit mencoba berkonsentrasi untuk memulai memesan bahan makanan.Kejadian itu mengganggu tingkat kewarasannya."Bomatlah! Sekara
"Tunggu sebentar ya, aku cek gak lama kok." Aida menerima belanjaannya dan tadinya dia ingin menutup pintunyaTapi"Kalau bisa saya lihat juga Mbak. Biar fair ngeceknya saya juga tahu, Mbak cuma ngecek. Karena kan saya nggak tahu Mbak nanti nilep barang belanjaannya atau enggak dan bilang belum ada. Sama-sama berjaga-jaga aja, Mbak."Pria berjaket hijau itu pun juga jujur terhadap Aida sehingga membuat Aida memikirkan dari posisi sang kurir."Oke, oke!" Ini juga dianggap oleh wanita itu fair. Aida tidak mau memperburuk keadaan dan memperlama negosiasi mereka."Kalau gitu aku lihat di sini aja. Kamu diri di situ ya. Tapi tolong buka maskernya dong. Ya minimal kalau kamu buka masker kan di sini ada CCTV jadi aku buka pintu juga nggak takut kamu macem-macem."Aida sengaja membuka pintu apartemennya setelah pria itu setuju melakukan apa yang dimintanya tanpa bicara, dia melepaskan penutup wajahnya. 'Lumayan punya tampang. Dia seumuran denganku kan? Atau mungkin lebih tua dariku? Hmm ...
"Terima kasih."Aida berucap sebelum dirinya menutup pintu."Hihi, aku harus berhati-hati bicara dengan orang kota karena memang mereka rata-rata bicaranya agak keras dan nyelekit. Heish, apa kehidupan kota membuat orang tidak punya hati dan nurani?"Aida yang sudah menutup pintu, dia merespon dengan gumaman kecilnya macam tadi. "Tapi segitu juga dia sudah baik kok membiarkanku mengecek belanjaan. Syukurin aja."Sambil menenteng dua kantong belanjaan ditambah satu kardus berisi storage box yang dipesannya, Aida menuju ke arah dapur, berusaha positif thinking."Dan anak-anak di kota itu apa di usia seumuran aku mereka juga sudah cari-cari part time job ya? Keluarganya ga kasih uang lagi apa? Dan apa karena kehidupan yang keras membuat mereka memiliki selera humor yang rendah, hidup penuh tekanan dan tingkat stres juga berlebih sampai bersikap seperti dua orang yang tinggal di rumah ini juga?"Aida tak tahu tapi memang itu menarik untuknya. Bagaimana seseorang yang berusia sepertinya b
"Ya ampun, pikiranmu ini loh, Bee.""Kenapa?" Brigita melotot."Oke, aku akan buktiin ke kamu, semua tuduhanmu salah. Aku bukan orang yang begitu."Sebetulnya keduanya memang lelah. Reiko sendiri pun juga sudah tidak punya tenaga untuk berkelahi lagi dengan wanita yang dicintainya. Makanya dia mencoba untuk menerima asalkan Brigita tak lagi memperpanjang permasalahannya."Aku mencintaimu dan hanya kamu, mmmuuuah.""Gombal.""Sssh, belah hatiku kalau kamu gak percaya, Bee.""Dah lah.""Tidur yuk, Bee. Besok pagi aku banyak sekali kerjaan dan aku harus bertemu dengan CEO dari Aurora Corps.""Ehm, jadi kamu mendapatkan tender dari mereka?"Mendengar kata Aurora Corps, Brigita yang tadinya ingin memperpanjang permasalahan ini dia jadi diam dan menanyakan sesuatu yang lain yang lebih penting untuknya."Hmmm. Tergantung besok gimana pembicaraanku sama CEO-nya, Raditya Prayoga.""Oh ya, apa kamu akan mengambil project itu? Dia katanya orang yang sulit ya?" Brigita makin penasaran."Hmm. Sul
“Kalau nggak bangun pagi, bagaimana bisa menyiapkan sarapan pagi?”Seseorang yang lagi-lagi tidak diharapkan kehadirannya oleh Aida bercicit, sungguh mengganggu pagi harinya.Tadinya yang ada direncana Aida, dia ingin menyelesaikan menyiapkan sarapan pagi itu, lalu menaruhnya di meja makan, ditutup dan masuk ke dalam kamar tanpa harus menemui dua orang yang mungkin akan keluar dari kamar di waktu makan pagi.Tapi saat dirinya baru ingin memotong bahan-bahan untuk menu pagi itu, ternyata ada seseorang yang sudah datang lebih dulu dari prediksinya."Tiap hari kamu bangun jam segini? Atau karena hanya karena tugas baru membuat sarapan pagi?" selidik pria yang kini berjalan memasuki dapur, melewati Aida dan menghampiri kulkas, untuk mengecek sesuatu yang memang ingin dibaca olehnya. "Kalau nggak bangun pagi, gimana mau solat subuhnya?"'Kenapa dia selalu menjawab pertanyaanku dengan kata-kata sarkas dan sinis? Hah, menyindirku kah?' bisik di dalam hati Reiko setelah matanya membaca jadwa
