Archer terkekeh-kekeh setelah mendengar masalah apa yang membuat Xavier marah kepadanya.Xavier menatapnya dengan tajam dan penuh intimidasi. “Kamu menganggap masalah ini sebagai candaan?” Ia mendengus tidak suka.“Masalah ini benar-benar membuatku geli.” Archer berhenti terkekeh, lalu menghela napas berat dan balas menatap Xavier dengan sama tajam. “Jadi kamu datang ke sini, lalu tiba-tiba menghajarku, hanya gara-gara masalah ini?”“’Hanya’ kamu bilang?” desis Xavier dengan rahang berkedut. “Video hubunganmu dengan sekretarismu sudah tersebar luas, dan kamu menganggap itu ‘hanya’?” Xavier mendengus, kepalan tangannya terlihat bergetar seakan gatal ingin menonjok kakak iparnya lagi.“Masih beruntung aku tidak langsung memberitahu kakakku mengenai video ini,” lanjut Xavier lagi sembari menunjukkan ponsel di tangan yang satunya lagi. “Dulu kamu bisa menyakiti kakakku sesuka hati. Sekarang?” Xavier menggeleng.
Feli merasakan derap langkah seseorang yang tengah mendekat. Dari aroma parfumnya yang menguar di udara Feli tahu itu suaminya. Feli terdiam saat kedua lengan kekar pria itu melingkari dadanya dari belakang.“Aku ingin bicara sesuatu sama kamu,” gumam Archer seraya menempelkan pipi mereka.Feli tak menjawab. Ia hanya mengembuskan napas dengan berat.“Tapi apapun yang kamu dengar nanti, aku mohon, percaya padaku, ya?”“Mengenai video panas kamu sama mantan sekretaris kamu itu?’Ucapan bernada sinis itu membuat Archer terperanjat. Ia segera membalik tubuh Feli agar menghadapnya. Archer menelan saliva, seakan baru sadar bahwa ekspresi Feli ternyata terlihat… suram.“Kamu sudah tahu tentang gosip itu? Tahu dari mana?”“Tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan kejelekanmu di depanku,” tandas Feli ketus. “Jadi jangan tanya aku tahu dari mana."Kemudian Feli berlalu pergi meninggalkan Archer, begitu saja. Archer hanya bisa menghela napas panjang seraya mengelus dada. Berharap Tuhan memberin
Feli tidak menjawab, tapi juga tidak menolak. Diamnya Feli diartikan sebagai persetujuan oleh Archer.“Oke. Lihat ke sini baik-baik.” Archer memutar video berdurasi tiga puluh detik tersebut, dan beberapa detik kemudian ia menjedanya. “Mau lihat nggak?” Ia menarik dagu Feli lagi saat wanita itu tidak mau menatap layar laptop.Feli mengembuskan napas panjang. Kemudian mengangguk dan memperhatikan Archer yang men-screenshoot potongan video tersebut.Archer membuka galeri foto, lantas memperbesar foto yang barusan ia screenshoot. “Perhatikan bagian ini.” Ia mengarahkan kursor pada papan nama perusahaan berbahan akrilik, terletak di dinding berseberangan dengan sofa. Papan nama itu berwarna hitam mengkilap, berbentuk persegi panjang. Di tengahnya terdapat tulisan “Tiger Corp” yang timbul, berwarna emas.“Aku nggak lihat apa-apa di situ selain warna hitam aja,” gumam Feli.“Kamu lihatnya ke mana memang?”“Semuanya.”Archer merotasi matanya, suatu kebiasaan yang sering dilakukan Feli. Dan y
“Setiap hari bersamamu adalah hadiah terindah dari Tuhan. Terima kasih sudah bersabar menghadapi mood swing-ku yang kayak roller coaster ini :-p.”Feli tersenyum kecil seraya mengetik caption tersebut. Lalu membagikannya di story media sosial, bersamaan dengan foto Archer yang tengah mengecup baby bump-nya.Pipi Feli seketika merona-rona. Ini pertama kalinya ia mem-posting sesuatu yang berhubungan dengan rumah tangganya di media sosial.“Gimana kalau Archer lihat?” gumam Feli dengan mata mengerjap. Oh, tidak! Itu sangat memalukan! Mau ditaruh di mana mukanya kalau suaminya itu membaca caption-nya yang berlebihan itu?Kaki Feli menendang-nendang lantai, menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan. Ia meraih ponselnya yang semula ditelakkan di meja, berniat untuk menghapus story-nya itu. Namun, ketika ingat apa tujuannya membuat postingan tersebut, Feli urung untuk menghapusnya.Ya, tujuannya hanya untuk membuktikan kepada netizen bahwa hubungannya dengan Archer baik-baik saja. Feli ta
