“Kamu pernah ikut blind date nggak?”
“Eh?”
Aksa tertawa melihat reaksi Kristal yang kaget. “Aku nanya doang, lho, Princess.”
“Wah, kamu butuh tips buat blind date, ya?” goda Kristal yang langsung membuat Aksa kembali tertawa.
“Begitulah.” Aksa mengedikkan bahunya. “Kayak… apa, ya? Kalau dipikir-pikir, aku nggak pernah ketemu orang baru dengan tujuan ingin memiliki hubungan romantis sama orang ini.”
Kristal mengangguk mengerti. Ia menyendok tiramisunya sebelum kemudian bicara. “Iya, sih, kalau kuingat, aku juga gitu, kok. Aku selalu berhubungan sama orang yang awalnya ada di satu circle-ku dan murni temenan dulu.
“What the hell?! Mereka make out di ruangan yang nggak dikunci?!”Olla mengipasi wajahnya dengan kesal. Jadi perempuan yang tadi keluar dari lift yang ia masuki sebelumnya adalah Kristal?Saat lift terbuka, ia dikejutkan dengan sosok Rangga yang keluar dari lift dan menatapnya dengan aneh. “Sedang apa Anda di sini?”“Bukan urusanmu,” salak Olla dengan kesal.Cepat-cepat ia menekan tombol untuk menutup lift tersebut. Sial, kenapa juga ia harus terpergok oleh asisten Kai? Apa laki-laki itu akan membocorkannya pada Kai?“Tapi tanpa kasih tahu Kai pun, perempuan sialan itu udah melihatku,” geram Olla dengan kekesalan yang semakin meningkat.Ponselnya berdering begitu ia kelua
Memasuki minggu ke delapan kehamilannya, Kristal akhirnya menyuarakan ide yang akhir-akhir ini bercokol di benaknya. “Mas, kamar sebelah dijadiin buat kamar si Kakak, yuk?”Kai yang baru selesai memandikan Lulu dan tengah mengeringkannya, langsung menoleh pada Kristal yang duduk di teras. “Eh?”“Yang dulu kamar aku, Mas,” imbuh Kristal. “Emang agak jauh, sih, tapi nanti kita kasih baby monitoraja.”Kai dan Kristal memang belum sempat membicarakan hal ini karena kesibukan masing-masing. Pagi ini, saat Kristal memasuki kamarnya yang saat ini ia gunakan untuk menyimpan sebagian barang-barangnya, ide itu tiba-tiba terlintas di benaknya.“Boleh.” Kai mengangguk setuju. “Kita cicil beresin barang kamu dulu, ya. Kamu kasih tahu aja mana yang
[Kristal. SMA kelas dua.]“Kai.”“Kak Kai.”“Gila hormat,” cibir Kristal. “Jalan, yuk.”“Males, ah. Bensinku tiris.”Kristal yang hari itu merasa bosan tapi tidak ke mana-mana karena Hafi dan Renjana yang sibuk dengan ekskul dan pekerjaan mereka, akhirnya nekat mengajak Kai yang hari ini mampir lagi ke rumahnya untuk pergi keluar.“Belilah.” Kristal memutar kedua bola matanya. “Ya udah, aku beliin, deh. Tapi, ayo, jalan. Aku belum bisa nyetir mobil, kalau bisa juga aku nggak bakal ngajak kamu.”Kai akhirnya menyerah dan Kristal langsung meminta izin pada Julia. “Ma, Tata pergi dulu sama Kai, ya.
Rumah kala itu terasa ramai karena di Kamis malam, Petra, Julia, Barata, dan Sonya datang untuk makan malam di rumah Kai dan Kristal. Orangtua mereka memutuskan untuk datang ke sana karena tidak ingin membuat Kristal kelelahan untuk pergi setiap akhir pekan ke Menteng dan Kelapa Gading.“Jadi kamu udah mulai renovasi kamar buat anak kamu?” tanya Julia saat para perempuan itu duduk setelah makan malam di ruang tengah.Sedangkan para lelaki memilih untuk bermain catur dan membicarakan urusan perusahaan di teras samping sambil menikmati kopi.“Iya.” Kristal hampir keceplosan menyebut kamar tersebut dulu adalah kamarnya.Sekalipun orangtua mereka dulu tahu kalau hubungannya dengan Kai tidak harmonis, tapi tentu saja keempatnya tidak tahu kalau ia dan Kai sempat pisah ranjang.
