"Lakukan sekarang! Awas, jangan sampai gagal!" Sonia berbicara sangat pelan namun penuh penekanan di ponselnya. Matanya melirik tajam ke sana kemari, lalu fokus ke arah pintu masuk ballroom. Setelah menyimpan kembali ponselnya, ia mulai gelisah. Dadanya berdebar. Namun ia tetap tersenyum pada setiap orang yang bertemu pandang dengannya. Tamu-tamu memang sudah mulai sepi. Di ballroom itu kini tersisa keluarga dari kedua pengantin dan beberapa karyawan PT LikeSport. Karena itu Sonia masih berada di sana dan duduk diantara karyawan PT LikeSport yang masih lalu lalang tak jauh dari tempat duduknya. Petugas WO berpakaian kemeja putih, celana dan rompi berwarna hitam mulai merapikan piring dan sisa makanan di setiap gubuk. Sementara Alif tampak sibuk mengawasi dua pelayan yang sedang membuka hidangan untuk keluarga mempelai, yang berada di meja prasmanan. Letak meja itu tepat di sisi kanan pelaminan. Dari arah dia berdiri, Alif bisa menatap Ratu dengan sangat jelas. Tanpa disadari ia berd
"Kita langsung ke rumah sakit, Pak!" pinta Ratu pada pria yang mengendarai mobil. "Maaf, Mbak. Pak Rein bilang Mbak Ratu tidak boleh ke mana-mana dulu sampai kita mengetahui motif penembakan ini!" Pria itu menolak dengan sopan. "Ck! Harus begitu memangnya?" Ratu tampak kesal. "Sudahlah, Sayang. Sebaiknya kita pulang dulu." Raihan sibuk menenangkan Ratu yang terus gelisah. "Nggak bisa, Rai! Aku nggak enak sama Bu Mela! Aku harus mengucapkan terima kasih pada suaminya itu. Aku berhutang nyawa padanya." Ratu tergugu lagi dalam pelukan Raihan. "Tenanglah dulu! Ini bukan salah kamu! Ini kecelakaan. Sekarang, kita ikuti saja apa kata Daddy." Raihan membelai dan mencium puncak kepala Ratu berkali-kali, hingga akhirnya Ratu mengangguk lemah Tiga puluh menit kemudian mereka sudah tiba di rumah Salma. "Bundaaaa, Ibuuu ...!" Ratu langsung berteriak saat kakinya menyentuh teras rumah mewah itu. "Ibu ada di dalam, Non," sahut salah seorang pelayan. Ratu bernapaa lega dan langsung menarik
"Bagaimana kondisinya?" Maira yang sedang menenangkan Mela tiba-tiba menoleh. Rein sudah berdiri di belakangnya. "Sini ikut aku!" Maira membawa Rein sedikit menjauh. Lalu ia berbicara agak pelan. "Dia membutuhkan donor darah secepatnya. Kamu harus segera bawa Ratu ke sini. Golongan darah mereka sama, Rein." "Hmm ... bagaimana jika Ratu dan Mela akhirnya tau semuanya?" tanya Rein ragu. "Nanti saja kita pikirkan itu. Yang terpenting kita selamatkan satu nyawa dulu!" Rein mengangguk," Suatu saat semua itu pasti akan terbongkar." Tak berselang lama, Rein langsung menghubungi Raihan. Ia sengaja tidak banyak bicara. Hanya meminta agar Raihan membawa Ratu ke rumah sakit.Di dalam kamarnya, Raihan terdiam menatap Ratu yang sudah tertidur pulas di sampingnya. "Rasanya .. aku nggak tega bangunin dia. Ratu baru aja tidur." Raihan bergumam sangat pelan sambil menatap wajah istrinya. Akan tetapi, Raihan kembali mengingat ucapan Rein tadi." Ratu harus segera ke rumah sakit. Ini demi nyawa
Ratu melangkah mendekati ranjang pasien. Hatinya meringis melihat beberapa alat medis yang menempel pada tubuh pria itu. Sebuah alat monitor yang terhubung dengan detak jantung berada persis di sisi kanan ranjang, terus berbunyi. Sebagian wajah itu tertutup oleh alat penyambung oksigen. Sedangkan ada beberapa alat seperti kabel yang menempel di tubuh bagian atas pria itu. Dada Ratu semakin terasa sesak hingga langkahnya kini hampir sampai persis di samping pasien. "Wajah itu ...." Ratu mengamati dengan seksama wajah pasien yang ia tahu sebagai suami Mela. Namun, ia merasa tidak asing dengan wajah itu. Apalagi beberapa kali ia mendengar nama Alif disebut-sebut oleh Mela dan para tim medis. "A-astaga! Kenapa mirip sekali?" Meski wajah pria di hadapannya tidak gondrong dan tidak berjambang tebal, Ratu merasa wajah itu sangat familiar. "Ya, kenapa sangat mirip?" Ratu masih ragu, meski dadanya terus merasakan gemuruh. "Apakah dia benar-benar pria tua itu? Apa karena ini alasannya di
