“Kamu pesan makanan online?”Feli yang tengah merebahkan kepala di bahu Nicko, seketika menggeleng. “Nggak. Kenapa, Pa?”“Tuh.”Wanita berambut dicepol itu mengikuti arah pandang sang ayah, ke arah pintu gerbang. Saat ini mereka ada di balkon lantai dua. Di gerbang itu ada sebuah ojek online yang memakai helm dan jaket warna hijau. Sedang bicara pada satpam.“Noah atau Nolan kali, Pa.” Feli merebahkan kepalanya lagi di bahu pria itu. Tempat ternyaman bagi Feli sebelum ada Archer.“Anak Papa makin tua aja ternyata ya, pelupa.” Nicko menyentil dahi Feli, yang membuat perempuan itu mendelik tajam. “Kamu lupa? Mana mungkin mereka mau ngeluarin uang kalau ada di rumah.”Feli tertawa kecil. “Iya juga, ya. mereka nggak mau rugi. Pasti selalu minta uang ke Papa atau Xavier.” Ia mendongak, menatap wajah Nicko yang dihiasi bulu halus di rahang yang sudah sedikit memutih. “Xavier bilang ke Papa kapan dia akan pulang dari Paris?”Nicko mengedikkan bahu. “Anak itu makin hari makin sulit dikendalik
“Bu Feli, sudah lihat situs gosip dari beberapa hari yang lalu?”Feli yang tengah berjalan sembari memeluk tablet di tangan kiri dan memegangi coffee cup di tangan kanan, langsung menoleh pada Dania di sebelahnya. “Tentang?”Dania mengulum senyum menggoda. “Bu Feli dan Tuan Archer. Ugh! kalian terlihat mesra sekali. Langsung jadi trending topic sejak awal kemunculan gosip itu.”Feli meringis. Ia menyesap kopinya perlahan sembari berjalan keluar dari ruang meeting. Baru saja Feli bertemu dengan Brand Ambassador butiknya, yang merupakan seorang influencer terkenal.“Iya, aku udah tahu, kok.”“Bu Feli nggak mau gitu ngecek akun ig-nya Bu Feli?”“Kenapa emang?”“Astaga, Bu….” Dania merotasi matanya. “Foto-foto Bu Feli sama Tuan Archer itu masuk ke ig-nya Miss Lambe. Akun Bu Feli udah tersebar di kolom komentar karena mereka penasaran. Pasti banyak deh yang minta pertemanan ke akunnya Bu Feli.”Awalnya Feli tidak akan menghiraukan ucapan Dania, tapi setelah ia masuk ke ruangannya dan duduk
Feli berjalan mondar-mandir di taman sembari menempelkan ponsel di telinga. Ia sedang menghubungi Archer, meminta penjelasan atas apa yang terjadi.Namun, nomor Archer tidak aktif. Itu membuat kecurigaan Feli semakin menjadi-jadi. Bagaimana jika memang benar saat ini Archer sedang menghabiskan malam dengan Andita, sehingga Archer sengaja mematikan ponselnya?Feli menggigit bibir bawah dengan perasaan tak karuan.Kemudian ia menghubungi nomor telepon Vicky. Tersambung. Sayangnya, Vicky tidak mengangkat panggilannya.“Kenapa malam-malam di sini, Nak? Nggak tidur?”Suara lembut Leica membuat Feli menoleh ke belakang dan mendapati ibunya sedang menghampirinya. Feli memasukkan ponsel ke saku cardigan.“Belum ngantuk, Ma,” jawab Feli seadanya. “Mama juga kenapa malam-malam ke sini? Bukannya temenin Papa.”Leica terkekeh. “Papamu bukan anak kecil yang harus selalu ditemani.”“Tapi sikap Papa kadang lebih kekanakkan daripada anak kecil,” gerutu Feli, lalu duduk di sebuah kursi taman, di sampi
[“Aku mencintaimu, Sunshine. Angkat panggilanku.”][“Maaf. Semalam handphone aku mati karena lupa nge-charge. Please angkat.”][“Kamu nggak tahu seberapa besar kerinduanku padamu, Fel? Sekali lagi aku bilang, angkat panggilanku!”][“Kenapa nggak diangkat-angkat? Kamu marah padaku?”][“Fel….”][“Felicia?”][“Kenapa kamu menghindariku?”][“Aku bisa mati karena merindukanmu.”]Feli mendengus membaca rentetan pesan yang Archer kirimkan sejak pagi tadi hingga sore ini. Feli baru membukanya sekarang tapi ia tidak berniat membalasnya.Ia menaruh ponsel ke meja dan menyesap espresso-nya perlahan-lahan. Ia baru selesai meeting dan memilih menghabiskan waktu di café butik sendirian.Seorang pelayan menghampirinya, membawa seporsi pasta yang ia pesan. Tak lupa Feli mengucapkan terima kasih pada salah satu pegawainya itu.“Bu Feli… sakit?” tanya gadis yang memakai celemek berlogo café, dengan ragu-ragu.Feli tersenyum, menggeleng. “Nggak, kok. Apa aku terlihat seperti orang sakit?”“Em… iya, Bu F
