“Maaf, Tuan, tapi mulai hari ini Anda tidak bisa menempati ruangan ini lagi.” Tampak kerutan di kening Archer ketika ia mendengar ucapan tak masuk akal itu. Ia lantas berbalik badan menghampiri meja Arinda. “Apa maksudmu?” Suara dingin itu membuat Arinda semakin menunduk. Jari jemarinya yang terasa dingin saling bertaut di depan tubuhnya. “Katakan kenapa kamu melarangku untuk masuk?!” seru Archer dengan penuh emosi. Tubuh Arinda berjengit kaget. “Ka-karena… mulai hari ini… Jabatan CEO Tiger Corp sudah diambil alih, Tuan.” “Apa?” Archer tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Siapa yang melakukannya?” Arinda memejam sejenak sembari mengambil napas dalam-dalam, lalu menjawab, “Dewan Komisaris, Tuan. Saya tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi, tapi tadi pagi-pagi sekali para komisaris mengadakan rapat tertutup, lalu tidak lama setelah itu semuanya mendadak berubah. Pengumuman pergantian CEO sudah tersebar di website dan media sosial perusahaan. Itu sebabnya kami… tidak bisa… meng
Bau obat-obatan bercampur aromaterapi beraroma rose, menyapa indra penciuman Feli ketika kelopak matanya terbuka. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa saat ini berada di ruang perawatan rumah sakit.“Ma?” lirih Feli saat mendapati ibunya duduk di kursi, di samping ranjang.Kelopak mata Leica seketika terbuka. Ia terkejut sekaligus senang dalam waktu bersamaan kala melihat Feli sudah siuman di hari kedua ia dirawat."Sayang, apa yang kamu rasakan sekarang? Mana yang terasa sakit?" Leica tak mampu menyembunyikan kekhawatiran yang tergambar di wajahnya.Feli terdiam. Lalu menggeleng lemah dan bergumam, "Aku juga nggak tahu apa yang aku rasakan sekarang, Ma." Mata Feli mengerjap pelan, menatap sang ibu dengan tatapan lemah. "Tapi kayaknya nggak ada yang sakit deh."Tangan Leica terulur, menyingkirkan helaian rambut Feli dari dahinya dengan lembut. “Kenapa tidur terlalu lama, hem?” Mata Leica memicing sembari meraih tangan hangat Feli dan menggenggamnya. “Kamu sudah bikin Mam
Kedua pria yang sama-sama gagah dan tampan itu duduk saling berhadapan. Saling tatap dengan sorot mata yang berbeda. Nicko dengan perasaan marahnya. Axl dengan perasaan bersalahnya yang tak dapat ia jabarkan dengan kata-kata semenyesal apa ia atas perlakuan putranya. “Kami sudah berhasil meringkus keempat orang tersangkanya, Tuan,” ucap asisten pribadi Axl yang baru saja menghampiri mereka. Axl memutus kontak matanya lebih dulu, lalu mendongak pada pria berjas hitam bernama Matheo di sampingnya itu. Pria yang masih setia mendampinginya meski usianya tak lagi muda. Namun, kemampuan Matheo dalam bertarung, memecahkan masalah dan me-manage apapun yang berkaitan dengan pekerjaan Axl, tak usah diragukan lagi. “Siapa mereka?” tanya Nicko dengan tak sabaran, bahkan membuat Axl yang sudah membuka mulut untuk bicara, langsung mengatupkan mulutnya lagi. Matheo mengalihkan tatapannya ke arah Nicko. “Mereka orang suruhan Vandalas.” “Vandalas?” Axl mengerutkan kening. “Bukannya itu kelompok ma
Pria berpakaian casual itu menenteng sebuah paper bag. Ia menyempatkan diri untuk menghela napas berat. Sebelum kemudian memasuki sebuah toko tempat penjualan barang-barang bekas.Sial.Harga dirinya benar-benar jatuh sejatuh-jatuhnya. Ia yang tak pernah pusing memikirkan uang, kini malah berurusan dengan hal-hal yang menurutnya sangat memalukan, seperti menjual barang pribadinya.Tidak ada yang bisa dimintai tolong untuk melakukan ini. ART, satpam dan sopir semuanya sudah beralih ke mansion orang tuanya. Mereka dilarang untuk bekerja dengannya. Sedangkan Dewi—baby sitter Kimberly, sudah pindah ke rumah Nicko.“Kondisi barangnya masih bagus.” Archer mengeluarkan dua koleksi jam tangan branded-nya dan sepatu pantofel impor. “Baru saya pakai sekitar….” Ia berpikir sejenak. “Dua atau tiga kali.”Pria tua berwajah khas Negeri Bambu itu memakai kacamatanya, dengan wajah miring-miring dia mengamati setiap inci jam tangan dan sepatu tersebut. Kemudian tercengang.“Ini asli! Original!” seruny
