Feli berjalan mondar-mandir di taman sembari menempelkan ponsel di telinga. Ia sedang menghubungi Archer, meminta penjelasan atas apa yang terjadi.Namun, nomor Archer tidak aktif. Itu membuat kecurigaan Feli semakin menjadi-jadi. Bagaimana jika memang benar saat ini Archer sedang menghabiskan malam dengan Andita, sehingga Archer sengaja mematikan ponselnya?Feli menggigit bibir bawah dengan perasaan tak karuan.Kemudian ia menghubungi nomor telepon Vicky. Tersambung. Sayangnya, Vicky tidak mengangkat panggilannya.“Kenapa malam-malam di sini, Nak? Nggak tidur?”Suara lembut Leica membuat Feli menoleh ke belakang dan mendapati ibunya sedang menghampirinya. Feli memasukkan ponsel ke saku cardigan.“Belum ngantuk, Ma,” jawab Feli seadanya. “Mama juga kenapa malam-malam ke sini? Bukannya temenin Papa.”Leica terkekeh. “Papamu bukan anak kecil yang harus selalu ditemani.”“Tapi sikap Papa kadang lebih kekanakkan daripada anak kecil,” gerutu Feli, lalu duduk di sebuah kursi taman, di sampi
[“Aku mencintaimu, Sunshine. Angkat panggilanku.”][“Maaf. Semalam handphone aku mati karena lupa nge-charge. Please angkat.”][“Kamu nggak tahu seberapa besar kerinduanku padamu, Fel? Sekali lagi aku bilang, angkat panggilanku!”][“Kenapa nggak diangkat-angkat? Kamu marah padaku?”][“Fel….”][“Felicia?”][“Kenapa kamu menghindariku?”][“Aku bisa mati karena merindukanmu.”]Feli mendengus membaca rentetan pesan yang Archer kirimkan sejak pagi tadi hingga sore ini. Feli baru membukanya sekarang tapi ia tidak berniat membalasnya.Ia menaruh ponsel ke meja dan menyesap espresso-nya perlahan-lahan. Ia baru selesai meeting dan memilih menghabiskan waktu di café butik sendirian.Seorang pelayan menghampirinya, membawa seporsi pasta yang ia pesan. Tak lupa Feli mengucapkan terima kasih pada salah satu pegawainya itu.“Bu Feli… sakit?” tanya gadis yang memakai celemek berlogo café, dengan ragu-ragu.Feli tersenyum, menggeleng. “Nggak, kok. Apa aku terlihat seperti orang sakit?”“Em… iya, Bu F
“Gimana aku bisa bertahan sampai nanti malam, kalau sejak kemarin kamu membuatku nggak bisa tidur?!”Feli terdiam. Ia melihat Archer menghampirinya dengan raut muka yang tampak kelelahan. Namun tergambar kekhawatiran dan kepanikan dalam ekspresi pria itu.Archer menempelkan punggung tangan di kening Feli. “Kamu demam. Kita ke rumah sakit!”“Nggak usah!” cegah Feli, yang membuat Archer urung untuk mengangkat tubuhnya.Satu alis Archer terangkat. “Kenapa nggak usah? Kamu demam, Fel.”Feli menggeleng. “Aku ingin di rumah aja. Minum obat juga nanti sembuh kok. Aku nggak mau ke rumah sakit.”“Fel….”“Please!”Akhirnya Archer terpaksa mengalah, ia mengangguk seraya mengembuskan napas kasar. Kemudian duduk di tepian ranjang dan merundukan badan untuk memeluk sang istri.Feli sempat memberontak dan mendorong dadanya, tapi Archer tak ingin menyerah dan terus mendekap tubuh ramping itu.“Aku merindukanmu,” bisik Archer, “tadinya aku akan memarahimu karena mengabaikan panggilan dan pesanku dari
Pagi itu Feli terbangun dengan kondisi tubuh yang terasa jauh lebih baik. Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Persendiannya pun terasa lebih rileks dan ringan. Ia menggeliat, kedua tangannya terangkat ke atas. Namun, tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu yang keras.Feli mendongak. Tiba-tiba ia terkesiap kala melihat Archer tertidur dengan posisi duduk, bersandar pada headboard. Di tangannya tergenggam alat kompres yang basah.Seketika Feli tertegun. Ingatannya kembali terlempar pada kejadian kemarin sore. Tevin memerika kondisi tubuhnya lalu memberi obat. Demamnya semakin tinggi saat malam hari tiba, tapi samar-samar Feli ingat kalau Archer mengompresnya dan terus mengganti alat kompresan itu.‘Apa dia nggak tidur semalaman?’ batin Feli seraya bangkit duduk dengan perlahan. Ditatapnya Archer dengan bibir sedikit cemberut. Ia kesal pada pria itu, tapi juga kesal pada dirinya sendiri yang bersifat kekanakkan seperti ini.Karena tak ingin membangunkan Archer, Feli akhirnya turun dar