“Nanti malam jangan menungguku makan malam, ya? Aku akan lembur lagi,” ujar Archer seraya menatap lekat wajah Feli. Jemari lentik wanita itu sangat terampil mengancingkan kemejanya.“Kamu mau lembur lagi?”Archer mengangguk. “Sabar sebentar lagi, ya.” Tangannya yang semula merangkul pinggang Feli kini beralih mengelus perut buncitnya. “Maafkan aku yang semakin sedikit punya waktu untuk anak-anak kita.”“Hanya sementara,” ucap Feli, berusaha menenangkan. Sekarang ia beralih memasang dasi motif salur di leher suaminya. “Aku dan anak-anak akan mengerti, kok.”Archer tersenyum. Kepalanya menunduk, jemarinya menjepit dagu Feli, lantas memberikan pagutan lembut pada bibirnya. Feli sempat terkejut, tapi tak butuh waktu lama baginya untuk mengimbangi pagutan pria itu. Tangan Feli mencengkeram kerah kemeja Archer seiringan dengan pagutannya yang semakin dalam.“Terima kasih sudah mau mengerti aku,” bisik Archer dengan suara serak, sesaat setelah tautan bibir mereka terlepas. “Aku janji akan me
“Bodoh! Bisa-bisanya kalian terjebak?!” berang Archer dengan penuh amarah. Sorot matanya berubah tajam seperti ingin menghabisi siapapun yang ada di hadapannya. “Katakan, berapa plat nomor mobil itu?!”Setelah mendapat jawaban dari bodyguard-nya di seberang telepon, Archer segera memutus sambungan secara sepihak. Ia menyambar kunci mobil dari meja.“Tuan, ada apa?” tanya Vicky penasaran. Tidak pernah ia melihat Archer semarah itu sebelumnya.“Feli dibawa pergi oleh polisi gadungan. Aku akan menyusul. Kamu segera hubungi Jack untuk melacak ke mana mobil itu pergi. Terakhir mobil itu terlihat di sekitar Jakarta Barat. Detail alamatnya akan dikirimkan padamu.” Archer menuliskan plat nomor mobil pelaku pada secarik kertas dengan tangan gemetar. “Ini plat nomor mobilnya. Selain itu cek juga GPS yang sudah aku pasang di mobil yang ditumpangi istriku,” pungkas Archer, sebelum akhirnya ia bergegas pergi sambil berlari.Raut wajahnya terlihat tegang. Ia sama sekali tidak menggubris para karyaw
Feli terhenyak ketika merasakan sesuatu yang lembab di lehernya. Ia memberontak, mendorong bahu Eden, menarik rambut pria itu dengan kasar sambil berteriak, tapi Eden sama sekali tidak terganggu sedikit pun dan malah semakin buas memangsa Feli.Air mata Feli seketika mengalir dengan deras. Ia tidak sudi disentuh lelaki lain. Dirinya kini merasa kotor dan hina. Feli menangis sekencang-kencangnya ketika bibir Eden turun ke dada dan kembali naik ke leher. Sementara tangan pria itu meraba-raba pahanya.“Kamu biadab, Eden!” teriak Feli di tengah-tengah tangisannya. Pipinya telah dibasahi air mata. Tangannya tak berhenti memberontak meski sia-sia. “Kamu bersengsek! Aku membencimu! Seumur hidup aku akan membencimu! Aaargh...! Archer, tolong aku!” teriak Feli lagi sembari memanggil nama suaminya meski sangat mustahil Archer akan mendengar.Eden semakin buas, tenaga Feli yang lemah tak mampu melawan pria itu selain berteriak dan memukuli kepalanya.Hatinya benar-benar hancur ketika dadanya mul
Ucapan Eden selanjutnya membuat tubuh Feli bergetar ketakutan.“Aku akan melakukan apa yang kamu lakukan pada anakku di masa lalu,” desis Eden sembari tersenyum miring. “Bersiaplah untuk kehilangan anakmu lagi.”Kaki Feli tremor. Ingatan tentang betapa mengerikannya malam itu, malam ketika perutnya dihantam tongkat baseball, seketika memenuhi seisi kepala. Feli mulai keringat dingin, ia memeluk perutnya sendiri sambil bergumam dengan bibir bergetar, “Tidak… jangan ambil anakku lagi. Dia nggak bersalah. Semuanya salahku, ambil saja aku, jangan anakku….”Bunyi deru mesin mobil yang terdengar keras, membuat Feli tersadar bahwa Eden sudah masuk ke dalam mobilnya. Eden sendiri yang mengemudikan mobil itu.Perlahan mobil itu mendekat ke arahnya. Air mata Feli tak berhenti mengalir. Tubuhnya semakin bergetar hebat, rasa sakit akibat pukulan baseball kembali terasa, membuat lututnya terasa lemas dan lehernya nyaris tercekik.Feli tahu, saat ini dirinya harus berlari ke pinggir untuk menghinda