Ternyata begini rasanya. Ketika seorang ayah tidak memiliki uang tapi ingin sekali membahagiakan putri tercintanya. Ia tidak memikirkan bagaimana kehidupannya ke depan dengan uang yang pas-pasan, yang terpenting untuk saat ini adalah kebahagiaan Kimberly.Jadi Archer mengiakan saja apapun keinginan anak itu. Membeli berbagai macam mainan. Makan di restoran kesukaan Kimberly. Dan menghabiskan waktu di tempat bermain anak-anak yang ada di salah satu mall terkenal.Kedua tangan Archer penuh oleh paper bag. Sementara dirinya pun harus menggendong anak itu di pangkuannya. Itu tak masalah. Menghabiskan waktu bersama dari siang hingga sore membuat hatinya terasa bahagia.“Papi mau ikut pulang ke rumah grandpa, ‘kan?” Kimberly duduk di pangkuan Archer saat taksi sudah melaju menuju rumah Nicko.Archer memandangi iris hazel Kimberly dalam-dalam. Mata itu mengingatkannya pada mata Feli. Dan setiap kali mengingat Feli, sudut hati Archer selalu terasa nyeri dan sesak.“Nggak, Sayang. Papi harus b
Titipan?Archer mendengus tatkala teringat akan kata-kata yang diucapkan ayahnya tempo hari.Ia tahu, ayahnya menitipkan perusahaan itu kepadanya. Tapi harta dan aset atas namanya tentu saja itu hasil usahanya sendiri. Bahkan, karena kerja kerasnya selama menjabat sebagai CEO di Tiger Corp, keuntungan perusahaan itu meningkat semakin pesat.Kini Archer menatap bangunan dua tingkat di hadapannya. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Ini akan cukup menampung seratus orang para penikmat kopi dalam satu waktu.Sebagai pebisnis yang tak bisa mendiamkan otaknya terlalu lama, akhirnya Archer memutuskan untuk membuka usaha kecil-kecilan—coffee shop, di tempat ini, bangunan yang baru saja ia sewa beberapa hari yang lalu.Kebetulan tempo hari Tevin menawarkan bantuan modal kepadanya, jadi ia tak melewatkan kesempatan untuk menerima tawaran tersebut.Dalam beberapa hari saja Archer sudah berhasil membuat perencanaan usaha dengan matang. Ia kerjakan semuanya sendiri. Lalu mempeker
[“Bisa lihat ke luar sekarang? Aku… merindukanmu.”]Archer menekuri layar ponselnya yang menampilkan sebaris pesannya tersebut untuk Feli. Masih ceklis dua abu-abu.Ia menghela napas berat. Kemudian mendongak, menatap jendela kamar Feli dengan tatapan penuh harap. Entah sudah berapa lama ia berdiri di sini, di depan rumah Nicko. Awalnya Archer iseng memasuki gerbang yang menjulang tinggi itu, tapi ternyata satpam dan beberapa orang bodyguard tidak melarang.Hanya saja, ketika Archer akan mendekati pintu rumah dan memintanya agar diizinkan masuk, para bodyguard itu menolak mentah-mentah.Kesabaran Archer kian menipis. Rasa rindunya semakin menggebu-gebu. Ada banyak hal yang ingin ia katakan terhadap wanita yang masih berstatus sebagai istrinya itu.Archer lantas menelepon nomor Feli, akan tetapi baru di dering pertama saja panggilannya langsung di reject. Dan saat Archer menghubunginya untuk yang kedua kali, nomor Feli malah tidak aktif.Archer tercenung.Kebencian Feli terhadapnya pas
Archer terkejut mendengar apa yang baru saja ayah mertuanya ucapkan. Ia menggeleng, dengan tegas ia berkata, “Itu tidak akan pernah terjadi, Pa. Meskipun Papa memaksaku, kata cerai tidak akan pernah keluar dari mulutku.”Nicko tersenyum—setengah mendengus mendengarnya. Kepalanya mengangguk-angguk. “Oke. Kita lihat nanti.”Kali ini senyuman Nicko terlihat penuh arti. Archer yang menyadarinya merasa waspada. Ia yakin, ada sesuatu yang direncanakan ayah mertuanya itu. Dan jika memang dugaannya benar, kecil kemungkinan Archer dapat melawan kekuasaan sang ayah mertua. Selain miskin, ia pun sendirian saat ini, tidak ada orang lain yang dapat ia andalkan.Jari jemari Archer terkepal. Apapun yang terjadi, ia tak akan membiarkan Feli jatuh ke tangan Rafi!Di taman belakang, Rafi menatap Feli dengan tatapan khawatir. Raut muka yang dulu selalu ceria dan tegas itu kini terlihat sendu, seperti awan kelabu.“Om Rafi! Tangkap bolanya!”Rafi terkejut. Seketika ia keluar dari keterpakuannya, lalu ter
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”