Feli tidak bisa fokus dengan pekerjaannya. Perasaannya campur aduk. Antara kesal dan ingin mengusir Archer. Feli sendiri tidak tahu kenapa emosinya bisa kekanakkan dan labil seperti ini. Padahal biasanya ia memiliki pengendalian diri yang baik, hingga sanggup menahan emosi yang menyakitkan sekalipun.“Mau sampai kapan duduk di situ? Kamu CEO, punya kantor dan ruangan sendiri.” Feli akhirnya tak tahan untuk tidak bersuara setelah sekian menit saling diam.“Sampai istriku berhenti marah,” jawab Archer, tanpa mengalihkan pandangan dari laptop di pangkuannya.Feli tak menimpali lagi. Ruangan kembali terasa hening, hanya bunyi tuts keyboard yang terdengar mendominasi.Tiba-tiba Feli melihat Archer menaruh laptop di meja dan berdiri.“Mau pergi ke kantormu?”“Bukan. Mau ke pantry, bikin kopi.” Archer menoleh sembari tersenyum kecil. “Kenapa kamu ingin sekali aku pergi dari sini, hem?”Seketika Feli terdiam dan tak memberi tanggapan apapun. Archer berjalan menuju pintu, Feli merasa telah men
Rahang Archer mengetat kala melihat layar ponsel yang masih digenggam tangan sang istri. Ia menghela napas berat. Kemudian menggenggam tangan Feli yang terjulur ke arahnya dan meraih ponsel itu. “Duduk dulu. Biar emosimu agak tenang sedikit.” Archer menarik lembut tangan istrinya itu. Namun, dengan cepat Feli menepisnya. “Aku butuh penjelasan! Bukan duduk!”“Iya, nanti aku jelasin,” timpal Archer dengan sabar. “Gimana aku mau jelasin kalau kamunya berdiri begitu, hem? Kan nggak enak ngobrol sambil berdiri.” “Jangan basa-basi!” Feli mendelik. “Sudah cukup selama ini aku bersabar menghadapimu berhubungan dengan Belvina. Sekarang, saat kamu punya affair dengan sekretarismu aku nggak bisa diam begitu saja dan menerima semua—Akh!” pekik Feli tiba-tiba saat Archer menariknya hingga ia terjatuh di atas pangkuan pria itu dengan posisi menyamping. “Selain saat kita sedang bercinta, saat sedang marah juga ternyata kamu terlihat semakin cantik,” goda Archer dengan senyuman hambar. Terlihat j
Sampai malam harinya Feli masih belum bisa bersikap baik kepada Archer. Entah mengapa, sebagian dari dirinya menyuruhnya untuk tidak percaya begitu saja pada penjelasan Archer siang tadi. Meski Archer berjanji akan menjauhkan wanita itu dari kehidupannya, tapi ternyata itu tak benar-benar membuat Feli seratus persen percaya bahwa tak ada apapun yang terjadi selama di Surabaya.“Aku tahu kamu belum mempercayaiku.”Suara Archer yang baru saja keluar dari kamar mandi, membuyarkan lamunan Feli yang terduduk di tepian ranjang.“Tumben kamu peka,” jawab Feli, masih dengan suara yang sedikit ketus.Archer tersenyum kecil. Tubuhnya yang dibalut kaos oblong dan celana selutut, mendekati sang istri. “Aku akan memberimu bukti besok pagi bahwa penjelasanku tadi siang nggak bohong, Sunshine.”Feli terdiam. Ia memang ingin bukti nyata yang bisa meyakinkannya seratus persen bahwa Archer masih layak untuk ia berikan kepercayaan.“Mau apa dengan dasi itu?!” Mata Feli membelalak saat melihat Archer men
Sebuah rekaman CCTV yang dikirimkan Archer menarik perhatian Feli yang tengah berkutat dengan pekerjaan. Ia meninggalkan pekerjaannya demi membuka video tersebut.Itu rekaman CCTV yang diambil di lorong hotel. Terlihat Vicky yang masuk lebih dulu ke ruangan 601, lalu disusul Archer setelahnya. Tiga menit kemudian barulah Andita masuk.Ternyata Andita tidak lama ada di ruangan Archer. Lima menit kemudian wanita itu keluar lagi. Sementara Vicky cukup lama menghabiskan waktu bersama Archer.[“Masih kurang buktinya? Cek lagi video timelaps di bawah. Yang ini lebih lengkap.”]Pesan dari Archer beriringan dengan video berikutnya yang berdurasi lebih panjang. Kali ini diambil di lorong yang menuju ke ruangan Andita. Terlihat Andita memasuki kamar 502. Ternyata Andita menginap di kamar biasa, bukan presidential suite.Tak ada yang aneh dalam rekaman itu, hanya tamu-tamu di kamar sekitarnya yang terlihat keluar masuk lift.Namun, Feli dengan sabar menunggu. Sampai akhirnya ia melihat seorang p