“Gimana aku bisa bertahan sampai nanti malam, kalau sejak kemarin kamu membuatku nggak bisa tidur?!”Feli terdiam. Ia melihat Archer menghampirinya dengan raut muka yang tampak kelelahan. Namun tergambar kekhawatiran dan kepanikan dalam ekspresi pria itu.Archer menempelkan punggung tangan di kening Feli. “Kamu demam. Kita ke rumah sakit!”“Nggak usah!” cegah Feli, yang membuat Archer urung untuk mengangkat tubuhnya.Satu alis Archer terangkat. “Kenapa nggak usah? Kamu demam, Fel.”Feli menggeleng. “Aku ingin di rumah aja. Minum obat juga nanti sembuh kok. Aku nggak mau ke rumah sakit.”“Fel….”“Please!”Akhirnya Archer terpaksa mengalah, ia mengangguk seraya mengembuskan napas kasar. Kemudian duduk di tepian ranjang dan merundukan badan untuk memeluk sang istri.Feli sempat memberontak dan mendorong dadanya, tapi Archer tak ingin menyerah dan terus mendekap tubuh ramping itu.“Aku merindukanmu,” bisik Archer, “tadinya aku akan memarahimu karena mengabaikan panggilan dan pesanku dari
Pagi itu Feli terbangun dengan kondisi tubuh yang terasa jauh lebih baik. Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Persendiannya pun terasa lebih rileks dan ringan. Ia menggeliat, kedua tangannya terangkat ke atas. Namun, tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu yang keras.Feli mendongak. Tiba-tiba ia terkesiap kala melihat Archer tertidur dengan posisi duduk, bersandar pada headboard. Di tangannya tergenggam alat kompres yang basah.Seketika Feli tertegun. Ingatannya kembali terlempar pada kejadian kemarin sore. Tevin memerika kondisi tubuhnya lalu memberi obat. Demamnya semakin tinggi saat malam hari tiba, tapi samar-samar Feli ingat kalau Archer mengompresnya dan terus mengganti alat kompresan itu.‘Apa dia nggak tidur semalaman?’ batin Feli seraya bangkit duduk dengan perlahan. Ditatapnya Archer dengan bibir sedikit cemberut. Ia kesal pada pria itu, tapi juga kesal pada dirinya sendiri yang bersifat kekanakkan seperti ini.Karena tak ingin membangunkan Archer, Feli akhirnya turun dar
Feli tidak bisa fokus dengan pekerjaannya. Perasaannya campur aduk. Antara kesal dan ingin mengusir Archer. Feli sendiri tidak tahu kenapa emosinya bisa kekanakkan dan labil seperti ini. Padahal biasanya ia memiliki pengendalian diri yang baik, hingga sanggup menahan emosi yang menyakitkan sekalipun.“Mau sampai kapan duduk di situ? Kamu CEO, punya kantor dan ruangan sendiri.” Feli akhirnya tak tahan untuk tidak bersuara setelah sekian menit saling diam.“Sampai istriku berhenti marah,” jawab Archer, tanpa mengalihkan pandangan dari laptop di pangkuannya.Feli tak menimpali lagi. Ruangan kembali terasa hening, hanya bunyi tuts keyboard yang terdengar mendominasi.Tiba-tiba Feli melihat Archer menaruh laptop di meja dan berdiri.“Mau pergi ke kantormu?”“Bukan. Mau ke pantry, bikin kopi.” Archer menoleh sembari tersenyum kecil. “Kenapa kamu ingin sekali aku pergi dari sini, hem?”Seketika Feli terdiam dan tak memberi tanggapan apapun. Archer berjalan menuju pintu, Feli merasa telah men
Rahang Archer mengetat kala melihat layar ponsel yang masih digenggam tangan sang istri. Ia menghela napas berat. Kemudian menggenggam tangan Feli yang terjulur ke arahnya dan meraih ponsel itu. “Duduk dulu. Biar emosimu agak tenang sedikit.” Archer menarik lembut tangan istrinya itu. Namun, dengan cepat Feli menepisnya. “Aku butuh penjelasan! Bukan duduk!”“Iya, nanti aku jelasin,” timpal Archer dengan sabar. “Gimana aku mau jelasin kalau kamunya berdiri begitu, hem? Kan nggak enak ngobrol sambil berdiri.” “Jangan basa-basi!” Feli mendelik. “Sudah cukup selama ini aku bersabar menghadapimu berhubungan dengan Belvina. Sekarang, saat kamu punya affair dengan sekretarismu aku nggak bisa diam begitu saja dan menerima semua—Akh!” pekik Feli tiba-tiba saat Archer menariknya hingga ia terjatuh di atas pangkuan pria itu dengan posisi menyamping. “Selain saat kita sedang bercinta, saat sedang marah juga ternyata kamu terlihat semakin cantik,” goda Archer dengan senyuman hambar. Terlihat j