Kai dan Kristal benar-benar mencicil pekerjaan mereka untuk memindahkan barang-barang dari kamar Kristal. Semua baju, tas, sepatu, dan aksesoris lainnya sudah rapi di walk-in-closet kamar utama.Buku-buku sudah berpindah di rak buku yang ada di kamar, ruang santai lantai dua, dan perpustakaan sekaligus ruang kerja di lantai satu.Kadang Kai dan Kristal mengerjakannya berdua, walau Kai lebih banyak meminta Kristal duduk dan hanya mengatakan padanya yang mana yang harus dibawa ke mana.“Sayang,” tegur Kai penuh dengan peringatan saat Kristal mencoba mengangkat kotak berisi beberapa koleksi tasnya dari walk-in-closet, tiga hari lalu. “Itu berat.”“Tapi nggak terlalu berat, kok.” Kristal mencoba meyakinkan Kai.Walau kekhaw
“Terima kasih, Pak.” Kai tersenyum pada pemilik toko martabak langganannya dan Kristal, sebelum kembali ke mobilnya yang terparkir di tepi jalan.Kai masuk ke mobilnya dan meminta sopir untuk segera kembali jalan. Aroma martabak yang diidamkan istrinya sejak pagi tadi mulai memenuhi sekeliling mobil. Namun, Kai tidak masalah, senyum Kristal saat ia pulang nanti adalah hal yang setimpal dengan sekotak martabak ini.Begitu mobil berhenti di halaman rumahnya, Kai segera turun dengan kantong plastik dan briefcase di kedua tangannya.“Sayang,” panggil Kai begitu tiba di ruang tamu. Lelaki itu terus berjalan ke ruang tengah karena mendengar suara televisi yang masih menyala.
“Sayang, kamu belum mau liat-liat baju buat si Kakak?”Pertanyaan Kai membuat Kristal yang tadinya sedang melihat website Sephora untuk request makeuppada Hafi, jadi terhenti karenanya. “Baru tiga bulan, Mas.”“Iya, sih.” Kai mengangguk pelan. “Tapi kayaknya lucu nggak, sih, kalau kita mulai cicil baju bayi?”Kristal terkekeh pelan dan meninggalkan iPad Kai yang tadinya ia pinjam di atas meja.“Mas, baju bayi tuh kepakenya cuma sebentar, lho. Kan, makin lama dia makin gede. Kalau kita beli dari sekarang, nanti yang ada pas Kakak baru lahir, stok bajunya udah hampir setengah baju kita.”Kai yang baru sadar setelah mendengar ucapan Kristal langsung terkekeh malu. Ia menggaruk tengkuknya ya
Hari ini adalah kunjungan rutin Kristal ke dokter kandungan. Dan seperti biasa, Kai tentu menemaninya. Lelaki itu tidak pernah meninggalkan Kristal pergi sendiri di jadwal kunjungan rutinnya.Kristal merasa excited karena hari ini akan menyapa anaknya lewat USG dan mendengarkan apa kata dokter mengenai kandungannya, tapi ada sedikit keresahan yang muncul sejak semalam.Walaupun begitu, ia berusaha baik-baik saja di depan Kai karena tidak ingin membuat suaminya khawatir. Hanya saja usahanya digoyahkan dengan apa yang ia dapati pagi ini.“Sayang.” Panggilan Kai diiringi ketukan di pintu kamar mandi. “Tumben lama? Kamu nggak pingsan, kan?”“Nggak, kok.” Gema suaranya menyamarkan su