Archer melangkahkan kakinya seraya menatap layar ponsel, memperhatikan titik merah yang terus maju. Ia berjalan mengikuti ke manapun titik merah itu melaju. Tanpa sepengetahuan Feli, Archer sudah memasang alat pelacak pada gelang yang ia berikan beberapa bulan lalu.Tujuannya agar kejadian seperti di masa lalu—saat Feli diculik Eden, tidak terulang kembali. Dengan terpasangnya alat itu Archer menjadi lebih mudah mencari keberadaan istrinya.Tak disangka, ternyata di saat wanita itu merajuk seperti sekarang pun alat itu sangat bermanfaat. Archer bisa memantau ke manapun istrinya pergi melalui ponselnya.“Sebenarnya apa yang membuatmu marah padaku, Felicia?” gumam Archer seraya menghela napas panjang, ia mendongak, menatap langit dengan perasaan gelisah.Bohong jika ia merasa baik-baik saja saat istrinya bersikap seperti ini. Namun ia berusaha bersikap normal dan memberi ruang bagi Feli untuk merenung. Ia yakin wanitanya itu butuh waktu untuk sendirian sejenak.Archer terus berjalan men
Setelah menghabiskan waktu selama tiga hari di Puncak, Feli dan Archer kembali ke Jakarta bersama mertuanya. Sedangkan Cassie, Lavina dan Aurora tidak ikut pulang. Mereka akan menghabiskan waktu beberapa hari lagi di sana.Sementara itu, sikap Feli terhadap Archer pun belum kembali hangat seperti semula. Feli memang bersikap normal, tapi tidak ada senyuman penuh cinta dan tatapannya yang lembut. Itu membuat Archer tidak bisa duduk dengan nyaman. Archer sulit mendapat ketenangan jika Feli belum memaafkannya.“Sunshine, boleh aku minta tolong?”Feli menoleh ke arah pintu dan mendapati Archer tengah melongokan kepalanya. “Untuk?”“Kancingin kemejaku,” jawab Archer sembari tersenyum kecil.Meski masih enggan untuk berbaikan dengan pria itu, Feli tetap tidak menolak keinginan suaminya. Ia menyelimuti Ernest sebentar, lalu keluar dari kamar bayi itu dan masuk ke kamar utama melalui pintu penghubung.“Nggak bisa ya kancingin baju sendiri?” tanya Feli dengan ekspresi datar, ia berdiri di hada
“Masa lalu memang nggak bisa diubah, Fel. Tapi masa depan bisa memperbaiki kesalahan yang dilakukan di masa lalu.”Kata-kata Binar membuat Feli keluar dari lamunannya. Feli mengalihkan tatapannya dari arah jalanan di luar café, ke arah sahabatnya yang sejak tadi mau mendengarkan keresahan hatinya.“Aku tahu itu, Nar.” Feli menyesap matcha ice blended-nya sejenak. “Tapi bukan kesalahan dia yang bikin aku resah sekarang,” lanjutnya setelah menaruh gelas ke meja.Binar mengerutkan kening mendengarnya. “Terus?”“Mungkin aku terdengar egois.” Feli tersenyum samar. “tapi aku ingin seluruh ruang hatinya hanya diisi olehku.”“So… sekarang kamu menganggap dan takut kalau suamimu masih menyisakan ruang buat cewek yang sudah meninggal itu?”Feli mengangguk. “Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar, Nar. Rasanya aneh aja kalau dia bisa menghilangkan wanita itu begitu saja dari hatinya,” gumam Feli dengan tatapan sendu. “Aku memang nggak bisa mengontrol isi hati seseorang, termasuk suamiku sendiri.
