Mata Feli seketika terbuka nyalang saat mendengar pertanyaan Archer.Feli melihat pria berjas hitam sedang bersandar pada tepian meja, di samping kursi yang Feli duduki.“Dari mana kamu tahu? Binar yang ngasih tahu kamu?”Archer menggeleng, ia menyerahkan secangkir kopi pada Feli. “Kopi buatanku, sengaja membuatnya untukmu.”“Thanks.” Feli menyeruputnya perlahan-lahan. Dan seperti biasa, kopi buatan Archer tak pernah gagal. “Jadi, dari siapa kamu tahu?”“Belvina.”“Oh.”Seketika Feli terdiam. Raut mukanya mendadak berubah keruh dan kepalanya semakin pusing. Ia menaruh kembali cangkir kopinya ke meja dan hendak berdiri, tapi dengan cepat Archer menahannya agar tetap duduk.“Cuma ‘oh’ doang? Nggak ada tanggapan yang lain?”“Memangnya aku harus bereaksi seperti apa? Menyorakimu karena bisa mengobrol dengan mantan kekasihmu? Begitu?”Archer mengulum senyum. Ia memutar kursi Feli hingga menghadapnya, lalu meletakkan kedua tangannya di lengan kursi tersebut. Badannya merunduk, hingga jarak
“Terima kasih, Sunshine, kamu selalu luar biasa.”Feli mulai terbiasa dengan bisikan lembut itu yang selalu Archer ucapkan akhir-akhir ini, setiap kali mereka selesai bercinta.Dulu? Jangankan berterima kasih, tetap tinggal di ranjang yang sama saja bisa dihitung oleh jari. Archer hampir selalu pergi meninggalkan Feli setelah menuntaskan gairahnya.“Gara-gara kamu, aku jadi harus mengingat aktifitas kita setiap kali melihat sofa ini,” gerutu Feli sembari menurunkan kedua kaki ke lantai, setelah cukup lama ia berada dalam pelukan Archer yang kini masih duduk di sofa dengan tubuh berpeluh.Archer tersenyum kecil dan membantu mengancingkan kemeja satin sang istri. “Itu memang tujuanku, Fel,” timpalnya, “aku ingin mengganti setiap memori menyakitkan di masa lalu, dengan memori baru yang menyenangkan. Dan masih banyak lagi tempat yang harus kuganti dengan kenangan baru.”Feli menatap Archer dengan mata disipitkan. Tatapannya penuh curiga dan waspada.“Bukan hanya bercinta, Sunshine. Jangan
Dua minggu kemudian….Pagi ini ada yang berbeda dari sikap Archer. Pria itu kedapatan sering senyum-senyum sendiri. Seharusnya itu bukan sesuatu yang aneh, mengingat selama beberapa minggu terakhir Archer memang sering senyum sendiri seperti orang kasmaran.Namun, Feli merasa pagi ini Archer benar-benar berbeda. Senyuman Archer terlihat penuh arti.Yang membuat Feli curiga dan waspada adalah… sejak kemarin Archer sering menerima telepon sambil menjauhinya. Bukankah itu aneh? Feli merasa Archer menyembunyikan sesuatu darinya.“Kamu kenapa?” tanya Feli saat Archer kembali ke meja makan, setelah menelepon seseorang hampir sepuluh menit lamanya.“Kenapa apanya?”Ugh! Feli jadi makin sebal melihat tanggapan Archer yang santai-santai saja. Memang benar kata ibunya—Leica, bahwa kebanyakan lelaki itu sering tidak peka. Seperti saat ini, meski Feli sudah memasang tampang keruh, Archer sama sekali tidak menyadari kalau ekspresi seperti ini akibat sikap aneh Archer sendiri.“Sunshine, ada sesuat
Feli terperangah ketika mobil berhenti di parkiran bandara. Ia langsung menoleh dan menatap Archer dengan mata membulat.“Apa seseorang yang kamu temui baru saja datang dari luar negeri? Siapa di-Auwh!” Feli mengaduh ketika Archer tiba-tiba menyentil dahinya.“Sejak kapan kamu jadi kurang pintar begini, hem?”Feli mendelik. “Apa maksudmu?”Satu detik setelah melisankan pertanyaan itu kening Feli seketika berkerut saat melihat Dewi turun dari mobil Archer yang lain, yang terparkir di sampingnya. Lalu sang sopir menurunkan dua koper besar dan satu koper cabin dari bagasi mobil itu.“Mengerti sekarang?”Pertanyaan Archer yang diiringi usapan lembut di puncak kepalanya, membuat Feli menoleh lagi ke arah suaminya. “Maksudmu… kita akan pergi? Sekarang?”Archer mengangguk.“Ke mana?”“Ke salah satu kota di Timur Tengah yang ingin banget kamu kunjungi sejak dulu,” jawab Archer sembari menyelipkan helaian rambut Feli ke belakang telinga dan menatap wajahnya lamat-lamat.“Du…bai?” tanya Feli ra
Hembusan udara panas yang kering terasa menerpa wajah Feli ketika keluar dari bandara dan menghampiri sebuah mobil mewah yang telah menunggu mereka.Dari perkiraan cuaca yang Feli lihat di ponselnya, hari ini suhu udara di kota ini mencapai 39 derajat celcius. Suhu yang sangat panas bagi orang-orang yang berasal dari daerah tropis seperti mereka. Bahkan, Jakarta saja tak sampai sepanas ini.Archer berbicara dengan sopir berwajah khas India yang keluar dari mobil tersebut. Lantas memperkenalkan Feli dan Kimberly kepadanya. Sopir itu bernama Rajeev. Dia yang akan mengantar ke manapun mereka pergi selama berada di Dubai.“Wuaah….” Feli tak henti-hentinya berdecak kagum begitu melihat bangunan-bangunan artistik yang dilewati sepanjang perjalanan. Kimberly pun sama.Sampai-sampai Archer tertawa kecil melihat dua perempuan itu persis seperti orang dari kampung yang datang ke kota.Saat Archer melihat ke belakang, Dewi sibuk video call dengan keluarganya sambil mengarahkan kamera ke kiri dan
Matahari semakin menggelincir ke arah barat. Di bawah sana tampak jelas riak air laut yang terhempas angin. Namun, sayang, kali ini Feli belum bisa menikmati keindahan panorama di depan matanya itu. Hentakan Archer yang tak berujung, di belakangnya, membuat akal sehatnya hanya terpusat pada kenikmatan yang pria itu berikan.“Archer…,” lirih Feli disela-sela desahannya. Jari jemarinya tengah berusaha mencengkeram dinding kaca di hadapannya, tapi Feli tahu itu mustahil. Desahan saja seolah tak cukup untuk melampiaskan rasa luar biasa yang Archer berikan kepadanya lagi dan lagi.“Archer…,” desah Feli lagi.Archer mengangkat wajah dari ceruk leher sang istri. “Yes, Sunshine?” sahutnya dengan suara berat dan serak. Napasnya terasa memburu. “Maaf kalau kamu lelah, tapi aku nggak bisa berhenti.”Archer mengeratkan pelukannya pada perut rata Feli. Sedang satu tangan yang lain aktif menggoda setiap inci tubuh Feli dengan seduktif. Kulitnya terasa halus dan lembut. Melihat tubuh polos milik ist
“Apa yang kamu pikirkan?”“Huh?” Feli seketika menoleh begitu mendengar suara dan sentuhan telapak tangan Archer di puncak kepalanya. Pria itu baru kembali dari toilet. Feli lantas menggeleng. “Nggak. Nggak ada yang aku pikirkan.”“Lalu kenapa melamun, hem?” Archer menatap Feli dengan tatapan tak percaya.“Siapa yang melamun? Aku cuma lagi mandangin mereka.”Tampak kerutan di kening Archer. Ia mengikuti ke mana arah pandangan Feli tertuju. Detik itu juga ekspresi Archer berubah mengeras.Bagaimana tidak? Pemandangan yang Feli lihat adalah kumpulan para lelaki Arab yang memakai abaya putih dengan serban putih merah bermotif seperti kotak-kotak, melilit di kepala mereka. Ada sekitar empat lelaki di meja paling ujung café ini. Semuanya tampak muda dan tampan.Bukan hanya di sana, melainkan hampir di setiap sudut café berinterior perak luxury ini, ada pria berpenampilan seperti mereka.Dengan menukik sebelah alis, Archer menatap Feli kembali. “Kenapa? Kamu tertarik pada mereka?”“Iya.” Fe
Feli memasukkan tiram menggunakan sumpit ke dalam mulutnya dengan ragu-ragu. Ia mengerutkan kening, lalu menaikkan pandangannya dari piring putih berisi tiram di hadapannya, ke arah Archer.Feli lantas menjepit sumpit di antara kedua bibirnya yang mengatup, ia bergidik ngeri melihat Archer yang sejak tadi terus menerus menatapnya sembari tersenyum sendiri.“Kenapa? Kamu seperti melihat hantu saja, Fel,” gerutu Archer.“Kamu lebih menakutkan daripada hantu, Archer.” Sekali lagi Feli bergidik, lalu menjepit daging tiram berikutnya dengan sumpit dan memasukkannya lagi ke mulut. “Kenapa menatapku dan senyum-senyum terus, sih? Aku jadi takut tahu!”“Kamu cantik.”Uhuk!!!Feli tersedak. Tenggorokannya seketika terasa sakit hingga ia terbatuk-batuk.Archer panik melihatnya, ia segera menyerahkan air miliknya yang masih utuh. “Minum dulu.”Tanpa banyak berpikir, Feli langsung meneguk air itu sampai tenggorokannya terasa lega. Wajahnya sedikit memerah. Archer menyambar selembar tisu lalu menge