“Kamu bilang apartemen itu punya keamanan privasi yang tinggi, tapi kenapa dia bisa masuk?” Feli menatap Xavier dengan tatapan penuh tanya.Xavier mendengus pelan. “Dia minta bantuan papa.”Feli terdiam.“Aku akui usahanya memang cukup berani dan dia pantang menyerah,” puji Xavier dengan malas. Tangan kokohnya sibuk pada kemudi. “Tapi aku belum puas memberi dia pelajaran. Kalau Kakak butuh bantuan untuk melenyapkan dia dari muka bumi ini, bilang saja padaku.”Feli berdecak lidah sembari menonjok lengan kekar Xavier. “Nanti kamu kebingungan sendiri kalau Kimmy nanya ke mana papanya pergi.” Ia terkekeh hambar. Yah, walaupun Feli membenci pria itu tapi ia tak lupa ada Kimberly yang butuh sosok ayah.Xavier baru akan menimpali ucapan kakaknya saat Kimberly tiba-tiba terbangun di kursi khusus anak di belakang.“Mami, kita di mana? Aku lagi mimpi naik mobil ya, Mi?” Kimberly mengucek matanya lalu menggeliat sambil menguap.Feli menoleh ke belakang dan menjulurkan satu tangannya untuk mengel
“Sayang, kamu hamil, Nak?”Feli menggigit bibir bawahnya ketika melihat orang tuanya nampak terkejut mendengar ucapan Archer. Feli bisa melihat sorot mata ibunya yang tampak berbinar-binar.“Ma, itu… sebenarnya aku belum—”“Feli sepertinya masih belum percaya sepenuhnya pada hasil testpack, Ma, makanya lebih baik kita pastikan di dokter saja,” sela Archer dengan cepat, seolah-olah tidak mau memberi kesempatan pada Feli untuk berbicara.Mata Feli melotot pada Archer. Dari mana pria itu tahu tentang kehamilannya dan kenapa tahu mengenai hasil testpack?“Menurut Papa lebih baik periksakan dulu ke dokter, supaya jelas apa benar hamil atau nggak,” timpal Nicko dengan tenang.“Tapi kalau di testpack sudah menunjukkan garis dua, mana mungkin hasilnya keliru.” Leica menimpali. “Itu sudah pasti hamil, Sayang.”“Ma…,” lirih Feli dengan perasaan yang semakin berkecamuk. Ia berusaha menahan diri agar matanya tidak berkaca-kaca. Kenapa semuanya jadi rumit begini?"Aku belum yakin sepenuhnya sih, M
Keterkejutan nampak jelas di wajah Feli. Ia memejamkan mata sejenak, berusaha mencerna apa maksud dari ucapan Archer barusan. Lalu mengenduskan hidung di dekat tubuh pria itu.Hanya untuk memastikan apakah telinganya yang bermasalah atau justru Archer tengah mabuk sekarang.Akan tetapi Feli tidak mencium aroma alkohol sama sekali di tubuh pria yang amat egois itu.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Archer dengan kening berkerut.“Aku pikir kamu sedang mabuk, tapi ternyata nggak.” Feli menarik wajahnya dari dekat Archer, lalu mundur dua langkah untuk memberi jarak.“Kamu kira aku bercanda mengatakannya?”“Ya, karena seorang Archer nggak mungkin mengeluarkan statement seperti itu, bukan?” Satu sudut bibir Feli terangkat samar. Ia pikir pria itu akan marah setelah mendengar ucapannya, seperti yang sudah-sudah. Namun kali ini berbeda. Archer tampak biasa-biasa saja, membuat Feli curiga kalau Archer punya kepribadian ganda.“Tadi pagi kamu bilang, aku tidak boleh menemuimu sebelum membuat pili
“Besok aja. Sekarang aku sudah lelah.” Feli segera menjauhi Archer lalu keluar dari kamar. Seharian ini kerjaannya hanya diam di rumah, tapi jiwanya benar-benar lelah setelah bertemu dengan Archer malam ini.Kali ini Archer tak memaksa. Ia membiarkan saja Feli melakukan apa yang dia mau.Archer lantas membuka pintu balkon dan duduk di salah satu kursi sambil termenung, sesuatu yang sering ia lakukan ketika pikirannya sedang penuh.Jika boleh jujur, memang bukan sesuatu yang mudah melepaskan Belvina. Kebersamaannya dengan wanita itu sudah terjalin selama hampir 7 tahun. Ada banyak suka dan duka yang mereka jalani bersama.Namun di sisi lain, Archer juga tidak mau melepaskan anak dan calon anaknya begitu saja. Ia menginginkan mereka.Tadi pagi, setelah ia melihat ada testpack yang tergeletak di kamar mandi, di rumah Xavier, Archer langsung pulang ke rumah hanya untuk merenungkan langkah selanjutnya yang harus ia pilih.Archer tentu tahu, jika sampai ayah mertuanya—Nicko, ikut turun tanga