Feli tertegun melihat anak itu memunguti risol miliknya, sesekali anak itu mengelap keringat di dahi dengan lengannya.Tak tega membiarkan dia melakukannya sendirian, Feli lantas berjongkok dan membantu memasukkan risol itu ke dalam keranjang. Beruntung masing-masing makanan itu dibungkus plastik sehingga tidak kotor.“Kamu jualan risol ini?”“Iya, Tante.”“Maaf ya, karena menolong anak Tante kamu jadi mengabaikan barang daganganmu seperti ini,” ujar Feli, sejujurnya ia hanya menebak saja, anak bertubuh kurus ini kemungkinan besar melempar keranjangnya ketika melihat pencuri menyambar tas Kimberly.Dan tebakan Feli tidak salah ketika anak itu menjawab, “Nggak apa-apa, Tante. Ada kejahatan di depan mata saya mana mungkin saya memikirkan diri sendiri.”Feli tercengang mendengarnya. Ia tak menyangka anak sekecil itu bisa berbicara bijak seperti barusan. Padahal jika ditilik dari wajahnya, anak berpakaian hitam lusuh itu mungkin baru berusia sekitar dua belas tahun.“Terima kasih sudah me
“Siapa dia?” bisik Archer setelah mengecup puncak kepala Feli.Alih-alih menjawab, Feli justru terkejut dengan kedatangan suaminya itu. Ia mendongak dan bertanya, “Kenapa kamu ke sini? Bukannya ada meeting?”“Baru aja selesai tiga puluh menit yang lalu. Setelah itu aku langsung ke sini untuk menemui kalian.” Archer menjawab seraya beralih ke kursi Kimberly.“Tapi dari mana kamu tahu kalau aku masih di sini? Kamu nggak tanya dulu ke aku.” Kening Feli mengernyit bingung. Tidak mungkin kalau Archer bertanya kepada Binar, pikirnya.Archer tidak menjawab, ia menggendong Kimberly dan mengecup pipinya bertubi-tubi hingga anak itu tertawa.Feli geleng-geleng kepala melihatnya. Lalu tanpa sengaja ia melihat ekspresi Malik yang tengah memperhatikan Kimberly dan Archer dengan tatapan sendu.Feli mengerti kenapa anak itu terlihat sedih. Dia yatim piatu sehingga mungkin sangat merindukan pelukan orang tuanya.“Papi, tadi tas aku dicuri sama penjahat, terus diselamatkan sama kakak… em… Mami, namany
Bahu Archer terkulai pasrah begitu melihat Feli tidak mengenakan anting pemberiannya. Ia menatap wanita yang sedang berjalan ke arahnya dengan tatapan memelas.“Kamu masih marah,” gumam Archer, tertunduk lesu.“Ini malam, Archer. Masa mau tidur pakai anting panjang begitu?”Seketika Archer mendongak dengan senyuman lebar. “Apa itu artinya kalau sekarang siang kamu mau pakai antingnya?”Feli hanya menatapnya dengan mata disipitkan, lalu berusaha menahan tawa ketika tangan Kimberly tiba-tiba menutupi mata Archer sambil berseru, “Papi nggak boleh lihat Mami! Di sini ada aku, Papi cuma boleh lihat aku!”“Duh, anak Papi posesif banget ya.” Archer menggelitiki perut Kimberly, sampai anak itu tertawa-tawa dan jatuh ke kasur.Buru-buru Feli meraih Ernest karena khawatir tertimpa kakak dan ayahnya yang sedang bercanda sambil bergulingan di kasur. Ruangan kamar yang luas itu dipenuhi gelak tawa Archer dan Kimberly, yang membuat Feli menarik kedua sudut bibirnya ke atas kala memandanginya.Bagai
“Aku akan segera menyusul ke sana sebentar lagi, ini lagi di jalan dan terjebak macet.”Suara lembut Archer di seberang telepon menyapa indra pendengaran Feli. “Kamu sengaja keluar kantor di jam kerja?”“Mm-hm, aku pimpinan perusahaan dan punya hak istimewa, jadi aku bebas melakukan apapun.”Mata Feli merotasi malas. Keangkuhan suaminya sedang kambuh dan ia hanya mendengus menanggapinya. Feli melihat sebuah gang kumuh yang beberapa hari lalu sempat ia datangi, kemudian menyuruh sopir untuk berhenti.“Archer, aku sudah sampai, tutup dulu teleponnya, ya?”Tak ada jawaban, hanya terdengar suara klakson mobil dari kejauhan yang saling bersahutan di seberang telepon.“Archer, kamu dengar suaraku? Aku sudah sampai,” ujar Feli sekali lagi.Tetap tidak ada jawaban. Feli tiba-tiba khawatir lantas mengulangi kata-katanya sekali lagi.“Kamu dengar aku nggak, sih?” rengek Feli dengan gemas.“Hmmm… dengar.” Archer menggumam.“Astaga! Kenapa baru menyahut?!” Feli mendecak kesal, ia melirik ke kursi
“Singkirkan barang itu dan berhenti merekamku!” desis pria itu lagi dengan tajam.Tangan Dania terlihat bergetar, pecut di tangan lelaki itu membuatnya ketakutan.“Tidak!” tegas Feli dengan berani. Ia mendongak dan menatap lelaki itu dengan sama tajamnya. “Apa yang Anda lakukan pada anak laki-laki barusan akan saya laporkan pada pihak berwajib!” desisnya penuh ancaman. “Jangan mentang-mentang Anda sudah menghidupi anak itu jadi Anda bisa semena-mena memperlakukan—Akh!”“Bu Feli!” pekik Dania ketika lelaki itu menarik lengan Feli dan menyeretnya ke dalam rumah. “Tolong…! Tolong…! Akh…!”Dania juga ikut diseret yang membuat handphone-nya terjatuh entah ke mana. Lelaki itu menghempaskan tubuh Dania ke lantai dan hampir menimpa Feli yang tengah bersimpuh, kemudian lelaki itu mengunci pintu.“Tante Feli!”Seruan Malik membuat Feli menoleh ke arah ruangan lain melalui pintu yang terbuka.Ia terkejut ketika melihat banyak luka lebam di wajah dan kaki anak lelaki itu. Tak hanya Malik, beberap
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”