"Kamu dari tadi di dapur?""Enggak. Aku udah dari ruang kerja tadi, biasa kan jam tiga aku ngurus kerjaan. Terus aku ke dapur buat ngambil makananmu. Katanya kamu nggak mau makan di luar, kan?"Reiko yang tadinya ingin berbalik arah mengurus cincin pernikahannya. Tapi akhirnya, dia membatalkan niatannya itu melihat siapa yang sudah membuka pintu kamarnya. 'Mungkin nanti aku akan bicara dengannya.' Reiko memilih menggiring Brigita masuk kembali ke kamar tidur mereka.Kekasihnya itu sepertinya baru bangun dan mencari Reiko tapi karena tidak ada di dalam kamar, wajahnya sudah terlihat kesal dan tadi saat membuka pintu pun juga sudah menunjukkan mimik wajah curiganya pada Reiko.Karena tak ingin membuat masalah baru, akhirnya Reiko memilih menemaninya sarapan sebentar."Sandwich. Kamu tahu makanan ini dibuat dengan menggunakan tangan, kan sayang. Dan aku tidak tahu tangannya bersih atau kotor,” sinis Brigita yang sudah menatap malas pada Reiko."Lalu apa aku harus memakan makanan yang m
"Bee, Bee."Jawaban yang tentu saja membuat Reiko senyum-senyum. Padahal tadi Reiko sudah fokus ke kerjaannya, tapi tergoda juga mendengar ucapan ketus kekasihnya."Segitu besarkah rasa cemburumu padaku, Brigita Michelle?"Reiko yang merasa bangga karena wanitanya cemburuan, justru menggoda dan membisiki pertanyaan ini saat mereka baru saja memasuki lift."Hemmm. Kamu jangan coba-coba tengok-tengok dia ya.""Lagian tidak ada yang patut untuk ditengok kok, Bee." Reiko mencubit hidung wanita yang ada di sampingnya di saat lift berjalan turun tapi memang mereka hanya berdua di dalamnya."Tidak ada yang menarik untukku saat melihatnya. Dari wajahnya, dari bentuk tubuhnya. Tidak ada yang menenangkan."Tentu saja jawaban itu membuat Brigita di sampingnya pun menahan senyum meskipun matanya masih menyipit tanda berhati-hati."Awas kalau aku melihatmu bermain-main dengannya, sayang. Aku juga tidak suka kamu terlalu akrab dengannya.""Iya aku paham, Bee." Reiko bicara ketika mereka keluar dari
"Biar kubantu. Dan biarkan Reizo menenangkan dirinya dulu."Dan tiba-tiba seseorang datang, padahal tadi dia tidak ada di sana."Tuan Rafael mohon bantuannya."Dokter Juna dan Rafael akhirnya yang menggali sedangkan Reizo sendiri dalam kondisi dia yang tidak tenang. Irsyad menunggu mayat dengan terus saja bertasbih. Dia tidak meninggalkan Aida, meski dia juga tidak menyentuhnya. Hanya memastikan selalu terdengar tasbih dan sholawat di dekat mayit."Allahu Akbar."Dan tiba-tiba saja dokter Juna meninggikan suaranya. Dia kaget betul dengan apa yang dilihat nya sekarang."Raizo berdiri di sini. Atau kau duduk di sini dan teruslah tasbih. Kasihan Aida."Irsyad terpaksa menarik Reizo untuk mendekat pada Aida, sedangkan dirinya cepat-cepat menuju ke liang lahat.Subhanallah, air matanya ingin tumpah sedangkan dokter Juna juga kebingungan."Bahkan bekas daerah-darahnya juga sudah hilang. Kulitnya kembali seperti semula. Tapi dia tidak bernyawa.""Dia mirip seperti Reizo, tapi dia pucat.""Iy