Mata Feli mengerjap, cuma untuk memastikan ia sudah berada di alam nyata ketika melihat pemandangan di hadapannya. Wajah Archer yang tegas dan tampan itu memenuhi ruang pandangnya.Well, Feli tidak mau berdusta, ketampanan Archer memang ada di atas rata-rata. Ia mengerti kenapa Belvina enggan melepaskan Archer dan terus mengikatnya hingga saat ini.Feli mengembuskan napas kasar. Dadanya tiba-tiba sesak menyadari ia tengah berbagi oksigen dengan pria yang selama ini menyakitinya.Entah bagaimana caranya posisi mereka kini menjadi dekat. bahkan Kimberly sudah tidak ada di kamar dan ia tak tahu kapan anak itu terbangun.Ia hendak bangkit. Tapi gerakannya terhenti ketika ia baru sadar lengan Archer melingkar di pinggangnya. Feli lantas mendengus.“Sepertinya kamu sering meluk Belvina pas lagi tidur ya?” cibir Feli dalam gumaman. “Jadi tangannya refleks meluk apapun yang ada di depan kamu karena udah terbiasa.”Namun tiba-tiba Feli ingat, ini bukan pertama kalinya ia bangun dalam posisi se
Feli terdiam. Kalau ia tidak salah ingat, ini pertama kalinya Archer meminta izin saat akan melakukannya. Feli lantas menggenggam lengan kekar Archer yang juga ditumbuhi bulu amat halus yang kini keduanya berlabuh di dadanya. “Archer….” “Hm?” Archer menyahut dengan suara teredam saat bibirnya tenggelam di ceruk leher sang istri. “Boleh?” Feli menggigit bibir bawahnya ketika ia merasakan gelenyar asing menguasai tubuhnya. “Kita belum tahu kondisi kehamilan aku kayak gimana. Apa nggak sebaiknya kita konsultasi dulu sama dokter?” Ini kalimat yang tepat, pikir Feli. Selain karena memang belum tahu kondisi janinnya, di sisi lain pun Feli masih merasa belum siap melayani Archer dengan hati terbuka setelah apa yang terjadi selama ini. Seketika Archer menarik wajahnya lalu terdiam. “Anakku,” gumamnya dengan suara serak, seolah-olah baru sadar pada janin yang tumbuh di rahim Feli. “Apa dia akan baik-baik saja?” “Aku juga belum tahu.” Archer memejamkan matanya sejenak lalu menyugar ra
Feli tak benar-benar tertidur. Ia masih bisa merasakan sentuhan halus jemari Archer di pipinya. Namun ia enggan berhadapan dengan pria itu, jadi Feli tetap pura-pura tidur.“Apa kamu benar-benar melakukannya, Feli?” gumam Archer.Feli mengerti ke mana arah pertanyaan pria itu. Lalu saat itu juga ia membuka kelopak matanya dan menatap Archer lurus-lurus.“Kalau aku bilang aku nggak melakukannya, apa kamu akan mempercayaiku, Archer?”Ada sedikit rasa kecewa di hati Feli ketika Archer hanya terdiam tanpa kata. Seakan-akan pria itu berat sekali untuk mengeluarkan tiga kata ‘aku percaya padamu’.Feli lantas terkekeh lalu mendorong dada Archer agar menjauhinya.“Ayo maju. Lampunya udah hijau.”Archer terpaku melihat kekehan Feli yang menampilkan sederet gigi rapinya. Archer sering melihat tawa itu di masa silam, tujuh tahun lalu. Ketika mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama di Paris. Sebelum akhirnya Feli menghancurkan kepercayaan Archer terhadapnya.“Archer! Kenapa bengong? Ayo maj
“Hai, Baby. Boleh aku duduk di sini?”Feli nyaris tersedak oleh ramen yang tengah ia masukkan ke mulut ketika seseorang tiba-tiba menghampirinya. Feli lantas mendongak, lalu matanya membelalak.“Eden?!!” serunya, terkejut.“Ah… kamu masih ingat namaku rupanya.” Laki-laki yang memakai kemeja kotak-kotak dengan kancing terbuka, yang melapisi kaos putih di dalamnya itu pun terkekeh. “Jadi? Boleh aku duduk di sini?”“Bebas. Kursi itu kosong, kok.”“Thanks. Di mana suamimu?”Mata Feli mengerjap, lalu tersenyum samar. "Lagi di kantor," dustanya. Akan sangat menyedihkan di mata pria itu jika Feli jujur bahwa Archer sedang mengurusi wanita lain saat ini.Golden—yang terbiasa dipanggil Eden, mendecak pelan. Ia mendaratkan bokongnya di kursi, di hadapan Feli. Mata abu-abunya menyipit pada Feli sambil menjawab, “Kamu tahu? Aku patah hati setelah mendengar kabar kamu akan menikah dengan Archer.”Feli meringis mendengarnya. Tapi tak menanggapi kalimat itu dengan serius, karena ia tahu Eden bercand
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”