"Mela?" Alif terlonjak melihat Mela tiba-tiba sudah berdiri di depannya. Ternyata Alif tadi tidak melihat mobil Mela yang sudah berhenti di depan halte. "Ayo, pulang! Mobilku tidak bisa lama-lama berhenti di sini!" Mela yang saat ini mengenakan kacamata hitam, meraih tangan Alif dan menariknya. "Iyya, iyaaa!" Alif terpaksa bangkit dan menuruti Mela menuju mobil. Ia menoleh sesaat pada Sumi yang hanya bisa terdiam melihat kepergian Alif. "Itu pasti istri pertamanya," bathin Sumi. "Pasti istrinya itu yang telah membebaskan Bang Gondrong," lirih Sumi dengan helaan napas berat. Setelah memastikan Alif telah benar-benar pergi, Sumi bergegas pergi menuju apartemen Ratu. Hari ini Ratu memintanya untuk tinggal di apartemen agar saat acara resepsi nanti Sumi tidak terlalu jauh ke lokasi acara. "Ibu? Ke sini naik apa? Saya pasti akan minta asisten saya untuk jemput Ibu." Raihan terkejut melihat kedatangan Sumi. "Ibu bisa naik angkutan umum, Nak Raihan. Tidak enak kalau terus merepotkan."
"Kita bertemu lagi di sini. Kamu makin tampak berbeda Maira!" Mela menatap Maira dengan datar, lalu pandangannya beralih pada Sumi. "Bu Mela, kenalkan ini ibu saya." Ratu berdiri dan memperkenalkan Sumi pada Mela. Seketika Mela kembali menatap Maira dengan kening berkerut. "Maaf, saya pikir Ratu anak ..." "Panjang ceritanya, Bu," sanggah Ratu. Sumi tersenyum sambil mengangguk pada Mela. Ia ingin menyalami wanita itu, tapi entah kenapa ia ragu. "Ternyata kamu kembali memakai jasa WO Mela, Ratu," ujar Maira masih dengan tersenyum, dan dibalas anggukan oleh Ratu. "Ya, Ratu sudah aku anggap seperti anak sendiri. Mungkin dia sudah nyaman bekerja sama denganku," sahut Mela dengan bangga. "Oh ya? Seperti anak sendiri, begitu?" Maira tersenyum lagi. Namun Mela justru merasa senyuman Maira kali ini sangat aneh. Bukan saja Mela, Ratu pun merasa sikap sang Mama cukup aneh dan penuh tanda tanya. Tetapi ia berusaha untuk tidak berpikir berat kali ini. Ia hanya ingin konsentrasi pada acara
"Sayang, aku temui para tamuku dulu di sana." Rein berbisik di telinga Maira. Keduanya sedang duduk bersama keluarga lainnya di meja bundar yang berada di sisi kiri pelaminan. Seperti yang sudah mereka rencanakan, Raihan dan Ratu hanya berdua di pelaminan tanpa pendamping. Karena itu, Rein, Maira ataupun Salma bisa bebas menemui dan berbincang dengan para tamu. Hanya sesekali mereka naik ke panggung pelaminan untuk berfoto. Sumi juga tampak sedang asik berkumpul di sisi lain bersama para tetangganya. Raihan tidak lupa dengan janjinya, yaitu mengundang semua tetangga Sumi yang tinggal di gang rumahnya itu. Analea pun sibuk menemani Rein menemui para relasi Anggada Jaya. Ia juga beberapa kali menerima panggilan telephon dari Fabian. "Lea, aku sangat rindu. Rasanya aku ingin terbang ke sana untuk memelukmu, Sayang!" Analea selalu tersipu malu setiap mendengar rayuan dan ungkapan rindu dari suaminya. "Iya, Kak Bian. Aku juga rindu. Aku kesepian," ungkap Analea berbisik. Ia malu jika
"Lakukan sekarang! Awas, jangan sampai gagal!" Sonia berbicara sangat pelan namun penuh penekanan di ponselnya. Matanya melirik tajam ke sana kemari, lalu fokus ke arah pintu masuk ballroom. Setelah menyimpan kembali ponselnya, ia mulai gelisah. Dadanya berdebar. Namun ia tetap tersenyum pada setiap orang yang bertemu pandang dengannya. Tamu-tamu memang sudah mulai sepi. Di ballroom itu kini tersisa keluarga dari kedua pengantin dan beberapa karyawan PT LikeSport. Karena itu Sonia masih berada di sana dan duduk diantara karyawan PT LikeSport yang masih lalu lalang tak jauh dari tempat duduknya. Petugas WO berpakaian kemeja putih, celana dan rompi berwarna hitam mulai merapikan piring dan sisa makanan di setiap gubuk. Sementara Alif tampak sibuk mengawasi dua pelayan yang sedang membuka hidangan untuk keluarga mempelai, yang berada di meja prasmanan. Letak meja itu tepat di sisi kanan pelaminan. Dari arah dia berdiri, Alif bisa menatap Ratu dengan sangat jelas. Tanpa disadari ia berd