"Ada apa ini ribut-ribut? Apa kalian lupa bahwa ini rumah sakit?" Suara yang cukup tegas dan berwibawa tiba-tiba muncul dari arah lain. "Daddy ...." lirih Ratu yang langsung merenggangkan pelukannya dari Raihan. Ingin rasanya ia berlari dan bersandar pada tubuh tinggi besar yang sejak ia kecil telah menjadi pelindungnya. Namun, kaki Ratu seakan berat untuk melangkah. Ia hanya mampu berdiri terpaku memandang Rein berdiri beberapa langkah dari tempatnya sekarang. Mela pun langsung tak bersuara karena kata-kata Rein. Tapi hatinya terus berontak ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Oleh karena itu, akhirnya ia memberanikan diri untuk bicara dengan Rein. "M-maaf, saya hanya merasa ada sesuatu yang disembunyikan Alif dari saya. Dan sepertinya sesuatu yang berhubungan dengan kedua pengantin ini." Mela mengungkapkan isi hatinya meski ragu-ragu. Apalagi ia tampak sangat sungkan dengan Rein. "Hmm ... Maira, ini waktunya!" Rein mengangguk pada Maira, lalu sekilas menatap Ratu dan
"Sudah siang, ayo kita pulang!" Raihan berbisik pada Ratu yang masih duduk berjongkok di depan gundukan tanah merah yang masih basah. Di hadapan mereka Mela dan Sumi pun masih tak beranjak dengan sisa isak tangis mereka. "Bentar lagi, Rai. Aku masih mau di sini," sahut Ratu pelan tanpa menoleh. Tatapan matanya terus tertuju pada papan nisan yang bertuliskan nama sang Ayah. "Aku belum sempat meminta maaf, aku belum sempat membahagiakannya," lirih Ratu dengan suara parau. "Harusnya aku segera menghubungi pengacara itu. Harusnya aku bisa bawa dia pulang ke rumah ibu. Harusnya dia bisa lihat aku bisa beliin ibu rumah yang layak. Harusnya aku ..." "Sudah, sudah! Tenangkan dirimu!" Raihan merengkuh bahu Ratu dan merangkulnya erat. Istrinya itu langsung berhenti meracau dan kini kembali terisak. "Bu Sumi, Bu Mela, bagaimana kalau sebaiknya kita pulang sekarang? Cuacanya makin panas."Raihan terpaksa mengajak kedua wanita di depannya agar Ratu juga mau diajak pulang olehnya. Keluarga d
"Kurang ajar! Jadi kamu yang mau menembak putri saya, hah! Kamu tau? Sedikit saja putri saya tersentuh, saya akan bunuh kamu!" Ratu baru saja sampai di depan ruangan yang pintunya setengah terbuka itu. Ia berdiri terpaku melihat Rein sedang mencengkeram kemeja putih seorang pria muda yang sama sekali tidak ia kenal. "A-ampun, Pak Rein. Sa-saya tidak tau kalau itu putri Bapak! Saya hanya disuruh." Wajah pria itu tampak lebam. Sepertinya Rein baru saja menghajarnya. "Siapa yang menyuruhmu, hah?" Rein memperkuat cengkramannya hingga tubuh pria itu sedikit terangkat. "A-ampun, Pak Rein. Dia seorang wanita, Pak!" Pria muda itu tampak ragu dan ketakutan. Raihan makin penasaran untuk mengetahui siapa nama wanita yang dimaksud. "Seorang wanita? Sebutkan namanya!" Rein makin geram. Netranya makin tajam menatap ke arah tersangka. "Saya tidak tau. Dia hanya memberi perintah lewat ponsel, tanpa memberi nama." Ada raut penyesalan terlihat pada wajah pria itu. "Dasar bodoh!" "Aaaaww ...! Am
"Rai, bangun! Kamu janji mau antar aku ketemu Daddy!" Ratu mengguncang-guncang tubuh Raihan yang masih tertidur pulas di sampingnya. "Aku masih ngantuk, Sayaaang! Tidur lagi aja, yuk!" Raihan malah merengkuh tubuh Ratu hendak kembali memeluknya. "Nggak mau! Kamu udah janji, Rai!" Tetapi Ratu menolaknya. Ia menepis tangan kekar Raihan dengan pelan. Raihan terpaksa membuka matanya. "Memangnya sekarang jam berapa?" "Sudah hampir malam. Aku mandi duluan. Setelah ini kamu siap-siap mandi juga!" Ratu turun dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi. Raihan menghempas napas kasar. Sebenarnya ia khawatir jika Rein akan kembali bersikap dingin pada Ratu, dan tentunya akan kembali membuat istrinya itu kembali bersedih. Tapi sepertinya kali ini Ratu sangat bersemangat. Raihan tidak mungkin tega melarangnya. Ia pun beranjak dari ranjang dan menyusul Ratu ke kamar mandi. Ratu buru-buru menyelesaikan ritual mandinya melihat Raihan menyusulnya. Ia tidak ingin prosesi mandinya akan berlangsung le