"Aku tahu. Kau jangan banyak bicara!”"Ya sudah, mulailah Reizo, atau lebih baik kau suruh saja Irsyad yang melakukannya kalau memang kau tidak sanggup.""Aw … ehm ... Irsyad, kau saja yang lakukan. Aku tidak bisa."Sudah seperti yang dipikirkan oleh Irsyad, karena memang saat ini pria itu sedang benar-benar terpukul. Apa yang terjadi pada pikirannya, tapi sungguh dia memang merasa marah dan campur aduk yang tak jelas."Allahu Akbar Allahu Akbar."Dan suara lantunan azan yang begitu merdu itu pun tidak bisa membuat pria itu fokus.Aku tidak bisa menyelamatkanmu dulu dan itu semua karena aku datang terlambat. Tapi kini aku juga tidak bisa menyelamatkan istrimu, karena kemarahanku padanya. Aku meninggalkannya dan aku pikir memang dua rekanku menjaganya. Aku tidak buru-buru mencarinya. Ini semua salahku. Mungkin memang aku tidak pantas untuk menjaganya? Dan sebenarnya apa perasaanku padanya? Kenapa aku seperti makin lama makin ingin tahu tentang dirinya? Tapi kenapa dia begitu bodoh? Ken
"Innalillahi wa innalillahi roji'un."Irsyad yang lebih dulu menyadari tentang kepergian seseorang yang sangat dicintainya.Tak tahulah dia harus bagaimana. Tangannya masih menjahit bekas luka saat tadi mengeluarkan bayi. Dan matanya kini basah dengan air mata yang berusaha untuk ditahan olehnya."Hey, bangun! Jangan main-main! Buka matamu!" Tapi lain Irsyad, lain juga pria yang ada di samping Aida yang tadi diberikan oleh Aida rambutnya yang memang rontok. “Bangun! Buka matamu!" Pria itu kembali memaksa."Reizo, kau memintanya bagaimanapun, dia tidak akan bangun. Lukanya terlanjur parah. Lambungnya tersayat, asam lambung di lambungnya menyebar di tubuhnya dan kau tahu? Asam lambung itu sangat berbahaya. Dia bisa melukai dan membakar organ lainnya. Ditambah lagi… lihat ini. Beruntung Aida melahirkan bayinya lebih cepat. Aku tidak tahu kalau ditunda lagi, mungkin bayi-bayi itu juga akan terkena masalah dengan sel kankernya. Pertumbuhan tidak normal dan kau bisa lihat sendiri."Memang a
"Aida."Mereka semua kaget melihat ada beling yang menancap di tubuh Aida dari belakang dan tembus ke depan. Wanita itu pun agak kesulitan untuk bicara."Kau."Leo sudah memegang senjatanya untuk menembak orang di belakang Aida."Kau tidak akan pernah bisa mendapatkan kami. Chip itu sudah kami bawa."Tapi Alexander yang terluka parah, dia juga bisa menggunakan transportasi. Dan Alexander kloningan yang ada di belakang Aida sudah mengambil chip itu. Di saat yang bersamaan, Alexander yang terluka menghilang lalu dia mendekat pada Alexander yang baru keluar dari kapsul lalu membawa pria itu pergi. Sisa sembilan kapsul lagi yang kacanya pecah sekarang.DOOR DOOR DOOR!Makanya Leo yang sudah memegang senjata cepat-cepat mengarahkan senjatanya ke kepala mereka."Aida!” Dan kini Dokter Juna dengan cepat berusaha untuk masuk mengambil Aida."Cepat bawa dia ke rumah sakit!”Rafael yang bicara, lalu dia menatap Jo dan Leo, dia sudah mengaktifkan peledaknya.“Kita harus cari atau semua orang di
"Ah tidak. Aku hanya mendengar cerita dari Alan.”"Dan Alan." Kini Alexander menunjuk pada Aida dengan senyum kecut di bibirnya. "Kalau bukan karena ada pengkhianat seperti dirinya, aku pasti menang dari Rafael," ujarnya lagi dan kini dia menekankan sambil berjalan mendekat pada Aida."Bisakah kau berdiri diam di sana dan tidak mendekat padaku? Aku risih jika bukan suamiku dekat padaku.""Dan kau tahu? Aku menyukaimu. Kau bisa hidup damai denganku dan bekerja denganku. Untuk menjadi suamimu aku juga tidak masalah. Karena kau adalah wanita yang menarik. Hanya saja, aku harus tekankan padamu keselamatanmu itu bergantung pada keloyalanmu padaku dan aku tidak suka pengkhianatan.""Ehm, kenapa kau menyimpan gudang senjata di apartemen suamiku?""Oh, kau membicarakan senjata di lemari yang baru kebuka?”Aida tak mau Alexander mendekat lagi sehingga dia kembali menanyakan sesuatu untuk mendistraksinya.Tipe orang yang suka show of. Aku harus membuatnya menceritakan semua hal. Ini adalah cara
"Terlalu jauh kalau harus membunuhmu. Aku tidak bisa melawanmu karena sekarang aku juga sedang mengandung. Tapi coba keluarkan dulu saja masnya supaya kau tidak membuang waktuku lebih lama berdiri.""Ah … kau pasti lelah. Kau ingin duduk?” tanyanya lagi.“Kau tunggu di sini! Biar kuambilkan kursi dari ruang kerja suamimu supaya kau bisa duduk.”Dia cukup baik juga. Bisik hati Aida lagi. Sesuatu yang membuat dirinya juga penasaran.Ada sisi baiknya. Apakah ini dari gen yang dimiliki oleh ayahnya Tuan Rafael? Dan ada sisi buruknya, apakah ini dari gen yang dimiliki oleh temannya Tuan Rafael? Karena dia memiliki gabungan gen yang berbeda.Aida tak peduli larangan Alexander untuk mengambil sesuatu dari ruang kerja suaminya, tapi dia sempat mendekat pada tempat emas dan mengambil sesuatu dari sana. Sesuatu yang diselipkan di balik kerudungnya. Di tempat yang tidak bisa terlihat oleh siapa pun tentu saja."Kau duduklah di sini!”"Terima kasih." Aida menjawab dengan ucapan sesantai itu dan d
"Kau sudah mengecek semua isi ruangan di sini?" Aida bertanya masih dengan posisinya berdiri di belakang dinding."Tentu saja. Aku mengecek semuanya termasuk semua lingerie yang kau punya. Wow. Ini sangat menarik sekali. Kau tidak memiliki dua bagian penting bagi tubuh wanita, tapi kamu miliki banyak sekali lingerie. Untuk apa kau memakai itu?"Wajah Alexander seakan-akan ingin menertawai Aida. Dan Aida juga tahu alasan kenapa dia harus memiliki baju itu."Lucu, ya? Aku pun merasakan hal yang sama. Tapi itu kemauan suamiku. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi dia memintaku untuk memakai itu.”"Sepertinya dia sangat suka berkhayal.”"Tidak. Dia bukan orang yang suka berkhayal. Dia adalah orang yang menggunakan logikanya. Dia lebih baik daripada aku.""Tapi untuk apa dia memberikanmu ini?""Menurutmu untuk apa?" tanya Aida di bibirnya.Setidaknya aku bisa mengulur waktu. Aku harus bisa membuat dirinya banyak bercerita sampai ada orang yang menyelamatkanku, pikir di dalam hati Aid
"Selamat datang di tempat tinggalku.""Ini adalah rumahku. Ini adalah apartemen milik Mas Reiko-ku. Bagaimana kalau bisa bilang kalau ini adalah tempat tinggalmu?" Aida pikir, dia akan dibawa ke mana oleh orang yang menculiknya, tapi lagi-lagi dia dibawa ke apartemen yang dulu ditempati bersama dengan suaminya."Haha, tapi sayangnya dia sudah tidak ada di sini. Dan tempat ini aku yang tinggali. Kau sendiri juga tidak meninggalinya.""Apa yang kau cari di sini?""Haha. Kau sangat curigaan sekali."Sebenarnya Aida tidak melucu dan dia bertanya serius, tapi pria yang ada di hadapannya justru selalu saja tertawa setiap kali mendengar pertanyaan darinya. Aida yakin sekali ada sesuatu yang dicari oleh Alexander di sana. Sesuatu yang tidak bisa dia dapatkan."Relax. Kau baru sampai di rumahku sebaiknya kau bersantai dulu. Kenapa mundur terus? Kau mau ke mana, hmm? Ruangan ini tetap segini saja. Dan di belakangmu sudah ada rak buku."Pria di hadapan Aida terus maju karena itulah dia berusaha
"Romo, kami sudah cari ke mana-mana tapi tidak ada. Di rumahnya Pakde Waluyo juga nggak ada, terus kita udah cari di sekeliling rumah Romo juga nggak ada. Tadi aku tanya sama ibunya Mbak Aida juga nggak ada di dalam kamarnya.""Lah, ke mana Aida? Apa mungkin dibawa sama Reizo atau dia ketemu sama Dokter Juna? Tadi itu kan Raditya ngebicarain soal Dokter Juna dan mungkin aja dia cerita ke Dokter Juna kalau dia habis ngomong sama Raditya?""Bisa jadi, Romo. Tapi tadi aku telepon Mbak Aida handphone-nya ketinggalan tuh. Dia ndak bawa handphone.""Mungkin sengaja handphone-nya ndak dibawa supaya ndak ketahuan sama Reizo dia ke mana.""Tapi kan mereka punya alat-alat yang sama. Pasti bisa komunikasi, Romo. Soalnya kata Mbak Aida itu kalau sudah pakai itu, semuanya bisa saling komunikasi. Terus mereka juga sudah tahu di mana letak koordinat masing-masing.""Yo embuh, aku ndak tahu, lah. Lagian kamu kalau udah tahu kayak gitu kok malah nanya sama orang yang nggak tahu?""Hehehe. Habisnya aku