"Kita langsung ke rumah sakit, Pak!" pinta Ratu pada pria yang mengendarai mobil. "Maaf, Mbak. Pak Rein bilang Mbak Ratu tidak boleh ke mana-mana dulu sampai kita mengetahui motif penembakan ini!" Pria itu menolak dengan sopan. "Ck! Harus begitu memangnya?" Ratu tampak kesal. "Sudahlah, Sayang. Sebaiknya kita pulang dulu." Raihan sibuk menenangkan Ratu yang terus gelisah. "Nggak bisa, Rai! Aku nggak enak sama Bu Mela! Aku harus mengucapkan terima kasih pada suaminya itu. Aku berhutang nyawa padanya." Ratu tergugu lagi dalam pelukan Raihan. "Tenanglah dulu! Ini bukan salah kamu! Ini kecelakaan. Sekarang, kita ikuti saja apa kata Daddy." Raihan membelai dan mencium puncak kepala Ratu berkali-kali, hingga akhirnya Ratu mengangguk lemah Tiga puluh menit kemudian mereka sudah tiba di rumah Salma. "Bundaaaa, Ibuuu ...!" Ratu langsung berteriak saat kakinya menyentuh teras rumah mewah itu. "Ibu ada di dalam, Non," sahut salah seorang pelayan. Ratu bernapaa lega dan langsung menarik
"Bagaimana kondisinya?" Maira yang sedang menenangkan Mela tiba-tiba menoleh. Rein sudah berdiri di belakangnya. "Sini ikut aku!" Maira membawa Rein sedikit menjauh. Lalu ia berbicara agak pelan. "Dia membutuhkan donor darah secepatnya. Kamu harus segera bawa Ratu ke sini. Golongan darah mereka sama, Rein." "Hmm ... bagaimana jika Ratu dan Mela akhirnya tau semuanya?" tanya Rein ragu. "Nanti saja kita pikirkan itu. Yang terpenting kita selamatkan satu nyawa dulu!" Rein mengangguk," Suatu saat semua itu pasti akan terbongkar." Tak berselang lama, Rein langsung menghubungi Raihan. Ia sengaja tidak banyak bicara. Hanya meminta agar Raihan membawa Ratu ke rumah sakit.Di dalam kamarnya, Raihan terdiam menatap Ratu yang sudah tertidur pulas di sampingnya. "Rasanya .. aku nggak tega bangunin dia. Ratu baru aja tidur." Raihan bergumam sangat pelan sambil menatap wajah istrinya. Akan tetapi, Raihan kembali mengingat ucapan Rein tadi." Ratu harus segera ke rumah sakit. Ini demi nyawa
Ratu melangkah mendekati ranjang pasien. Hatinya meringis melihat beberapa alat medis yang menempel pada tubuh pria itu. Sebuah alat monitor yang terhubung dengan detak jantung berada persis di sisi kanan ranjang, terus berbunyi. Sebagian wajah itu tertutup oleh alat penyambung oksigen. Sedangkan ada beberapa alat seperti kabel yang menempel di tubuh bagian atas pria itu. Dada Ratu semakin terasa sesak hingga langkahnya kini hampir sampai persis di samping pasien. "Wajah itu ...." Ratu mengamati dengan seksama wajah pasien yang ia tahu sebagai suami Mela. Namun, ia merasa tidak asing dengan wajah itu. Apalagi beberapa kali ia mendengar nama Alif disebut-sebut oleh Mela dan para tim medis. "A-astaga! Kenapa mirip sekali?" Meski wajah pria di hadapannya tidak gondrong dan tidak berjambang tebal, Ratu merasa wajah itu sangat familiar. "Ya, kenapa sangat mirip?" Ratu masih ragu, meski dadanya terus merasakan gemuruh. "Apakah dia benar-benar pria tua itu? Apa karena ini alasannya di
"Ada apa ini ribut-ribut? Apa kalian lupa bahwa ini rumah sakit?" Suara yang cukup tegas dan berwibawa tiba-tiba muncul dari arah lain. "Daddy ...." lirih Ratu yang langsung merenggangkan pelukannya dari Raihan. Ingin rasanya ia berlari dan bersandar pada tubuh tinggi besar yang sejak ia kecil telah menjadi pelindungnya. Namun, kaki Ratu seakan berat untuk melangkah. Ia hanya mampu berdiri terpaku memandang Rein berdiri beberapa langkah dari tempatnya sekarang. Mela pun langsung tak bersuara karena kata-kata Rein. Tapi hatinya terus berontak ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Oleh karena itu, akhirnya ia memberanikan diri untuk bicara dengan Rein. "M-maaf, saya hanya merasa ada sesuatu yang disembunyikan Alif dari saya. Dan sepertinya sesuatu yang berhubungan dengan kedua pengantin ini." Mela mengungkapkan isi hatinya meski ragu-ragu. Apalagi ia tampak sangat sungkan dengan Rein. "Hmm ... Maira, ini waktunya!" Rein mengangguk pada Maira, lalu sekilas menatap Ratu dan
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof